Satya berhasil menguasai dirinya, ia merenggangkan pelukan mereka bertiga. Menangkup wajah Audrey dan mengecup kening cucunya itu.
"Maafkan kakek sayang." ucapnya tulus.
Audrey mengambil tangan kakek dari pipinya, memegang jari-jari itu dengan lembut.
"Mengapa selama ini kakek dan nenek tidak pernah menemuiku? Kakek bilang sudah menerima papa, lalu kenapa tidak pernah mengunjungiku?"
"Karena kakek tak sanggup bertemu denganmu secara langsung. Nenek selalu menangis saat melihat wajahmu, apalagi saat kau tersenyum." jelas nenek.
"Kau pun tak pernah melihat nenek karena saat nenek sembunyi-sembunyi mengunjungi kalian, ada saja yang sedang kau lakukan, waktu nenek pun tak lama."
Audrey berdiri, kali ini ia memilih duduk di samping kakek."Sampai aku beranjak dewasa, mengapa kalian tidak muncul?" Audrey meminta penjelasan lebih.
"Siapa bilang kami tak pernah datang? Bahkan tamu bulanan pertamamu saja nenek tahu." jawab nenek tersenyum.
"Nenek..." Audrey tersipu.
"Semua pelayan di rumah saat ini adalah orang yang disiapkan kakek dan nenek. Papa mengganti semua pekerja di rumah karena tahu insiden itu bisa terlaksana atas bantuan dua orang pelayan." kali ini Sebastian yang menjelaskan.
"Jadi, masakan yang tadi kubilang rasanya sama dengan masakan di rumah, karena juru masak adalah orang yang dipekerjakan nenek?"
Nenek menggeleng pelan. "Kami sering mengunjungimu, menjagamu tanpa muncul langsung dihadapanmu. Melihatmu melamun sambil memberi makan ikan. Nenek sering membawa masakan, juru masak hanya menghangatkan saja."
"Saat usiamu enam tahun, nenek mulai mencoba berbagai macam masakan dan membawanya. Ternyata yang kau suka sama dengan yang ibumu sukai. Nenek merasa mendapat kesempatan kedua. Tapi kami tak sanggup untuk berhadapan secara langsung."
"Ini sudah mulai larut, sebaiknya kita beristirahat." Kakek mengingatkan.
Mereka semua beranjak dan masuk ke kamar masing-masing.
Audrey menempati kamar tamu, sedangkan Sebastian dan Rangga menempati kamar lama milik Tiara. Audrey tak ingin tidur di kamar itu, karena takut akan terus menangis.
.
.
.
Mansion milik keluarga Aaron.
Aaron duduk di sofa yang berada dalam kamarnya, tubuhnya lelah. Pesta perayaan ulang tahun perusahaan berjalan lancar tanpa drama.
Ia memejamkan mata, tapi tak kunjung lelap. Dia mengambil gawai dan membuka kembali pesan dari Gustaf.
Maaf tuan, kami tak bisa mendapat informasi apapun tentang gadis itu. Bahkan pegawai di toko bunga tempo hari menutup mulut. Sepertinya mereka lebih takut gadis itu daripada kita.
Dahi Aaron mengernyit, ada orang yang lebih menakutkan dari aku? Siapa sebenarnya gadis itu?
Hahhhhhhhh.....
Aaron mendengkus, ia menutup matanya. Bayangan wajah sang gadis menari-nari di pelupuk matanya. Wajahnya yang ayu, matanya yang indah, bibirnya yang berwarna nude tampak sangat segar.
Apa dia menggunakan pelembab? Sepertinya menyegarkan untuk dinikmati.
Aaron membuka mata, terkejut dengan otaknya yang sudah mengembara sejauh itu.
"Dia sangat manis, wajahnya tak membosankan ditatap terus menerus. Saat itu dia memang terlihat semakin cantik dengan bunga-bunga yang ada di hadapannya. Tapi aku tak tahu kalau itu buket bunga untuk orang meninggal. Aargghhhhh, bodohnya aku." rutuknya.
Tok..tok..tok..
"Siapa?" tanya Aaron tak senang, tak ada jawaban dari balik pintu. Aaron melirik jam tangannya, ini hampir tengah malam. Siapa yang berani mengganggu.
Tok..tok..tok..
Aaron bangkit dengan menghentakkan kaki, dibukanya pintu dengan sangat kasar. Ia sedikit melompat mundur saat melihat siapa yang berada di balik pintu.
Juliana menggunakan dress floral yang bahannya tipis hingga menunjukkan pakaian dalam yang berwarna hitam, kontras dengan kulitnya. Ia menggunakan parfum dengan aroma lembut yang seksi.
"Mau apa kau?" Aaron tidak suka dengan apa yang dilihatnya, ia membuang muka saat bertanya.
"Aku ingin memijatmu, aku tahu kau sangat lelah karena acara tadi." Juliana merendahkan suaranya agar terdengar berat dan seksi.
"Tak perlu. Bagaimana kau tahu aku belum tidur?" masih tanpa melihat sedikit pun.
"Terlihat cahaya keluar dari celah pintu." jawab Juliana menunjuk ke lantai. Padahal Aaron tak melihatnya.
"Pergilah, aku mau tidur."
Juliana segera menahan pintu yang akan ditutup.
"Jangan begitu, aku akan memberi servis spesial." katanya dengan nada sensual.
Aaron langsung menutup pintu dengan kuat, membuat Juliana terdorong ke belakang."Aaron, buka pintunya!!" Juliana menggedor pintu dengan kasar.
"Pergilah atau aku akan menendangmu keluar dari rumah ini."
Juliana terkesiap, ia menelan salivanya dengan kasar lalu berbalik dengan wajah merah menahan malu dan marah.
Aaron memukul bantal sofa. "Tante dan keponakan sama-sama murahan!" geramnya
.
.
.
Pagi ini Aaron pergi untuk melihat pembangunan Resort di antara hutan bakau. Kali ini mereka membawa supir kantor karena perjalanan jauh dan Aaron tidak ingin Gustaf kelelahan.
"Gustaf, kau benar-benar tak menemukan petunjuk apapun mengenai gadis itu?" Aaron memecah keheningan.
"Maafkan aku tuan."
"Kau tahu, aku sangat penasaran dan aku benci itu." ucapnya memperingatkan.
Gustaf terdiam, dia bingung mau mengatakan apa.
"Tuan, kita akan segera tiba di tujuan." kata supir mengingatkan.
Aaron mengangguk. "Gustaf, katakan pada mereka yang mengawal agar langsung menyebar."
"Baik tuan." Gustaf segera menelpon pengawal pribadi yang berada di iring-iringan mobil tak jauh di depan mereka.
Semenjak peristiwa penyerangan yang menimpanya, Aaron tak lagi bepergian tanpa pengawal. Setidaknya sampai ia melumpuhkan aktor utama.
Aaron bukannya tak tahu siapa yang mengatur serangan-serangan terhadapnya, hanya saja ia ingin orang itu mempertanggung jawabkan semua kejahatannya sekaligus.
Drrttt...drrttt...drrttt...drrttt
Ponsel di saku jas Aaron bergetar.
"Ya Bram."
"Bisakah kau berkunjung?" tanya Bram di ujung sambungan.
"Hari ini aku tak bisa datang, tapi besok siang aku akan datang. Apakah kondisinya memburuk?"
"Tidak, justru semakin baik. Aku ingin kau melihatnya sendiri," kata Bram ceria.
"Baiklah, aku pasti datang. Apalagi kalau hal baik yang akan kulihat." Aaron memutuskan telpon sambil terus tersenyum. Hatinya terasa ringan.
Mobil berhenti di antara pepohonan mangrove di pinggir jalan. Mereka tidak bisa meneruskan perjalanan dengan mobil karena medan di depan rusak masih belum diperbaiki.
Sebelum turun mereka bertiga menggunakan helm dan sepatu bot yang sudah dibawa. Perjalanan ke lokasi pembangunan tak memakan waktu lama karena jarak yang sebenarnya tidak jauh.
Aaron dan Gustaf berkeliling di temani penanggung jawab yang ditunjuk.
"Jangan lupa, siapkan bibit mangrove. Aku ingin saat bangunan ini selesai, dilanjutkan dengan penanaman pohon yang baru." Aaron mengingatkan penanggung jawab itu.
"Tuan jangan khawatir, kami sudah mempersiapkan bibitnya. Kami bekerja sama dengan aktifis lingkungan dan masyarakat sekitar."
"Baiklah, aku ingin berjalan-jalan di sekitar sini. Kau lanjutkanlah pekerjaanmu." titah Aaron.
Aaron berjalan menyusuri pantai hingga tiba di tempat yang banyak pengunjung. Ia berjalan mencari tempat yang lebih sepi, ia tak ingin menarik perhatian karena menggunakan busana yang tak cocok dengan tempat yang didatangi.
Aaron duduk di sebuah pohon kelapa yang tumbang, sedangkan Gustaf berdiri membelakanginya tak jauh dari Aaron, tampak sedang menelpon seseorang.
Angin sepoi-sepoi dan suara debur ombak membuatnya hanyut dalam lamunan. Wajah gadis itu masih setia menempati otaknya. Aaron mendengkus dan menunduk menatap pasir.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments