Luka Clara

“Mau kemana anak gadis? Tumben rapi banget biasanya kayak gembel” tegur Bude Sumiyati dari balik loyang besar, matanya menatap Clara dari atas sampai bawah.

“Mau ikut Mbak Arda ke pameran seni, aku cantik kan?” balas Clara berputar memamerkan rok jeansnya.

“Iya cantik, tapi cantikan bude” jawab Bude Sumiyati tidak mau kalah iseng mendekati Clara dan mengendus-endus bau parfum cewek itu. “Harum bener macam taman”

“Nggak usah endus-endus bude bukan anjing pelacak kan?”

“Dulunya” ujar Bude Sumiyati cuek. “Sekarang mah udah reinkarnasi jadi  hot mommy”

“Tapi jomblo”

“Siapa bilang? banyak kok yang ngantri”

“Mana? Bapak-bapak gendut jas merah kemarin?”

“Eh kamu aja nggak tau, yang deketin bude itu banyak, berabs semua”

“Tapi nggak ada yang jadi”

“Emang kamu udah siap punya pakde baru?”

Clara ngakak lalu menghampiri Arda di depan. “Mbak aku udah siap.”

Wajah Arda berpaling sejenak menatap Clara serius sembari menarik napas pelan. “Kamu beneran mau kesana?”

“Iya mbak, kenapa sih? kayaknya Mbak Arda dari semalam gelisah banget aku mau ikut ke pameran seni ini, Mbak nyembunyiin sesuatu ya?” tanya Clara curiga. Arda buru-buru menggeleng dan memberikan alasan yang terlintas di benaknya.

“Mbak cuman takut kamu ngerasa bosan, tau sendiri kan acaranya orang kaya itu kayak gimana?”

Clara nyengir. “Percaya deh mbak aku nggak bakalan bosan selama bisa ngeliat barang-barang seni disana”

“Yaudah deh kalo gitu ayuk berangkat, daripada telat” ajak Arda akhirnya. Mereka kemudian berjalan sampai ke depan gang depan dan memberhentikan taksi, tidak ada yang berbicara karena baik Arda maupun Clara sedang sibuk tenggelam dalam pikirannya masing-masing.

...*****...

Rian turun dari mobil mengikuti langkah kaki Joseph masuk ke dalam gedung dan bersalaman dengan rekan-rekan bisnisnya. Sesekali cowok itu memperbaiki kerah bajunya untuk mengusir rasa bosan. Penampilannya sangat formal hari ini, berbeda dengan penampilannya sehari-hari, membuat Rian sedikit merasa risih dengan dirinya sendiri.

“Ini pasti Rian” sapa seorang wanita dengan alis cukup tebal, Rian tersenyum kikuk menjabat uluran tangan wanita itu.

“Rian ini tante Ani, teman papa waktu kuliah” kata Joseph memperkenalkan wanita itu.

“Sudah kelas berapa kamu sekarang?”

“Kelas sebelas tante” jawab Rian lugu. Selanjutnya giliran Joseph yang berbicara dengan Ani, sesekali ia membanggakan Rian, membuat cowok itu menjadi salah tingkah sendiri.

“Halo Joseph” sapa seorang lelaki asing menghampiri mereka. Bibirnya tersenyum ketika menyapa Joseph. Kepala Rian sedikit mendongak karena tinggi lelaki itu begitu menarik perhatian bersamaan dengan garis wajahnya terlihat jelas menunjukan bahwa ia pernah menjadi seorang lelaki tampan di usia muda. “Anakmu?”

“Ya”

“Ardi Wijaya.” Lelaki itu memperkenalkan diri membuat Rian mendadak berpura-pura tersenyum sopan, sebenarnya ia masih kagum karena melihat fisik lelaki itu yang terlihat menarik, bukan hanya Rian saja tapi keberadaan Ardi mampu menarik perhatian semua orang untuk mencuri pandang ke arahnya.

“Dia teman papa yang papa bilang asli orang Korea”

“Hah?” Rian bengong. Ardi Wijaya orang Korea? Sejak kapan warga Korea suka menggunakan nama Indonesia?

“Jinyong Kim. Tapi lebih suka dipanggil Ardi ketika berada di Indonesia. Bahasa Indonesia saya sangat baik” kekeh Ardi menjelaskan. Rian mengangguk-angguk bodoh padahal dalam hati ingin menertawakan dialek Ardi karena terdengar begitu menggelitik telinganya. Sesaat Rian hanya terdiam membiarkan Joseph dan Ardi mengobrol, yang bisa ia tangkap adalah kedua orang itu adalah teman baik sejak dibangku kuliah, Ardi merupakan sponsor utama acara ini, dan ia ingin menemui putrinya. Hidung Rian kembang kempis merasa bosan, beruntung acara akan dimulai dan Ardi akhirnya pergi karena harus menyapa tamu lain.

“Kalo tidak salah putri sulung Ardi bersekolah di tempat kamu”

“Siapa?” tanya Rian penasaran. Joseph tidak menjawab karena saat itu tepat seorang lelaki tua bersama wanita muda menyapa mereka. Kepala Rian berpaling menatap ke arah lain, ia benar-benar merasa bosan berada ditempat sebesar ini, Menurutnya tidak ada hal menyenangkan yang bisa ia lakukan selain menunggu acara dimulai, semua terasa sangat membosankan bahkan ia masih tidak bisa menemukan hal menarik dari berbagai benda antik yang berada di dalam kotak kaca diatas meja.

Secara tiba-tiba mata Rian menangkap sosok seorang cewek berdiri di depan lukisan, matanya menyipit dan senyumnya mendadak muncul begitu menyadari bahwa cewek itu adalah Clara. “Pa aku mau lihat-lihat dulu” kata Rian lalu beranjak pergi mendekati Clara. Ia berdiri tepat di belakang cewek itu, bibirnya terus menyunggingkan senyum melihat penampilan manis Clara dengan rok jeans hitam dan rambut digerai. Salah satu jari tangan Rian terangkat ke arah pipi sebelah kiri Clara. “Hai.”

Wajah Clara berpaling dan pipinya sukses menyentuh jari Rian, matanya membulat terkejut lalu mundur selangkah. “Lo ngapain disini?”

“Nemenin bokap. Lo sendiri ngapain?”

Clara tersenyum lebar menunjukan undangannya. “Temannya Mbak Arda salah satu panitia terus Mbak Arda dikasih tiket ini”

“Mbak Arda mana?”

“Tadi katanya mau ketemu temannya dulu.”

Rian mengangguk paham. “Mau lihat-lihat ke sana nggak?”

“Gue nggak boleh masuk situ, disini tertulis hanya VVIP yang bisa masuk kesitu”

“Santai kan ada gue” balas Rian langsung menarik tangan Clara masuk ke dalam ruang lain yang hanya dikhususkan untuk tamu tertentu. Sejenak Clara ragu, tapi ragunya lantas menghilang ketika melihat dua penjaga disitu tidak menahan langkah mereka, batinnya langsung meyakini Rian pasti anak dari seorang pebisnis yang memiliki pengaruh kuat disini.

“Wow” mata Clara membulat begitu melihat guci berhiaskan berlian di atas meja kecil dan dihalangi garis pembatas. “Ini barang-barang yang mau dilelang ya?”

“Hmm” angguk Rian. Clara tersenyum kecut, meskipun dirinya sangat mencintai karya seni tapi sampai sekarang masih banyak hal yang tidak ia mengerti dengan cara pemikiran kaum berduit ketika rela mengeluarkan banyak uang untuk membeli benda-benda seperti ini.

“Bokap lo ada barang yang mau dilelang juga nggak?”

“Enggak, bokap gue nggak terlalu suka karya seni”

“Terus ngapain kesini?”

“Ketemu temannya.”

Gantian Clara mengangguk, cukup lama mereka berada disitu karena Clara begitu menikmati setiap benda seni yang ditata rapi diatas meja-meja kecil. Pikirannya sibuk menebak-nebak berapa harga lelang yang pantas diberikan untuk setiap benda-benda itu.

“Udah mau mulai ya mbak?” tanya Rian ketika beberapa orang pegawai mulai memindahkan barang pelelangan keatas meja beroda. Salah satu pegawai mengangguk sopan lalu kembali sibuk bekerja. “Masih mau disini atau kembali ke depan?”

“Balik yuk, gue beneran pengen tahu cara orang-orang ngelelang barang”

“Yaelah tinggal angkat papan doang” balas Rian. Ekspresinya santai mengikuti Clara kembali ke depan, mereka berdiri di tempat paling belakang karena semua orang sudah mulai berkerumun di dekat panggung kecil sementara seorang pembawa acara sibuk membacakan tata cara pelelangan dan peraturan dasar untuk para tamu, meskipun apa yang ia lakukan tampaknya tidak terlalu diperhatikan orang lain.

“Rian.” Keduanya serempak berpaling tampak seorang cewek berlari menghampiri mereka, lebih tepatnya Rian karena ia langsung memeluk cowok itu dan tidak mengacuhkan keberadaan Clara. “Lo parah banget sih tiap kali gue chat jarang dibalas”

“Sibuk Sa”

“Sibuk beneran apa pura-pura sibuk?” sindir cewek itu. Mata Clara menatap kagum cewek itu cantik dengan tubuh tinggi dan rambut diikat rapi, gaya berpakaiannya begitu menarik karena sesuai selera Clara. “Lo ke sini sama Om Joseph ya?”

“Iya” angguk Rian singkat. “Eh ngomong-ngomong Cla kenalin ini Sasa” lanjutnya agak terlambat untuk memperkenalkan Clara kepada Sasa.

“Sasa” kata Sasa menyambut uluran tangan Clara, matanya jelas menatap Clara menilai, membuat cewek itu salah tingkah berpikir ada yang salah dengan penampilannya.

“Sasa teman SMP gue, terus Sa ini Clara dia pacar gue” kata Rian membuat Clara bengong sementara Sasa melemparkan ekspresi tidak percaya.

“Pacar?” Sasa memastikan. Rian mengangguk malah merangkul Clara santai.

“Cantik kan cewek gue?”

“I-iya. Gue nggak tau kalo lo udah punya pacar baru”

“Baru jadian kok, tapi mau gue kenalin ke bokap gue”

“Oh yaudah kalo gitu semoga bokap lo suka” balas Sasa kikuk, sesaat bisa Clara rasakan aura kebencian dari Sasa ditujukan kepadanya. “Gue balik dulu kesana, nggak enak disini lama-lama gangguin kalian kencan. Bye Rian” lanjut Sasa lalu melangkah pergi. Bibir Clara berdecak bahkan cewek itu tidak menunjukan senyum pura-pura kepadanya dan lebih memilih untuk tidak mengacuhkan keberadaan Clara seolah ia hanya sebuah batu yang berada di samping Rian.

“Duh cantik banget sih cewek gue” cubit Rian gemas pada pipi Clara sampai cewek itu meninju lengannya.

“Sekali lagi lo ngaku-ngaku gue cewek lo, gue hajar lo” ancam Clara. Ekspresi Rian terlihat santai bahunya terangkat sebagai jawaban singkat.

“Lagian dia kalo nggak digituin nggak bakalan menyingkir dari hadapan gue”

“Urusan lo, makanya jangan suka tebar pesona”

“Lah gue emang ganteng” balas Rian pede.

Clara meringis kembali melemparkan pandangan ke depan, “eh itu Mbak Arda” tunjuknya ketika melihat Arda muncul bersama seorang wanita, mereka terlihat serius berbicara sampai kemudian pandangan Clara mendadak beku melihat siapa yang berjalan dibelakang Arda bersamaan dengan suara mc meminta perhatian para tamu karena seorang bernama Ardi Wijaya akan memberikan beberapa kata sambutan. Mendadak semuanya terasa jelas, alasan Arda bisa dengan mudah mendapatkan undangan pameran seni ini, alasan mengapa wanita itu terus merasa gelisah sejak kemarin, dan kata papa yang keluar dari bibir Erika jelas menunjukan definisi dari seseorang yang harus Clara hindari, benci, dan lupakan.

Sekitar sepuluh menit Ardi berbicara, setelah selesai tepuk tangan bergema memenuhi ruangan dan satu persatu barang pelelangan dikeluarkan. Clara bisa merasakan keinginan menggebu-gebu untuk melihat setiap benda antik dan menikmati acara langsung menguap hilang tak berbekas. Wajahnya mendadak pucat ketika menyadari Ardi bersama beberapa orang bawahannya dan Arda berjalan mendekati dirinya.

 Tubuh Clara gemetar perlahan mundur ke belakang sampai tidak sengaja menabrak Rian yang dengan sigap menahannya. “Clara? lo nggak papa?” tanya Rian heran melihat wajah cewek itu mendadak pucat pasi. Kepala Clara menggeleng tanpa makna, ia segera berdiri di samping Rian dan tanpa sadar menggenggam tangan cowok itu erat. Rian yang merasakan getaran pada tangan cewek itu menatapnya khawatir.

“Clara” panggil Ardi seolah tidak menyadari kehadirannya baru saja membuat putri sulungnya merasakan syok luar biasa. Mata Clara menatap marah tapi bibirnya mendadak terkunci, ia tidak bisa melakukan apapun selain terus menggenggam tangan Rian erat.

“Ini putrimu?” tanya Joseph baru muncul langsung menatap Clara lekat-lekat, ia tersenyum puas menyadari putri sulung Ardi Wijaya berdiri disamping putranya, tanpa perlu bertanya sudah bisa disimpulkan bahwa kedua anak itu berteman atau bahkan mungkin lebih dari teman.

“Bagaimana kabarmu? Papa sempat berpikir kamu tidak akan datang karena wanita ini mengatakan seperti itu. Tapi lega rasanya melihat kamu disini” kata Ardi sempat menunjuk ke arah Arda dengan gestur tidak sopan, ia terlihat sekali meremehkan wanita itu.

“Clara” panggil Arda pelan membuat otak Clara mulai kembali bekerja. Ia melepaskan tangannya dari Rian.

“Aku mau ke toilet” katanya tanpa permisi langsung berlari pergi.

“Kubilang juga apa” kekeh Joseph membuat Rian semakin merasa kebingungan, hanya ia seorang disini yang terlihat tidak mengerti situasi. “Victor punya bakat untuk meramal kehidupan seseorang”

“Diamlah” ketus Ardi mendadak jengkel, ia berpaling ke arah Arda. “Pergi cek keadaannya” perintahnya dengan ekspresi tidak senang.

“Iya pak” jawab Arda takut-takut.

“Ah, pastikan dia tidak melukai dirinya” kata Ardi lagi. “Kau dibayar untuk memastikan putriku tetap baik-baik saja.”

Bibir Arda tersenyum kaku, meskipun hatinya merasa kesal ia akhirnya tetap memilih melangkah pergi menyusul Clara sambil menahan diri untuk tidak membanting Ardi di lantai.

“Pa aku mau nyusul Clara” kata Rian tiba-tiba ikut melangkah pergi mengikuti Arda dari belakang. Ia mungkin masih tidak mengerti apa yang sedang terjadi tapi perasaannya mengatakan bahwa Clara membutuhkan dirinya sekarang.

...*****...

“Hoek, hoek, hoek.” Tangan Clara menekan tombol flush dan setelah itu duduk diatas toilet, napasnya tersengal-sengal merasakan sesak dan rasa tidak nyaman menyelimuti fisik serta mentalnya. Matanya terpejam merasakan nyeri di kepala, terbayang wajah dan suara Ardi membuat tubuhnya bekerja tidak normal. Umumnya perasaan tidak nyaman akan membuat seseorang merasa canggung, tapi perasaan tidak nyaman malah membuat Clara muntah. Rasa kecewa, muak, benci, amarah, dan semua perasaan buruk yang selama ini ia pendam perlahan mulai keluar.

“Clara” panggilan dari luar bilik toilet membuat kesadaran Clara kembali, ia menarik napas panjang dan membuka pintu bilik, tampak ekspresi khawatir Arda yang pertama kali terlihat. “Kamu nggak papa?”

“Aku mau pergi dari sini mbak”

“Yaudah sekarang mbak anterin kamu pulang.”

Kepala Clara menggeleng lemah. “Aku mau sendiri”

“Nggak bisa kamu harus pergi sama mbak”

“Mbak” mata Clara menatap lesu. “Tolong biarin aku sendiri dulu” katanya lagi lalu melangkah pergi meninggalkan Arda terdiam. Sebenarnya Clara tidak marah dengan wanita itu tapi kinerja otaknya mendadak buntu dan hatinya mengatakan untuk pergi saja tanpa ada niatan untuk mendengarkan penjelasan apapun.

“Cla.”

Kepala Clara mendongak, Rian menunggunya di luar toilet wanita. “Lo bisa bawa gue pergi? terserah kemana aja yang penting jauh dari sini” pintahnya pelan. Tanpa banyak bicara Rian langsung menarik tangan Clara, sempat mengangguk sebentar kepada Arda yang tersenyum kecil melemparkan tatapan penuh harap agar Rian bisa menjaga cewek itu.

Mereka berjalan menuju ke parkiran mobil, Rian balik badan hendak menanyakan keadaan Clara tapi ia mendadak menahan pertanyaannya ketika melihat Clara menutup wajahnya dengan tangan dan menarik napas panjang. Cewek itu tidak menangis ia hanya diam membiarkan tangan Rian mengusap-usap rambutnya untuk menenangkannya. Tubuh Clara bergerak  masuk ke dalam pelukan Rian dan tanpa memperdulikan apapun kedua tangannya bergerak memeluk cowok itu erat. Ia tidak sedang bercanda karena faktanya Clara membutuhkan Rian sekarang, ia membutuhkan seseorang yang bisa menyembunyikan kesedihannya.

Setelah beberapa saat Clara melepaskan diri, ia mendongak menatap wajah Rian tanpa ekspresi apapun. “Gue pengen makan es krim” kata Clara lalu masuk ke dalam mobil Rian membiarkan cowok itu menarik napas panjang dengan ekspresi khawatir. Akhirnya Rian memilih menyalakan mesin mobil membiarkan perasaannya berkecamuk dalam pertanyaan yang tidak terjawab.

“Lo tidur aja deh, ntar kalo udah sampai tempatnya baru gue bangunin” kata Rian. Clara mengangguk sambil memejamkan mata mencoba tertidur. Apa yang baru saja terjadi membuat emosinya bekerja tidak stabil dan tubuhnya terasa sangat lelah, ia sedikit berharap ketika bangun nanti semua mimpi buruknya akan terhapus dan menghilang begitu saja tanpa jejak.

...*****...

“Cla, bangun.” Rian mengguncang pelan tubuh Clara, cewek itu  membuka mata dan perlu beberapa detik sampai kesadarannya kembali.

“Kita dimana?” tanya Clara bingung.

“Tadi lo bilang pengen makan es krim kan? Ini gue ajak ke kafe teman gue. Yuk” ajak Rian membuka pintu mobil. Mereka berjalan masuk ke dalam cafe es krim, tangan Rian mendorong pintu yang terbuat dari kayu dan kaca membiarkan Clara masuk terlebih dahulu, bunyi lonceng di atas pintu seketika menarik perhatian salah seorang pegawai yang spontan tersenyum ramah ke arah mereka berdua.

“Woi bro! anjir, udah berapa lama lo nggak kesini?” sapa seorang cowok seketika berhenti dari aktivitasnya mengelap meja. Matanya menatap Rian dan kemudian Clara, sesaat senyumnya mengembang lebar. “Well, siapa ini? cewek baru lo?”

“Cla kenalin ini Jonathan, Jo kenalin ini Clara”

“Hai” Clara mengulurkan tangan disambut dengan tawa manis Jonathan.

“Gue Jonathan, lo bisa manggil gue Nathan atau Jo, manggil sayang juga nggak papa.”

Rian menggeleng langsung menyikut Jonathan. “Gue pesan yang ini. Cla, lo mau yang mana?”

Jari Clara menunjuk ke arah tiga rasa standar es krim, vanila, strawberry, dan coklat. “Jangan pake cone ya”

“Oke” jawab Jonathan mengangkat jempolnya. “Dan spesial buat lo berdua gue yang anterin. Jarang-jarang orang cakep kayak gue mau nganterin pesanan” lanjutnya tersenyum jahil. Clara memaksakan diri untuk tertawa, setelah berbasa-basi sebentar kakinya melangkah mengikuti Rian naik ke lantai dua dan duduk di pojok dekat jendela besar. Matanya bergerak memperhatikan isi ruangan itu, cat dinding berwarna abu-abu, pink, biru muda, lengkap dengan berbagai lukisan dan gambar-gambar seni yang lucu. Beberapa foto pengunjung dalam pigura cantik sedang memakan es krim diabadikan dan dipasang di dinding sebagai pengingat momen-momen manis tertentu.

“Itu tadi Jonathan anaknya pemilik Cafe ini, baru semester satu di kuliah. Dulu alumni sekolah, mantan pentolan sekolah malah” cerita Rian membuka percakapan. “Dulu hobinya buat rusuh di sekolahan.”

Clara nyengir lebar, “lo juga kan, hobi buat rusuh”

“Sebenarnya gue nggak gitu Cla. Cuman guru-gurunya aja pada sensitif tiap lihat muka gue, apalagi Ibu Indah” elak Rian membela diri ekspresinya seolah ia adalah korban paling tertindas dari semua masalah yang pernah diciptakannya.

“Nih pesanannya. Gue boleh ikutan duduk disini nggak?” Jonathan muncul menaruh dua es krim besar di atas meja dan dengan tampang menggoda menunjuk ke sebelah Clara.

Mata Rian menatap Jonathan sewot. “Nggak boleh” ketusnya singkat.

Jonathan tertawa keras kemudian memukul lengan Rian. “Lo sih lama banget datang kesini, terakhir kapan ya?”

“Setahun lalu”

“Nah iya, emang ya lo pas ada cewek doang baru datang kesini” sindir Jonathan lalu menundukan wajah pura-pura berbisik di telinga Clara. “Jangan mau dikibulin sama bacotan dia, putusin aja.”

Clara mengangguk memberikan tanda dengan jempolnya. Ia tersenyum manis sampai Jonathan pergi dan seketika senyumnya menghilang tanpa bekas digantikan ekspresi sendu. Rian menarik napas panjang tidak menyentuh es krimnya, ia malah terdiam memperhatikan gerak-gerik Clara. Fisik cewek itu berada disitu, tapi jiwanya entah berada dimana, terlihat dari tatapan matanya yang risau menatap ke arah luar jendela sementara tangannya hanya mengaduk-aduk es krim.

“Tadi itu papa kandung gue” kata Clara tiba-tiba. “Kalo lo belum tau, gue berdarah Korea, dari papa kandung gue” lanjutnya pelan sekali seolah darah yang mengalir dalam nadinya adalah sebuah kesalahan paling memalukan dari sebuah kisah dimana ia berasal.

“Gue kira lo orang Thailand, karena lo pindahan dari sana” ujar Rian karena Clara malah terdiam tidak melanjutkan perkataannya, wajah cewek itu mendongak dengan senyum tipis.

“Papa gue orang Korea, sedangkan mama gue dari Indonesia”

“Dan sekarang lo hanya tinggal sama Mbak Arda dan Mbak Indah?”

Clara menggeleng. “Ayah angkat gue tinggal di Jogja bareng adek gue”

“Kenapa lo nggak tinggal di Jogja?” tanya Rian penasaran. Wajah Clara berpaling menatap Rian lekat-lekat.

“Lo pernah melarikan diri dari masalah?”

“I-iya, mungkin?” jawab Rian ragu.

“Dan rasanya?”

“Nggak enak, karena gue nggak bisa hidup tenang”

“Lo bener. Sampai dihari kemarin sebenarnya kehidupan gue masih tenang, tapi sekarang gue rasa pelarian gue itu nggak ada gunanya, karena pada akhirnya apa yang berusaha untuk nggak gue selesaikan malah datang tanpa permisi. Jalan hidup gue lucu banget.”

Hening, karena mata Clara mendadak berkaca-kaca, tangannya refleks meremas erat rok jeansnya sebagai bentuk pertahanan agar tidak menangis, terlihat lemah di depan seseorang bukanlah hal yang disukai cewek itu.

“Lo mau cerita sesuatu?” tanya Rian akhirnya memilih untuk bertanya lebih dahulu. Ekspresinya sedikit berubah tidak senang menyadari Clara berusaha keras menyembunyikan ekspresi sedihnya, seakan menangis di depan Rian adalah sebuah dosa besar yang ia lakukan di hari ini. Cewek itu sok tegar dan Rian tahu betul bagaimana mata Clara berkedip berkali-kali menjaga dirinya agar tidak menangis.

“Mama gue meninggal karena overdosis obat tidur dan adek gue harus diterapi karena depresi berat, salah satu penyebabnya adalah papa kandung gue” cerita Clara singkat tapi bisa menjelaskan berbagai pertanyaan yang muncul dibenak Rian. “Sebelum meninggal orang tua gue sering bertengkar sampai akhirnya kami memutuskan pindah ke Paris tanpa papa dan disana mama memperkenalkan gue ke ayah. Kebencian gue mulai muncul ketika gue tau penyebab mama meninggal dan yang paling nyakitin adalah dihari penguburan mama, papa gue sama sekali nggak datang, bahkan gue ngeliat wajah dia muncul dilayar kaca TV lagi ngelakuin kerjasama dengan perusahaan lain.”

Rian termenung mendengar cerita Clara. Kisah cewek itu berhasil memukul bagian terdalam dari hatinya, rasa kecewa dan dendam yang selama ini ia simpan karena perceraian orang tuanya mendadak menguap keluar digantikan dengan rasa bersalah. Ia menyadari seberapa sering bibirnya mengutuk jalan kehidupannya dan selalu merasa sebagai manusia paling tidak beruntung. Tapi setelah mendengar kisah Clara, nyatanya Rian menyadari bahwa ia sedikit lebih beruntung.

“Ngomong Rian jangan diem aja, lo bosen ya denger cerita gue?” tanya Clara heran. Hidung Rian menghela napas panjang, lagi-lagi matanya hanya bisa menatap wajah cewek itu dengan perasaan campur aduk.

“Cla, gue mau nanya serius”

“Apa?”

“Lo nggak pengen nangis?”

“Nangis?”

Rian mengangguk, ekspresinya terlihat dua kali lebih serius. “Mungkin gue kesannya jahat, tapi gue pengen lo nangis, karena menurut gue lo itu nggak baik-baik aja sekarang. Lo butuh sesuatu buat melampiaskan emosi lo"

Bibir Clara tertawa getir mengaduk-aduk es krimnya. “Gue nggak bisa, banyak hal yang menurut gue nggak perlu ditangisi"

“Termasuk masalah lo ini?”

“Ini bukan masalah menurut gue, tapi kenangan buruk. Gue buat perbedaan disini. Bagi gue masalah itu adalah sesuatu yang ada dan belum bisa diselesaikan, tapi kalo kenangan itu cuman sekedar ingatan yang bisa gue hapus kapan aja gue mau” jawab Clara serius mengutarkan apa yang selama ini tertanam dalam benaknya. Tanpa ia sadari kisahnya yang terlampau sedih malah memempa dirinya menjadi seorang dengan kepribadian dingin dan kuat. “Gue punya momen dimana gue bilang ke diri gue sendiri untuk menjadi kuat dibandingkan orang lain” lanjutnya sambil memalingkan wajah ke arah luar jendela kaca. “That's why sometimes I think I don't want to get hurt. Tapi lucunya meskipun gue berharap begitu faktanya gue nggak bisa ngerasain sakit lagi, mati rasa itu lebih nggak enak dibandingkan masih bisa ngerasain sakit.”

Dan sesaat suasana kembali hening karena tidak ada satupun dari mereka yang berani berkata lebih jauh lagi, semua tenggelam dalam pemikirannya masing-masing. Baik wajah sendu Clara yang menatap ke arah luar jendela dimana langit berubah mendung dan perlahan menjadi rintik hujan atau mata Rian terus menatap cewek itu intens menunggu sebuah senyum tipis muncul dari bibir Clara sebagai sebuah tanda bahwa ia sedikit merasa lebih baik setelah menceritakan permasalahannya.

Tapi selama apapun Rian menunggu senyum itu tak kunjung muncul, karena nyatanya kebahagian cewek itu perlahan menguap pergi bersama dengan rintik hujan yang turun semakin deras. Hatinya sudah terlanjur mendingin dan tidak bisa merasakan apapun.

Terpopuler

Comments

Kienara Salshabilla

Kienara Salshabilla

sampai sini ngerti banget perasaan Clara dan Rian mulai paham kisah yg tersimpan dihati mereka...setiap orang punya cara buat ngelindungi diri dan hatinya masing2....keren Thor ceritanya

2022-09-14

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!