Aku sampai di rumah, dan langsung memasukkan mobil ke dalam garasi. Setelah selesai, aku langsung mengeksekusi 4 kepala manusia ini. Aku turun dan berjalan cepat ke ruang bermainku, sembari membawa
kepala para korban kekejianku. Sesampai di ruang kerjaku, aku mulai masuk ke ruang operasi dan mengeluarkan satu persatu kepala mereka. Pertama,aku mengeluarkan kepala Alin.
“Lihat-lihat. Bahkan, pada saat terakhirmu, mata ini tetap menatapku dengan tatapan menjengkelkan.” Aku menekan bola mata Alin yang terbelalak.
“Jika saja kau tidak mengatakan perihal darah, kau pasti masih hidup.” Bisikku dengan membawa kepala Alin ke wastafel dan mulai membersihkan noda darah di seluruh kepalanya. Setelah selesai, aku langsung mengambil secarik kertas, sebuah pena lalu mulai membuat surat pernyataan.
Surat Pernyataan
19 April 2014. Aku, Mawar Scott, dengan ini menyatakan jika aku telah menjadi saksi kematian Alin Pratiwi. Semua ini berawal ketika Alin mengetahui noda darah yang berada di dinding perpustakaan. Aku yang curiga jika dia adalah saksi dari pembunuhan Si Dekan Muda, langsung mengambil jalan untuk membunuhnya. Aku mendatangi rumah Alin, dan menunggu Alin di kamarnya. Aku menunggu begitu lama, dan ketika Alin mengetahui maksud kedatanganku, Alin berlari kencang tergelincir hebat di tangga rumahnya. Ia meregang nyawa setelah darah segar keluar dari mulut, telinga, dan hidungnya. Di penghujung ajalnya, ia sempat meminta tolong, namun aku hanya menatapnya dan malah menghantamnya. Ketika aku hendak ingin memutilasinya, 3 pencuri datang dan mengetahui aksiku. Salah satu dari mereka menodongkan pisau kearah pertutku. Dengan sigap aku, langsung menahannya dengan tanganku, lalu mengarahkannya ke perut Alin. Darah segar bercucuran keluar dari tubuhnya yang masih panas. Mereka bertiga terkejut, dan ingin membunuhku. Dengan perlawanan sengit aku berhasil menang. Mereka bertiga juga ikut mati di tanganku. Kalian tau, setelah itu aku langsung memutilasi kepala mereka, dan memasukkannya ke dalam kantong kresek hitam besar. Lalu, untuk menghilangkan barang bukti, aku menyusun tubuh mereka di dekat tabung gas, dan melekatkan peledak di sekitar mereka. Setelah itu, aku berjalan menuju mobilku, dan mulai meledakkan rumah Alin. Kembang api yang indah sangat menghiburku. Oke, sekian
pengakuanku. Semoga kalian semua berbahagia.
Yang Menyatakan.
Mawar Scott.
Aku mulai melipat surat pernyataan ini, dan memasukkannya ke dalam plastik bening dan meletakkannya ke dalam mulut Alin.
“Ini adalah cerita, untuk keadilan hidupmu. Keadilan? Cih, jangan pernah mengharapkan itu.” Aku mengambil benang nilon dan jarum lalu menjahit mulut Alin. Aku membawa kepala Alin ke ruang utama. Aku menggeser tangga dan meletakkan kepala Alin ke dalam tabung yang berada tepat di sebelah tabung yang berisi kepala Si Dekan Muda.
“Kau akan menunggu di sini. Air pengawet ini akan mengawetkan kepalamu.” Aku turun dengan pelan dan memandang puluhan tabung kaca yang masih berjejer rapi.
“Apa aku akan mengisi semua tabung ini dengan kepala manusia? Tapi, bagaimana jika nanti aku lupa dengan nama mereka. Aha, aku punya ide.” Aku langsung melangkah mengambil kertas, spidol merah, dan sebuah lakban. Aku mulai menulis nama mereka, dan menempelnya di luar tabung kaca.
“Nah, jika seperti ini, aku bisa menyapa kalian.” Aku tersenyum lalu kembali masuk ke dalam ruang operasi untuk
membersihkan 3 kepala lainnya.
“Iiish, hidup kalian sudah susah, dan kalian juga membuat orang lain susah.” Aku membersihkan noda darah di kepala mereka secara satu persatu. Ada satu diantara mereka yang memiliki rambut panjang tak terurus, dan itu membuatku risih. Aku melirik ke samping dan meraih sebuah gunting lalu menggunting rambutnya. Ketika aku memotong rambut di bagian belakangnya, aku melihat sebuah benjolan yang lumayan besar.
“Waah, jadi ini kegunaan rambut panjangmu ini. Benjolan ini, pasti sangat menyakitkan. Baiklah, coba kita lihat apa isinya.” Aku mengambil sebuah pisau bedah, lalu mulai membelah benjolan tersebut. benjolan tersebut berisi cairan nanah bercampur darah yang berbau amat busuk. Ketika aku berusaha mengkorek habis cairan busuk tersebut, sebuah benda keluar di selimuti gumpalan nanah beku.
“Apa ini?” Aku mengambil sebuah pingset dan mencapit benda tersebut lalu mulai membasuh benda tersebut dengan air mengalir.
“Benda ini seperti kartu memori. Wah, jadi kau menyembunyikan ini di kepalamu. Sepertinya kau orang yang berbahaya.” Aku dengan memandang penuh pada kartu memori tersebut.
“Cih, lebih berbahaya mana dari pada aku. Buktinya, kau habis di tanganku.” Aku meletakkan kartu memori tersebut di sebuah piring kecil berbentuk cembung di tepi wastafel. Setelah selesai membersihkan darah dan menyikat rambut mereka, aku langsung memasukkan kepala mereka ke dalam tabung kaca dan memberi nama, Pencuri 1, Pencuri 2, dan Pencuri 3.
“Aaah, Kenapa aku sangat mengantuk?” Aku melirik jam yang berada di dinding ruang bermainku. Jam menunjukkan pukul 5 pagi.
“Astaga, pantas saja.” Aku berjalan terhuyun-huyun masuk ke dalam rumahku, lalu terkapar di kamarku.
**
“Kriuuuk.” Suara perutku membuat mimpi indahku terganggu.
“Aaah, aku masih ingin tidur.” Aku menarik selimutku.
“Kruiiuuuookk.” Suara perutku menjadi-jadi, membuatku langsung duduk.
“Kadang kau juga tidak tau jika mata ini masih ingin tidur.” Aku membuka mataku dan melirik jam di dinding kamarku.
“Sudah jam 3 sore. Pantas saja.” Aku berdiri lalu merapikan tempat tidur. Sebuah benda jatuh ketika aku hendak melipat selimutku. Aku mulai meraihnya.
“Suntik ini, suntik yang ingin aku gunakan untuk melenyapkan Alin.” Aku memasukkan suntik tersebut ke dalam saku bajuku dan langsung berjalan ke kamar mandi untuk membasuh wajahku. Aku merasakan rasa geli di telapak tangan kiriku. Aku melihat, sebuah luka robek yang lumayan dalam.
“Aaah, ini adalah luka karena pencuri kemarin. Lumayan juga.” Aku menatap cermin yang berada di hadapanku.
“Astaga, apa ini?” Aku melihat luka lebam di bagian mata kiriku. Aku kembali mengingat salah satu pencuri memukul wajahku dengan sangat kuat.
“Sial, ini sangat berbekas.” Aku berjalan ke bawah untuk mencari make up Mama dan memakainya untuk menutupi luka lebamku.
“Nah, selesai.” Ucapku dengan tersenyum manis di depan meja rias Mama. Aku melirik tanganku yang tampak meminta tolong.
“Baiklah, aku akan memberimu obat.” Aku melangkah mencari obat merah di rak Obat yang berada di dapur. Setelah selesai, aku langsung mengambil roti tawar dan segelas susu di dalam kulkas lalu membawanya ke depan televisi.
“Kenapa televisi ini sudah menyala? Perasaan aku baru turun. Apa mungkin ada hantu di rumah ini? Aaah, aku tidak peduli.” Aku duduk di depan televisi, dan mulai menikmati makan siangku.
“Apa berita hari ini? aku penasaran dengan kabar Alin. Apa mungkin polisi mengetahui jika itu adalah pembunuhan?” Aku mengganti chanel televisi. Benar, sekarang adalah jam tayang berita sore.
Di berita itu, aku melihat jika rumah mewah Alin sudah rata dengan tanah.
“Waah, waaah, aku memang hebat.” Aku tersenyum bangga atas kerja kerasku.
Dan lagi, polisi menyimpulkan jika ini adalah kecelakaan akibat ledakan tabung gas. Dan berkemungkinan, korban yang tewas lebih dari 2 orang.
“Ada 4 orang bodoh, dan akulah yang membunuh mereka. Ahahaha.” Tawaku menggema, menghiasi sekeliling rumah.
“Tok. Tok. Tok.” Tawaku terhenti ketika aku mendengar ketukan pintu dari arah depan.
“Kenapa dia mengetuk pintu? Apa belnya sudah rusak?” Aku berdiri dan berjalan ke depan, lalu membuka pintu.
“Kevin.” Ia tersenyum manis padaku. Kenapa dia datang kesini? Sementara dia tau jika Jimmy sudah berangkat ke Jerman. Aku mulai curiga dengan senyumannya itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Anjelo,,JJ
jgn tertipu mawar,hbisi sja jga tu si kevin😄😄😄
2020-04-21
4