“Mawar!! Banguun!”
“Maaawaaaarrrrr!!!” Teriak Mama menggema ke seluruh penjuru rumah, mengganggu tidur nyenyakku.
“Ya, aku sudah bangun!” Teriakku balik. Aku melangkah menuju kamar mandi dan langsung mandi. Setelah mandi, aku mulai berias untuk menggantar Kakakku tercinta, Jimmy ke Bandara. Hari ini adalah hari dimana ia harus berangkat ke Jerman, untuk Ospek mahasiswa gelombang pertama. Aku kembali ingat dengan Alin. Oh iya, bukankah hari ini, Alin juga akan berangkat ke Jerman. Wah, akan sangat menyenangkan jika aku mulai mengeksekusinya. Aku mulai memakai pakaianku, lalu berjalan keluar kamar. Aku melihat 2 buah koper besar tengah mengantri turun ke lantai bawah. Aku melirik Jimmy yang tampak memangku kedua tangannya.
“Apa lagi?” Aku menaikkan alis kananku, dan menatapnya dengan tatapan kesal.
“Apa kau tidak akan mengucapkan kata-kata perpisahan padaku? Lihat koper ini, sekarang aku akan pergi jauh.” Jimmy terlihat sangat angkuh.
“Lalu, apa bedanya?”
“Apa bedanya?” Jimmy mengekerutkan dahinya.
“Apa bedanya jika kau pergi jauh atau ada di sini? Aku akan tetap ada di atasmu, tidak ada yang berbeda.” Aku tersenyum, lalu mulai melangkah.
“Mawar!” Teriaknya dengan sangat keras, membuatku menoleh.
“Apa?” Jimmy melangkah ke hadapanku.
“Apa kau pikir karena baju kebayamu kemarin, ditambah semua sorotan mata kagum padamu, kau bisa menjadi lebih dariku? Sadarlah, penampilanmu ini hanya seperti tikus got dan tidak lebih dari itu!” Jimmy mengibas pelan rambut pendekku.
“Jika penampilanku ini seperti tikus got, berarti penampilan tikus got sangat diminati ya, terlebih ketika ada orang yang meniru gayaku ini. Bahkan, dari gaya rambutku, sampai gaya kuku kakiku. Tapi dia, tidak bisa meniru kulit kuning langsatku ini.” Jimmy melihat kulitnya, dan itu membuat Jimmy bertambah kesal. Ia melanyangkan tangannya untuk menamparku, dengan sigap aku menangkisnya.
“Aku menganggapmu Kakak, hanya karena kau lahir 2 menit lebih cepat dariku. Dengar Jimmy, kau sudah membuatku hancur, jadi jangan buat aku untuk kesal padamu.” Aku mendorongnya lalu berjalan turun ke lantai bawah, dan masuk ke ruang makan. Aku melirik foto yang terpampang di dinding ruangan. Foto acara perpisahan kemarin. Kami sekeluarga tampak sangat bahagia.
“Cih, itu semua hanya senyuman palsu.” Aku menyengir pada foto tersebut.
“Apa kau tidak membantu Jimmy untuk menurunkan kopernya?” Mama tiba-tiba muncul dibelakangku.
“Tidak.” Aku mengambil gelas dan menuang air putih.
“Kenapa? Apa kalian bertengkar lagi? Sudahlah Mawar, mengalah saja.” Mama yang tersenyum, membuatku menatapnya dengan wajah dingin.
“Be-be-benar, kau tidak perlu mengalah. Kau harus melawannya, walau itu hanya sekali.”Mama bergegas pergi meninggalkanku.
**
Kami berempat sampai di Bandara. Aku tampak heran dengan pakaian Mama dan Papa.
“Oh iya Mawar, ini kunci mobil. Papa dan Mama akan mengantar Jimmy ke Jerman secara langsung. Papa takut, jika Jimmy berbohong.” Papa memberikan kunci mobil padaku, itu membuatku dan Jimmy terkejut.
“Apa?” Tanya kami berdua secara serempak.
“Kenapa kalian bertanya seperti itu? Apa kurang jelas? Mawar, kau kan bisa menyetir mobil. Mama pergi juga cuman 3 hari kok.”
“Tapi Ma, Pa, aku bisa sendiri kok. Ngapain harus diantar sampai ke Jerman segala.” Jimmy menatap iba pada Mama dan Papa.
“Tidak Jimmy, Mama tidak ingin kena 2 kali. Ayo Pa, pesawatnya sudah mau berangkat. Dah Mawar.” Mama memelukku. Setelah itu, Papa dan Mama langsung berjalan. Sementara Jimmy masih terdiam dengan sebuah koper di tangannya.
“Kenapa kau masih disini?” Aku menatapnya heran. Jimmy mendekat kearahku.
“Apa kau yang menghasut Mama supaya mengantarkanku secara langsung ke Jerman?” Bisiknya padaku.
“Kenapa aku harus membuang waktuku untuk melakukan hal bodoh seperti itu? Ada banyak hal gila yang meski aku kerjakan.” Bisikku balik.
“Duarkk!” Jimmy mendorongku dengan kasar, hingga aku jatuh ke lantai. Aku tersenyum, dan langsung berdiri.
“Oh iya, aku tidak melihat Alin. Bukankah, dia juga lulus di Unversitas X?”
“Mana aku tau!” Jawab Jimmy dengan judes.
“Hey, kaliankan bisa berteman.”
“Iissh cih, najis cuiiih. Dia itu hanya penjilat beasiswa. Aku yakin, jika dia sekarang sedang berenang untuk
mendapatkan sertifikat lalu mencairkan dana beasiswa dengan sertifikat tersebut. Aku sangat membencinya, dan juga kau!” Jimmy membentakku, lalu pergi meninggalkanku. Oooh iya, aku lupa jika Alin adalah atlet renang. Sangat rugi jika tidak menggunakan sertifikatnya. Sepertinya aku tau dimana Alin latihan, mengingat aku juga pernah ke sana.
“Aaah, sebaiknya aku menemui Alin dulu aah.” Aku melangkah ke parkiran bandara dan meluncur menuju gedung latihan Alin. Aku sampai di sana. Aku melihat dengan pasti, jika Alin sedang berenang. Aku melirik kamera pengintai di seluruh sudut atap kolam renang ini. Sangat tidak memungkinkan, jika aku melancarkan aksiku di gedung ini.
“Apa sebaiknya aku menunggunya di rumahnya saja?” Aku berdiri dan berjalan ke luar. Ketika aku sampai di lantai parkiran, aku bertemu dengan Luci.
“Mawar!” Sapanya dengan ramah membuatku terkejut.
“Hai Luci, apa yang sedang kau lakukan di sini?” Aku melirik ke belakangku, bisa saja Alin ada di belakangku.
“Oooh ini, aku sedang mengambil sertifikat karateku. Kau sendiri?”
“Aku, aku hanya ingin melihat kedalaman kolam renang di sini. Kau tau kan, kolam renangku tidak terlalu dalam.” Aku berusaha mencari alasan.
“Aiih, kau ini ada-ada saja. Kau mau kemana? Kita makan yuk, di kafe atas.” Ajak Luci.
“Aaah maaf Luci, aku masih ada urusan di rumah. Papa dan Mamaku baru saja pergi ke Jerman untuk mengantar Jimmy, ada banyak pekerjaan yang harus aku kerjakan di rumah. Maaf yaa.”
“Ooo, seperti itu. Baiklah, kalau begitu aku pergi dulu. Daah.” Luci melambaikan tangannya dengan berjalan menuju motornya.
“Daaah.” Aku melambaikan balik tanganku dengan masuk ke dalam mobilku.
“Huuft, nyaris saja.” Aku menghidupkan mesin mobilku. Aku melesat ke rumah Alin. Aku sampai di depan rumah Alin. Rumah gaya minimalis dengan cat dinding berwarna putih dihiasi dengan pagar besi berwarna hitam. Rumah mewah yang tampak tak berpenghuni. Aku mulai memarkirkan mobilku di sebelah rumah Alin. Aku melirik CCTV di sekeliling rumah Alin. Aku melihat beberapa, tapi aku yakin itu tidak berfungsi. Aku berjalan santai masuk ke dalam pagar rumahnya, dan berjalan kearah pintu depan. Aku mulai menekan bel.
“Tiing tong.” Suara bel rumah Alin yang begitu nyaring. Tak ada satu orangpun yang keluar.
“Apa benar-benar tidak ada orangnya? Biasanya jam segini Mama Alin masih di rumah.” Aku kembali menekan bel lebih lama.
“Tiing tong, tiing tong, tiig tong.” Aku mulai yakin jika tak ada satu orangpun yang berada di dalam rumah. Akal gilaku mulai muncul. Aku mulai melangkah kearah belakang rumah Alin, dan mulai memeriksa jendela dapur. Benar, jendela dapur Alin tidak terkunci. Aku langsung masuk ke dalam rumah melalui jendela dapur tersebut.
“Apa ini?” Tanyaku sembari melirik dapur Alin yang berantakan bak kapal pecah. Piring kotor berserakan, bungkus makanan siap saji berterbaran, lantai berlumpur. Aku berusaha menghindari tumpukan sampah tersebut. Aku melangkah ke ruang tamu, tetap tak ada orang. Aku mulai memeriksa seluruh ruangan, mulai dari seluruh ruangan di lantai 1, sampai ke ruangan di lantai 2. Semua kosong tanpa satu orangpun.
“Rumah yang megah, tapi seperti hutan.” Gumanku dengan berhenti di sebuah ruangan. Ruangan ini tampak lebih berserakan, dengan tumpukan baju kotor dimana-mana. Aku melihat sebuah foto di dinding samping ranjang. Seorang gadis dengan paras bulenya, berpose dengan gaya seksi. Aku tau sekarang, jika ini adalah kamar Alin. Aku mulai mendekat ke depan foto tersebut.
“Hidupmu akan berakhir di tanganku.” Ucapku dengan tersenyum dingin. Aku melirik sebuah buku berwarna ungu di atas kasurnya. Aku mulai meraih buku tersebut.
“My Diary.” Aku dengan lancang mulai membacanya. Diary Alin berisi tentang curhat colongannya mengenai keluarganya. Wah, wah ternyata kedua orang tuanya sudah bercerai. Maminya kembali ke Negaraasalnya, sementara Papinya memilih menikah lagi dengan gadis muda. Pantas saja, dia begitu menginginkan sertifikat atletnya. Karena dia tidak ingin terlibat dengan Mami dan Papinya.
“Tentu saja, ini sangat menguntungkan untukku. Ketika kau lenyap, tak ada yang peduli dan mencarimu Alin.” Aku tersenyu lalu duduk di meja belajarnya.
“Aku akan menunggumu di sini.” Aku duduk dengan mencoret-coret bukunya.
**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments