Sebulan kemudian...
"Bryan sudah selesai."
"Bryan berangkat dulu." pamit Bryan pada kedua orang tuanya.
"Pa..Alvaro kenapa sih?"
"Sudah sebulan ini Mama lihat dia murung terus seperti itu."
"Mama sampai dibuat gak kenal sama dia." kata Mama Lea setelah melihat Bryan pergi menuju kantor.
Karena hampir sebulan ini yang Bryan lakukan hanya kerja pulang sampai larut malam dan melamun, entah apa yang dia lamun kan Mama Lea tidak tahu.
Hari libur pun tetap di pakai Bryan buat kerja. Bicara pun seperlunya saja kalau ada yang tanya. Selebihnya diam. Seperti ada yang dipikirkan.
"Papa juga merasa seperti itu, Ma."
"Di kantor pun kerjaannya hanya marah-marah gak jelas."
"Hampir setiap karyawan dimarahinya karena hal sepele."
"Dan itu terjadi setiap hari." Papa Abri pun juga merasakan hal yang sama seperti Mama Lea. Bedanya kalau di rumah Bryan akan banyak diam dan melamun. Namun jika di kantor sudah seperti singa yang siap menerkam mangsanya kapan pun dia mau.
"Coba Papa dekati Alvaro saat di kantor. Ditanya baik-baik."
"Siapa tahu dia nanti mau bicara sama Papa." saran Mama Lea pada suaminya itu dengan menaik turunkan alisnya.
"Kenapa nggak Mama saja yang dekati Bryan dan ajak Bryan bicara baik-baik." Papa Abri justru balik meminta pada Mama Lea untuk bicara sama Bryan.
"Kok Mama sih, Pa."
"Papa kan tahu sendiri kalau Mama sama Alvaro selalu berbeda argumen."
"Ujung-ujungnya nanti malah berantem." kata Mama Lea yang tidak setuju jika dia yang berbicara sama Bryan.
"Iya juga sih, Ma." Papa Abri membenarkan itu. Dia lantas berfikir bagaimana cara mengetahui permasalahan anaknya itu.
"Kenapa Papa gak tanya Rendy saja?" saran Mama Lea.
"Kalau Rendy tidak tunduk sama Bryan sudah dari kemarin Papa tanya ke Rendy, Ma." keluh Papa Abri.
"Alex..Papa tanya Alex saja."
"Pasti dia tahu." Mama Lea menaik turunkan alisnya sambil menyeringai.
"Mama benar. Papa nanti akan temui Alex dan menanyakan tentang anak kesayangan Mama itu kenapa." kata Papa Abri semangat.
..........
"Kalian bisa kerja tidak, hah." bentak Bryan pada ketiga karyawannya yang berdiri didepan meja kerjanya sambil menunduk takut dan gemetaran.
"Kamu.." tunjuk Bryan pada manager keuangan.
"Sudah berapa tahun kamu kerja disini?" tanya Bryan dengan nada rendah dan terkesan dingin.
"Li-lima tahun, Tuan." jawabnya gugup. Bagaimana tidak gugup jika berhadapan dengan Bos galak dan dingin seperti Bryan.
"Lima tahun tapi buat laporan keuangan saja tidak becus." brakk. Bryan membanting dokumen berisikan laporan keuangan ke lantai.
"Kamu..Berapa tahun kamu kerja sini?"
"Dan kamu juga."
Bryan menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi kebesarannya dengan bersilang kaki.
"Sa-saya tig-ga tahun, Tuan." jawab Manager marketing gugup.
"Sa-sa..."
"Keluar dan segera perbaiki laporan kalian sebelum jam istirahat siang sudah harus berada diatas meja saja." kata Bryan tegas pada ketiga manager yang menurutnya tak becus dalam bekerja itu.
"Ka-kami permisi Tuan." Ketiga orang itu langsung mengambil dokumen yang dilempar Bryan di lantai dan bergegas keluar.
Rendy yang setia berdiri di samping Bryan hanya menghembuskan nafas lelah. Padahal tadi sebelum diserahkan ke Bryan, dokumen-dokumen tadi sudah Rendy cek dan tak ada kesalahan sama sekali. Dan bagaimana bisa Bryan menyalahkan ketiga manager yang sudah lama bekerja hanya karena kesalahan sepele. Mereka telat satu menit dari yang dijanjikan Bryan.
"Kenapa Kamu?" Bryan melirik Rendy yang berdiri disampingnya.
"Kerjakan sana tugasmu dengan becus."
"Sudah sebulan namun tak ada hasil apapun."
"Benar-benar tak berguna"
"Pergi sana." sentak Bryan pada Rendy yang berdiri tegak di sampingnya.
"Saya minta maaf Tuan." kata Rendy sambil menunduk hormat lantas keluar dari ruangan Bryan. Dan segera memerintahkan anak buahnya untuk tetap fokua mencari Freya dan anaknya, Maura.
Bryan menggusar kasar rambutnya kebelakang. Dia benar-benar frustasi. Sudah sebulan namun dia belum juga menemukan Freya dan juga Maura.
"Dimana kalian sekarang?"
"Apa kamu masih marah sama aku Freya?"
"Aku minta maaf telah membuat mu sakit waktu itu."
"Maafkan pria breng sek ini."
"Maafkan aku Freya."
"Maafkan aku gadis kecilku."
Bryan menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi menatap langit-langit ruangan kerjanya. Dia memejamkan matanya erat hingga tak terasa jatuhlah butiran air dari pelupuk matanya.
"Maafkan aku Freya."
...............
"Selamat datang di restoran xxx." sambut pelayan saat ada yang baru memasuki restoran.
"Pesanan meja atas nama Tuan Abrisam." kata pria tampan itu dengan senyum menawan.
"Mari saya antar Tuan." balas pelayan itu lantas berjalan duluan untuk menuju meja yang dipesan Tuan Abrisam.
"Tuan Abrisam sudah ada didalam. Tuan silahkan masuk."
"Terima kasih."
"Sudah datang kamu anak muda." kata Papa Abri saat melihat seorang pria dewasa seumuran anaknya.
"Siang Tuan Abri." sapanya dengan menunduk hormat.
"Paman aja Lex gak usah formal seperti itu."
"Cepat duduk sebelum duduk dilarang." kata Papa Abri dengan sedikit candaan.
Alex terkekeh. "Iya Paman." Alex segera mendudukkan pantatnya di kursi bersebrangan dengan Papa Abri.
"Makan dulu, nanti aja ngobrolnya." Alex mengangguk tanda menyetujui saran Papa Abri.
"Jadi maksud kamu Bryan sudah ketemu sama wanita itu dan sekarang wanita itu pergi lagi?" tanya Papa Abri setelah Alex menceritakan kenapa Bryan akhir-akhir ini diam dan sering melamun bahkan berbuat kasar pada karyawannya.
"Dan kemungkinan besar, ini anak Bryan dan wanita itu." Alex memberikan HPnya pada Papa Abri yang ada foto gadis cilik dengan seorang wanita.
"In-ni bukannya yang kemarin memenangkan Kompetisi Olimpiade itu?" Papa Abri terlihat terkejut akan apa yang baru saja dia lihat dan dia dengar.
Alex mengangguk mantap.
"Benar Paman."
"Nama gadis cilik itu Maura Hanin Azzahra dan itu Ibunya bernama Freya Almeera Shanum." kata Alex menjelaskan siapa yang ada di foto itu.
"Kenapa mereka sampai saat ini belum diketemukan kembali?"
"Bukannya kalian sudah memiliki foto mereka?"
"Seharusnya kalian lebih mudah untuk menemukan mereka kembali, bukan?" tanya Papa Abri yang terlihat kesal pada Alex yang tak tahu apa-apa itu. Karena nyatanya Alex hanya tahu ceritanya saja tapi kalau soal cari mencari orang bukan keahliannya.
"Apa benar Bryan sudah tidak berlangganan sama Ladysa lagi?" pertanyaan Papa Abri melenceng jauh dari yang harus dia ketahui saat ini. Tapi Papa Abri juga penasaran tentang itu.
"Setahu saya setelah tragedi tahun baru itu Bryan sudah jarang memakai jasa dari Ladysa."
"Cuma sesekali saja dan tidak sering."
"Bryan berhenti total setelah meninggalnya Nesa." jelas Alex apa adanya yang dia tahu.
Papa Abri hanya mengangguk lemah. Dia jadi teringat Nesa, anak perempuannya yang mati dibunuh sama kekasihnya waktu itu karena tidak mau melayani napsu bejadnya.
Dan Kalau memang gadis cilik itu benar anaknya Bryan, Papa Abri akan meminta Bryan untuk segera mempertanggung jawabkan perbuatannya di masa lalu. Dan meminta untuk menikah segera karena waktunya tinggal 3 minggu.
"Aku juga akan mencarinya. Karena aku gak mau Bryan sampai menikah dengan wanita manja yang mana dia dan keluarganya hanya menginginkan kekuasaan dan harta Keluarga Abrisam saja."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 169 Episodes
Comments
3 semprul
ceritanya seru banget..👍👍👍
2021-10-25
0
runi nisa
papa papa...klw gak mau ma tuh cewe knpa dijodohin. ya wis atuh batalin ja...hhhmmm
2021-09-17
0
Adiba Shakilla Ramdani
papa abri aku padamu ..wkwkwkwk
2021-08-26
6