Mendekat

Motor Rian berhenti tepat di parkiran depan kafe. “Gimana? diantar gue nggak bikin lo mati cepat kan?” tanya Rian dengan muka iseng menaruh helm diatas motor. Clara hanya mencibir pelan menyerahkan helmnya. “Oh udah bisa ngecibir sekarang?”

“Oh udah bisa ngecibir sekarang?” tiru Clara mengejek. “Minggir lo gue mau kerja” lanjutnya lalu melangkahkan kaki lebih dulu.

Rian tersenyum kecil mengikuti Clara dari belakang. Matanya menatap lurus ke arah cewek itu, tingginya yang lebih pendek dari Rian dengan rambut hitam sebahu, gestur tubuhnya terlihat jelas menunjukan sisi lembut dalam dirinya tapi sering ditutupi dengan ekspresi judes, bahkan bibir Rian tidak bisa menyembunyikan senyum ketika langkah Clara terhenti, ia balik badan menunggu jarak Rian dekat dengannya.

“Makasih udah mau nganterin” kata Clara pelan sekali. Rian mendengar perkataan cewek itu tapi ia pura-pura menunduk dan bersikap seakan tidak mendengar apa-apa.

“Apa lo bilang?”

“Makasih” jawab Clara masih dengan suara pelan seolah mengucapkan kata terima kasih dengan lantang akan merusak harga dirinya.

“Gue nggak denger”

“Udah ah bodo” balas Clara tidak peduli, ia langsung balik badan buru-buru masuk ke dalam kafe.

“Wah ada apa ini? Kok bisa barengan?” tegur Jefri paling pertama menyambut kedatangan Clara dan Rian. “Dilarang pacaran di tempat kerja”

“Kak ihs jangan nyebarin gosip” tegur Clara menyipitkan mata lalu beranjak menuju ruang ganti.

“Manis amat itu senyum kayak martabak” goda Jefri lagi. Senyum Rian langsung menghilang, tangannya meninju pelan bahu cowok itu dan mengulurkan tangan.

“Apa?”

“Laptop, gue mau bantuin lo nyelesaiin data rekapan.”

Mata Jefri membulat terkejut lalu senyumnya mengembang lebar. “Anjir kesambet apa lo mau bantuin gue?”

“Kan lo bilang gue harus siap buat gantiin lo sebelum lo skripsi, gimana sih?”

“Oke, oke entar ya pak bos, tunggu aja disitu” tawa Jefri menunjuk ke arah meja ujung dan beranjak mengambil laptop sebelum Rian berubah pikiran.

...*****...

Rian sedang pusing mempelajari data rekapan laporan penjualan dan laporan keuangan kafe ketika Clara menaruh gelas berisi air putih di atas meja. Kepalanya mendongak dan tersenyum kecil langsung meneguk habis air putih itu. “Tau aja gue lagi haus” ujarnya basa-basi. Clara hanya angkat bahu lalu beranjak pergi, sekarang pukul setengah delapan itu berarti jam kerjanya sudah berakhir.

“Gimana Rian? ada pertanyaan nggak?” tanya Jefri menghampiri, ia menarik kursi dan duduk di depan Rian.

“Pusing gue”

“Yaelah baru juga laporan empat bulan, yang penting lo udah paham gimana cara gue ngecatet tiap laporan”

“Thanks ya” kata Rian singkat sambil menarik napas panjang, benar kata ayahnya menjadi bos itu tidak segampang yang orang pikirkan. Kekuasaan besar harus sebanding dengan rasa tanggung jawab kepada setiap pekerjaan, kecuali kalau memang pada dasarnya hanya menginginkan kekuasaan tanpa rasa tanggung jawab.

“Kak Jefri, gue balik ya” pamit Clara dari arah belakang Jefri, cowok itu balik badan dan menyodorkan sebuah kertas.

“Nanti lo sama Nichol tampil lagi di acara ulang tahun temen gue ya? di kafe ini kok jadi kayak seharian itu dia yang nyewa kafe”

“Buat kapan kak?”

“Tiga minggu lagi, tapi gue ngasih dari sekarang biar kalian bisa siap-siap, soalnya kali ini bayaran gede jadi kita harus memberikan yang terbaik” kedip Jefri membentuk bulatan dengan kedua jarinya, Clara mengangguk menyanggupi lalu melambaikan tangan dan berjalan keluar kafe.

Terdengar suara dengusan Rian menatap kepergian Clara dari dinding kaca. “Itu cewek kayaknya benci banget deh sama gue”

“Ya pastilah, habis lo keliatan kayak orang brengsek” jawab Jefri bercanda. “Bonyok gimana?” lanjutnya mengalihkan topik.

“Nyokap kemarin ngabarin, lagi hamil”

“Bokap lo tahu?”

“Ntah, lagian udah mantan tinggal beda negara, nggak bakal peduli lah, kan mereka udah punya keluarga masing-masing” jawab Rian sambil mematikan laptop, ia tersenyum kecil seolah ingin menunjukan bahwa dirinya baik-baik saja.

Jefri mengetuk-ngetuk jarinya diatas meja, mencoba untuk mengeluarkan nasehat tanpa menyakiti perasaan cowok itu. Menjadi anak sematang wayang yang harus bersikap seolah perceraian orang tua bukanlah hal besar tentu saja sangat menyulitkan bagi Rian. Cowok itu selalu bersikap seakan semuanya baik-baik saja, tapi setiap kali ia bercerita pada Jefri terlihat sekali ada banyak harapan semu tersirat agar kedua orang tuanya kembali seperti dulu. “Jangan lupa dijenguk nyokap lo”

“Paris jauh man”

“Jauh tempatnya atau memang hati lo yang udah menjauh?” tanya Jefri. Rian diam tidak menjawab, pandangannya berpindah ke arah luar dinding kaca menatap lampu luar yang bersinar terang diantara kegelapan malam.

...*****...

“Nah ini dia hot topik kita hari ini.”

Clara terkejut bukan main ketika Caca dan beberapa teman ceweknya menarik dirinya masuk ke dalam kelas.

“Kenapa sih?” tanya Clara heran, ia duduk di tempat duduknya sementara teman-temannya langsung melingkar dengan ekspresi penuh tanda tanya. “Jangan natap gue gitu dong kesannya kayak kalian mau labrak gue”

“Cla apa hubungan lo sama Rian?”

“Hah?” kening Clara berkerut bingung

“Sejak kapan lo bisa dekat sama dia?”

“Kok kemarin kalian bisa pulang bareng?”

“Lo berdua pacaran ya?”

“Apa jangan-jangan selama ini lo-”

“Oke stop! Gue jawab pertanyaan kalian satu-satu” potong Clara agak kesal mulai mengerti kemana arah topik pembicaraan mereka kali ini. Teman-temannya langsung tersenyum lebar mengambil posisi siap untuk bergosip. Sejenak wajah Clara berpaling ke arah Icha meminta bantuan tapi nyatanya ekspresi cewek itu juga terlihat siap untuk mendengarkan penjelasan Clara.

“Pertama gue nggak pacaran sama Rian. Kedua, gue sekarang lagi part time di kafe milik Rian, dan kemarin kebetulan dia ngajak gue bareng karena dia juga mau ke kafenya sendiri. Ngerti?”

“Rian punya kafe? Kaya bener dong?” tanya Elsa tidak percaya, Clara mengangguk malas menambah kehebohan teman-temannya.

“Anjir, udah cakep, pinter, kaya, kurang apalagi?”

“Kurang baik” celetuk Sybil baru datang. “Bubar lo semua gue mau nyalin PR sama Clara”

“Entar Bil gosip masih seru nih” kata Caca menolak pergi. Sybil mendengus melemparkan tasnya di atas meja dan mengusir Elsa pindah dari tempat duduknya. “Rian itu setau gue emang kaya banget, lo tau nggak yayasan sekolah ini punya kakeknya. Namanya kan Rian Giovani, kalo lo searching di berita bakalan nemu Giovani Grup, itu milik papanya. Terus mamanya kalo nggak salah designer terkenal gitu di Paris”

“Wih Cla sudahlah pepet aja” dukung Vio tiba-tiba. Clara mendengus sebagai jawaban atas penolakan spontannya.

“Tapi emang Rian nggak pacaran sama Manda? bukannya mereka deket banget ya?”

“Iya bener harusnya mereka pacaran, gue sering banget lihat Manda diantar Rian pulang”

“Lo tau nggak bahkan ketika latihan cheerleaders Rian tuh sering beliin Manda air, dia perhatian banget sampai sering diceng-cengin sama anak cheerleaders” tambah Sekar salah satu anak baru di cheerleaders, teman-temannya lantas mengangguk setuju langsung mengeluarkan pendapat atas apa yang sering mereka lihat diantara Manda dan Rian.

“Tapi gue yakin nggak mungkin” geleng Caca tidak setuju. “Karena meskipun Manda cantik gue yakin tipe Rian itu ya kayak Clara ini. Iya kan Cla?”

Clara menggeleng. “Jangan nyebarin gosip aneh-aneh Ca” tegurnya tidak senang. Caca nyengir lalu kembali sibuk mengemukakan pendapatnya mengenai hubungan Rian dan Manda.

Clara menarik napas jengkel, ternyata punya teman bermulut besar seperti Caca sangat tidak enak apalagi yang menjadi objek gosip adalah dirinya sendiri, dalam hati Clara menyesal sering mendengarkan cewek itu setiap kali bergosip, ia seperti merasa kena batunya sekarang.

“Woi bubar Pak Budi udah datang tuh” kata Sybil menunjuk ke arah Pak Budi yang muncul dari depan pintu kelas, anak-anak cewek spontan kembali ke tempat duduk. “Udahlah Cla biarin aja, belum kena batunya aja tuh si Caca” hibur Sybil. Clara tersenyum kecut lalu mengeluarkan buku matematikanya dengan tidak bersemangat.

...*****...

Mentari pagi jam sembilan mulai bercahaya semakin terang, burung-burung  yang semula asik berkeliaran kini memilih kembali ke sarang menonton sunyinya suasana kelas 11 IPA 1 yang sedang fokus mendengarkan penjelasan Pak Anton, guru PKN berkacamata tebal. Hobi beliau adalah mengajar sambil berteriak, alasannya karena saat muda dulu ia adalah seorang vokalis band rock, jadi terkadang teriakannya di dalam kelas bisa mencapai lima oktaf. Meskipun pada  akhirnya sebagian anak harus mengelus dada perlahan karena kaget sambil komat-kamit menunggu jam pergantian pelajaran.

“Coba kalian buka halaman dua puluh. Baca dengan baik!” perintah Pak Anton semangat, semua grasah-grusuh mencari halaman yang dimaksud. “Jadiiiiii!” lanjutnya berteriak keras. Anak-anak kembali mengelus dada kesal, bahkan Chintya sampai melempar kacanya ke atas meja, untung tidak pecah. “Silahkan kau tengok isi teks itu dan hubungkan dengan kasus pelanggaran HAM. Kalau sudah kau temukan hubungannya, kau berdiri terus jawab dengan keras. Jangan sampai aku gak dengar suara kau ya” perintah Pak Anton tiba-tiba pada Frengky. Cowok itu mulai kelabakan, wajahnya menunduk seolah-olah sedang membaca buku, tapi matanya jelalatan ke arah Ditho dan Ray meminta pertolongan.

Kelas semakin bertambah hening, sampai suara ketukan mengalihkan perhatiaan Pak Anton dari Frengky. Mata guru itu menatap tajam Jeremy, Gabriel, dan Rian muncul dengan tampang tidak berdosa seakan bel masuk belum berbunyi. “Pagi pak” sapa Rian tersenyum tanpa beban.

“Dari mana kalian?” tanya Pak Anton, ekspresinya berubah kesal akibat gangguan dari ketiga makhluk ini.

“Anu pak tadi macet di jalan” jawab Jeremy spontan.

Pak Anton mengerutkan kening tidak percaya. “Macet? Ah alasan aja kalian. Jakarta gak pernah macet kalo pagi, aku tiap pagi santai aja sampe kesini, cemana pula ceritanya sampe kalian telat?”

“Iya pak emang jarang macet kalo pagi. Tapi hari ini beda, semuanya lagi sensian, makanya pada demo terus jadi macet deh lalu lintasnya” balas Rian, ide konyolnya buat ngeles selalu bisa membuat seisi kelas tersenyum geli.

“Sensian? Iya, macam aku sensi punya murid kek kalian.” Sekelas tertawa lagi, terhibur dengan perdebatan antara guru dan ketiga murid bandel itu.

“Sudah sana cepat duduk. Lain kali kalau kalian telat lagi, kutumbuk pala kalian satu-satu” ancam Pak Anton. “Naik darah tinggiku ini” lanjutnya dijawab anggukan patuh oleh mereka bertiga yang dengan cepat melangkah masuk duduk di kursi pojok belakang tempat eksekutif untuk makhluk-makhluk tukang rusuh.

“Dari mana aja lo? Tumben telat” bisik Ray pelan, diliriknya Pak Anton masih setia menunggu jawaban dari Frengky.

“Lo sendiri tumben nggak telat” balas Rian cuek.

Ray pasang tampang malas. “Tadi gue bangun kepagian, nggak tau mau ngapain ya udah gue kesini.”

Rian menatap Ray dua detik kemudian melemparkan pandangan ke arah Frengky. “Dia kenapa?”

“Biasa dikerjain Pak Anton” kata Ray sembari membuka halaman dua puluh menunjukan tugas yang diberikan, Rian meringis lalu cekikan geli. “Gue denger gosip katanya lo lagi deket sama adik kelas”

“Orang yang suka gosip itu matinya bakal masuk neraka jalur prestasi.”

Ray mendengus. “Hati-hati kalo bandel jangan berlebihan”

“Kayak lo enggak bandel aja”

“Bandel dalam urusan cinta” tangkis Ray cengengesan kecil. Rian diam pura-pura tidak mendengar, ia lebih memilih menonton Frengky yang mati kutu karena tidak bisa berpikir, bukan karena bodoh tapi aura galak Pak Anton membuat otaknya mendadak beku.

“Karena Frengky gak bisa, Ray coba kamu yang jawab” perintah Pak Anton tiba-tiba. Ray langsung merengut kayak marmut sementara Frengky yang merasa sudah dibebastugaskan melemparkan senyum bahagia.

“Heran deh gue, perasaan di kelas ini ada banyak orang, yang kena gue mulu” keluh Ray dengan tampang bete, “tau gini mending gue ikutan telat.”

...*****...

Clara mengebaskan sepatunya dan masuk ke dalam rumah dengan langkah riang, ia tersenyum manis mendapati Bude Sumiyati dan Indah sedang membuat rujak tahu di meja makan. “Halo bude, makin cantik aja nih” tegur Clara senang.

“Oh ya jelas, kamu tau nggak bude kemarin baru nimbang berat badan terus ternyata turun lima kilo”

“Pantes kelihatan segar gitu, mana bajunya bersinar lagi” goda Clara. Bude Sumiyati tersenyum sumringah memamerkan baju kuning terangnya hadiah dari menantu. Jempol Clara terangkat naik memberikan sederet pujian untuk menyenangkan hati wanita tua itu, bahkan meskipun Bude Sumiyati lebih terlihat seperti seekor larva kuning dibandingkan bunga matahari seperti kata Clara.

“Tapi tumben bude main kesini?” tanya Clara sambil menimba nasi dari rice cooker untuk makan siangnya.

“Bosen di rumah mending di sini bantuin kalian, sekalian mau pamer baju baru bude” jawab Bude Sumiyati. Clara dan Indah cekikikan geli lalu mulai mengobrol, sesekali mereka tertawa keras mendengar curahan hati atau lawakan polos Bude Sumiyati.

“Mbak ngomong-ngomong Mbak Arda dimana?”

“Di atas lagi telponan sama Erika” jawab Indah. Clara buru-buru mencuci piringnya dan berlari naik ke lantai atas. Tangannya mengetuk pelan pintu kamar Arda sampai kemudian wajah wanita itu muncul dari balik pintu.

“Mbak lagi telponan ya?”

“Iya tapi udah mau selesai, kamu mau gantian ngomong?” tawar Arda. Clara mengangguk mengambil ponsel wanita itu dan masuk ke dalam kamarnya sendiri.

“Ayaaaah” panggil Clara.

[Aduh, ada Clara matiin aja deh, berisik banget] canda Victor dari ujung telepon. Clara mencibir pura-pura sewot.

“Oh gitu ya sekarang sama anak sendiri. Jangan-jangan ayah udah punya anak baru lagi makanya mau berencana ngelupain aku?”

[Kok tau? Wah jangan-jangan kamu ada bakat buat jadi cenayang]

“Ih ayah, nggak suka deh” balas Clara lalu tertawa kecil. Mereka kemudian membicarakan banyak hal, tentang keadaan Clara, sekolah, dan usaha catering Arda. Clara menjawab seadanya, takut keceplosan membocorkan rahasia bahwa ia sedang part time, bisa-bisa kena omel Victor.

[Kamu mau ngomong sama Erika nggak? Ini anaknya udah mandi, udah wangi. Ayah mau ke depan dulu mau ngecek mesin mobil]

“Boleh, hati-hati yah”

[Halo kakakku sayang]

“Kamu udah mandi?”

[Udah dong, emang wangi sabunnya nggak sampai kesitu?]

“Enggak” jawab Clara pendek, terdengar suara cibiran Erika. “Kamu habis ngapain?”

[Mandi, soalnya tadi aku habis jalan-jalan sama ayah, papa, Kak Ningsih]

Spontan Clara tercekat “Pa- papa?” tanyanya memastikan ulang.

[Iya, tadi bareng. Terus aku dibeliin kamera baru yang aku pengen banget punya] jawab Erika tanpa beban, dari nada suaranya ia jelas tidak mengerti maksud pertanyaan Clara, cewek itu terus menceritakan apa yang ia lakukan hari ini dan berapa banyak foto yang sudah ia ambil, sementara bibir Clara mendadak bisu tidak bisa mengatakan apapun. Jalan pikirannya mendadak buntu mengulang-ulang kata yang sama, papa?

[Kak? kakak dengerin aku kan?]

“Eh i-iya? apa tadi?” balas Clara bertanya gugup.

[Aku udah dipanggil Kak Ningsih, udah waktunya minum obat. Nanti aku telpon lagi kalo ada waktu. Daaaa kakakku sayang] Dan sambungan telepon pun dimatikan.

Clara masih terdiam, keningnya mendadak berkerut merasakan pusing luar biasa di kepala. Tangannya bergerak memijat-mijat leher belakang untuk menenangkan dirinya sendiri, matanya terpejam mencoba memikirkan hal baik untuk mengusir perasaan gundah yang mendadak muncul ke permukaan. Tapi sekeras apapun ia mencoba, pemikirannya malah berpusat pada sebuah pertanyaan menakutkan, apa mungkin segalanya tidak akan berjalan baik-baik saja?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!