Keluarga memang tempat kembali yang paling pasti. Seperti itulah arti keluarga bagi mereka yang selalu berada di luar orang-orang terdekatnya. Maka saat kembali pada keluarga selain rasa nyaman yang dirasakan, tentunya adalah rasa canggung karena minimnya kebersamaan.
Nadia merasa terharu karena ia dapat diterima dengan baik di keluarga suaminya, Nadia pikir tidak ada orang yang dapat menerimanya lagi setelah ia mengalami kegagalan pernikahan, sehingga Nadia sempat menyerah untuk menikah dan ingin hidup melajang selamanya. Namun, ternyata Nadia salah. Dibalik semua ujian pasti ada kemudahan.
"Apa Chandra nggak bisa perpanjang cutinya? Dia cuti 1 bulan, tapi enggak ambil cuti pernikahan," ucap nenek Merry pada ibunya Chandra.
Nadia tidak memikirkan hal tersebut, Chandra tidak pernah membahas mengenai kepulangannya menuju Flores atau bagaimana kelak sistem pekerjaannya nanti setelah cuti habis.
"Mungkin bisa, Nek. Tapi kayaknya kakak harus izin dulu. Kemarin kan dia nikah mendadak." Joy yang menjawab pertanyaan neneknya.
"Nadia mau kalau nanti ikut Chandra ke mana-mana?" Ibu menepuk pelan pundak Nadia. Membuat Nadia tersenyum kecil.
"Hm, kalau Chandra-nya minta Nadia ikut. Nadia pasti ikut kok, Bu."
Nenek menatap cucu menantunya itu dengan mata berbinar campur khawatir, begitu pun Joy. "Loh, tapi Chandra tugasnya luar pulau Jawa terus. Nenek nggak tega kamu tinggal di perbatasan."
"Iya, kakak ipar mending tinggal di sini aja, di Bandung sama kita hehe ...."
"Benar tuh, biar nanti sekali-sekali jengukin aja Chandra ke tempat tugasnya. Kamu tinggal di sini saja. Tinggal di rumah ini, jadi nenek bisa punya cucu lagi."
Nenek dan Joy bersemangat membujuk Nadia untuk tinggal bersama mereka. Tapi Nadia hanya tersenyum tipis menanggapi permintaan itu. Ibu yang semula mendengarkan pun malah protes.
"Loh, gimana sih Ibu sama Joy ini ... kasihan Chandra dong, masa jauh sama istrinya."
"Hm, lagian ... kenap Chandra ini masih mau saja tugas keluar daerah. Dia kan Jenderal seharusnya bisa pilih lokasi dinas sendiri," keluh nenek dengan wajah masam.
***
Chandra pulang setelah menjemput ayahnya dari tempat kerja. Ayahnya Chandra adalah seorang manajer hotel bintang 5 yang ada di Bandung. Daripada ikut jenjang karir sang ayah, Chandra justru lebih memilih untuk mengikuti jajak kakeknya sebagai abdi negara.
Padahal sewaktu sekolah dulu, Chandra terlihat tidak tertarik sama sekali dengan dunia perwira, pria itu suka musik bahkan beberapa kali Chandra bergabung dalam band sekolah.
Chandra membawa handuk ke lantai 1, tampak pula ia membawa sikat giginya, Ibu yang sedang duduk di ruang TV mengerutkan dahinya bingung. "Kamu mau mandi?" tanya Ibu pada Chandra.
Chandra mengangguk.
"Loh, kamar mandi di kamarmu kenapa, memangnya?"
"Hm, Nadia lagi mandi ... Jadi, saya ngalah aja."
Ibu manggut-manggut, namun di detik berikutnya ibu cantik itu tersenyum kecil sambil menghampiri Chandra. "Eh, kenapa nggak mandi bareng aja?"
Kedua mata bulat Chandra terbuka lebar-lebar saat mendengar saran dari ibunya, Chandra tidak menyangka kalau ibunya bicara begitu.
***
Nadia masih bingung sebenarnya ketika harus menginap di kediaman keluarga Chandra.
Nadia tidak tahu sampai kapan ia harus tinggal di rumah ini, dan kalau Chandra pergi ke Flores bagaimana nasib Nadia?
Setelah mandi, Nadia malah melamun di depan meja rias Chandra. Meja rias yang bersih dan rapi, hanya ada jajaran parfum dan deodoran milik Chandra di sana. Nadia juga tidak tahu di mana pakaiannya disimpan oleh Chandra tadi siang, akhirnya karena tidak ada pakaian apa pun Nadia dengan terpaksa mengambil kaos putih milik Chandra dan memakainya. Sementara celananya Nadia hanya mengenakan short pants yang ia kenakan tadi bersama dengan dress.
Ceklek.
Pintu terbuka dari luar, Nadia mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Ternyata Chandra melonggokkan kepalanya di sana.
"Kamu ... sudah selesai mandi?" tanya Chandra perlahan. Chandra tidak mau saja memergoki Nadia kalau gadis itu sedang tidak berpakaian.
Nadia tersenyum kecil. "Sudah, tadi saya mandi cuma setengah jam kok."
Chandra akhirnya masuk ke dalam kamar dan duduk di tepi tempat tidurnya, menatap Nadia lewat kaca meja rias. Setiap berduaan begini dan sehabis mandi, Nadia dan Chandra sama-sama kaku dan gugup.
"Oh, tumben."
Lalu kembali hening setelah Chandra memberikan tanggapan itu pada Nadia.
"Oiya! Ini ... saya pinjam kaos kamu, ya? Koper saya tadi kamu simpan di mana?"
Chandra yang baru sadar dengan pakaian Nadia yang telah berganti pakaian pun memperhatikan Nadia lamat-lamat. Kaos putih polos kebesaran, celana sangat pendek berwarna hitam dan ketat membalut tubuh mungilnya.
Kulit Nadia yang kuning langsat dan mulus membuat Chandra langsung mengalihkan tatapannya ke sana ke mari.
"Chandra ...," panggil Nadia lagi.
"Koper ... koper kamu, sebentar saya ambil ... koper kamu masih ada di bawah." Chandra hendak pergi, namun Nadia menahan lengannya, membuat Chandra tertahan di samping Nadia.
"Nggak usah, ambil nanti aja."
Chandra menuruti permintaan Nadia, dia lalu kembali duduk di tepi ranjang.
"Oiya ... kalau kamu ke Flores, kamu mau saya ikut nggak?" tanya Nadia membuka percakapan, kalau bukan Nadia yang memulai rasanya tidak akan Chandra buka suara duluan padanya.
Nadia pun beralih dari kursi menuju tempat tidur, ia duduk tepat di samping Chandra.
"Hmm. Saya senang kalau kamu ikut. Tapi saya juga tidak yakin kalau kamu bisa
tinggal di sana."
Nadia cemberut lalu menghela napasnya. "Kamu nyepelein saya, ya?"
"Eh, tidak! Tidak begitu, saya hanya khawatir kalau kamu merasa terbebani dengan keharusan saya yang dinas di Flores ... di sana sangat berbeda dengan di Bandung. Semuanya serba sulit."
"Kalau gitu ... hubungan kita gimana?"
"Maksud kamu?" tanya Chandra bingung.
"Ya, hubungan suami istri kita? Kalau kita LDR, apa artinya kita menikah."
"LDR?" Ulang Chandra tak mengerti.
"Long Distance Relationship, hubungan jarak jauh."
"Oh." Pria itu manggut-manggut, wajahnya masih begitu datar dan tidak berekspresi.
"Kita bisa saling telepon atau sms. Banyak kok yang seperti itu di sana, bukan cuma saya nanti yang LDR."
Nadia mengulum senyum ke arah suaminya. "Kamu, nggak akan kangen?"
Chandra mendongak, menemukan wajah cantik Nadia yang polos tanpa make up tersenyum jenaka padanya.
Drrt drrt
Chandra terkejut, namun pria itu bersyukur dalam hati karena suara telepon dari handphonenya menyelamatkan dari pertanyaan Nadia yang membuat jantungnya berdebardebar tidak karuan.
"Ck, pantes saja kamu nggak punya WhatsApp. Handphone kamu masih Nokia edukasi," keluh Nadia jengkel saat melihat Chandra menyambar handphone di atas nakas dan menerima panggilan. Percaya nggak sih? Di zaman se-modern ini, handphone Chandra masih nokia model lama yang bahkan tidak bisa melakukan panggilan Video.
"Ini Ong. Anak buah saya di sana." beritahu Chandra sambil mengaktifkan sepiker handphone-nya agar Nadia dapat mendengarnya.
"Komandan! Katanya nikah!"
"Dan ... kenapa nggak bilang-bilang?"
"Wah, istrinya artis. Nanti bawa ke sini, Dan."
"Huhu Dan ... kangen. Oleh-olehnya poyeum ya sama cokelat!"
Chandra dan Nadia terkikik mendengar banyak suara berebut untuk bicara di telepon. "Rame, ya?" gumam Nadia pada suaminya.
"Iya ... mereka sudah ambil cutinya, jadi hanya saya yang bisa pulang," jawab Chandra pada Nadia. Nadia tersenyum kecil, sederhana sekali Chandra ini.
"Ong ... di situ lengkap semua?" tanya Chandra pada Ong.
"Lengkap Dan. Di sini ada saya, Alif, Yuta dan Johnny. Kalau yang lain sudah pada tidur," jawab Ong tegas.
"Oiya ... Ong, saya menikah. Maaf mendadak dan tidak undang kalian semua."
"Dan ... memang benar istrinya artis. Saya lihat dari instagram, foto komandan di upload lambe turah."
Nadia lagi-lagi tertawa, yang sekarang terdengar bukan suara Ong, melainkan suara lain.
"Iya, Alif. Saya tidak tahu kalau foto saya banyak beredar di internet." "Wah, kamu tahu suara mereka?" tanya Nadia takjub pada Chandra.
"Iya, tentu saya tahu. Saya sudah bersama mereka saat menjadi siswa pelatihan tamtama," jawab Chandra pada Nadia. Membuat Ong dan kawan-kawannya berbisik menggoda.
Nadia manggut-manggut lagi.
"Wah, cie-cie. Dan, suara istrinya gemas banget. Lagi berduaan, ya?"
Chandra tersenyum kecil, melirik ke arah Nadia yang tampaknya tidak keberatan dengan ucapan prajurit komandonya.
"Halo semuanya ... saya Nadia," sapa Nadia pada telepon yang dipegang Chandra.
"Kyaaaak ... halo bundaaaa ...." prajurit itu mulai kehilangan kontrol membuat Chandra rasanya malu pada Nadia.
"Saya tutup ya, teleponnya. Kalian harus segera tidur, besok kalian harus pelatihan."
Bip. Telepon dimatikan oleh Chandra, membuat Nadia mengerutkan dahinya, ada ekspresi sedikit kecewa yang Nadia tunjukkan.
"Kenapa kamu tutup? Kelihatannya mereka itu kangen sama kamu."
Chandra menggerakkan telunjuknya yang diangkat ke kiri dan ke kanan sebagai bentuk protes. "Emm, tidak boleh begitu, di sana sekarang sudah jam 11 malam. Itu artinya mereka akan kurang istirahat dan tidak fokus latihan. Kalau saya tidak tutup panggilannya, mereka tidak akan berhenti bicara."
Nadia mengerucutkan bibirnya, dan Chandra langsung bersiap mengambil bantal dan guling untuk tidur di atas karpet.
"Kamu mau tidur di karpet lagi?" tanya Nadia tak enak.
"Iya, kamu bisa tidur nyenyak kan malam ini?"
"Emm, kamu tidur aja di atas. Kemarin ... saya terlalu egois karena memikirkan diri saya sendiri. Tempat tidur kamu jauh lebih besar, pasti cukup kok buat berdua."
Chandra tersenyum, lelaki itu urung mengambil bantal dan gulingnya dan kembali menaruhnya di atas tempat tidur.
Nadia menelan salivanya susah payah ketika Chandra merebahkan tubuh di sisinya.
"Baiklah ...."
Nadia menghela napasnya, dia mengikuti Chandra untuk berbaring di atas ranjang. Ada guling yang membatasi dirinya dan Chandra. Di suasana yang begitu sepi dan hening, Chandra bahkan mengatur napasnya agar tidak terlalu kentara kalau dia gugup. Chandra tidak mau kalau kegugupannya sampai diketahui oleh Nadia.
Sementara Nadia membalik tubuhnya untuk membelakangi Chandra sehingga Nadia tidak perlu merasa canggung Di tengah-tengah tidurnya.
Nadia mencoba untuk memejamkan matanya, dia lupa tidak membawa obat tidur dan dapat dipastikan kalau malam ini akan menjadi malam yang amat panjang dan sulit. Daripada mencoba tidur susah payah, akhirnya Nadia mengambil handphone-nya dan mulai menonton drama Korea hasil rekomendasi Joy tadi sore. Nadia sudah menonton setengah episode sih, tapi karena tadi ngobrol sama Ibu dan nenek jadinya Nadia tidak sempat melanjutkan tontonannya.
Nadia senyum-senyum menonton tayangan streaming drama itu, drama yang
menceritakan tentang kisah cinta beda profesi antara tentara militer aktif dan seorang dokter cantik yang dipertemukan pertama kali saat pelatihan tugas.
"Ih ... so sweet," gumam Nadia tak sengaja ketika adegan menunjukkan sosok tentara tampan menyerahkan selendang si dokter yang jatuh tertiup angin.
Chandra yang mendengar suara pun kembali membuka matanya dan memiringkan tubuhnya ke arah Nadia.
"Kamu tidak tidur?" tanya Chandra dengan suara serak.
Nadia terkikik. "Eh kamu harus nonton deh."
"Nonton?" tanya Chandra heran.
"Iya, drama Korea. Gemesh banget, yang main dramanya ganteng sama cantik. Nih ceritanya juga cowoknya tentara. Kayak kamu."
Chandra mulai mendekati Nadia dan menyingkirkan guling yang ada di antara mereka, Nadia pun beringsut untuk berbagi layar handphone-nya dengan Chandra.
Chandra manggut-manggut, menikmati tontonan itu dengan Nadia yang malah terbawa suasana sampai menggigit-gigit telunjuknya.
"Kalau laki-lakinya tentara, profesi perempuannya, apa?"
"Jadi, pasangannya itu dokter. Mereka lagi sama-sama tugas gitu di zona militer."
Jleb! Chandra menelan salivanya kasar.
"Keren, ya. Kalau di dunia nyata ada nggak sih pasangan tentara sama dokter yang ketemu di daerah zona darurat gini?" tanya Nadia pada Chandra yang mulai tidak fokus dengan drama Korea itu.
"Hm, mungkin ada."
Nadia langsung saja menoleh excited ke arah Chandra dan tersenyum berbinar. "Serius? Teman kamu ada yang begitu?"
Chandra hanya datar seperti biasa ketika Nadia menatapnya dengan jarak dekat seperti ini. "Kan cerita fiktif buatan sutradara itu biasanya berasal dari kisah nyata. Siapa tahu, kamu pernah kenal tentara yang pacaran atau nikah sama dokter gitu," tambah Nadia, tanpa tahu kalau Chandra sebenarnya sudah tidak mau membahas kisah cinta di dunia militer seperti dirinya.
Nadia tidak mendapatkan jawaban apa pun dari suaminya, dan waktu sudah menunjukkan lewat jam tidur Chandra. Gadis itu pun mematikan handphone-nya dan kembali pada posisinya semula.
"Kenapa kamu berhenti nonton?" tanya Chandra keheranan, karena Nadia justru menghentikan tontonan drama Koreanya.
"Maaf, saya egois. Kamu pasti nggak suka nonton, ya?"
Chandra mengulum senyum, Nadia terlihat seperti anak kecil yang mengubah-ubah ekspresinya dalam waktu kurang dari semenit. Mungkin karena Nadia pernah main sinetron makanya dia pandai berekspresi. Berbeda dengan Chandra yang diwajibkan untuk terus serius dan fokus.
"Tidak. Ini sudah malam, jadi ... saya pikir, sebaiknya beristirahat."
"Tapi ... sebentar lagi, saya akan kembali ke Flores untuk mengurus pekerjaan saya. Kalau kamu mau bicara sesuatu, bilang saja sekarang. Saya akan menjadi pendengar yang baik. Hitung-hitung pendekatan," jelas Chandra dengan suaranya yang dibuat lembut. Nadia tersenyum dan mulai memiringkan tubuhnya ke arah Chandra. "Benaran?"
Chandra mengangguk sungguh-sungguh.
Nadia sangat butuh teman cerita, dibandingkan diceramahi. Nadia hanya ingin mengungkapkan seluruh isi hatinya pada Chandra. Entah itu tentang dirinya yang kini menjadi orang baru, atau tentang perasaannya yang masih belum jelas di tengah-tengah kebahagiaan keluarga.
"Saya kangen mama ... saya pikir, setelah mendapatkan keluarga baru dan menikah dengan kamu, rasa kangen saya sama mama bisa ilang. Ternyata nggak ... ibu dan nenek kamu membuat saya merasa sedih karena ... saya justru semakin merindukan mama," ungkap Nadia dengan senyum yang dipaksakan pada bibirnya.
Chandra mengangkat tangannya dan mengusap lembut puncak kepala Nadia. "Saya nggak pernah kenal mama. Karena mama meninggal saat melahirkan saya, saya tahu mama dari 'katanya' lalu setelah itu, ingatan tentang mama dari cerita papa dan nenek justru tidak pernah muncul sama sekali, karena saya benar-benar tidak pernah melihat wajahnya sekalipun."
Sampai di sini, air mata keluar membasahi pipi Nadia membuat Chandra menarik tubuh Nadia ke dalam pelukannya. Tubuh kecil itu terbungkus pelukan besar dari kedua lengan
Chandra, Nadia memejamkan matanya menangis tersedu-sedu di dada bidang milik suaminya. Nadia tidak menolak sama sekali sentuhan Chandra, dia justru merasa terjaga dan aman dalam pelukan itu. Chandra menghadirkan dirinya dalam bentuk kehangatan berbeda dari biasanya.
Lelaki itu tak bicara sepatah kata pun, benar-benar menjadi pendengar baik sesuai janjinya.
"Maaf, kalau nanti saya tidak bisa menjadi seorang wanita idaman untuk kamu. Hiks ... karena ... saya tidak punya peran mama dalam hidup saya."
Chandra mengangguk pelan, diusapnya pipi kanan Nadia dengan lembut sembari tersenyum. Jemari Chandra yang lembut karena sudah lama tidak menyentuh senapan membuat Nadia memejamkan matanya dengan nyaman.
"Naluri kamu tetap perempuan Nad ... kamu adalah pilihan saya sebagai pendamping hidup. Tidak masalah siapa pun panutan kamu untuk tumbuh menjadi seorang wanita. Saya dan kamu ditakdirkan untuk bersama, cepat atau lambat naluri kamu sebagai seorang perempuan akan muncul sendirinya. Saya juga bukan orang yang sempurna, kata kamu saya selalu datar, non ekspresi, tapi ... mungkin ada makna dibalik pernikahan cepat kita. Saya harus pandai-pandai beradaptasi dengan kamu. Dengan kata lain, kita harus sama-sama belajar, tanpa mengucilkan kekurangan dan perbedaan masing-masing. Saya. Kamu. Atau mungkin ... kelak, akan hadir anak-anak kita. Semua akan dan sedang berproses."
Dalam pelukannya Nadia memperhatikan Chandra bicara, mengikuti gerakan bibir kemerahan itu dengan serius. Mengaminkan dalam hati setiap kalimat yang menyerupai doa itu dengan senyum tipis di bibir.
"Chandra."
"Hm?" Mata Chandra sudah setengah terpejam, tetapi laki-laki itu kembali membuka matanya hanya untuk menanggapi Nadia.
"Boleh saya tidur di pelukan kamu?"
Chandra tersenyum kecil, dan mendekap Nadia semakin erat.
Sebab dusta kalau Chandra tidak ingin memeluk Nadia, bohong jika Chandra tidak ingin menghirup dalam-dalam aroma tubuh istrinya itu. Bohong besar pula jika Chandra tidak ingin mencium kening istrinya itu dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, Chandra adalah lelaki normal yang sudah berada di usia dewasa, dia sudah menikah, akal sehat dan nalurinya pun berkata untuk membuat pernikahan yang indah dengan Nadia. Namun, di tengah-tengah ide itu Nadia tertidur lelap dalam dekapannya.
Chandra memandangnya, menatap wajah mungil itu dengan mata terkantuk-kantuk namun senyum di bibirnya tidak pernah pudar, masih tergambar walau begitu tipis.
"Vidi ... jangan pergi."
Nadia memejamkan matanya dengan tak nyaman, saat nama pria lain ia sebut dengan nada menyedihkan dan memohon. Chandra melonggarkan pelukannya, dan senyum tipis pria itu menghilang seolah tak pernah terjadi.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 188 Episodes
Comments
Sandisalbiah
sakit saat pasangan menyebut nama mantan apa lagi di alam bawah sadarnya krn itu artinya sang mantan masih melekat dlm hati dan angan nya..
2023-10-21
0
susi 2020
😍😍😍🙄
2023-04-04
0
susi 2020
🥰🥰🥰
2023-04-04
0