Siang yang terik membuat seorang gadis berkulit putih menyipitkan kedua mata bulatnya, ia menutupi dahi dengan sebelah tangan untuk bisa melihat lebih jelas pijakannya yang cukup terjal. Tanah tandus dan bebatuan membuat kakinya yang dibalut sepatu putih beberapa kali tergelincir dan nyaris saja jatuh. Belum lagi satu koper besar yang ditarik oleh sebelah tangannya yang lain.
Gadis itu tersenyum kecil saat menemukan sebuah kantor pusat kesehatan masyarakat yang menjadi tujuannya kini ada di depan mata. Gadis itu tinggal menaiki tangga bebatuan dan bisa sampai untuk beristirahat.
"Selamat siang!" sapa gadis itu saat setibanya di tempat yang telah siap untuk menyambutnya.
"Loh, Dokter?" tanya seorang wanita yang berprofesi sebagai bidan. Dua orang lakilaki berpakaian tentara tampak saling berbisik satu sama lain.
"Kenapa tidak menghubungi dulu sebelum kemari? Saya bisa meminta para Tentara ini untuk menjemput menggunakan kendaraan," ujar si bidan dengan terkejut, ia menyapa dokter dengan cekatan dan langsung mengambil alih tas serta koper yang dibawa dokter itu.
Gadis yang dipanggil dokter itu tersenyum kecil. "Ah, bukan hal besar. Saya juga sekalian tadi habis mencari spot untuk foto pemandangan alam."
"Tapi 'kan tetap saja, seharusnya kita menjemput Dokter dari bandara. Dokter pasti capek, 'kan? Mari duduk dulu."
Dua perawat dan satu bidan itu pun mulai sibuk untuk menyiapkan keperluan dokter yang baru saja tiba. Dokter itu rencananya bertugas untuk 2 tahun lamanya sebagai dokter pengganti yang sudah beralih tugas ke daerah terpencil lain.
Dua tentara yang tadi saling berbisik itu adalah Johnny dan Alif, bukan membisikkan sesuatu yang penting, melainkan hanya membicarakan diam-diam si dokter yang sepertinya pernah mereka lihat wajahnya.
"Kalian, tugas di sini juga?" tanya dokter itu pada Alif dan Johnny yang langsung saja tersenyum saat disapa.
"Ehm, iya."
Dokter itu tersenyum kecil. "Oh, iya, saya juga lihat kantor pengawasan TNI AD ada di sebelah. Perkenalkan, nama saya Nellie, mohon kerja samanya untuk dua tahun ke depan. Saya adalah pengganti Dokter Darius." Gadis itu mengulurkan tangannya pada Alif dan Johnny untuk berjabat, dan dua orang itu tampak dengan senang hati menerima jabatan tangan dari Nellie.
"Saya anggota bintara sersan dua, Alif."
"Saya anggota bintara sersan satu, Johnny."
Nellie terkikik mendengarkan perkenalan anggota TNI itu, mengingatkannya pada seseorang. Seseorang yang selalu bicara formal dan datar.
***
Nadia membawa banyak sekali koper untuk perjalanannya kali ini, gadis itu bahkan harus menyewa mobil pick up dari kota untuk bisa sampai di daerah perbukitan Flores, hanya untuk mengangkut barang-barangnya. Nadia juga sudah mencoba untuk menghubungi Chandra dan Ong agar menjemputnya di kota, tetapi Nadia tidak berhasil melakukan hal itu karena mereka tidak ada di kantor dinas dan sedang melaksanakan tugas luar.
"Mobilnya hanya bisa sampai sini Ibu," ujar si sopir yang sejak tadi mengemudikan pick up yang disewa Nadia.
Nadia menarik napasnya dalam-dalam, tampak jalanan sangat panas dan terjal, ada papan petunjuk di persimpangan jalan.
'Puskesmas 1 Km, perumahan militer 2 Km.'
"Yang benar, Pak? Di depan sana 'kan masih ada jalan, bisa tolong bawa saya sampai ke perumahan militer? Masa saya jalan dua kilo meter," keluh Nadia dengan wajah amat menyedihkan. Dia tidak sanggup kalau harus jalan sejauh dua Km dan membawa banyak koper.
"Tapi kalau sudah masuk daerah militer dilarang masuk kendaraan seperti ini. Nanti saya dikira pencuri, Bu," jelas sopir itu dengan wajah tak kalah menyedihkan.
Nadia mendesah kecil. "Suami saya anggota TNI kok, mana mungkin dia ngira yang antar istrinya, pencuri."
"Ibu bicara betul?"
Nadia mengangguk. "Saya nggak mau bohong tuh. Memangnya Bapak sopir nggak kenal saya?"
Si sopir berkulit agak gelap itu menggeleng kecil, tapi membuat Nadia menepuk dahinya.
"Sedih banget sih, ternyata gue belum benar-benar terkenal. Sampai masyarakat pelosok Indonesia masih ada yang nggak kenal gue," gumam Nadia pelan.
"Jadi, Ibu itu siapa?"
"Pokoknya saya itu anggota ... Persit ... Kartika Chandra Kirana!" ujar Nadia agak terbata-bata namun bangga pada sopir yang meragukan statusnya.
Sopir itu menilik dari atas hingga ke bawah. "Ah, Ibu ini terlihat bak artis sinetron. Tidak seperti istri TNI."
Nadia cemberut, meskipun benar sih, ia artis, tetapi kenapa dia kesal juga saat dia tidak dianggap sebagai istri seorang prajurit.
"Baiklah, saya antar Ibu ke sana, tapi bayarnya tambah 200 ribu."
"Iya iya dih, mata duitan juga bapak sopir ini." Kekeh Nadia sambil mengeluarkan uang dari dompetnya untuk langsung dibayarkan.
***
Nadia menata kelima kopernya di sebuah halaman rumah yang minimalis, rumah itu dicat warna hijau army dan putih, ada beberapa tanaman yang menghiasi pagar rumah yang berbahan utama tralis. Gadis itu melihat-lihat sekeliling tempatnya berdiri, ia tersenyum kecil sambil menarik napas dalam-dalam untuk menikmati aroma Flores tempat suaminya tinggal.
"Beneran, di sini sama sekali tidak ada sinyal," ucap Nadia sesaat setelah melirik handphone-nya.
Ia kemudian mendekat ke arah rumah, tetapi tidak satu pun orang dapat ia temui di tempat itu.
"Nona!" panggil seorang ibu yang terlihat memikul kayu bakar di punggungnya. Ibu itu sepertinya penduduk asli Flores, ia menyapa Nadia dari luar pagar.
"Iya?" ujar Nadia gugup, Nadia khawatir dia akan dikira pencuri.
"Sedang apa di sini? Semua tentara sedang latihan di bawah bukit sebelah sana," ujar ibu itu memberitahu.
Nadia berlari kecil sambil membawa tas ranselnya. "Oh, ya?"
Ibu itu mengangguk. “Ada perlu apa memangnya? Anda sama sekali tidak terlihat
seperti orang sini."
"Saya mau ke bukit itu, saya akan tinggal di rumah ini bersama suami saya," ucap Nadia gugup, ia sama sekali tidak melihat raut ramah dari ibu yang membawa kayu bakar itu. Nadia menghela napasnya, ia juga takut sekali kalau banyak orang tidak menyukai keberadaannya di sini.
Ibu itu menilik penampilan Nadia dari atas sampai ke bawah. Kemudian, menurunkan kayu dari gendongannya ke tanah. "Mari, saya antar!" ajaknya dan begitu saja mendahului Nadia untuk pergi ke tempat yang dimaksudkan.
Awalnya Nadia akan menunggu Chandra pulang latihan, tetapi itu akan memakan waktu lama sekali. Nadia juga tidak yakin kalau dia akan sabar menunggu di depan rumah. Akhirnya dengan sisa tenaganya, Nadia pun berjalan menyusuri bebatuan dan kerikil serta jalanan tandus yang mengepulkan asap saat dipijak, mengikuti ibu baik hati yang mengantarnya. Sepatunya yang berwarna hitam kini berubah menjadi coklat karena tercampur dengan tanah.
"Sudah sampai, Nona tinggal naik ke bukit kecil ini, Nona bisa bertemu dengan suami Nona."
Nadia tersenyum lebar dan mengeluarkan sesuatu dari tas ranselnya sebelum ibu itu pergi. "Bu, terima kasih. Ini, saya ada sedikit oleh-oleh."
Ibu itu mendongak saat tangan putih dan halus milik Nadia menahan lengannya, sembari menyerahkan satu bungkus makanan.
"Ah, tidak perlu!" tolak ibu itu dengan senyum, akhirnya senyum juga, Nadia menjadi lega.
"Enggak! Ibu harus terima. Untuk anak ibu mungkin."
Ibu itu akhirnya menerima makanan pemberian Nadia dan mengucapkan terima kasih kembali atas pemberian Nadia. Sementara Nadia langsung saja menaiki bukit yang dimaksud.
***
"Ong, apa saya tidak salah lihat," ujar Chandra sambil memicingkan matanya ketika pandangannya tertuju pada bukit.
Ong mengikuti arah pandang Chandra.
"Saya seperti melihat Nadia di sana." Tunjuk Chandra dengan tangan kanannya ke arah bukit yang ditumbuhi ilalang.
"Jenderal!" panggil suara lembut itu dan sosok Nadia yang kecil semakin terlihat jelas sedang turun menapaki bukit dengan hati-hati.
Ong masih melongo dan mengucek-ngucek kedua matanya.
Chandra tersenyum lembut, pria jangkung itu bangkit dari duduknya di atas tanah dan berlari untuk memastikan bahwa benar itu adalah Nadia yang dengan ajaib muncul di Flores.
"Dan, itu beneran istrinya?! Suaranya merdu!" teriak Ong yang selintas terdengar oleh Chandra yang sudah berlari cukup jauh mendekati bukit.
Nadia dengan tidak sabar mempercepat langkah kakinya untuk turun dari bukit. Sementara Chandra semakin dekat di hadapannya. Tangan panjang pria itu juga menepis ilalang yang menghalangi langkahnya.
Nadia tertawa kecil, perjalanan jauh nan melelahkan itu akhirnya membuahkan hasil yang membuat dirinya merasa bangga bisa bertemu dengan Chandra.
"Ternyata benar! Nadia ... kamu ...." Chandra tidak dapat melanjutkan kata-katanya, dia menggapai lengan Nadia dan menarik gadis itu dengan perlahan ke arahnya.
Nadia mengangguk. "Hmm, kaget?"
"Iya, sangat! Kenapa kamu tidak mengabari saya kemarin?"
"Hehe, kejutan!"
Chandra merapikan rambut Nadia yang sedikit kusut, dan beberapa daun ilalang tersangkut dihelaian rambut panjangnya, hal ini membuat Nadia mendongak untuk menatap wajah suaminya yang terasa berbeda sejak mereka dipisahkan 3 bulan lalu. Kulit Chandra sedikit lebih gelap, tetapi justru tampak semakin gagah dengan seragam lengkap begini, apalagi lengan kemejanya yang digulung sampai ke sikut, membuat Nadia tak bisa menatap lama-lama.
"Bagaimana kamu bisa sampai di sini? Dan kamu juga ke sini sendirian?" tanya Chandra tanpa mengalihkan fokusnya untuk membersihkan rambut Nadia dari ilalang.
Nadia terdiam, ia masih belum bisa menghilangkan rasa canggung jika dipertemukan dengan Chandra lagi. Kenapa Nadia masih saja begini sih, padahal kalau di telepon mereka cukup akrab dan baik-baik saja.
"Kenapa tanyanya begitu, emang nggak senang disamperin ke sini sama istrinya?" ucap Nadia sambil menyenggol Chandra.
Chandra menyembunyikan rasa senangnya dengan memasang tampang datar. "Bukan begitu. Saya hanya khawatir kalau kamu tersesat di suatu tempat. Apalagi di sini tidak seperti Bandung, tidak ada kendaraan umum," jelas Chandra yang membuat Nadia sedikit tersipu.
Tiba-tiba, Chandra meraih kedua tangan Nadia dan menggenggamnya, kedua mata pria itu menatap lurus pada mata Nadia yang sedikit bergetar karena gugup.
"Tentu, saya senang bisa bersama kamu lagi. Seperti yang saya bilang sebelumnya, saya ingin satu hari lebih lama bersama kamu."
"Jadi, sekarang kita ngapain?" tanya Nadia polos sambil mengedarkan pandangannya ke arah tanah luas dengan rumput ilalang yang tumbuh.
"Ehm. Sekarang, saya tidak bisa memeluk kamu. Saya bau keringat, dan saya juga tidak bisa mengobrol dengan kamu. Saya masih harus berpatroli di daerah ini bersama yang lainnya."
"Siapa juga yang mau dipeluk," ucap Nadia ketus, tetapi pipi gadis itu memerah saat Chandra menjelaskan keadaan dirinya.
Chandra tertawa kecil karena gemas dengan ekspresi cemberut Nadia. "Hm, bukannya di drama Korea yang kamu tonton seperti itu, ya? Kalau sepasang kekasih bertemu setelah sekian lama berpisah, mereka akan berpelukan."
"Ya maaf, kalau saya telah salah mengira keinginan kamu," tambah Chandra tak enak.
Nadia dengan cepat menyambar lengan Chandra yang merangkulnya erat. "Kalau gitu, saya mau jalan-jalan. Ikut kamu patroli. Boleh, ya?"
BERSAMBUNG ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 188 Episodes
Comments
Sandisalbiah
barengan dong nyampenya.. si istri dan sang manda, sama² nyampe Flores.. apa kabar hati Candra nanti ya..? 🤔🤔
2023-10-21
0
Aryati Alfareza
saya hadir🤭🤭 cerita nya bikin baper
2023-05-16
0
Sri Astuti
sumpah udah di baca berkali2 masih aja kangen sama pasangan ini 😍😍😍😍😍😍😍😍
2022-04-26
0