Satu minggu menjalani perawatan di Rumah Sakit membuat Aaron tersiksa. Ia yang terbiasa bekerja bahkan gila kerja, saat ini hanya berbaring santai-santai seperti ini membuatnya gila. Damian yang setiap hari menjenguknya senang menggoda, membuat dirinya semakin tidak betah.
"Jika kau punya kekasih atau istri, maka kau akan menikmati waktu santai seperti ini." kata Damian.
"Tak bisakah kau mengucapkan kalimat yang menyenangkan hatiku?" Aaron menggerutu. Namun sejujurnya ia senang, ia sadar temannya tulus memperhatikan dirinya.
"Gustaf, bagaimana kondisimu?" tanya Aaron pada Gustaf yang sedang berkunjung ke ruangannya.
"Aku baik-baik saja tuan. Terima kasih." jawab Gustaf.
"Apa yang sedang kau kerjakan? Kulihat dari tadi kau sibuk dengan gawaimu." kali ini Damian yang bertanya.
"Oh ini, aku sedang menghubungi penyelenggara acara untuk mempersiapkan perayaan ulang tahun perusahaan."
Aaron menepuk dahinya." Aku hampir lupa, tiga hari lagi."
"Benar tuan. Persiapannya sudah hampir 100%."
"Kau memang asisten handal Gustaf." puji Damian sambil menepuk pundak Gustaf dengan pelan. Gustaf hanya tersenyum tipis sambil membungkukkan badan, baginya pujian adalah alarm agar bekerja lebih giat dan lebih setia kepada majikannya.
"Kau harus hadir Damian."
"Suatu kehormatan bagiku Aaron. Sayangnya dua hari lagi aku harus berangkat ke negara K."
"Negara K? untuk apa?" tanya Aaron.
"Aku lulus seleksi Pasukan Perdamaian Dunia dari negara ini dan akan dikirim ke negara K untuk bergabung dengan pasukan negara lain."
"Bagaimana dengan calon istrimu?"
"Dia bisa menungguku."
"Apakah kau tak takut dia diambil orang?" goda Aaron.
"Kalau dia mengkhianatiku, artinya dia bukan jodohku." jawab Damian santai.
"Semudah itu?" Aaron tak percaya.
"Ya, semudah itu. Bagiku perselingkuhan dapat terjadi bukan karena ada satu pihak yang kegatelan, tapi karena pihak yang lain juga membuka pintu."
"Kau tak akan membunuh bajingan itu?"
"Tidak, malah aku akan datang untuk berterima kasih padanya karena telah mengambil ulat bulu dari hidup dan karirku"
"Kok ulat bulu?"
"Kan kalau kena ulat bulu kita bisa gatal-gatal." jawab Damian sambil terkekeh.
Mendengar jawaban itu Aaron ikut tertawa, sedangkan Gustaf hanya menunduk dan tersenyum.
.
.
.
Sore ini Aaron dan Gustaf sudah diijinkan pulang. Damian mengantar Gustaf kembali ke apartemennya dan Aaron dijemput supir keluarganya.
Ia menatap rumah besar itu dengan hati kesal, neraka dunia, ucapnya dalam hati.
"Selamat datang tuan." Edward sang Kepala Pelayan menyambut sambil membungkukkan badan.
"Terima kasih Edward." sahut Aaron tersenyum.
Dengan berat ia masuk dan melangkahkan kaki langsung menuju kamarnya di sayap kiri Mansion tersebut.
Baru akan berbelok memasuki lorong menuju kamar, langkahnya terhenti karena seorang wanita cantik berpakaian seksi berdiri di tengah jalan menghalangi langkahnya.
"Aaron sayang, calon suamiku, akhirnya kau pulang." dengan penuh percaya diri wanita itu mengembangkan senyum terbaiknya dan melangkah mendekati Aaron yang hanya diam mematung. Aaron menatap jijik dan melangkah ke samping menghindari wanita itu.
"Sampai kapan kau menghindariku sayang, aku sangat merindukanmu." Wanita itu menangkap lengan Aaron dan mengerucutkan bibir.
Maksud hati agar terlihat imut, tapi entah kenapa justru membuat Aaron ingin muntah. Dengan kasar ia melepaskan tangan Juliana dari lengannya.
"Jangan seperti itu Aaron, bersikap manislah pada calon istrimu." ucap seorang wanita paruh baya sambil menuruni tangga. "Mengapa kau tak memberi tahu kami jika ada perjalanan dinas mendadak?"
Aaron hanya menatap tajam wanita itu, membuang muka sambil mendengkus pelan dan melanjutkan langkahnya. Setelah masuk ia menutup pintu kamar dengan sangat keras.
"Bibi, lihatlah. Dia mengacuhkanku lagi."
"Sabarlah Juliana, bagaimanapun kau akan segera menjadi istrinya." ucap Bibi Arneta menenangkan Juliana. "Kau terlihat sangat cantik, mau kemana sayang?"
"Aku akan pergi berbelanja bi." jawab Juliana sambil tersenyum.
"Baiklah, hati-hati di jalan."
"Aku pergi ya bi, Bye bye."
"Yaa." jawab Arneta singkat sambil melambaikan tangan.
.
.
.
Aaron memasang headset bluetooth untuk menelpon dan melangkah ke jendela besar yang menghadap ke arah taman.
"Halo, apakah kau ada waktu?" tanya Aaron pada seseorang diujung sambungan.
"Ya, aku sedang senggang saat ini."
"Bagaimana perkembangannya akhir-akhir ini? Apakah baik?"
"Bukan hanya baik, tapi sangat baik. Aku pun tak mengira akan terjadi perubahan luar biasa. Tampaknya kau harus sering-sering datang berkunjung."
"Ya, aku pun berencana seperti itu. Bram, waktuku tak banyak, maksimal enam bulan lagi. Bagaimana menurutmu?"
"Aku rasa bisa, jika perubahannya bisa terus secepat ini."
"Terima kasih Bram, aku mengandalkanmu."
"Bagaimana kondisimu saat ini?" tanya Bram.
"Aku sudah pulih, hanya masih ada lebam, nanti juga pudar dengan sendirinya." ucap Aaron santai.
"Lain kali jangan seperti ini, kau tak boleh lengah." Bram memberikan nasehat.
"Ya, aku tahu itu. Bram, berapa banyak Glock Meyer 22 dengan ukiran yang beredar di negara ini?"
"Glock meyer dengan ukiran? Itu sangat spesifik. Pasti kolektor pribadi yang memilikinya, artinya tak lebih dari sepuluh orang. Kenapa?"
"Aku hanya sekedar bertanya. Sekali lagi terima kasih Bram." Aaron memutuskan sambungan bersamaan dengan suara pintu kamarnya diketuk.
Tok..tok..tok..
"Ya."
"Tuan muda, makan malam sudah siap. Nyonya menunggu anda untuk makan bersama." rupanya seorang pelayan yang mengetuk.
"Baiklah, aku akan segera kesana." Aaron menuju Walk in closet, mengeluarkan sebuah benda dari saku celananya, memandang sejenak benda dalam genggamannya kemudian meletakkan di dalam sebuah laci.
Saat ia sudah tiba di ruang makan, Arneta sudah mulai makan. Aaron mengambil tempat di salah satu ujung meja persegi panjang yang berhadapan dengan Arneta. Suasana makan malam sangat sepi, hanya sesekali terdengar dentingan peralatan makan.
"Aaron, bagaimana kabarmu?" Arneta memulai pembicaraan setelah hidangan penutup disajikan.
"Baik." jawab Aaron singkat
"Mengapa kau tidak memberi kabar secara langsung jika akan keluar kota?" Arneta masih saja mengikuti sandiwara Edward yang mengabarkan Aaron ada pekerjaan di luar kota, bukan dirawat di Rumah Sakit.
"Bukankah tak ada bedanya?"
"Sudah sepuluh tahun aku menjadi ibumu. Tak bisakah kau bersikap baik padaku sebentar saja Aaron?"
"Kau bukan ibuku!" jawab Aaron dingin.
"Ya baiklah, terserah padamu saja. Yang penting aku menyayangimu putraku." kata Arneta sambil tersenyum. "Dan jangan lupa, kau harus segera menikahi Juliana untuk memenuhi wasiat terakhir papamu." Arneta mengingatkan.
"Mengapa harus Juliana? Tak bisakah aku menikahi gadis lain?" Aaron benci dengan ide itu.
"Bukankah sudah jelas tertulis di surat wasiat. Papamu yang menginginkannya, Juliana itu gadis baik-baik. Dan karena tak ada seorang gadispun yang menjadi kekasihmu." jawab Arneta santai.
"Bagaimana aku akan punya kekasih jika kau meneror gadis yang dekat padaku."
"Aaron, tuduhanmu melukai hati mama." Arneta terlihat sedih dengan ucapan Aaron.
"Oh sudahlah. Aku bukan papa, jadi tak akan mempan dengan ekspresi itu. Lagi pula selama aku tak melihat jenazah papa, aku menganggap papa masih hidup." Aaron berdiri hendak pergi. "Mengenai surat terkutuk itu, sekalipun ada tanda tangan papa disana, tak dapat dibuktikan keasliannya. Apalagi pengacara keluarga tak tahu menahu tentang surat apapun." tambahnya sambil berlalu pergi meninggalkan ruang makan.
Tangan Arneta mengepal, wajahnya memerah menahan marah yang menggelegak. Dengan penuh emosi ia kembali ke kamarnya di lantai dua dan segera menelpon seseorang sambil duduk di tepian tempat tidur.
"Dimana? Aku membutuhkanmu." ucapnya setelah ada yang mengangkat telponnya. Ia mengangguk mendengar jawaban seseorang diujung sambungan.
"Baiklah, aku akan berangkat satu jam lagi. Sampai jumpa." Arneta memutus sambungan dan masuk Walk in closet untuk berganti baju.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments