Chandra menuntun Nadia dan berjalan terlebih dahulu menuju lokasi latihan di mana Ong, Dio, Yuta dan Danil berada. Terlihat dari tempatnya sekarang, Nadia bisa menyaksikan kawanan prajurit itu melambai-lambaikan tangan ke arahnya.
"Mereka sudah kelelahan latihan dan keliling sejak pagi." Beritahu Chandra sambil tersenyum kecil.
"Sampai siang begini? Nggak dikasih istirahat emangnya?"
"Tidak. Latihan fisik 'kan perlu, mereka juga sudah terbiasa."
Nadia menghela napasnya dan menarik tangan Chandra sehingga pria itu menatapnya.
"Kok kamu jahat."
"Jahat?" tanya Chandra keheranan.
"Ya, seharusnya sebagai pemimpin kamu tuh bisa bikin senang pasukan kamu. Biar mereka betah dipimpin sama kamu. Kelihatannya juga mereka itu orang-orang yang baik dan penurut."
"Itu bukan jahat. Saya hanya disiplin."
Nadia menyamakan langkah mereka sehingga kini ia berjalan bersisian dengan Chandra.
"Ya, jangan terlalu disiplin. Sekali-sekali kamu harus kasih kelonggaran. Hehe," bujuk Nadia lagi tanpa tahu kalau Chandra sebenarnya jengkel.
"Kenapa ilalangnya nggak ditebas?" tanya Nadia lagi saat tanaman ilalang itu hampir menyaingi tinggi badannya, sementara Chandra yang sangat tinggi dengan leluasa menghadang ilalang-ilalang dengan kedua tangannya dan dapat melihat dengan jelas ke depan.
"Ilalang ini gunanya untuk menjaga ranjau darat. Ketika ada pencuri atau penyelundup, ranjau darat akan meledak jika terinjak." Beritahu Chandra dengan datar.
"Yahh! Jadi ... di sekitar sini banyak ranjau darat!" teriak Nadia, tanpa sengaja gadis itu juga memukul punggung suaminya cukup keras, membuat Chandra terkikik.
"Kenapa kamu nggak kasih tahu saya kalau di sini ada ranjau!" Nadia panik dan dengan polosnya gadis itu merapatkan tubuh ke sisi Chandra yang justru menyembunyikan senyum gelinya.
"Maka dari itu saya kaget sewaktu melihat kamu datang dari bukit. Saya tidak kasih tahu kamu agar kamu tidak panik saat berjalan ke sini," jawab Chandra dengan enteng.
"Ih! Nyebelin banget, sih! Ya ampun, untung aja saya nggak injak ranjau!" omel Nadia sambil memukul-mukul punggung suaminya.
"Makanya saya menjaga kamu 'kan. Kalau kamu sampai injak ranjau, saya orang pertama yang akan menangis."
Nadia tersipu, Chandra menoleh ke arahnya sambil mengusap puncak kepala Nadia yang sudah dipenuhi lagi helaian ilalang yang tersibak olehnya.
"Sudah, jangan marah. Saya bercanda kok, hehe. Di sini aman dari ranjau. Maka dari itu ilalang sengaja dibiarkan tumbuh tinggi, gunanya agar babi hutan tidak ke rumah-rumah warga saat malam hari dan memakan tumbuh-tumbuhan."
Nadia bernapas lega, tetapi pipinya justru memerah padam. "Kamu bisa bercanda juga, ya?"
"Memang kelihatannya tidak bisa?" ujar Chandra sambil menatap istrinya yang kini tertawa kecil.
Nadia menggeleng sambil terkikik. "Ya! Kelihatannya nggak bisa bercanda. Kayak robot Ikut protokol, dan bahasa kamu selalu baku."
"Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar itu salah satu upaya untuk menjaga kesatuan NKRI," jawab Chandra dengan tegas, Nadia lagi-lagi tidak bisa menahan senyumnya.
"Iya deh iya. Pak Jenderal, ini jalannya masih jauh?"
"Sebentar lagi sampai. Kamu pasti capek, ya?"
Nadia mengangguk. "Hm, lumayan capek waktu naik bukit. Tapi nggak papa saya sudah lama nggak jalan-jalan sih," ucap Nadia dengan senyum untuk menenangkan Chandra yang tampaknya selalu khawatir saat Nadia bertanya akan sesuatu.
***
Ong, Yuta, Dio dan Danil menikmati kudapan sore yang dibawa Nadia khusus dari Bandung. Ke empat pemuda beda usia dan jabatan itu tampak senang dengan kehadiran Nadia yang notabene adalah istri dari komandan pemimpin mereka.
Setelah sekian lama, akhirnya impian Ong untuk bertemu artis yang sering ia lihat dilayar handphone bisa juga jadi kenyataan. Maka tidak heran kalau Ong terlihat seperti orang yang melihat satu dari tujuh keajaiban dunia ketika melihat Nadia.
"Ong, apa mata kamu tidak perih?" tanya Chandra yang sejak tadi memperhatikan Ong yang terus menerus menatap Nadia tanpa berkedip.
"Eh, hehe. Enggak Yah. Eh, Dan aman kok, aman. Hehe," jawab Ong sambil tersenyum ke arah Nadia.
Ong menoleh ke arah Chandra dan tertawa garing. Sementara Nadia hanya dapat cekikikan ketika memperhatikan satu persatu kawanan pasukan yang dipimpin Chandra.
Melihat Dio, Nadia sedikit segan karena lelaki itu terlihat jutek dan tidak banyak bicara sejak kedatangannya. Yuta justru tampak pemalu dan hanya memakan camilan yang dibawa Nadia. Sementara Danil begitu charming dengan mata sipit dan kulit putihnya.
Nadia sudah berkenalan sejak kedatangannya di lokasi latihan sepuluh menit lalu. Meski ekspresi mereka begitu, ternyata mereka cukup ramah. Mungkin masih sedikit canggung apalagi Nadia adalah satu-satunya wanita di tempat itu.
"Selain panas-panasan, hobi kalian apa sih?" tanya Nadia memecah keheningan di antara mereka.
"Aku! Hobby-ku dance, Bun!" serobot Ong sambil mengangkat tangannya.
"Eh, manggilnya apa, ya?" tambah Ong dengan gugup sambil menggaruk kepalanya setelah Chandra memelototinya.
Dio, Yuta dan Danil dibuat tersenyum karena tingkah Ong dan Chandra yang tidak pernah akur.
"Panggil saja saya Nadia. Saya dengar juga kalau umur kalian itu berada di atas saya semua, 'kan?"
"Ya, kecuali saya. Hehe, mungkin saya seumuran Kak Nadia," ucap Danil dengan sopan.
"Oh, iya, kalau gitu panggil nama aja, nggak perlu pakai kakak. Salam kenal ya, semuanya. Mohon kerja samanya selama saya tinggal di sini, hehe." Nadia lagi-lagi menitipkan dirinya pada pasukan Chandra, Chandra tersenyum kecil.
"Adanya juga kami yang menitipkan diri loh, 'kan Nadia ini istrinya komandan kita. Kalau mau apa-apa Nadianya nggak perlu sungkan, ya. Bilang aja!" Yuta kini berani bicara setelah Nadia mulai mengakrabkan diri.
"Iya, saya juga bersyukur. Karena mulai hari ini ada wanita, berarti untuk urusan masak-memasak ada yang bisa bantu," tambah Dio yang sejak tadi diam.
Nadia berdehem pelan, dan ia mencolek lengan Chandra yang berada di sampingnya. "Jadi, yang masak selama ini Dio?"
Chandra mengangguk. "Hmm, masakannya enak." Beritahu Chandra.
Nadia manggut-manggut. "Oke, nggak masalah. Untuk makan malam nanti, biar saya yang masak!"
"Hore, pasti masakannya enak!" sorak Danil semangat, Danil terlihat bak anak kecil yang mendapatkan jajanan kesukaannya, setelah Nadia mengatakan akan masak untuk makan malam. Sebab, Danil itu hobinya makan.
Nadia tertawa kecil menanggapi celotehan satu persatu anak buah Chandra, mereka cukup banyak mengobrol sementara Chandra tidak banyak bicara dan menjadi pendengar yang baik seperti biasanya.
***
Nellie merapikan kamar yang akan ditempatinya selama tinggal di Flores, rumah dinas Nellie berada di belakang puskesmas yang letaknya cukup strategis.
Di sini Nellie juga memiliki telepon rumah dan perawatan dapur yang sudah siap pakai. Mungkin, karena rumah ini belum lama ditinggalkan oleh dokter sebelumnya, maka Nellie tidak begitu kesulitan untuk merapikannya. Nellie tersenyum kecil saat tak sengaja menatap tangan kirinya, di mana sebuah cincin emas putih dengan satu permata bening tersemat di jari manisnya.
Melihat cincin itu membuat Nellie semakin merindukan sosok pria yang telah memberikannya cincin indah tersebut. Pria yang selama setahun lebih ini sudah tidak Nellie lihat lagi wajahnya.
"Ah, pasti semakin ganteng!" ucap Nellie sambil membayangkan wajah pria tersebut.
Nellie lalu menaruh pas foto di sisi tempat tidur, gadis itu lagi-lagi tersenyum gemas saat tatapannya tertuju pada si pemilik kedua mata bulat dan rambut ikal yang berantakan. Meski hanya sebuah foto, pipi Nellie justru bersemburat tiap kali di hadapkan pada sosok memesona itu.
***
Chandra menaruh tas ransel perlengkapan latihannya ke sebuah posko yang tidak jauh dari tempat latihan, sementara Nadia di belakangnya mengikuti dengan langkah yang amat lamban. Sesekali, Nadia juga meringis ketika pijakannya terlalu kuat di atas tanah.
"Sudah sore, sebaiknya kita pulang," ujar Chandra setelah menyimpan tasnya ke dalam sebuah lemari besi dan mengunci posko kecil itu dengan rapat
.
Nadia mendongak keheranan. "Loh, katanya kamu mau patroli dulu? Enggak Jadi?"
Chandra mendekat ke arah Nadia dan membawa gadis itu dengan lembut untuk duduk di atas bangku kayu yang ada di depan posko.
Nadia tertegun, dan Chandra justru berjongkok di hadapannya.
"Sore ini tidak ada patroli, saya tidak bisa mengajak kamu keliling hutan."
Nadia tersenyum tipis. "Nggak papa kok, saya mau jalan-jalan!" seru Nadia dengan ceria.
Akan tetapi Chandra justru berbuat diluar dugaan Nadia, suaminya itu melepas sepatu yang dikenakan Nadia dan membuat Nadia meringis kecil merasakan perih pada bagian tumit dan sisi luar kakinya.
"Aw," ringis Nadia sambil menggigit bibir bawahnya.
Chandra mendongak, wajah datarnya sedikit membuat Nadia takut.
Chandra menarik napas dalam-dalam. "Kaki kamu lecet, saya juga perhatikan kamu jalan sangat lamban dan kesakitan."
Nadia cemberut, tetapi bukan karena kesal sudah ditegur begini, Nadia cemberut karena merasa gemas pada sikap Chandra yang diam-diam ternyata memperhatikan hal kecil yang menimpa dirinya.
"Ternyata benar, 'kan? Lihat." Chandra menyangga kaki kanan Nadia dan memperlihatkan luka di tumit dan sisi luar kaki Nadia yang memang tampak memerah dan lecet.
Nadia mengangguk. "Tapi nggak berasa kok."
"Hmm. Tidak boleh begitu, ini harus segera diobati. Di rumah ada salep dan cairan antiseptik. Kita harus segera pulang," balas Chandra dengan tegas sambil menggelengkan kepalanya.
Nadia menyembunyikan senyumnya saat Chandra membuka sepatu di kaki kiri Nadia, luka yang sama pun terlihat sangat jelas.
"Ayo pulang," ajak Chandra sambil menghadapkan punggungnya ke arah Nadia. Nadia kembali terdiam.
"Ah, saya berat!" tolak Nadia halus, tetapi Chandra tampaknya tidak akan mengizinkan Nadia pulang dengan keadaan kaki lecet atau memakai sepatu yang sudah dilepasnya.
"Setiap saya latihan, saya pasti membawa tas ransel yang bobotnya 80kg. Kalau kamu lebih berat dari tas ransel itu, maka saya akan segera menurunkan kamu."
Nadia terkikik sambil menaiki punggung tegap suaminya tanpa berani membantah satu kata pun.
Dengan tubuh mungil Nadia yang amat ringan berada di gendongan punggungnya, Chandra diam-diam tersenyum dan mulai berjalan melewati hutan ilalang. Nadia melingkarkan kedua lengannya, nyaris memeluk tubuh bagian atas Chandra, dengan gugup Nadia juga mengatur napasnya agar Chandra tidak menangkap rasa gugupnya yang pasti akan sangat jelas sekali.
"Kamu pasti tidak terbiasa berjalan jauh dengan sepatu itu, ya? Sepatunya kelihatan masih baru," ujar Chandra memulai percakapan pada Nadia.
"Ehm. Iya, sepatunya masih baru. Hehe, baru pertama kali dipakai ke sini."
"Kenapa tidak pakai sepatu lama yang sudah sering digunakan? Itu pasti lebih nyaman." Beritahu Chandra sambil menapaki bebatuan dan berjalan agak menanjak.
"Sengaja, saya beli sepatu ini khusus untuk bertemu kamu, hehe." kekeh Nadia lucu.
Chandra tersenyum sambil menikmati angin sore yang sejuk menerpa wajahnya.
"Oh iya, kamu bilang tas ransel untuk latihan itu beratnya 80 kilo? Pasti punggung sama pundak kamu sakit, ya?"
"Tidak, sudah biasa kok. Karena sudah terbiasa, ya saya baik-baik saja."
Nadia mendekatkan wajahnya ke arah Chandra. "Ah, yang benar?"
Chandra sedikit mengelak karena napas Nadia mengenai telinganya, membuat Nadia terkikik. "Mm, ya. Serius."
"Mau saya pijati pundaknya? Kata nenek sama papa, pijatan saya itu enak loh!" ungkap Nadia bangga, dan mulai memijat pundak Chandra dengan kedua tangannya, membuat Chandra tertawa karena kegelian, begitu pun Nadia yang ikut tertawa karena ia baru kali ini merasa begitu bebas di tempat hangat itu.
"Tidak perlu, hari ini kamu harus beristirahat."
BERSAMBUNG ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 188 Episodes
Comments
Sandisalbiah
hah.. nyatanya Nuklir masih mengharap kan Chandra.. ..wess angel.. 😌
2023-10-21
0
n_rif
aq 50kg..ya enteng pak jendral...
2022-04-20
0
indah ms
waah..berat ni saingan nadia..
2022-04-17
0