"Ada kabar, katanya Dokter Nellie dipindah tugaskan kembali ke Indonesia," ujar salah satu lelaki yang tengah menikmati makan malam di sebuah rumah dinas. Suara lelaki itu pelan, tetapi karena suasana pedesaan yang sepi tanpa adanya hiruk pikuk kendaraan bermotor membuat suaranya terdengar amat jelas.
Lelaki bermata onyx yang duduk di teras sambil menikmati segelas teh menoleh ke dalam, membuat para anggota satuan yang dipimpinnya beradu pandang tak enak.
Nama Nellie begitu haram diucapkan di tanah gersang ini, tepatnya jika terdengar oleh si pemilik telinga lebar yang sekarang pura-pura berusaha tidak peduli.
"Yang benar?" tanya salah satu lelaki lain dengan penasaran, dengan suara bisikan.
Si pengaju topik mengangguk. "Hm ... setelah beres jadi relawan di Palestina, dia balik lagi ke Indonesia. Namun, nggak tahu tugasnya di mana. Hebat betul ya Dokter Nellie."
"Shh ... wanita yang tidak boleh disebut namanya. Jangan sembarang!" peringat anggota lain dengan waswas.
Pria bermata onyx yang menikmati teh tersenyum kecut. "Kalian kalau mau bicara tentang Dokter Nellie, bicara saja ... saya enggak keberatan, kok."
Pria itu kemudian melenggang masuk ke dalam rumah dinas dan menatap anggota satuannya satu persatu dengan pandangan yang tidak dapat ditebak. Semua anggotanya menegakkan tubuhnya seolah siap menerima perintah.
"Siap, Komandan!" jawab mereka serentak.
Pria yang mengenakan setelan tidur berlambang Tentara Republik Indonesia itu tertawa kecil. "Saya mau tidur. Lusa, saya akan ambil cuti untuk bertemu dengan nenek saya. Sepertinya cuti akan cukup lama. Kalian sudah tahu, 'kan?"
"Siap, Komandan!" jawab Sersan Mayor dengan tegas, karena ketika Jenderal pergi maka tugas Jenderal akan dilimpahkan sementara pada Sersan Mayor yang berada 1 tingkat di bawahnya.
"Hm, bagus."
Pria itu masuk ke kamarnya, merebahkan diri di atas tempat tidur dengan posisi tidur resmi. Kaki lurus, selimut rapi menutupi sampai kebagian dada. Lalu, pria itu mengeluarkan sesuatu dari laci meja dengan tangan panjangnya yang sudah terampil.
Sebuah dompet kulit berwarna cokelat gelap, lelaki itu kembali duduk sambil menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang. Diambilnya sebuah foto di dalam dompet.
Foto seorang wanita cantik dengan seragam dokter, bertubuh mungil dan senyum ceria yang ditampilkannya membuat sang pria tersenyum pedih. Ternyata ada yang lebih menyakitkan dari sekedar tembakan senapan angin, yaitu senyum cantik wanita yang meninggalkannya ketika cinta sedang tumbuh begitu besar. "Nellie ... saya harap. Saya bisa melupakan kamu."
***
Hans Bintang Dawud, atau dengan nama panggung Vidi merupakan seorang musisi sekaligus vokalis dan gitaris sebuah band papan atas Indonesia. Wajahnya yang tampan karena blasteran Sunda dan Jepang membuat Vidi menerima banyak cinta atas bakat dan rupanya. Tak sedikit lagu dan pertunjukan musik yang sudah diciptakan seorang laki-laki yang genap berusia 28 tahun ini, masuk sebagai jajaran musisi muda dengan segudang prestasi luar biasa hebat. Di samping karirnya sebagai musisi dan penyanyi, Vidi pun sempat membintangi beberapa sinetron pendek yang mengisi layar kaca, di sana pulalah ia mengenal calon istrinya.
Namun, kini nama Vidi sangat terpuruk. Skandal narkoba atas kepemilikan ganja dan sabu-sabu yang tersimpan di kediamannya, Vidi diadili publik, banyak yang menghujat namun tak sedikit pula yang mendukung bagaimana kelak kehidupan sang musisi. Vidi menghilang selama seminggu ini, tetapi namanya selalu disebut-sebut di setiap portal online, begitu banyak spekulasi mengenai skandal yang menimpanya. Tentu, topik panas yang menjadi buah bibir semua kalangan tentang nasib pernikahannya bersama aktris dan penyanyi, Nadia Adriana.
Satu-satunya manusia yang paling terpuruk adalah Nadia, gadis berusia 28 tahun itu tidak pernah menyangka bahwa hidupnya akan sehancur ini. Dunia terbalik dalam sedetik, semuanya karena Vidi dan barang haram yang dimiliki pria itu.
Nadia terus mengutuk dunia, mengutuk Vidi, dan mengutuk rasa cintanya untuk pria
itu.
Sang ayah yang selama ini membujuk Nadia sama sekali tidak mempan barang satu kalimat pun. Nadia mengurungi diri di dalam kamarnya, dia tidak makan dan juga tidak minum, yang dilakukannya hanya menangis. Wartawan di pekarangan rumah sudah menjejali selama sepekan, meminta atau bahkan mencuri satu foto agar dapat dipublikasikan pada media.
Janur kuning yang sudah siap untuk dipasang di pekarangan rumah seolah mengejek keluarga besar Nadia. Penghinaan terbesar Vidi pada pernikahan mereka membuat keluarga Nadia murka pada lelaki itu.
Lewat dari tengah malam, Nadia bersama manajernya berkunjung ke BNN, di mana Vidi menjadi tahanan sementara sebelum lelaki itu disidang resmi. Waktu siang hari atau sore hari sangat tidak mungkin jika Nadia melakukan ini, wartawan pasti membuntutinya dan menghalangi langkahnya. Gadis itu memberanikan diri datang ke BNN dan menemui Vidi. Sebenarnya, semua ini Nadia lakukan sembunyi-sembunyi dari keluarganya, terutama sang ayah dan nenek yang amat menghakimi Vidi yang sudah mencoreng dengan buruk nama baik keluarga Nadia.
Vidi menunduk ketika di hadapannya Nadia berusaha untuk mengintimidasi calon suaminya. Pandangan mereka tidak kunjung bertemu meski 10 menit sudah berlalu sia-sia. Untuk masuk ke tempat ini, Nadia malah harus membayar suap sekian juta rupiah, namun rasanya sia-sia, karena tidak ada satu kata pun yang terucap.
"Nad ...."
Akhirnya, Vidi berani bicara lebih dahulu.
"Aku minta maaf ... sebesar-besarnya."
"Dari aku untuk seluruh keluarga besar kamu, terlebih untuk kamu, Nad."
Nadia mengepalkan tangannya yang lemah karena gadis itu sama sekali belum makan. Kacamata hitam yang menutupi sepasang matanya yang sembab, rasanya cukup membantu untuk membuatnya tak terlihat menangis.
"Aku salah ... belakangan ini aku stres. Aku pakai barang itu, karena aku ...." Vidi tak sanggup melanjutkan kalimatnya, ada banyak penyesalan yang dapat terbaca hanya dari sekilas pandangan mata.
"Aku nggak pantas untuk kamu ... harusnya, kamu nggak pernah kenal aku."
Nadia mendongak dan menatap Vidi susah payah dengan linangan air mata di pelupuknya. Sebenci apa pun Nadia pada Vidi sekarang, nyatanya ada begitu banyak cinta dan kenangan yang tidak mungkin dapat dilupakan dalam 1 atau 2 tahun.
Vidi meraih tangan Nadia yang terkepal. Tangan Vidi gemetar karena lelaki itu menangis, menyesal, frustrasi, dan tentu menderita.
"Vid ... kenapa kamu tega? Hiks ... sekarang, semuanya ... nggak mungkin!"
***
Sebenarnya Bab 1-3 itu satu bab, tapi karena aku mau buat sub judul, jadi dipisah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 188 Episodes
Comments
Sandisalbiah
gak akan ada kata penyesalan kalau setiap org bijak dlm menentukan langkah, sayangnya kebanyakan mikirnya apa yg terjadi besok itu urusan nanti, sekarang yg penting heppy... sayangnya sikap gak dewasa ini banyak menjerumuskan kita dlm kata penyesalan..!!
2023-10-21
0
susi 2020
😎😎😎😎
2023-04-03
0
susi 2020
🙄🙄🙄
2023-04-03
0