Aku memasak daging Si Dekan muda dengan melihat resep di google.
“Aku tidak sabar untuk mencobanya.” Aku memakan daging Si Dekan muda, rasanya sangat luar biasa. Jauh lebih gurih dari yang aku kira. Aku memakan dengan lahap semua daging yang aku masak.
“Aaaakkk.” Aku bersendawa. Astaga, aku menghabiskan lebih dari 3 piring daging tumis si Dekan muda.
Tanpa aku sadari jam menunjukkan pukul 8 malam.
“Mungkin tadi, aku terlalu lama sewaktu mengurus kepala Si Dekan muda. Aaaah, aku sangat lelah.” Aku berjalan naik ke lantai atas dan masuk ke kamarku. Hidup ini, mulai terasa menyenangkan.
**
“Tok,tok,tok.” Gedoran pintu di pagi hari.
“Mawar! Bangun!” Sayup-sayup terdengar suara seorang perempuan dari balik pintu kamarku. Aku mulai membuka kedua mataku secara perlahan.
“Mawar! Kau tidur atau mati sih!” Teriaknya lagi dengan menggedor-gedor pintu.
“Jimmy?” aku langsung duduk dan membuka pintu kamarku.
“Kau sudah pulang.” Aku melihat penampilan barunya. Ia menggunting rambutnya sama pendek dengan rambutku.
“Bagaimana dengan gaya rambut baruku?” Tanyanya dengan berpose gaya foto model.
“Kenapa kau memotong rambutmu?” .
“Supaya bisa mirip denganmu. Ayo turun, Mama sudah membuat sarapan.” Ajaknya dengan ramah padaku. Aku mengikutinya dari belakang. Aku melihat gaya bajunya, persis sama denganku. Biasanya dia selalu menggunakan
celana pendek seksi, tapi sekarang menggunakan dress pendek milikku. Apa lagi ini? pikirku dengan menelan ludah, dan tersenyum kecut.
“Pagi sayang, duduklah mama sudah buatkan sarapan yang enak.”Mama menyapaku dengan ramah. Aku melihat menu pagi ini, daging, apa mungkin?
“Mama, Apa Mama memasak daging yang ada di kulkas?” Jimmy dan Papa melirikku.
“Iya, memangnya kenapa?” Mama menoleh padaku.
“Aaah, tidak. Aku hanya bertanya.” Aku duduk di sebelah Jimmy. Mama duduk di samping Papa, dan langsung mencicipi masakannya.
“Mmmm, daging empuk penuh citarasa gurih. Dimana kau membeli daging ini?” Mama tampak sangat menyukai daging manusia ini.
“Di supermarket depan.” Aku mengambil piring, dan mengambil 2 sendok nasi. Kami berempat mulai menyantap daging Si Dekan muda. Aku memperhatikan Jimmy yang begitu lahap memakan daging kekasih gelapnya. Sementara Papa makan sambil membaca Koran.
“Jimmy, bukankah Joni Mahendra itu adalah Dekan di sekolahmu. Menyedihkan sekali.” Papa membaca lebih rinci berita yang ada di Koran.
“ Iya, Pa. Ada apa memangnya Pa? Apanya yang menyedihkan?”Jimmy melirik heran pada Papa.
“Mobilnya meledak di lapangan parkir sekolahmu. Apa kau tau itu Mawar?” Papa menatapku.
“Mmmm.” Anggukku, Sementara Jimmy langsung merebut Koran tersebut dari tangan Papa dan mulai membacanya.
“Ini tidak mungkin. Aku tidak percaya ini.” Jimmy membaca berita wajah sedikit syok.
“Itu benar, menurut berita tubuhnya hancur dan hanya menyisakan 2 tangan dan 1 kaki.” Aku mengunyah makananku, dan meminum air putih yang ada di gelas biru di samping tangan kiriku.
“Aku harus pergi melayatnya.” Jimmy meletakkan Koran tersebut, lalu bangun dari tempat duduknya, dan berlari ke kamarnya untuk berganti baju.
“Mawar, apa kau tidak ikut?” Tanya Mama.
“Tidak, aku tidak tertarik.” Jawabku dengan tersenyum manis, lalu memakan makananku dengan lahap. Papa dan Mama sepertinya sudah tau maksud ucapanku, dan kembali melanjutkan sarapannya.
**
Malampun tiba. Aku, Mama, dan Papa asyik menikmati drama sore di televisi.
“Ini sudah jam 9, kenapa Jimmy masih belum pulang?” Papa mengambil beberapa chiki di tangannya.
“Sebentar lagi mungkin.” Mama mengambil ponselnya yang ada di atas meja.
“Aku pulang.” Jimmy tiba-tiba muncul di samping televisi.
“Sejak kapan kau berdiri di sana?” Aku menatap heran padanya.
“Barusan.”
“Kenapa lama sekali?” Papa menatap tegas pada Jimmy. Jimmy duduk di depanku, lalu meletakkan tasnya diatas meja.
“Aku berbincang lama dengan keluarganya. Oh ya Pa, ada sesuatu yang janggal dengan kematian Pak Joni. Jika itu kecelakaan, kenapa potongan kepala dan bagian tubuhnya tidak ditemukan? Dan juga, tidak ada yang bisa dijadikan bukti jika itu adalah kasus kecelakaan.” Jimmy begitu menikmati ceritanya, hingga membuatku menatapnya.
“Jadi maksudmu itu adalah kasus pembunuhan. Bisa saja bagian tubuhnya hangus terbakar. Itu hanya cerita keluarganya yang butuh keadilan. Sudah jelas itu kecelakaan, karena menurut saksi, sehari sebelum kecelakaan, mobilnya sempat bermasalah. Jelas-jelas yang tinggal hanya kerangka mobil dan cairan minyak tubuhnya.” Mama yang merasa tau, mengganti siaran televisi ke berita hari ini. Memang benar, semua warga negara sedang sibuk membicarakan kecelakaan tersebut.
“Aaaah, kenapa yang diberita berbeda dengan yang diceritakan keluarganya.” Umpat Jimmy dengan mengepalkan tangannya.
“Lihatkan, kasus ini sudah ditutup dengan kasus kecelakaan.” Mama menunjuk siaran telivisi, itu membuatku tersenyum bahagia.
“Kenapa kau begitu peduli ha? lihat Mawar, dia santai saja.” Papa melirik Jimmy dengan sorot mata curiga.
“Sudahlah Pa.” Sahutku dengan tersenyum sinis pada Jimmy.
“Mawar, ada apa dengan senyumanmu itu?” Jimmy menatap tajam padaku.
“Ini adalah senyumanku, apa kau lupa?” Aku melebarkan senyum mengerikanku.
“Aaah, aku tidak ingin berdebat dengan dirimu. Oh iya, sepertinya dengan kasus yang terjadi pada sekolah kita ini, akan sulit bagimu untuk mendapatkan hak istimewa di Universitas lokal.” Jimmy memangku kedua tangannya lalu menaikkan sedikit dagunya.
“Khawatirkan saja dirimu. Mawar bisa mendapatkan apapun yang dia inginkan dengan kepalanya sendiri.” Mama membuat Jimmy mengentakkan kakinya, lalu berdiri kesal.
“Setidaknya, kuliahlah dengan baik. Mawar akan mendaftar di Universitas yang ada di LA. Papa sudah memasukkan berkasnya.” Aku menatap Papa dengan wajah tidak percaya.
“Apa? Ahahaha itu tidak mungkin.” Jimmy menunjuk Papa.
“Aku ini Papamu, apa yang tidak mungkin untuk anakku.” Papa sedikit melirik Jimmy lalu kembali fokus pada televisi.
“Aku tidak mau Pa. Aku ingin di sini.” Papa menoleh padaku.
“Mawar,” Mama menaikkan nada suaranya.
“Tak apa Ma. Aku suka berada di rumah ini.” Aku tersenyum manis.
“Apa tidak akan ada kata sesal nantinya?”Papa menatapku dengan tatapan tegas.
“Mmm, aku tidak akan menyesal.” Aku balik menatap Papa dengan tatapan tegas, lalu berdiri.
“Aku tidur dulu.” Aku berjalan ke kamarku.
“ Jika aku tau Papa bisa membantu, aku pasti akan masuk Universitas di LA.” Jimmy berjalan dibelakangku. Aku langsung menghentikan langkahku, dan berbalik.
“Kalau begitu, kau bisa menggantikanku untuk itu.”
“Apa maksudmu? Mawar, kau ini benar-benar aneh. Semua orang sangat ingin kuliah di luar negeri. Sementara kau, Papa sudah memberimu kesempatan dan kau dengan sombongnya menolak semua itu secara mentah-mentah.” Aku berjalan dua langkah ke hadapannya.
“Kesempatan? Menolak mentah-mentah? Sombongnya? Hehey, lihat gaya bicaramu ini. Seharusnya, kau berhati-hati padaku. Aku bisa saja menuntutmu karena ini, tapi itu terlalu mudah untukmu mengingat si Joni sudah mati, jadi tidak asyik lagi jika aku mengeluarkan bukti-bukti yang sudah kalian hilangkan.” Bisikku padanya membuatnya mundur satu langkah. Ia tampak ketakutan dengan kakinya yang gemetar. Aku kembali melangkah selangkah maju ke depannya. Aku meletakkan wajahku tepat di depan wajahnya.
“Aku harap kau bisa bertahan di sana, mengingat sistem drop out yang mematikan.” Aku tersenyum licik bahagia.
“Mawaaar!” Teriaknya.
“Apaa?” Teriak balikku.
“Beraninya kau mengeluarkan kata-kata seperti itu padaku!” Teriaknya lagi.
“Tentu saja berani. Aku inikan adikmu, aku bisa mengalah untukmu.” Bisikku dengan tertawa tanpa suara.
“Aiiih.” Jimmy tampak kesal lalu berlari masuk ke dalam kamarnya.
**
Paginya aku bangun dan melirik hanphoneku.
“Hari ini, hari perpisahan.” Aku melirik jam yang ada di dinding kamarku. Jam menunjukkan pukul 8 pagi.
“Aaahhm, aku harus bersiap-siap.” Aku langsung melangkah bangun dan mulai bersiap. Setelah seselai bersiap-siap, aku langsung turun ke bawah.
“Mawar, sarapan dulu.” Sorak Mama.
“Tidak usah Ma, aku sudah terlambat.” Sahutku, aku melirik Jimmy yang tampak anggun dengan kebaya berwarna biru tua.
“Kenapa kau memakai seragam sekolah? Cih, dasar.” Jimmy melemparku dengan wajah cemooh.
“Kenapa memangnya?” Jimmy memberikanku selembar pengumuman, ternyata perpisahannya menggunakan kebaya modern.
“Ya sudah, aku tidak jadi pergi.” Aku bebelok ke ruang makan dan duduk di meja makan, lalu mulai menikmati sarapanku.
“Kenapa? bajumu ada di sana. Gantilah, acaranyakan 20 menit lagi.” Papa menunjuk sebuah tas padaku, aku meliriknya dan langsung memeriksanya. Aku terpana ketika melihat kebaya modern dengan payet di sekeliling bagian tubuh dan lengannya. Dan juga, warna merah mewah membuatnya sangat istemewa.
“Woaaah, bukankah itu kebaya yang paling mahal yang di pajang di patung paling depan di butik ternama yang kita kunjungi waktu itu. Papa! Ini tidak adil!” Rengek Jimmy dengan wajah mengesalkan.
“Bukankah Papa sudah memintamu untuk memilih, dan kau malah memilik kebaya yang ini. jadi salah siapa? Karena Mawar tidak ikut, makanya Papa memilih yang itu untuknya. Jangan berbicara jika Papa tidak adil. Kau sendiri yang membuat keputusan.” Papa dengan cuek kembali menikmati sarapannya, itu membuat Jimmy tercengang.
“Awalnya aku menginginkan ini, tapi aku kira Papa tidak akan mau membelikannya, dari pada aku malu, lebih baik aku memilih yang ini.” Jelas Jimmy dengan wajah penuh amarah.
“Apa kau mau berganti denganku?” Aku menoleh pada Jimmy, membuat Jimmy memancarkan mata penuh harapannya padaku.
“Tidak Mawar, jika kau memberikan ini pada Jimmy, itu berarti kau tidak menghargai Papa!” Aku menatap tatapan tegas Papa, dan langsung melangkah berbalik ke kamarku untuk berganti pakaian.
“Woaaah, kau benar-benar indah.” Aku memuji kebaya merah ini, dan mengenakannya. Aku berdiri di depan meja riasku.
“Waaahh, apakah ini benar-benar diriku?” Tiba-tiba Jimmy datang menerobos kamarku.
“Waaah, benar-benar cantik. Kenapa? Kenapa kau begitu lebih dariku?” Teriaknya padaku.
“Itulah diriku. Pemisi, aku harus pergi.” Aku keluar melangkah melewatinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments