"Sudah sampai." Papa tersenyum manis padaku, lalu memberhentikan mobilnya tepat di depan gerbang sekolah. Aku langsung membuka pintu mobil dan turun dengan pelan. Sementara Jimmy turun dengan cepat, lalu menghadangku dengan tatapan penuh emosi.
"Kau pikir dengan baju itu kau akan bisa menandingi kepopuleranku. Mawar, kau harus tau satu hal, dengan wajah ini semua orang akan tetap memujiku!" Bisik Jimmy dengan wajah sangat kesal padaku.
"Jimmy, kau juga harus tau, jika aku bukanlah manusia yang haus akan pujian,"Bisikku balik membuatnya bertambah emosi.
"Mawar!" Teriak Jimmy.
"Jimmy! Jangan membuat Papa untuk turun dan membawamu kembali pulang kerumah untuk mendapatkan hukuman!" Kencam Papa dari balik kemudi.Jimmy tetap menatapku dengan emosi lalu berbalik badan dan berjalan dengan langkah kesal akan kekalahannya.Aku memperhatikan langkah Jimmy, lalu berbalik badan dan menutup pintu mobil. Papa turun dan melangkah kearahku.
"Mawar, jangan dengarkan Jimmy, kamu sudah tau dia itu bagaimanakan. Bersenang-senanglah sayang." Papa
memelukku lalu mengkecup keningku. Ini kali pertamanya bagiku setelah 17 tahun lamanya, di gerbang sekolah yang terkutuk ini, aku merasakan pelukan kasih sayang Papa yang sedari dulu tengah aku rindukan.
***
Aku melangkah melewati lorong demi lorong kelas untuk sampai di ruang acara perpisahan. Aku berjalan santai dengan kebaya merahku. Semua mata tertuju padaku. Mereka tampak begitu mengagumi kecantikanku yang menyatu dengan kebaya ini. Aku mulai memasuki lorong yang mengarah ke ruangan si Dekan muda. langkahku terhenti ketika melihat noda darah mengering di dinding tembok ruang perpustakaan, tepat di samping ruangan Si Dekan muda. Aku kembali mengingat bagaimana Si Dekan muda menepi kesakitan dengan bersandar tertatih di dinding tersebut. Aku melangkah pelan dan mulai mengikis noda darah tersebut dengan kukuku.
"Sempat-sempatnya kau meninggalkan ini." Gumanku sembari membayangkan wajah menjengkelkan si Dekan muda. Aku merasa dari arah belakangku, ada seseorang yang memperhatikan gerak gerikku. Menyadari itu, aku langsung melangkah cepat menuju ruang acara. Sesampai di depan ruangan, tampak beberapa panitia sibuk mengatur perlengkapan acara, dan beberapa dari mereka sempat menggoda kecantikanku. Tapi, seseorang menyebut namaku, dan membuat langkahku terhenti.
"Mawar."Aku berbalik.
"Alin." Aku tersenyum padanya.
"Waah, apa ini benar-benar kau Mawar?" Ia menatapku dengan wajah terkesima. Sendari dulu, Alin adalah
musuh bebuyutan Jimmy. Alin juga memiliki wajah bule yang turun dari ibunya yang berwargakenegaraan Australia. Karenanya, Jimmy merasa jika wajah Alin adalah saingan terberat dirinya untuk menjadi populer di sekolah. Oleh sebab itu, Jimmy selalu berusaha untuk menjatuhkan Alin dengan berbagai cara. Termaksud dengan cara yang hina sekalipun. Aku mulai mengerti, salah satu penyebab Jimmy menikung Universitas X dariku adalah karena Alin yang sama pintarnya denganku. Dan sudah pasti, ia juga lulus di sana. Sementara Jimmy, memiliki otak yang pas-pasan, yang sudah dipastikan tidak akan lulus di universitas manapun di dunia ini. Itulah sebabnya, kenapa Jimmy melimpahkan semua kekejiannya kepadaku karena dia takut kalah saing dengan Alin. Alin adalah satu dari penyebab aku merasakan rasa sakit yang membahagiakan. Apa sebaiknya, dia menjadi yang kedua setelah Si Dekan muda?
"Kau benar-benar cantik dengan kebaya ini."Alin mendekat kearahku. Langkah kakinya menyadarkan lamunanku. Alin mengusap bahuku, sembari memperhatikan payet bajuku.
"Sedari awal aku sudah tau, jika keluargamu ada masalah. Kedua orang tuamu, pasti membeda-bedakan kau dengan Jimmy. Itu semua tampak jelas dengan bajumu ini."Bisiknya dengan wajah mengesalkan padaku. Senyum ganjilnya membuatku menatapnya.
"Apa kau punya masalah denganku?" Bisikku dengan nada suara dingin membuatnya mundur dengan cepat.
"Hey Mawar, aku hanya bercanda.Hahahaha, jangan anggap serius." Alin menatapku dengan wajah tidak percaya.
"Jika kau mempunyai masalah dengan Jimmy, jangan menyangkut pautkannya denganku dan juga dengan kedua orang tuaku. Hanya karena bajumu terlihat biasa saja dibandingkan dengan bajuku, kau ingin membuat masalah denganku. Kau, bukanlah sesuatu yang perlu aku takutkan." Aku melangkah pergi darinya.
"Oiih Mawar!Tadi aku melihatmu mengikis noda merah kering di dinding Perpustakaan. Noda apa itu? Sepertinya, kau mengenali noda tersebut. Apa mungkin itu darah?" Soraknya membuatku terhenyak. Semua mata tertuju padaku. Jadi yang tadi itu adalah dia. Aku kembali menoleh dengan sorot mata tajam.
"Menurutmu?" Tanyaku.
"Ahahaha, lihat dia, dia benar-benar memalukan. Tadi aku melihat dia mengikis darah kering di dinding Perpustakaan lalu menjilatnya." Ucapan Alin membuatku tersenyum. Sementara para penonton menatapku dengan tatapan jijik.Aku melangkah pelan berjalan ke arahnya, dan mencondongkan wajahku tepat di depan wajahnya.
"Waah, ternyata kau si penguntit tadi. Apa kau ingin tau bagaimana rasanya? Gurih segar.Aku juga penasaran dengan rasa darahmu."Bisikku padanya. Alin telah memainkan kata-kata yang sama sekali tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. Ini sangat menyenangkan, baiklah Alin sayang, kau juga akan bernasip sama dengan Si dekan muda.
"Apa kau sudah gila?"Teriaknya padaku, dengan mundur 3 langkah.
"Kau yang memulai kegilaan ini. Apa kau takut? tanganmu tampak gemetar." Aku tersenyum manis padanya. Alin
langsung melangkah pergi meninggalkanku. Sementara itu, Luci datang dan memelukku.
"Mawarkuuu."
"Lucikuuu." Aku tersenyum hangat padanya.
"Kau sangat cantik."Luci menepuk pelan bahuku.
"Terima kasih, kau juga."
"Oh ya, apa kau sudah mendengarnya? Mengerikan bukan." Bisik Luci dengan wajah dramatis padaku.
"Mendengar apa? Dan, apa yang mengerikan?"Aku menatapnya rancu.
"Iihh, kau ini Mawar, tidak pernah berubah. Kau juga harus peduli dengan kejadian di sekitarmu. Itu, Pak Joni, dia
meninggal di lapangan parkir sekolah kita karena mobilnya terbakar. Kau tau, kabarnya level sekolah kita sedikit terancam karena ada yang mengatakan jika Pak Joni di bunuh oleh seorang siswa. Kebakaran mobil hanya sebagai penutup kasus pembunuhan yang sebenarnya." Bisik Luci membuatku tersenyum dingin.
"Kau tau cerita itu dari siapa?"
"Apa kau lupa siapa Ibuku?" Tanyanya dengan wajah datar. Aku jadi lupa, dari mana ia mendapatkan cerita itu, ya
tentu saja dari Ibunya yang menjadi komite sekolah. Aku menatapnya dengan sepenuh hati.
"Kau tau Luci, ada urusan yang harus kita urus dan ada yang tidak perlu kita urus." Aku mengeluarkan nada kejam
padanya, membuatnya menatapku tajam.
"Mawar, ada apa dengan nada bicaramu?" Luci menggerenyitkan dahinya.
"Aaaah, aku sedikit terbawa emosi. Kau taukan aku ini bagaimana? Ah tidak, seperti ini. Intinya, aku tidak peduli
dengan apa yang terjadi. Karena itulah diriku." Aku berjalan masuk ke dalam ruangan dan meninggalkan Luci.
"Mawar tunggu! Kau harus peduli!" Teriak Luci membuatku mempercepat langkah kakiku.Aku masuk ke dalam ruangan dan duduk di kursi bagian tengah. Aku duduk dengan tenang, lalu memperbaiki poniku. Bagaimana mungkin mereka tau jika ini kasus pembunuhan? Aaah mungkin mereka hanya menerka-nerka. Atau mungkin, aku lengah dan ada orang yang mengetahui perbuatanku. Aku harus mencari tau siapa orangnya. Apa mungkin orang itu adalah Alin? Kenapa dia tau, jika noda dinding yang aku kikis tadi adalah darah yang mengering.Iya aku yakin dia orangnya. Baiklah Alin, kau juga akan bernasip sama dengan Si Dekan muda. Aku menatap Alin yang duduk berseberangan denganku. Ia tampak ketakutan dan langsung memalingkan wajahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments