Hujan mengguyur cukup deras sejak sore hari. Karlita duduk termangu di atas sofa depan TV yang dibiarkannya menyala namun acaranya tak menariknya untuk menonton.
Ia hanya butuh sedikit suara saja untuk memenuhi ruangan rumah yang terlalu sepi.
Makanan di atas meja sudah dingin. Sama sekali tak ada satupun dari yang tersaji di sana ia sentuh.
Duan buah van hitam berhenti di depan rumah pengasingan Karlita, dari dua van itu turun sekitar dua belas orang laki-laki berpakaian serba hitam.
Dua penjaga rumah Karlita yang menyadari kehadiran mereka langsung sigap menghadapi, tapi jumlah yang tak sepadan jelas terlalu mudah untuk dikalahkan.
Dua orang penjaga itu sekarat tak sampai lebih dari satu menit, ke dua belas orang itu meringsek ke dalam rumah tanpa disadari Karlita.
Saat mereka muncul di ruangan di mana Karlita termangu, barulah perempuan itu sadar jika apa yang ia takutkan akhirnya kini ada di depan mata.
"Tak ada tempat bersembunyi lagi Nyonya."
Kata pemimpin kawanan berbaju hitam-hitam itu, Karlita yang jelas tak mampu melawan hanya menatap mereka dengan pasrah.
Laki-laki berperawakan tinggi besar yang tak lain adalah Baron itu menyeringai, ia mengarahkan senjata api yang digenggamnya ke arah Karlita.
Perempuan itu sejenak tersadar jika harusnya ia tak pasrah begitu saja, paling tidak ia harus lari menyelamatkan diri, tapi jelas pikiran itu sudah jauh terlambat.
Saat Karlita baru menggerakan kakinya, satu timah panas lebih dulu melesat menembus dadanya.
"Itu untuk Kakakku."
Kata Baron.
Karlita tersungkur ke lantai, nafasnya tersengal-sengal, tangannya mencoba menggapai apapun yang bisa ia gapai.
Baron menghampiri, membidiknya lagi, dan...
Darr!!
Timah panas itu menghujam tubuh Karlita untuk kali kedua, melumpuhkan seluruh sendi tubuh perempuan malang itu.
"Leo... Leo... Ma... afkan... Ibu... Nak."
Lirih suara Karlita menyebutkannya, satu titik bening turut jatuh di sudut matanya.
Baron menggulingkan tubuh Karlita yang benar-benar sekarat dengan kakinya, lalu Baron melepas tembakannya yang ke tiga.
Darr!!
Tembakan itu menghujam tepat di jantung Karlita hingga ia langsung meninggal.
Baron menyeringai. Tugas dan dendamnya terbayar.
Kelak ia ingin melihat seperti apa Leo mengamuk begitu tahu Ibunya mati di tangannya.
Sama seperti ia melihat Ibunya dulu mati karena sakit keras mendapati kakaknya sekarat oleh Leo, ia juga ingin Leo merasakan hal yang sama.
Baron mengajak semua anak buahnya meninggalkan tempat itu, namun sebelumnya mereka merusak semua kamera CCTV dan menghapus rekaman di pos jaga.
Hujan masih terus mengguyur deras, saat dua van hitam itu melaju kencang meninggalkan rumah pengasingan Karlita.
Meninggalkan dua orang pengawal yang meregang nyawa di depan rumah, dan Karlita yang meninggal dengan bersimbah darah di tempat pengasingan terakhirnya.
Sungguh, sejak kedatangannya ke rumah itu, sejatinya Karlita sudah mendapatkan firasat jika ia tak akan hidup lama lagi.
Mungkin rumah itu adalah rumah pengasingan terakhirnya.
Namun, tetap saja, pasti untuk Karlita, bertemu maut secepat itu tetap ia tak pernah siap, apalagi harapannya untuk bertemu Leo sekali lagi belum terwujud sama sekali.
Betapa malangnya nasib Karlita, yang mencoba merebut cinta suami sahabat sekaligus majikannya, kini justeru terbujur seorang diri menghadapi kematian tragisnya.
**--------**
Prang!!
Leo yang baru akan meneguk air minumnya tiba-tiba terkejut karena gelas yang ada digenggaman terlepas begitu saja.
Gelas itu pecah berserak di atas lantai. Leo menatapnya nanar, pun juga dengan Doni dan yang lain.
Mereka baru saja menikmati santap malam ala kadarnya buatan Viera setelah bekerja seharian penuh membenahi cafe yang akan menjadi usaha Leo selama ada di Indonesia.
"Biar aku bersihkan."
Kata Viera yang cepat menuju ke belakang untuk mengambil sapu.
"Aku saja Vier."
Kata Alex, yang kemudian langsung dibantu Hendri dan Kris.
Leo sendiri mengerutkan kening, entah kenapa perasaannya tiba-tiba tak enak.
"Vin."
Leo memanggil Kevin.
"Yah Tuan."
Leo memandang Kevin.
"Ibu, apa yang terjadi padanya?"
Tanya Leo yang entah kenapa tiba-tiba ingat Ibunya.
Sepertinya inilah yang dinamakan darah lebih kental daripada air, di mana Leo dan Ibunya tetap terhubung meski keduanya sudah begitu lama terpisah dan sama sekali tak pernah berkomunikasi.
"Terakhir saya bertemu sudah sangat lama Tuan, saya sama sekali tidak tahu beliau bagaimana."
Leo tertunduk, raut wajahnya begitu putus asa.
Leo beranjak keluar dari cafe nya. Ia menatap langit yang gelap berselimut mendung tebal. Malam itu berbeda dengan tempat Karlita yang hujan turun dengan deras, di tempat Leo hujan belum tampak turun namun jelas terlihat gumpalan mendung sejak sore hari.
Leo mencoba menghubungi nomor sang Ayah, namun tak aktif.
Sudah biasa.
Nomor Ayahnya memang tak ada yang aktif yang diberikan pada Leo.
Komunikasi mereka hanya terjalin jika sang Ayah menginginkannya, tak lebih dari itu.
Leo menggeram. Ia sangat benci dengan hidupnya.
Viera menatap Leo dari balik kaca pintu cafe, lalu kemudian beralih pada teman-temannya.
"Ibu Tuan Leo, memangnya di mana dia?"
Tanya Viera.
Semua menggeleng.
Viera jadi ingat Karlita, majikannya yang begitu sedih menginginkan bertemu putranya. Kini ia punya majikan baru yang sedih karena ingin bertemu Ibunya.
Sungguh menyedihkan hidup mereka yang terpisah dari orang-orang yang mereka sayangi. Viera bisa mengerti karena Viera juga merasakan hal yang sama, terpisah dari kakak satu-satunya.
Di tempat lain, Baron dan anak-anak buahnya tengah terbahak dan berpesta minuman keras.
Bonus besar dari pimpinan siap mengalir ke rekening mereka, begitu Baron melaporkan apa yang baru ia lakukan dan kemudian sang pimpinan terlihat tersenyum puas.
"Satu target akhirnya selesai, tinggal anaknya."
Kata Baron lalu terbahak-bahak disambut para anak buahnya yang setuju dengan kalimat Baron.
Sebuah tangan mengepal diam-diam, darah terasa telah mendidih hingga ubun-ubun. Jika Roy nekat menghajar mereka sudah pasti kalah jumlah, dan tentu itu hanya akan sia-sia.
Sungguh bajingan-bajingan ini ingin Roy habisi secepatnya, ia sudah berpikir ratusan kali untuk bisa melepaskan diri dari sana.
Tak ada cara lain dengan pura-pura mati hingga kelak ia dibuang seperti Sapta.
Hanya itu, dan semoga tak ia tak dibuang ke jurang jika ingin tetap selamat.
"Sisanya besok kau urus cecunguk itu."
Kata Baron pada anak buahnya sambil menunjuk Roy yang pura-pura mati di dalam sel.
"Yah besok kita buang saja di pinggiran tol, supaya dikira korban begal."
Kata anak buah Baron.
"Lagipula ia pasti akan seperti Sapta, mati sia-sia dan tak ada yang peduli mencari pembunuhnya."
Kata Baron tertawa.
Roy mengepalkan tinjunya sekali lagi, mulut itu, kelak aku akan menghancurkannya hingga tak mampu lagi mengeluarkan kalimat tak berguna. Geram Roy dalam hati.
**--------**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Alexandra Juliana
Kasihan Karlita blm bertemu putra kesayangannya sdh meninggal lebih dahulu..
2023-05-08
1
Iedha Ady
author ga memberi kesempatan seorang ibu bertemu anaknya dulu..😞
2022-05-31
1
Masniah
serem jg novelnya othor CILAMICI😎
2022-04-09
1