Aku berjalan turun untuk pergi ke sekolah. Tampaknya Papa memperhatikan gayaku yang sudah berubah. Biasanya aku memakai baju sesuai dengan aturannya, dimana rok sekolah yang panjangnya harus selutut.
Tapi kali ini, aku memendekkannya hingga diatas lutut. Dan juga rambut panjangku yang sudah pendek lurus setelinga.
“Mawar, apa yang terjadi dengan rambutmu?” Papa menatapku heran. Aku memperlihatkan pipi bekas tamparan Mama tadi.
“Aku ingin hidup dengan lebih baik. Papa, Mama, maafkan aku. Aku menyesal, dan aku tidak akan mengulanginya lagi.” Aku menunduk sedih. Seketika, Papa lulu dan berjalan kearahku.
“Iya, Papa memaafkanmu. Jangan ulangi lagi ya, mengerti.” Papa tersenyum padaku lalu memelukku.
“Papa, aku harus ke sekolah. Aku berangkat dulu.” Aku melepas pelukan Papa, lalu berjalan santai.
“Ya, hati-hati ya sayang.” Aku hanya tersenyum kecut. Kejadian ini sudah biasa untukku. Aku pasti akan meminta maaf atas kesalahan Jimmy, dan akan mendapat pelukan Papa.
Aku melangkah pelan menuju halte bus yang berada di ujung jalan.
“Breeem breeedem.” Aku mendengar suara motor yang sepertinya menggodaku. Aku menoleh dengan gaya seksi.
“Kevin?” Aku menatapnya heran. Ia tampak terpukau dengan penampilanku.
“Wooaah. Kau benar-benar luar biasa. Kenapa tidak sejak dulu saja kau berpenampilan seperti ini? Aaah, ayo naik, aku akan mengantarmu.” Kevin adalah pacar Jimmy. Kevin sekolah di sekolah anak yang luar biasa nakalnya. Dari rumah ia berpakaian sekolah, tapi tidak sampai ke sekolah. Namun anehnya, absennya selalu penuh, nilai tinggi, dan itu semua entah datang dari mana. Satu hal yang membuatku begitu ingat pada Kevin. Dia selalu datang
ke rumahku dan bermain di kamar Jimmy. Tapi dia, tidak pernah sama sekali merendahkanku. Aku tidak ingat kapan pertama kali aku bertemu dengannya. Yang aku ingat, ketika Jimmy mendorongku dengan sangat emosi karena Papa membelikanku hanphone baru. Ketika aku hendak bangun, Kevin menjulurkan tangannya. Ia membantuku, dan tersenyum padaku.
Aku sampai di sekolahku.
“Terima kasih.” Aku turun dari motornya, lalu melangkah.
“Eits tunggu. Ini.” Kevin mengehentikan langkahku, lalu memberikanku sebuah masker baru.
“Ini, untuk apa?” Aku mengkerutkan keningku, seraya berpikir.
“Jangan memperlihatkan kesedihanmu pada orang lain. Semangat!” Kevin tersenyum dengan imut, membuat jantungku berdebar. Tidak, dia milik Jimmy. Aku tidak ingin menjadi rendahan hanya karena dia mengantarku ke sekolah. Aku langsung berbalik badan, dan masuk ke dalam gerbang sekolah. Aku kembali berjalan santai, dan masuk ke dalam kelasku. Semua siswa heboh dengan penampilan baruku. Semua mata tertuju padaku. Tak hanya itu, hampir semua orang memuji penampilan baruku. Dan ada yang mengatakan jika aku jauh lebih cantik dari pada Jimmy. Ketika aku hendak duduk, Jimmy datang ke hadapanku.
“Mawar!” Jimmy kembali berterika padaku dengan wajah emosi. Aku tidak mengacuhkannya dan langsung duduk dengan manis. Melihat perubahanku, Jimmy langsung memainkan kata-katanya. Ia memangku kedua tangannya, dan melirik jijik padaku.
“Woaaah. Aku melihat ada perubahan di sini. Apa kau ingin menadi populer sepertiku? Aku tau itu, kau sangat iri
denganku.”Jimmy mengangkat dagunya dengan gaya yang sangat sok. Aku tetap tidak mengacuhkannya, dengan membersihkan sisa cat kuku di jadi telunjukku. Jimmy mendekatkan wajahnya pada wajahku.
“Dengan gaya rambut seperti ini, itu semua tetap membuatmu rendah. Dan akan tetap tampak sangat rendahan!” Bisiknya membuatku langsung berdiri.
“Kau, apa kau tidak sadar dengan wajahmu yang bintik-bintik itu? Ooooh, mungkin kau benar-benar tidak sadar. Baiklah, aku akan menyadarkanmu. Kau lihat seisi kelas ini, apa ada yang memiliki wajah berbintik sepertimu?” Jimmy memperhatikan wajah semua siswa yang ada di kelas.
“Tidak ada kan, hanya kau yang memiliki wajah berbintik di sini. Dan kau harus sadar, jika kau itu, hanya kaum minoritas.” Bisikku balik membuatnya langsung emosi dan menjambak rambutku.
“Akhhhh.” Aku menahan jambakannya.
“Aku ini masih kakakmu! Kau, tidak berhak menjawab ucapanku!” Jimmy menghempaskanku keatas meja. Ia tampak sangat terkejut dengan bisikanku. Dia juga tampak sedikit ketakutan, dan kembali ke kelasnya.
**
Jam pelajaran berakhir, hari ini adalah hari terakhir sekolah, mengingat minggu depan sudah ujian akhir sekolah. Seorang guru masuk ke kelasku dan memberikan arahan ujian masuk universitas luar negeri sebelum ujian akhir sekolah. Karena sekolahku ini adalah sekolah internasional, jadi hasil ujian masuk universitas akan diumumkan setelah ujian nasional selesai. Karenanya, jika lulus, kalian bisa langsung mengikuti ospek di universitas tersebut. Ujian tersebut diadakan hari ini juga. Aku berhasil menggerjakan semua soal dengan baik. Ketika pulang sekolah, aku melirik Jimmy dan Kevin yang tampak tertawa lepas. Aku berjalan menepi untuk menghindari mereka berdua. Luci datang, dan mengentikanku.
“Happy Birthday!” Teriaknya dengan memberikanku sebuah kado. Gadis pendek dengan rambut sebahu yang imut. Dia, adalah satu-satunya temanku, dan amat aku sayangi.
“Luci, terima kasih.” Aku menunduk sedih dengan mata berkaca-kaca.
“Kenapa? Hei, jangan menangis. Oh kejadian semalam, semuanya memaklumi kok. Kalian memang kembar, tapi sangat berbeda. Itu semua ibarat, kau adalah seorang malaikat, dan dia adalah seorang iblis. Maka dari itu, malaikat harus membunuh iblis. Kau, tidak boleh kalah dan mengalah. Kau, mengerti.” Luci menyeka air mataku.
“Mmmm. Aku mengerti.” Angguku. Luci memelukku, pelukan hangatnya membuatku merasa lebih baik. Aku melirik Jimmy dan Kevin. Kevin tampak tersenyum, sementara Jimmy menatapku dengan tatapan tidak suka. Aku membalas tatapan Jimmy dengan tatapan lebih tidak suka. Itu membuatnya sedikit terhenyak, dan bertanya pada Kevin. Kevin tampak menggeleng dan tersenyum manis.
**
Aku sampai di rumah. Rumah kembali rapi seperti sedia kala. Tidak ada jejak bencana pesat miras semalam.
“Woaah.” Aku duduk di ruang tamu, dan langsung membuka kadoku. Tiba-tiba, Jimmy datang dan langsung menyerangku.
“Mawar, apa maksud dari tatapanmu tadi haaa? Apa kau ingin mati haaa?” Jimmy langsung mendorongku. Seketika, kado Luci yang berisi sebuah pernak-pernik lampu kaca pecah berderai.
“Apa salah jika aku menggunakan mataku sendiri?” Aku meliriknya dengan tatapan dingin.
“Apa? apa kau bilang? Sudah berani ya menjawab ucapanku. Bukannya minta maaf!” Teriaknya dengan keras lalu berusaha menghantamku. Tanpa sengaja kakinya terkena belingan kaca.
“Haaaaa, haaaa haaaaaaaa!!!” Teriaknya kesakitan. Tiba-tiba Mama dan Papa keluar dari lemari. Sepertinya Mama dan Papa sedang merencanakan kejutan pesta ulang tahun untuk kami berdua.
“Mamaaaaa!” Rengeknya dengan kakinya yang robek akan beling kaca. Mama langsung mencabut beling kaca.
“Papa, Mama, kenapa kalian berdua bisa ada di sana?” Mereka berdua tidak mengacuhkanku. Bahkan Papa malah tampak sibuk mencari ponselnya untuk menelpon ambulan. Jimmy dilarikan ke rumah sakit. Sementara aku, tetap duduk dengan posisi awal tadi.
“Apa yang sebenarnya benar? Dan apa yang sebenarnya salah? Aku benar-benar tidak bisa membedakannya.” Gumamku dengan berjalan melintasi beling kaca lalu melangkah pelan ke kamarku. Rasa sakitnya tidak terasa di kaki ini. Darahku mulai berceceran di lantai. Aku merasa sangat lelah dan tertidur pulas di kamarku.
Malamnya, Kevin datang menjenguk Jimmy. Aku menengar depakan kakinya melangkah cepat di tangga. Aku bergegas bangun hanya untuk melihatnya. Tapi kali ini, tidak ada senyuman manis di bibirnya. Hanya ada, sorot mata kesalnya untukku. Aku menekan keras potongan beling kaca itu ke dalam kakiku. Darah segar, kembali mengalir di lantai. Ketika Mama lewat dan hendak ke kamar Jimmy, Mama melirik kakiku.
“Mawar, ada apa dengan kakimu? Hentikan darahnya, dan bersihkan dengan air mengalir. Cepat!” Teriak Mama. Aku masuk kembali masuk ke dalam kamar, dan mencabut beling kaca yang bersembunyi di kakiku. Tak ada rasa sakit, semua hanya terasa geli. Ternyata, inilah rasa dari sebuah luka. Rasa geli menggelitik, membuatku ingin tertawa geli. Apakah rasa lukaku ini, sama dengan rasa luka orang lain? Woaah, aku penasaran untuk bertanya. Bertanya pada orang yang memiliki luka. Atau mungkin, apa aku harus membuat mereka terluka dan baru menanyakannya?
**
Pagi yang cerah, ini adalah hari pertama ujian akhir sekolah. Aku keluar dari rumah dengan raut wajah ceria. Sesampai diluar rumah. Aku melihat Kevin yang tampak sedang menunggu Jimmy. Jimmy keluar dengan
menggunakan sebuah tongkat dan di bantu oleh Papa.
“Pa, ada Kevin. Kevin!” Teriak Jimmy. Kevin berlari kearah kami.
“Pagi Om, Jimmy, mau bareng.” Ajaknya.
“Mmmm, diantar Papa.” Rengeknya.
“Ya udah, hati-hati yaa. Nanti pulang sekolah aku jemput.”
“Okeee.” Jimmy memberikan jempolnya dengan sok imut. Papa membantu Jimmy naik ke atas mobilnya.
“Kau sedang apa?” Tanya Papa dengan judes padaku. Aku hanya menatap Papa lalu melangkah pergi. Papa mengantar Jimmy dengan mobilnya. Sementara aku, bejalan kaki ke halte mobil. Bukankah itu aneh? Apakah salah jika dia menawarakanku juga. Lagi pula, kakiku juga sakit. Eeh, sakit, ahahahaha. Ini hanya rasa geli. Seseorang mendorongku dengan sangat keras, hingga membuatku jatuh ke aspal. Aku menoleh.
“Kevin!” Teriakku.
“Ya, ini aku. Sekarang aku memperingatkanmu. Jangan pernah lagi kau melukai Jimmy. Kau tau, aku tersenyum dan membantumu hanya karena aku ingin tau seberapa lemahnya dirimu. Jimmy selalu menindasmu, itu membuatku amat senang. Penampilanmu memang berubah, tapi kebusukanmu tidak akan pernah berubah.” Bisiknya dengan kejam padaku.
“Kebusukkanku, apa maksudnya itu? Jadi ini arti dari senyuman yang sebenarnya. Baiklah, aku akan memberikan kalian semua senyuman.” Aku tersenyum dengan manis. Melihatku yang tersenyum sendiri, itu membuatnya
bergegas pergi meninggalkanku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
john jono
luka oh luka
2020-05-13
2
Anjelo,,JJ
tak sbar mau liat kemajuan dri mawar,,pngen dnger dy ngblas smua yg orng lakukan pdany
2020-04-20
4