Maybe

Clara mengambil undangan dari atas meja ruang tamu, undangan berwarna emas ditujukan untuk Arda. Matanya menangkap tanda VIP di pojok kiri bawah dan baru menyadari undangan itu adalah undangan untuk menghadiri pameran seni khusus yang tidak bisa dimasuki banyak orang. Ia pernah membaca sebuah majalah yang memuat berita tentang pameran seni ini dimana setiap tahun selalu diadakan di negara-negara benua Eropa dan untuk pertama kalinya Indonesia mendapatkan kesempatan menjadi tuan rumah, yang ia baca juga pameran seni ini bukan benar-benar murni untuk memamerkan seni, tapi pelelangan benda-benda seni mahal yang hanya bisa dibeli oleh kumpulan bourjois dari berbagai penjuru dunia.

“Mbak Arda” panggil Clara mencari wanita itu keseluruh penjuru rumah, tentu saja ia merasa heran, karena selain Arda tidak memiliki kecintaan terhadap seni, pameran ini terlalu mahal untuk dimasuki oleh orang-orang dari kalangan seperti mereka. Kecuali Victor yang mendapatkan undangan baru Clara tidak akan merasa heran.

“Mbak dari mana sih? Aku cariin dari tadi” tanya Clara ketika Arda baru masuk ke dalam rumah, wanita itu terlihat terkejut seolah sedang melihat setan di siang bolong.

“o-oh Cla, udah lama pulang?”

“Iya mbak” kata Clara, Arda tersenyum kikuk tapi kemudian senyumnya hilang begitu melihat undangan pameran seni ditangan Clara.

“Mbak kok bisa dapat undangan ini? Dari siapa? Jangan bilang dari ayah, karena aku tau ayah nggak pernah suka dateng ke acara-acara kayak gini” tanya Clara mau tau.

Arda terlihat sedikit salah tingkah, ia berusaha keras mengendalikan raut wajahnya agar tidak terlihat sedang berbohong. “Dari temennya mbak kok. Kamu ingat nggak salah teman mbak yang dulu kuliah di institut seni Jogja? Nah dia jadi salah satu panitia acara ini, makanya mbak dapet juga”

“Aku nggak inget sih mbak, tapi yang paling penting aku boleh ikut nggak?” tanya Clara penuh harap, senyumnya mengembang lebar mengharapkan kata iya keluar dari mulut Arda. Ia benar-benar ingin tahu bagaimana rasanya berada di acara pelelangan karya seni mahal yang seringkali ia baca di berita majalah. “Aku janji nggak bakal malu-maluin mbak disana, ya? ya?”

Arda menarik napas panjang kelihatan kurang setuju dengan permintaan Clara, tapi akhirnya kepalanya mengangguk lemah membuat Clara bersorak riang spontan memeluk Arda dan berlari naik ke atas, tidak memberikan Arda kesempatan untuk menarik kembali anggukannya. Arda terdiam, pikirannya mendadak terbagi-bagi seakan mengatakan bahwa keputusannya untuk mengijinkan Clara pergi bukanlah hal yang bijak. Perasaan wanita itu jelas mengatakan bahwa ia baru saja melakukan sebuah kesalahan besar.

...*****...

“Cla tolong anterin ke meja nomor enam” pintah Nichol, Clara mengangguk bergegas melakukan tugasnya, dalam hati ia merasa bersyukur karena kejadian kemarin saat bersama Nichol di ruang ganti tidak membuat keduanya menjadi canggung. Bahkan Martin yang terkenal suka ember dimana-mana terlihat bersikap biasa saja tidak mengungkit kejadian itu, seolah memang tidak terjadi apapun.

“Duh di luar panas banget kayak lagi simulasi tinggal di api neraka” keluh Martin baru masuk, ia mengipas-ngipas tubuhnya dengan nampan sambil bersiul-siul kecil mengikuti melodi lagu. “Cla lo udah punya pacar belum sih?” tanyanya iseng.

“Jangan dijawab Cla, ntar lo digodain” celetuk Nichol langsung mendapatkan sentilan di kening. “It hurts sister!” protesnya keras.

“Brother bukan sister, man kalo perlu”

“Ups Sorry, gue suka lupa kalo lo cowok” balas Nichol disambut tawa keras Clara, mereka kompak mengejek Martin sampai cowok itu mencibir.

Suara bel dari pintu kafe dibuka membuat ketiganya memalingkan wajah, tampak Jefri datang bersama Rian. Tampang Rian terlihat agak kusut membawa laptop dan tumpukan kertas di tangan sambil memaksa Jefri melakukan sesuatu untuknya.

“Ayolah masa lo tega buat gue kerja sendirian?” rajuk Rian kesal.

Jefri bersandar di meja kasir dengan ekspresi tidak peduli. “Denger ya gue mau bantuin kalo misal itu kerjaan kafe”

“Yaelah kali ini doang, asli kalo gue kerjain sendiri nggak bakal selesai”

“Lo cuman butuh orang buat bantu kan? Nggak harus gue?”

“Yes.”

Wajah Jefri berpaling ke arah Clara memberikan kode agar cewek itu keluar dari balik meja kasir, Clara menatap bingung. “Lo yang bantuin Rian rekap data anak basket”

“T-tapi kak gue masih kerja”

“Nggak papa gue yang gantiin”

“Kenapa nggak lo aja sih yang bantuin Rian?” tanya Martin heran.

Jefri langsung menggeleng kuat menolak, pengalamannya bekerja dengan Rian diluar masalah kafe akan berakhir dengan tidak selesainya pekerjaan itu dan ujung-ujungnya akan dikerjakan semua oleh Jefri. Rian pemalas dan tidak suka bekerja serius, sedangkan Jefri tidak suka orang yang bekerja malas-malasan seperti Rian, mereka berdua memang tidak terlalu cocok jika bekerja sama untuk hal lain kecuali urusan kafe.

“Iya deh kak” akhirnya Clara mengalah ketika melihat Jefri tidak memberikan kesempatan kepadanya untuk protes. Ia mengikuti Rian duduk di pojok kafe dekat jendela kaca.

“Duduk di samping gue, jadi lo yang bacain nama, terus gue yang ketik”

“Banyak banget” keluh Clara membuka setiap lembar profil anak basket. “Lo udah ngerjain berapa?”

“Baru tiga”

“Dari?”

Rian nyengir mengangkat jarinya menunjukan angka empat puluh lima. Clara langsung mengacak rambutnya frustasi, lebih baik untuk bekerja di kafe daripada membantu cowok itu merekap data. Membaca satu profil saja sudah membuat matanya mengantuk apalagi sampai empat puluh dua profil.

“Nggak usah semua dua puluh lima aja dulu nggak papa kok”

“Sisanya lo yang ngerjain sendiri?”

“Iya”

“Oke kalo gitu” angguk Clara setuju mulai membaca isi profil satu-persatu, mulai dari biodata formal sampai yang tidak perlu dicantumkan juga ikut dibaca, seperti zodiak, makanan kesukaan, motto hidup, dan catatan tambahan.

“Apaan sih ini? zodiak pisces, motto hidup rebahan is my passion, catatan tambahan kucing saya bernama Apin.” Rian memalingkan wajah ikut menunduk membaca isi profil itu lalu tertawa geli. “Ada ya orang kayak gini?” gumam Clara heran tidak sengaja ikut memalingkan wajah, ia terkejut ketika jarak wajah mereka berdua begitu dekat.

“Ini jaraknya dua puluh senti loh” kata Rian menatap Clara serius. “Kalo gue maju lagi sisa lima belas senti dan lima belas senti itu udah bisa jadi syarat first kiss”

Tangan Clara langsung naik mendorong kening Rian dengan jarinya. “Jangan macam-macam lo sama gue” balasnya sedikit salah tingkah. Salah satu sudut bibir Rian bergerak menampilkan senyum kecil, ia menopang dagunya masih tetap menatap Clara.

“Gue jadi makin tertarik sama lo, gimana dong?”

Buk! Tumpukan kertas ditangan Clara sukses mendarat di kening Rian. “Lo ngomong ngaco lagi gue pergi sekarang, biar Kak Martin yang bantuin lo”

“Ya deh, gue ketik sekarang” ujar Rian menyerah, ternyata menggoda cewek itu bukan hal yang mudah. Terpaksa ia kembali menatap layar komputer dan mulai bekerja dibantu Clara, sesekali keduanya tertawa geli ketika menemukan motto dan catatan tambahan aneh dari anak basket. Sekitar empat jam bekerja baru pekerjaan mereka selesai, meskipun hanya dua puluh lima anak yang masuk rekap data karena sempat diselingi drama Rian ke toilet, makan, males-malesan, dan mengeluh.

“Aduh capek, besok aja deh baru gue lanjutin sendiri”

“Yaudah gue balik”

“Eh ntar dulu” tahan Rian. “Yuk makan, gue yang traktir.” Kepala Clara menggeleng menolak menunjuk jam dinding dengan dagunya, masih jam enam sore itu berarti waktu bekerjanya belum selesai. “Kak Jef, anak lo gue pinjem bawa pulang duluan” teriak Rian pada Jefri, cowok itu mendongak lalu memberikan jempol tanda oke.

“Loh kok gitu? Kak Jefri kan jam kerja gue belum selesai, kok malah diijinin pulang?” protes Clara tidak ingin pergi bersama Rian.

“Nggak papa Cla, nanggung juga sisa berapa jam lagi kerjaan lo selesai”

“Ih kak-”

“Anggap aja gue kasih hadiah buat kencan”

“Kak gue nggak-”

“Bos besarnya kan dia, mana bisa gue membantah?” potong Jefri tertawa geli. Clara spontan berpaling dengan mata membulat lebar menatap Rian kesal, cowok itu malah nyengir tidak merasa bersalah dengan perbuatannya.

“Bisa nggak sih sekali aja kalian dengerin gue ngomong sampai selesai?”

“Nggak bisa, soalnya lo kalo ngomong sampai selesai, endingnya suka nggak enak” geleng Rian. “Dah buruan taruh apron sana”

“Gue nggak mau pergi sama lo, sore-sore lagi”

“Yaelah waktu itu juga gue anterin pulang malam-malam”

“Itu kan karena lo disuruh Kak Jefri”

“Sekarang juga gue disuruh”

“Sama siapa?”

“Hati nurani, beliau bilang gue harus traktir lo makan karena lo udah bantuin gue, biar gue nggak ada utang budi lagi sama lo” balas Rian ngaco mengakhiri perdebatan. Clara mendengus akhirnya beranjak pergi dengan ekspresi tidak rela menaruh apronnya dan mengikuti Rian keluar setelah sebelumnya sempat diejek Martin dan Nichol yang iseng menyanyikan lagu bagaikan langit keras-keras.

“Jangan balap-balap” kata Clara sebelum naik ke atas motor, Rian tidak menjawab hanya menyalakan mesin motor dan melaju pergi meninggalkan kafe.

...*****...

“Ayam penyet dua, yang satu sambelnya digabung yang satu dipisah, pake lalap, kol goreng sepuluh ribu, sama es teh dua, ada lagi mbak?”

“Nggak ada mas, itu doang” jawab Clara lalu kembali memalingkan wajah dan menguap lebar. “Muka lo kayak ponsel” lanjutnya sedikit menyindir Rian yang tidak mengacuhkan dirinya karena sibuk dengan ponsel, cowok itu mendongak lalu menaruh ponselnya di atas meja.

“Gue lagi ngechat Def minta salinan PR”

“Pemalas” balas Clara singkat. Rian menopang dagu, ekspresinya terlihat senang membuat Clara heran. “Kenapa sih lo ngeliatin gue gitu banget?”

“Suka aja, emang nggak boleh?”

“Hmm, cara lo natap gue kayak pengen makan gue hidup-hidup”

“Habis lo manis sih, gue suka.”

Blush. Clara langsung berdehem menyembunyikan rasa panas yang mendadak muncul di pipi karena mendengar pernyataan barusan. “Lo jangan ngajak gue ngobrol deh.”

Rian tertawa, ia jelas tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya ketika berbicara dengan cewek di depannya ini. “Lo pindahan dari mana?” tanyanya memutuskan mengganti topik pembicaraan.

“Thailand”

“Serius?”

“Hmm”

“Berarti lo bukan orang Indonesia dong?”

“Gue ada keturunan Indonesia kok, nyokap gue punya darah Nusa Tenggara Timur”

“Oh pantes kulit lo agak-”

“Hitem?”

“Eksotis.”

Clara langsung tersenyum, ia paling senang mendengar orang mengatakan kulitnya eksotis dibandingkan coklat atau hitam.

“Lo disini tinggal sama siapa?”

“Mbak gue doang, bokap gue pindah kerja dari Thailand ke Yogyakarta”

“Nyokap?”

“Nyokap gue meninggal di Paris”

“Sorry gue nggak tau” ujar Rian agak salah tingkah. “Tapi lo lama tinggal di Paris?”

“Enggak” geleng Clara. “Cuman tiga tahunan, nggak terlalu inget sih gue soalnya gue nggak suka tinggal di Paris, enakan di Thailand”

“Thailand sama Indonesia enakan mana?”

Mata Clara naik keatas sejenak pura-pura berpikir. “Gue suka tinggal di Indonesia, tapi sejak kenal lo gue jadi nggak suka”

“Sial” umpat Rian bercanda, sejenak ia berpaling ketika ponselnya berbunyi bersamaan dengan masuknya seorang pengamen. “Halo Nda? Kenapa?”

[Rian dimana? Mami lagi masak besar, kalo bisa singgah ke rumah]

“Aduh gue lagi makan, bilangin Tante Ani maaf banget nggak bisa dateng”

[Ya parah lo. Yaudah deh gue bawain besok di sekolah buat bekal]

“Iya, Tante Ani masak apa sih emang?” tanya Rian basa-basi, keningnya berkerut karena suara nyanyian pengamen begitu keras memenuhi tenda warung makan, ditambah lagi suara Clara ikut bernyanyi membuat pengamen itu tambah bersemangat.

“Dunia tak pernah adil, kita semua gagal, angkat minumanmu bersedih bersama-sama a a a a a” nyanyi Clara mengangkat tempat sambal ke atas, ekspresinya terlihat sangat menjiwai lagu yang dinyanyikan. “Sia-sia, pada akhirnya, putus asa”

Rian tersenyum geli sampai suara Manda mengembalikan fokusnya [Lo lagi sama siapa?]

“Temen”

[Cewek?]

“Iya.”

Hening, karena baik Rian maupun Manda sama-sama terdiam untuk alasan yang berbeda. Mata Rian menatap Clara dalam diam, cewek itu terlihat sangat berbeda ketika sedang bernyanyi, tawa dan senyum manis yang ia tampilkan terlihat sangat tulus membuat detak jantung Rian mulai bekerja tidak normal, ia seakan tersihir dengan tingkah manis Clara sampai tidak bisa melakukan apapun.

[Kayaknya lo sibuk deh, gue matiin ya?]

“Oke, salam buat Tante Ani” jawab Rian datar membuat Manda agak terkejut lalu terpaksa memutuskan sambungan telepon, padahal niat awalnya tidak seperti itu, ia hanya ingin sedikit menyindir Rian tapi sepertinya cowok itu benar-benar terlalu asik dengan dunianya sendiri. Manda merasa sedikit kecewa tapi tidak mengatakan apapun.

“Lo menghayati banget berasa lagi upacara bendera” kata Rian ikut memberikan sepuluh ribu kepada pengamen tadi.

“Percaya deh kalo misalnya dunia itu adil kita nggak akan mungkin ketemu dan makan berdua disini” balas Clara dengan ekspresi datar tanpa makna, tapi raut wajahnya kembali berubah cerah ketika pesanan mereka datang. Diam-diam Rian memikirkan perkataan Clara, entah perkataan tadi serius atau tidak tapi Rian memutuskan untuk tidak bertanya, hanya saja perasaannya mengatakan bahwa cewek di depannya ini selalu punya banyak hal yang mampu membuat dirinya terdiam.

Rian yakin benar segala hal tentang Clara sudah berhasil menarik hatinya agar menyukai cewek itu, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama ia bisa merasakan sesuatu yang dinamakan dengan jatuh cinta.

...*****...

Jam sudah menunjukan pukul sepuluh malam tapi lapangan basket di belakang teras rumah Nathan masih ramai dengan teman-temannya yang sibuk bermain basket. Sejak sore mereka sudah berkumpul untuk bakar-bakar menemani Angga sang pencetus ide, katanya sih ia ingin melakukan banyak momen manis dengan teman-temannya sebelum lulus SMA.

“Kenapa lo lesu amat? Lagi datang bulan?” korek Ucup pada Rian. Cowok itu mendelik sewot, habis bermain tiga kali pertandingan kok malah dituduh lagi datang bulan?

“Lo jadinya nginep disini kak?”

Ucup mengangguk, sebenarnya ia sedang ‘mengungsi’ karena di kompleks rumahnya sedang berlangsung acara lomba karaoke guna menyambut bulan maret, entah apa istimewanya tapi sejak tiga hari kemarin sudah terdengar suara-suara peserta lomba dari speaker besar balai warga sedang bersaing agar bisa masuk ke sesi putaran pertama. Akibatnya sudah tiga hari Ucup insomnia, awalnya ia ingin protes keras ke Pak RT tapi gagal karena kedatangannya malah disambut senyum manis Sri, putri pertama Pak RT yang cantiknya bukan main mengalahkan kembang kompleks rumahnya. Mana kalau dilihat-lihat yang merasa terganggu dengan lomba itu hanya Ucup seorang, jadi mau tidak mau ia memilih kemping di rumah Nathan sampai perlombaan di kompleksnya selesai.

“Kreatif ya kompleks lo, setiap bulan baru datang pasti ada penyambutan” kekeh Joe mengingat bulan kemarin kompleks Ucup mengadakan lomba menggambar di gapura kompleks, hadiahnya macam-macam mulai dari kulkas, TV, kipas angin, sampai keliling dunia gratis tapi tiket pesawat bayar sendiri, RT hanya menyediakan fasilitas gratis untuk membuat surat keterangan sebagai pelengkap pembuatan paspor.

“Anggaran belanja RT gue emang gede, makanya suka dipake buat selebrasi yang aneh-aneh” balas Ucup nyinyir, teman-temannya tertawa sambil tetap melanjutkan permainan.

Terdengar suara tarikan napas kelelahan dari Rian, ia meneguk habis air mineral dingin lalu berbaring di lantai menatap langit malam yang tidak dihiasi bintang tapi tetap terang karena lampu teras belakang menyala terang. “Kak lo tau nggak lagu yang liriknya kayak gini” korek Rian pada Angga menyanyikan sepenggal lagu yang dinyanyikan Clara kemarin.

Angga berpikir sejenak lalu mengangguk. “Secukupnya lagu dari Hindia. Nih gue nyanyiin” jawabnya pede langsung menyanyikan lagu itu diiringi petikan gitar, suaranya tentu saja fals tapi Rian tetap setia mendengar sampai akhir, ia bahkan melarang teman-temannya menghentikan nyanyian Angga meskipun beberapa nyamuk yang lewat langsung kejang-kejang mendengar suara cowok itu.

“Tumben lo tertarik sama lagu-lagu kayak gitu?” tanya Ray ketika mengambil istirahat sejenak.

“Kemarin Clara nyanyi lagu itu, terus gue penasaran aja judulnya apa” jawab Rian jujur langsung mendapat sorakan bernada ejekan dari teman-temannya.

“Gue sih tiba-tiba mencium adanya awal dari sebuah kisah cinta” kata Angga lalu bersenandung kecil menyanyikan lagu sempurna.

“Sebenarnya hidup kita ini adil nggak sih?” tanya Rian tiba-tiba.

“Tergantung besarnya masalah yang lo punya” jawab Ray sambil meneguk air mineralnya. “Semakin besar masalah lo, maka lo akan semakin yakin kalo hidup ini nggak adil”

“Lo sendiri punya masalah besar nggak?”

Kening Ray berkerut mencoba mengingat-ingat masalah besar yang pernah terjadi dan memberikan kesan tidak terlupakan dalam hidupnya. “Ada satu”

“Apa?” tanya Rain tertarik, dipikirnya selama ini hidup Ray selalu berjalan menyenangkan karena selama persahabatan mereka terjalin tidak pernah cowok itu menunjukan masalah besar yang pernah ia miliki kecuali ketika Neymar memutuskan untuk hengkang dari Barcelona.

“Waktu Icha marah besar dan gue hampir diputusin.”

Spontan kaki Rian naik menendang Ray sampai terguling hampir masuk ke dalam got, cowok itu langsung mendengus marah-marah sementara Rian memejamkan mata tidak menggubris umpatan Ray.

“We could be perfect or just a disaster, we could be in love and never fight, we could be sad or happy ever after, it could be us instead of you and I. Maybe we should try” nyanyi Angga dengan petikan gitar mengiringi lamunan Rian.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!