Rose meletakkan sendoknya dengan kasar karena setelah sekian lama dalam kurun waktu satu bulan lebih mereka akhirnya bisa duduk bersama dalam satu meja, Mamihnya masih saja bisa meninggalkan tempat hanya untuk menerima telfon orang lain.
Rose begitu muak dengan kehidupan keluarga mereka selama ini, terutama sejak perselingkuhan Daddy nya dengan salah satu bawahan Mami, dan kini Mami nya bahkan Rose rasa jauh lebih gila dari Daddy nya.
"Kau ini kenapa?"
Tanya Mami kesal menatap Rose, Mami yang baru kembali ke ruang makan setelah menerima telfon dari seseorang itu menatap Rose yang menatapnya kesal.
Luna di sebelah Rose juga hanya memutar-mutar sendoknya saja di atas piring. Ia pun sama sebagaimana kakaknya yang muak dengan kehidupan keluarga mereka, hanya saja Luna tak berani bersuara selantang Rose karena posisinya yang belum jadi apa-apa.
"Apa kamu tidak bisa bersikap seperti Hana?"
Tanya Mami pada Rose sambil menunjuk Hana yang makan dengan tenang setelah berulang kali mengambil gambar kebersamaan keluarga mereka yang palsu.
Rose mendengus.
"Aku bukan orang yang hidup di media sosial."
Kata Rose sinis.
"Orang lain tak peduli hidupmu yang menyedihkan, mereka hanya akan peduli semua hal yang terlihat menyenangkan meskipun itu palsu."
Kata Hana.
"Yah, itu buat kalian yang memang senang hidup dalam kepalsuan."
Tandas Rose.
"Sudahlah, nikmatilah makan malam ini, kenapa harus ribut."
Daddy menengahi.
"Setidaknya kita kumpul sekali dalam sebulan, bersikaplah seolah kita memang satu keluarga yang masih utuh."
Tambah Daddy lagi.
"Utuh apa? Kak Cindy saja tidak ada."
Luna memberanikan diri nimbrung.
Rose berdiri dan bersiap meninggalkan meja makan ketika Mami membentaknya.
"Rose, hentikan sikapmu yang ke kanak-kanakan!"
Mami menatap tajam Rose.
"Kau ini harusnya bahkan sudah menikah, tapi sikapmu masih senang merajuk seperti anak bayi."
Ujar Mami.
Rose mendengus.
"Menikah? Mami tahu usiaku berapa sekarang?"
Suara Rose bergetar.
"Semua temanku bahkan anaknya sudah masuk SMP, dan Mami baru membahas harusnya aku sudah menikah. Memangnya selama ini kalian ke mana saja sebagai orangtua hingga urusan perusahaan semua Rose yang harus urus dan mengabaikan waktu pernikahan Rose sendiri!"
Luna menatap kakaknya dengan iba, baru kali ini ia mendengar Rose mengungkapkan isi hatinya.
Mendengar kalimat Rose yang pedas seketika wajah Daddy tertunduk dan Mami melunakkan suaranya.
"Rose... duduklah, kita bicara baik-baik, jika kau mau menikah sekarang kau belum terlambat, kau masih cantik."
Kata Mami.
Rose membuang muka.
"Cantik. Cantik bukan berarti muda."
Tandas Rose.
"Sama seperti Mami, cantik, bahkan masih sangat cantik, tapi bukan berarti Mami masih muda dan pantas bergaul dengan laki-laki seusia Luna! Itu menjijikan dan Rose muak melihatnya!"
Kata Rose kasar lalu pergi begitu saja meninggalkan meja makan di mana Mami nya kini berdiri sambil memegangi sendok dengan tangan bergetar.
Luna ikut berdiri dan menyusul Rose.
Daddy dan Hana hanya menatap Rose dan Luna yang pergi, lalu kemudian menatap Mami yang wajahnya merah karena menahan amarah.
Daddy kemudian berdiri.
"Kau selalu mengatakan aku tak pantas menjadi seorang Ayah, tapi tampaknya kau jauh lebih tak pantas menjadi seorang Ibu."
Kata Daddy semakin membuat Mami emosi dan kemudian membanting sendok di tangannya, sebelum akhirnya mengobrak-abrik seluruh isi meja.
**-------**
Daddy baru saja masuk ke ruang kerjanya selepas acara makan malam keluarganya kacau balau.
Ia mendapat telfon dari Anton jika rumah pengasingan Karlita diserang dan Karlita tidak selamat.
Brakgh!!
Laki-laki paruh baya itu menghantam meja dengan segenap kekuatannya, matanya memerah antara menahan amarah dan air mata.
"Kita ke sana sekarang!"
Kata Laki-laki itu pada Anton.
Tuan William Calvin Harrys, begitu namanya.
Laki-laki itu keluar dari ruangannya dan berjalan dengan cepat, dua bodyguard yang setia mendampingi mengikuti.
"Mau ke mana lagi kau?"
Teriak Mami.
Laki-laki paruh baya yang masih terlihat gagah itu tak peduli, ia berlalu begitu saja dan menambah menjadi-jadi amukan Mami di ruang makan.
Hujan kini telah sampai di Jakarta. Mobil yang ditumpangi Tuan William meluncur cepat bersama tiga rombongan mobil yang lain. Tujuannya jelas ke rumah pengasingan Karlita.
Pedih, sakit, sesal, marah, semua bercampur menjadi satu.
"Siapa pelakunya?"
Tanya Tuan Will.
"Semua CCTV rusak. Anak buah saya yang bersiap untuk bergantian tugas menemukan semuanya sudah tewas."
Kata Anton.
"Bedebah!"
Tuan Will meradang.
"Jika ini ulah malaikat hitam, siapa sebetulnya otaknya."
Kata Tuan Will.
"Roy harusnya yang sudah bisa menembus masuk, sayangnya ia juga menghilang."
Ujar Anton.
Yah, Roy memang diperintahkan untuk menyusup dan mencari tahu siapa sebetulnya yang ada dibalik pemburuan Karlita dan melibatkan malaikat hitam belakangan ini.
Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, pemburuan Karlita semakin luar biasa sejak malaikat hitam terlibat.
Tuan Will sempat memikirkan kemungkinan jika otak semuanya adalah isteri pertamanya, tapi melihat kelakuannya yang hanya senang bermain dengan daun muda, tentu saja itu tidak mungkin.
Tuan Will tahu isteri pertamanya sangat membenci Karlita karena hubungan terlarangnya dengan Karlita, namun memikirkan kemungkinan isteri pertamanya itu sampai meminta Karlita diburu dan dibunuh itu mustahil.
Ada orang lain. Pasti orang lain. Entah siapa.
Mungkin seseorang yang sama-sama pengusaha dengannya, atau justeru seorang musuh lama dari masa lalu, atau bahkan Leo, musuh Leo yang terus ingin mengincar semua orang yang berhubungan dengannya.
Meskipun...
Karlita selalu mengatakan semua pasti ulah isteri pertama Tuan Will. Karlita selalu mengatakan jika ia diburu karena ia menjadi wanita kedua dalam kehidupan Tuan Will.
Ah! Bedebah!
Tuan Will mengepalkan tinjunya.
Hujan masih deras mengguyur saat akhirnya rombongan mobil Tuan Will sampai di rumah pengasingan Karlita.
Orang-orang bawahan Anton sudah berada di sana.
Tuan Will turun dari mobil, dan bergegas masuk ke dalam rumah.
Ia tercekat mendapati Karlita sungguh sudah tak bernyawa. Perempuan itu tergelatak bersimbah darah.
Tuan Will menghambur dan memeluk Karlita.
Sungguh ia mencintai perempuan itu segenap hatinya. Hanya ia memang tak mampu melakukan apapun untuk membuatnya merasa hidup lebih layak sebagaimana perempuan lain.
Tuan Will menangis.
Ia meraung memanggil nama Karlita.
Berharap perempuan itu akan membuka matanya lagi, dan jantungnya yang tertembus timah panas itu berdenyut lagi.
Tuan Will gagal melindungi sang kekasih, bahkan ia tak tahu siapa yang sesungguhnya bertanggungjawab akan hal ini.
"Karlita... Bangunlah!"
Kata Tuan Will.
"Bangunlah Karlitaaaa!!"
Raung Tuan Will.
Suaranya begitu keras seolah ingin beradu dengan suara derasnya air hujan yang turun ke bumi malam ini.
**----------**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Zuraida Zuraida
bisa berbuat tak bisa menjaga, sia sia khan
2023-07-24
1
Alexandra Juliana
Istri pertamamu Will
2023-05-08
0
Nurwana
itulah karma tuan.....
2022-05-21
0