Sepertinya cuaca cerah terus bertahan hingga sore hari. Menciptakan lukisan alam yang mengagumkan di cakrawala.
Audrey memarkirkan motornya di garasi, ia tak ada rencana keluar lagi malam ini. Karena ia harus menyelesaikan desain perhiasan untuk sebuah toko ternama yang menggunakan jasanya. Audrey memilih menjadi pekerja lepas, ia tak ingin terikat. Toh pekerjaan ini diambil semata-mata karena ia suka mendesain perhiasan, bukan karena honor yang diterima.
Setelah meletakkan helm di rak yang tersedia, Audrey memasuki rumah utama melalui pintu samping yang terhubung dengan garasi.
Saat memasuki ruang tengah ia melihat papa dan kak Rangga sedang duduk menikmati cemilan.
"Selamat sore tuan-tuan." sapa Audrey santai.
"Selamat sore, My Lady." sahut Rangga. Audrey bergidik ngeri mendengar kata terakhir itu.
"Duduklah, ada yang ingin papa sampaikan." kata Sebastian.
Audrey menurut dan duduk di salah satu sofa.
"Dua hari lagi kita akan pergi ke suatu tempat. Siapkanlah perlengkapanmu, satu atau dua minggu baru kita pulang." Sebastian menjelaskan.
"Kita akan pergi liburan? Mendadak sekali." Audrey menanggapi dengan mengernyitkan dahi.
"Tidak mendadak kok. Kakak saja sudah mengatur jadwal di kantor. Kamu kan pengangguran banyak acara, jadi dikasih tahu kapan aja bisa."
"Aku punya pekerjaan, aku mendesain perhiasan, siapa bilang aku pengangguran hah?" tukas Audrey.
"Kakak yang bilang, baru aja. Masa kamu nggak dengar. Mulai budek?" Rangga memprovokasi.
"Aku nggak budek dan aku bukan pengangguran." balas Audrey sambil berdiri mendekati kakaknya.
"Kenyataannya kan kamu nggak ada kerjaan." Rangga pun ikut berdiri. "Udah deh, terima saja kenyataannya. Kamu jangan membantah." Rangga menunjuk-nunjuk hidung adiknya.
Tanpa diduga...
Happp!!!
Audrey menggigit telunjuk Rangga,"Aarrgghhhhh!!!" Rangga memekik.
Sesaat kemudian Audrey melepas jari itu dari mulutnya dan berlari menuju kamarnya.
"Papa, lihat dia menggigitku." Rangga menahan sakit.
"Siapa suruh kau menggodanya terus." jawab papa enteng seolah-olah tak melihat apapun.
.
.
.
Audrey menyelesaikan desain dengan cepat dan menyerahkannya sehari sebelum mereka berangkat. Tak lupa ia mengabari sahabat-sahabatnya tentang "liburan" mendadak ini, walau ia sendiri tak tahu kemana tujuan mereka.
Pagi-pagi buta mereka meninggalkan rumah menggunakan Range Rover SV Coupe. Kak Rangga yang menyetir sendiri. Mereka sengaja tidak membawa supir keluarga, jika lelah mereka berdua bisa bergantian. Berdua? Ya, Audrey tidak masuk daftar nominasi supir pengganti.
Menjelang siang mereka melewati jalanan di tepi pantai, laut yang biru dan suara deburan ombak terdengar di kejauhan. Pemandangan indah yang tak bisa dinikmati setiap hari.
Sayangnya Audrey melewatkan semua itu karena ia tertidur pulas di kursi penumpang. Saat mobil memasuki pekarangan sebuah rumah pun ia tak mengetahuinya.
Sebastian turun dari mobil dan langsung memeluk seorang Nenek yang telah berdiri menunggu. Sedangkan Rangga yang menyusul langsung memeluk Kakek yang berdiri tak jauh dari wanita tadi.
"Mana dia?" tanya Kakek Satya saat berpelukan dengan Sebastian.
"Dia masih tidur di mobil kek." Rangga yang menjawab sambil terus merangkul neneknya.
"Biar aku yang membangunkannya." kata Sebastian.
"Ya, dan biarkan saja barang-barang kalian di mobil. Nanti Karyo akan menurunkan semuanya dan membawa ke kamar kalian masing-masing." Kakek Satya lalu berbalik dan memanggil orang yang bernama Karyo itu.
Sebastian menghampiri mobil dan membuka pintu samping tepat di belakang supir. Baru saja ia hendak menyentuh pundak Audrey,terlihat ada pergerakan pelan dan Audrey membuka mata perlahan.
"Ayo turun, kita sudah sampai." kata Sebastian setelah melihat putrinya telah bangun dan membuka mata dengan sempurna.
"Ini dimana pa?" tanya Audrey dengan suara serak khas orang baru bangun tidur. Ia membenarkan posisi duduknya dan meneguk air mineral yang diberikan papanya.
"Nanti juga kamu tahu." Sebastian tersenyum penuh arti.
Audrey turun dari mobil, mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru. Di hadapannya berdiri kokoh sebuah rumah besar model jaman kolonial. Di halaman depan yang tak terlalu luas terdapat taman dan pohon-pohon besar yang rindang, begitu juga dengan samping kiri dan kanan rumah. Aku jadi penasaran seperti apa halaman belakangnya, begitu pikirnya.
Ia melangkah masuk ke dalam rumah mengikuti papanya. Setibanya di ruang tengah ia melihat kak Rangga sedang duduk dengan tangan kirinya merangkul seorang nenek. Di kursi sebelahnya seorang kakek sedang menunduk.
Audrey duduk berhadapan dengan ketiga orang tadi, sedangkan Sebastian duduk di sebelahnya.
Keheningan yang panjang, tidak ada yang memulai percakapan. Audrey yang merasa hanya mengikuti papanya juga bingung mau berbuat apa. Lamat-lamat mulai terdengar suara isakan yang teredam.
Audrey mendongak, tampak sang nenek sedang menangis di dada kakaknya.
Kakek berdiri dan mengulurkan tangannya ke Audrey," Nama kakek, Satya." ia tersenyum mengajak berkenalan dengan canggung.
"Audrey," seraya tersenyum menyambut uluran tangan Kakek Satya. "Maaf, ada apa ini?" Audrey mengutarakan isi kepalanya.
"Mmmm, sayang, Kakek Satya dan Nenek Ida adalah...." dadanya terasa sesak. "Adalah orang tua mama." lanjut Sebastian.
Mata Audrey terbelalak, ia menatap Kakek dan Nenek yang masih dalam dekapan Rangga bergantian, kemudian ia menunduk. "Aku tak pernah kenal." katanya lirih.
"Karena dulu kami tak pernah mau menerima papamu." penyesalan yang kental terdengar jelas di setiap kata-kata yang diucapkan kakek.
Semua kembali terdiam, tak ada yang berbicara, entah karena apa. Hawa diruangan tengah itu terasa sangat dingin.
Kruukkk...Kruuukkk....
Semua mendongak mencari sumber suara.
"Maaf, aku lapar." kata Rangga salah tingkah.
"Duh, maaf, nenek jadi lupa. Ayo..ayo kita ke ruang makan. Nenek sudah menyiapkan makan siang. Ngobrol sejarahnya nanti saja." nenek berdiri sambil mengusap air mata di kulit keriputnya.
Mereka berlima menyantap hidangan dengan perbincangan ringan sekedar berbasa basi, Audrey hanya diam menikmati makanannya.
"Bagaimana rasanya?" terdengar suara nenek. Audrey mendongak, nenek sedang menatapnya. Berarti pertanyaan tadi untukku, batinnya.
"Ini sangat enak, ada beberapa yang mirip dengan masakan Juru Masak di rumah." jawab Audrey sambil tersenyum. Setelah itu ia kembali diam dan menyantap makanan diatas piringnya.
.
.
.
Sore hari, Rangga sudah selesai mandi dan berganti baju. Ia berencana jalan-jalan di halaman belakang.
Saat ia melewati sebuah ruangan terlihat kakek, nenek dan papa hanya berdiri diam melihat sesuatu. Ia mengikuti arah tatapan ketiga orang itu.
Ternyata mereka sedang menatap Audrey yang sibuk melihat-lihat foto yang terpajang memenuhi dinding dan yang diletakkan diatas meja khusus.
"Bisakah Audrey mendengar cerita sekarang?" pintanya sambil membalikkan badan.
"Kita ngobrol di ruangan tadi." Kakek memimpin rombongan untuk berpindah tempat.
Sesampainya di ruang tengah kakek dan nenek duduk berdampingan, sedangkan Sebastian dan Rangga duduk mengapit Audrey, mereka mengambil tempat berhadapan dengan kakek nenek.
"Dua puluh tujuh tahun tahun yang lalu, kakek tak merestui pernikahan anakku Tiara dengan Sebastian." kakek mulai bercerita, nenek menggenggam tangan kakek seolah-olah memberi kekuatan.
"Aku tak merestui pernikahan itu karena menurutku Tiara masih terlalu muda, begitu juga Sebastian, usahanya baru saja dimulai, bagaimana ia akan membahagiakan Tiara. Selain itu, dimataku Sebastian adalah pemuda tampan yang dingin dan arogan, pasti ia tak bisa setia karena banyak wanita akan mendekatinya."
"Setahun kemudian Rangga lahir, ada perasaan bahagia saat itu. Tapi Kakek terlalu gengsi, bahkan saat mereka datang berkunjung membawa Rangga yang masih bayi. Kakek tak mau keluar sama sekali, harga diriku adalah segalanya, hingga aku tak mampu melihat pancaran kebahagiaan putriku satu-satunya. Satya menghela nafas sedih, membayangkan senyum Tiara.
"Empat tahun kemudian Audrey lahir. Nenekmu semakin bahagia mendapat kabar itu, dari awal ia memang tak mempermasalahkan pernikahan Tiara. Aku tahu, sejak awal Tiara menikah diam-diam dia suka mengunjungi Tiara." Kakek melirik Nenek yang tersipu malu, mengingat banyak kebohongan yang dijadikan alasan untuk bisa pergi menengok putrinya.
"Saat usiamu lima tahun, kakek sudah sepenuhnya menerima keputusan mamamu Audrey. Namun baru beberapa bulan dia pergi dari kakek." Kakek mulai menangis. "Jika saja aku tahu waktunya tidak lama...jika saja aku tidak egois, mungkin...." Kakek menutup wajahnya, air matanya tak dapat dibendung lagi. Nenek memeluk kakek dan ikut larut dalam tangisan penyesalan itu.
Audrey berdiri, air matanya sudah mulai mengalir sedikit demi sedikit. Ia melangkah menuju kakek dan neneknya, kemudian menekuk lutut mensejajarkan tubuh dengan mereka yang sedang duduk.
Kakek dan nenek merenggangkan pelukan, terkejut merasakan kehadiran Audrey, terlebih lagi saat Audrey menghambur masuk dalam pelukan mereka berdua.
Sebastian dan Rangga yang melihat itu tak dapat membendung air mata mereka lagi.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments