Ini adalah hari pertamaku bekerja, aku duduk di meja makan dengan menikmati sepotong roti dan segelas susu.
“Bagaimana? Apa yang kemarin itu jadi?” Mama meletakkan secangkir kopi di sebelah Papa.
“Mmm.” Anggukku.
“Yang kemarin apa Ma?” Papa melirik Mama.
“Itu si Mawar ingin bekerja di Kafe Oreano yang terkenal itu Pa.”Mama tersenyum pada Papa.
“Waah, selamat sayangku.” Papa berdiri dan langsung memelukku. Tiba-tiba Jimmy datang dengan sebuah ember ditangannya.
“Apa semuanya sudah selesai di siram?” Mama berdiri dan berbalik kearah Jimmy.
“Iya sudah.” Jimmy meletakkan ember tersebut ke dalam lemari perlengkapan taman.
“Makanya jangan suka ngambil uang Mama. Kau pikir Mama tidak ngitung apa?" Mama berteriak pada Jimmy.
“Issh menjengkelkan.” Jimmy menghentakkan kakinya, lalu naik ke kamarnya.
“Aku berangkat dulu.”Aku berdiri lalu melangkah keluar rumah. Sesampai di kafe Oreano, Pita langsung menyabutku. Pita mengkoordinasi semua karyawan kafe untuk berkumpul.
“Nah, semua sudah berkumpul. Mawar, silakan perkenalkan dirimu.” Pita mempersilahkanku.
“Perkenalkan nama saya Mawar Scott, biasa di panggil Mawar. Saya baru lulus dari SMA. Mohon kerja samanya.” Aku menunduk hormat, sesuai tata cara yang aku baca di google semalam.
“Oh, baru lulus SMA, kok bisa langsung jadi kasir, magang jadi pramusaji dulu lah.” Sindir salah satu karyawan wanita. Dia memakai baju yang sama denganku. Aku membaca papan nama yang tertera di baju seragamnya. Bebeh, menarik, pikirku.
“Kau tau dia lulusan mana? Lulusan SMA Internasional, dia bahkan bisa diangkat sebagai ketua karyawan jika dia mau.” Bebeh sedikit tercengang.
“Hai, namaku Leksi, lalu dia Anita, dan Bebeh, kita berempat akan menjadi kasir.” Sapa seorang gadis berparas manis dengan mata biru dan rambut hitamnya. Mataku masih menatap Bebeh yang tampak tidak suka padaku. Setelah berkenalan, aku langsung diarahkan ke mesin kasir nomor 3.
“Jangan berpikir jika di sini, hidupmu bisa menyenangkan.” Bisik Bebeh padaku ketika hendak melewatiku. Bebeh mengarah berjalan ke mesin kasir nomor 1.
“Mawar, jangan dengarkan dia. Semangat!” Anita menyemangatiku dengan tersenyum padaku.
“Mmmm. Anggukku.”Aku mulai melayani para pelanggan. Ini lumayan melelahkan namun menyenangkan. Jam menunjukkan pukul 12 siang, dimana pelanggan yanga datang sangat ramai.
“Pluk.” Sebuah minuman buble tergeletak di samping tangan kiriku. Aku menoleh dan melihat Pita.
“Untukmu.”Pita tersenyum lalu kembali ke dapur.
“Terima kasih.” Aku kembali melanjutkan pekerjaan. Aku melirik ekspresi Bebeh dari kaca monitor mesin kasir.
“Menarik sekali.” Aku tersenyum. Jam menunjukkan pukul 4 sore, ini saatnya aku berkemas pulang, karena pada malam hari kafe ini berubah menjadi bar.
“Mawar, mau pulang bareng.” Ajak Anita.
“Boleh, aku bawa mobil dan aku parkir di sana.” Aku menunjuk parkiran di sudut gedung kafe.
“Yaaa, aku juga bawa mobil.” Anita tersenyum kecut padaku.
“Ya sudah, barengannya lain kali saja.” Anita mendekat kearahku.
“Hei, kita seumuran loh, tapi kamu harus panggil kakak pada Bebeh dan Leksi, karena mereka 4 tahun lebih tua dari kita.” Bisik Anita padaku.
“Aku juga, kau juga harus memanggilku Kakak karena kau kelahiran 1996, sementara aku tajun 1990, jadi panggil aku Kakak.” Kami berdua menoleh, Pita tiba-tiba muncul dibelakang kami.
“Baiklah Kak Pita.” Aku menunduk hormat.
“Ayo.” Tarik Pita. Aku mengikutinya, dan kami sampai di parkiran.
“Kenapa kau seolah-olah menjauhkanku dari Anita?” Pita melepaskan tarikannya.
“Jangan terlalu berbaur dengan mereka.” Pita mengeluarkan kunci mobilnya.
“Kenapa?” Aku menatapnya heran.
“Satu diantara mereka adalah mata-mata psikopat, bagaimana jika kau tertangkap.” Pita menaikkan satu alisnya, lalu berbalik dan naik ke atas mobilnya.
**
Sesampai di rumah, aku melihat Jimmy yang sudah menungguku seraya berdiri di depan pintu.
“Jadi benar yang dikatakan Mama, dasar gadis penjilat, suka mencari muka.” Jimmy menatapku dengan yang wajah sangat kesal. Aku hanya melewatinya, dan melangkah masuk naik ke kamarku.
“Dengar Mawar, aku akan mendapatkan pekerjaan yang lebih dari dirimu!” Teriak Jimmy dengan sangat keras. Ponselku berbunyi dari saku bajuku. Aku meraihnya dan langsung mengangkatnya.
“Hallo.” Sapaku
“Hallo sayangku, kenapa kau begitu sulit dihubungi? Mau makan malam denganku.” Suara pria lagi, itu membuatku terkejut. Aku memeriksa nomornya. Nomor yang sama dengan nomor waktu itu.
“Hentikan semua ini Arjun, atau aku akan memenggal kepalamu.”
“Oke, nanti jam 8 malam, aku akan menyemputmu tepat di depan pintu rumahmu.” Arjun mengakhiri panggilan.
“Pria gila.” Umpatku lalu melempar ponselku kearah meja belajarku.
Jam menunjukkan pukul 8 malam. Aku meraih pistol yang ada di bawah tempat tidurku.
“Aku tau jika si Arjun ini pasti nekat.”
“Tiit, tiiiit. Tiiiit.” Klakson panjang dari luar rumah.
“Siapa itu? Apa dia sedang mencari masalah?” Aku mendengar suara Jimmy yang keluar dari kamarnya. Aku keluar dari kamarku, lalu mengambil sebuah jaket kulit dari kursi dan turun ke bawah. Aku yakin jika
itu Arjun. Jimmy mengikutiku, sementara aku keluar dengan cepat, lalu naik ke atas mobilnya.
“Apa yang sedang kau lakukan?” Kencamku dengan menodongkan pistol kearah kepalanya. Arjun hanya menatapku dengan menaikkan kedua bahunya.
“Ayo pergi.” Ajaknya dengan tersenyum hangat. Aku sadar, jika dia jauh lebih berpengalaman dari pada diriku, apalagi soal pistol ini. Dia pasti juga punya rasa takut, sama seperti yang aku rasakan. Dengan pelan, aku menurunkan todonganku.
“Kenapa? tembak saja.” Ia tetap santai dan fokus pada jalan.
“Dengar, aku tidak tertarik untuk berkencan denganmu. Masalah chip itu,” Arjun memberhentikan mobilnya, lalu menoleh padaku.
“Apa? kau pasti menginginkan chip itukan.” Arjun menempelkan satu jari telunjuk tangan kirinya pada bibirku, lalu tersenyum dan meletakkan jari telujuk tersebut di bibirnya, itu membuatku terdiam.
“Anggur, manis sekali.” Ia seperti meramal lip gloss yang sedang aku gunakan.
“Apa yang sedang kau lakukan?” Aku menatapnya dengan tatapan kesal.
“Aku tidak membutuhkan chip tersebut. Aku hanya membutuhkan dirimu, untuk menjadi teman hidupku.” Aku menggeser tubuhku kearah pintu, dan berusaha menjaga jarak. Sepertinya dia sudah gila.
“Cih, ********.” Aku memalingkan wajahku lalu sedikit meliriknya, itu membuatnya tersenyum. Arjun kembali melajukan mobilnya dan berhenti di sebuah butik terkenal, yaitu Butik cansel.
“Kenapa kita ke sini?” Aku memperhatikan halaman depan Butik terkenal ini.
“Kita tidak mungkin pergi berkencan dengan pakaian seperti ini.” Arjun melirik bajuku dan turun dari mobil.
“Dia menghina bajuku, dasar.” Umpatku dengan hanya berdiam diri. Arjun membuka pintu mobil, dan mengajakku turun.
“Ayo.” Ajaknya dengan mengulurkan tangan kanannya. Senyumannya seperti membiusku. Ada apa dengan senyumannya itu, baru kali ini aku menemukan senyuman sehangat itu. Arjun menggenggam erat tanganku, dan mengajakku masuk ke dalam butik mahal ini. Ia memberi kode pada seorang pelayan, dan pelayan itu langsung memintaku untuk mengikutinya.
“Apa ini?” Aku menoleh pada Arjun, sementara ia hanya membalasku dengan senyum hangatnya itu lalu mendorong pelan bahuku supaya mengikuti pelayan butik ini.
“Nyonya Mawar, ini baju anda. Aku akan menutup tirai in, anda bisa berganti baju di sini. Aku akan menunggu di luar.” Pelayan itu pergi meninggalkanku. Aku melihat sebuah gaun berwarna merah maron panjang, dengan payet tangan di sekitar dada dan lengannya. Aku terdiam lama, lalu mendengar sebuah bisikan.
“Pakailah, atau aku akan melakukan hal gila lainnya.” Bisik seseorang dari balik tirai. Aku mencari sumber bisikan.
“Apa yang akan kau lakukan jika aku tidak mau memakai gaun ini?” Bisikku balik.
“Aku akan menemui orang tuamu, dan menceritakan semuanya.” Bisiknya, Arjun biadap sedang mengancamku, itu membuatku langsung mengenakan gaun ini. Setelah aku selesai mengenakan gaun ini, aku berdiri di depan cermin panjang yang ada di belakangku.
“Siapa aku sebenarnya?” Tiba-tiba Arjun sudah berdiri di belakangku dan memelukku dengan pelan.
“Mmmm, hangat.” Arjun bersandar pada bahuku.
“Hentikan ini Arjun, lepaskan pelukanmu.” Aku berusaha melepaskan pelukan Arjun.
“Mmmm, tunggu sebentar, sebentar saja, aku mohon. Ini kali pertamanya aku memeluk seorang gadis.” Permohonannya membuatku terdiam.
“Baiklah, hanya 5 menit.”Arjun mempererat pelukannya.
“Mawar, apa benar namamu Mawar?” Bisiknya.
“Iya, aku Mawar berduri, Apa kau mau merasakan duriku?”
“Apa itu sebuah duri cinta?” Aku merasakan debaran jantung Arjun yang berdebar sangat kencang. Spontan, aku melepaskan pelukannya.
“Mawar, tidak mengenal cinta.” Aku menatapnya dengan tatapan ingin membunuh, lalu meninggalkannya. Ketika aku berjalan ke luar butik, seorang wanita muda menghentikan langkahku.
“Tunggu.” Nada suara yang tidak asing di teligaku, membuatku menoleh padanya. Matanya coklat muda, Alisnya tajam dengan hidung mungil, seimbang dengan bibirnya tipisnya. Rambut panjangnya tergirai indah menutupi belahan dadanya yang tampak seksi. Bentuk wajah lonjong tirus, seperti seorang gadis yang pernah aku lihat tapi entah dimana. Gaun merah yang ia kenakan memberikan symbol jika dia bukan sembarangan orang.
“Iya, ada apa?”
“Kau menginjak antingku.” Aku mengangkat kakiku, dan benar sebuah anting berlian ada di bawah kakiku.
“Aaah maaf, aku tidak melihatnya.” Aku mengambil anting tersebut dan memberikannya pada wanita muda ini.
“Kenapa kau yang meminta maaf?’ Ia tersenyum dengan lembut, itu membuatku betah untuk melihat wajahnya. Seorang pria tua yang berada di antara kami sedikit heran melihat senyumannya.
“Hai Mama mertua, Apa kabar?” Sorak Arjun dari belakangku. Aku menoleh pada Arjun, dan menatap wanita muda ini. Mama mertua? Tanyaku dalam hati.
“Dimana gadis yang kau katakan itu?” Wanita muda mengeluarkan nada suara dingin, seraya memasang anting berliannya. Aku merasakan jika di sini, hawa dingin tengah berusaha mencekamku. Karena aku sudah yakin,
gadis yang di tanyakan wanita ini adalah aku. Arjun memberikan kode mata pada wanita muda ini, dengan artian itu adalah aku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments