Aku berjalan santai ke ruang ujian. Di tengah perjalanan, Luci menghentikan langkahku.
“Mawar, apa yang terjadi dengan kakimu?” Luci menatapku dengan wajah prihatin. Aku langsung menunduk dan melihat kakiku. Ternyata, lututku terluka karena Kevin mendorongku terlalu keras.
“Ah ini, tadi aku terjatuh.” Aku tersenyum lalu mengusap darah yang bercucuran di lutut kiriku.
“Bukankah itu sangat sakit? Ayo kita ke uks dulu.” Luci menarik tanganku. Kami sampai di Uks dan Luci langsung menyuruh Dokter Vena untuk segera mengobati lukaku.
“Astaga Mawar.”Dokter Vena yang langsung membersihkan lukaku.
“Aku rasa darah yang keluar cukup banyak, dari luka ini. Ini bukan luka lecet, malahan lukanya udah sobek. Sepertinya, kau terjatuh di aspal yang memiliki kerikil tajam. Iyakan Dok.” Luci menatap perih pada lukaku. Sementara aku hanya tersenyum.
“Kau tersenyum, apa ini tidak sakit?” Dokter ini menatapku dengan tajam. Aku menggeleng dengan manis.
“Dibanding manusia lainnya, kau mungkin cukup kuat. Aku akan sedikit menjahitnya, mungkin kau akan merasakan sedikit rasa ngilu.” Dokter Vena mengambil sebuah jarum.
“Tidak akan, dari tadi aku hanya merasakan rasa geli di lukaku. Tidak masalah. Ahahahaha.” Tawaku membuat mereka berdua terdiam.
“Mawar, apa kau baik-baik saja? Apa sewaktu jatuh tadi, kepalamu juga terbentur?” Luci memeriksa kepalaku dengan wajah yang sangat cemas.
“Aku baik-baik saja.” Aku menepis tangan Luci dengan tersenyum imut.
“Luci, bisa ambilkan kasa steril di lantai atas.”Dokter Vena tetap membersihkan lukaku.
“Oke, akan aku ambilkan.” Luci berlari ke lantai atas.
“Apa kau memiliki masalah di rumahmu?” Tanya Dokter Vena padaku.
“Huuummhaaaah.” Aku menghela nafasku dalam-dalam, dan menghembuskannya secara pelan. Menurutku, semua yang terjadi padaku adalah hal pribadi yang harus aku telan sendiri. Aku langsung menjawabnya dengan sangat mantap.
“Tidak.”
“Aku memiliki firasat, jika kau akan menjadi orang yang sangat berbahaya nantinya.”
“Deg.” Ucapan Dokter Vena membuat jantungku berdegup kencang, dan itu membuatku menatapnya dengan tatapan tajam.
“Apa maksud Dokter?”
“Hanya firasat, aku harap mereka semua, hanya orang-orang yang bersalah. Kau pasti akan mengerti ucapanku ini nanti, pada waktunya.” Jawabnya dengan tersenyum membuat tanda tanya di kepalaku. Dia hanya seorang Dokter. Tapi tampaknya, dia sedang meramal masa depanku.
“Waktunya?” Tanyaku lagi. Luci datang dengan membawa kasa steril.
“Ini Dok.” Luci meletakkannya di sampingku. Mataku masih tertuju pada Dokter Vena.
“Sudah selesai. Sesampai di rumah kau harus mengganti kasanya. Ini, bawa saja.” Dokter Vena memberikan lebih kasa steril padaku.
“Tiiing, ttttooooooong.” Bel ujian pertama di mulai.
“Mawar, ayo. Terima kasih Dok.”Luci mengajakku menuju ruang ujian. Aku menoleh ke belakang, Dokter Vena masih menatapku. Apa maksud ucapannya tadi? Aku jadi penasaran.
**
Ujian pertama selesai. Aku berhasil menyelesaikan ujian dengan sangat amat baik. Semua soal terasa begitu sangat mudah. Aku mulai berkemas untuk pulang. Ketika aku berjalan keluar ruang ujian, aku melihat Jimmy sedang berlari-lari kecil di lorong kelas.
“Apa ini? Bukankah kakinya terluka parah?” Tanyaku dengan sangat kesal.
“Hmmhaaa.”Aku menghela nafas, lalu berbalik badan dan berupaya untuk tidak memperdulikannya. Tapi, hatiku berkata lain. Dia tampak sangat cemas akan sesuatu. Aku mulai berjalan pelan dan mengikutinya dari belakang. Ia berbelok kearah kiri lorong. Itu adalah lorong bagian dekan. Jimmy berhenti lama di depan kantor si dekan muda. Dekan sekolah yang masih berusia 28 tahun. lajang, dan sangat tampan. Aku melirik tanda informasi yang
tergantung di atas jendela.
“Joni Mahendra.” Aku langsung menginting di sela pintu.
“Astaga, sepertinya aku salah lihat.” Aku kembali menangkaskan penglihatanku. Jimmy, sedang bercumbu mesra dengan Pak Joni. Aku begitu terkejut, dan langsung menutup rapat mulutku dengan kedua tanganku. Mereka begitu panas, hingga tak peduli dengan siapapun. Hubungan macam apa ini? guru dan murid yang masih berusia belasan tahun. Aku menikmati desahan demi desahan Jimmy dari balik tiang yang berada di depan ruangan Pak Joni. Setelah hampir 2 jam, Jimmy keluar dengan tersenyum licik dan melangkah pergi. Sementara Pak Joni tampak terkulai lemas di ruangannya.
“Gadis jahanam.” Aku menatapnya dengan tatapan jijik, lalu kembali berjalan dibelakangnya. Ia tampak berbelok ke arah kelasnya dan mengambil tas, lalu meraih ponselnya.
“Ya, Papa. Aku sudah pulang. Bisa jemput aku Pa.”
“Okee, aku tunggu di depan gerbang ya Pa.” Jimmy berjalan menuju gerbang. Aku masih mengikutinya dengan langkah sangat pelan dan santai. Aku melihat Papa datang dan langsung memeluk Jimmy. Itu adalah hal yang paling aku inginkan selama hidupku. Sepulang sekolah, di jemput Papa dan sebuah pelukan hangat penyemangat
hidup. Papa tampak heran pada Jimmy.
“Jimmy, apa kau menunggu lama nak?” Tanya Papa. Jimmy menggeleng.
“Kau tampak pulang telat. Ada apa?” Tanya Papa.
“Tadi, aku belajar dulu Pa. soalnya, kalau dirumah kurang konsen.” Jawabnya dengan tersenyum imut.
“Cih.” Aku berdecih di balik tiang gerbang. Belajar, apa yang sedang dia pelajari. Pelajaran biologi mungkin. Jimmy naik ke atas mobil dan pulang bersama Papa. Aku memperhatikannya dengan pasti, hingga mobil itu berbelok menghilang di penghujung jalan.
“Jimmy, kau akan hancur.” Aku berjalan menuju halte bus.
**
Aku sampai di rumah. Hujan yang amat deras membuatku basah kuyup. Ketika aku masuk ke dalam rumah, aku melihat pemandangan yang tidak biasa. Jimmy tampak bersimpuh di lantai dengan secarik kertas di tangannya.
Sementara Papa dan Mama tampak diambang keraguan yang mendalam. Aku melirik isi kertas tersebut, dan melihat beberapa matrai tertempel disana. Sementara Jimmy, langsung membalik kertas tersebut dan berdiri.
“Kenapa? kau sudah basah kuyup, pergilah ke kamarmu!” Jimmy, menyembunyikan kertas itu dibalik tubuhnya.
“Mawar, kenapa kau pulang terlambat?” Mama menatap sendu padaku.
“Busnya lama Ma.” Aku melangkah naik ke kamarku.
“Scott, apa tadi kau meninggalkan Mawar?” Mama berteriak dengan nada emosi pada Papa.
“Aku tidak tau jika dia juga belum pulang. Tadi aku sudah memperhatikan halte bus, dia tidak ada di sana.” Papa terdengar mengiba.
“Bagaimanapun juga dia adalah anak kita.” Ucapan Mama, membuat air mataku jatuh. Aku mempercepat langkahku dan mulai menutup pintu kamar.
“Papa, Mama, aku mohon. Jika aku tetap disini, aku pasti bisa gila. Aku mohon Pa, Ma.” Permohonan Jimmy sayup-sayup dari kamarku. Entah apa yang sedang mereka bertiga rundingkan. Sepertinya, Jimmy ingin pergi jauh sepertiku. Tapi itu, tidak mungkin untuknya, menyedihkan.
**
Pagi yang cerah, setelah semalaman belajar dengan mati-matian, aku bangun dengan penuh gairah untuk mengisi lembar jawabanku nantinya. Aku mandi, dan mulai bersiap untuk berangkat ke sekolah. Aku turun denagn santai dan berjalan menuju pintu keluar.
“Mawar, apa kau tidak sarapan?” Tanya seseroang membuatku berbalik. Jimmy? ada apa dengannya? Kenapa dia bertanya seperti itu padaku?
“Kemarilah sayang, sarapan dulu.” Papa tersenyum manis padaku. Papa? Ini tidak mungkin. Sejak kapan Papa memaniskan mulutnya dengan menyuruhku sarapan pagi.
“Kenapa kau berdiri di sana? kemarilah!” Teriak Mama dengan tegas. Biasanya, aku akan sarapan di halte bus, dengan sekotak kue yang di bungkuskan oleh Mama, atau pelayan dirumah. Tapi entah kenapa, bulan ini Mama memecat pelayan tersebut dengan alasan pemborosan biaya.
“Tidak usah, aku berangkat.” Melihat keanehan ini, aku berjalan cepat menuju pintu.
“Mama, Papa, aku juga berangkat dulu.” Akumendengar Jimmy berpamitan. Aku melangkah pelan menuju halte, dan melirik dedauan yang berguguran di tepi trotoar.
“Benar, kalian pernah muda, tua, hingga jatuh mengering seperti ini. Jika kalian lapuk, kalian juga masih berguna untuk pupuk. Aiish, aku iri dengan kalian.” Aku menendang beberapa dedauan kering diatas trotoar.
“Mawar!” Sapa seseorang membuatku menoleh.
“Jimmy, apa lagi?” Tanyaku dengan nada kesal.
“Apa lagi? Aku ini, adalah kembaranmu.” Jawabnya dengan tersenyum manis. Aku tau ada sesuatu di balik senyumannya.
“Ada apa? apa kau menginginkan sesuatu dariku?” Aku menatapnya dengan tatapan curiga.
“Iya, aku ingin meminta maaf padamu, atas perilakuku selama ini. Aku benar-benar minta maaf. Mungkin, itu semua kekanak-kanakan. Aku mohon, maafkan aku.” Jimmy bersimpuh duduk diatas trotoar.
“Apa? Apa lagi ini? Ini bukan sinetron.” Aku menaikkan sudut bibirku, lalu berjalan dan tidak mengacuhkannya. Jimmy bangun
dan mengejarku.
“Mulai sekarang, mari berteman.” Jimmy merangkul tanganku. Aku melihat rangkulannya, dan melirik wajahnya.
“Tidak mau.” Aku melepas rangkulannya.
“Kenapa? bukankah aku sudah meminta maaf. Sedalam itukah rasa bencimu padaku.” Jimmy melemparku dengan raut wajah sedih, itu membuatku semakin kesal. Aku melangkah kehadapannya.
“Sangat dalam! Bahkan nyawamu sendiri tidak sanggup untuk membayarnya.” Bisikku membuatnya terkejut. Tampak rasa takut yang amat jelas di wajahnya. Aku kembali berbalik dan berjalan dengan santai.
“Kenapa? Apa kau takut?” Tanyaku dengan menoleh licik padanya. Senyuman manisku membuatnya langsung berbalik badan.
“Ke-ke-kenapa de-de-dengannya?” Aku melihat Jimmy yang tampak ketakutan dengan Kaki yang gemetar. Melihat itu, aku kembali berjalan menuju halte bus.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments