Sepatu Vio

Dua jam terakhir kelas XA kosong alias tidak ada guru mengajar, hanya tugas diberikan sebagai pengganti mata pelajaran yang seharusnya sedang berlangsung. Otomatis kelas berubah ricuh, sericuh emak-emak kalau lagi debat sama polisi gara-gara masalah lampu sein. Tapi kali ini tidak ada lagi penghuni kelas yang iseng menggunakan meja belajar sebagai tempat tidur pasien, setelah insiden minggu kemarin berakhir dengan Nus dan kawan-kawan dijemur seharian di dekat tiang bendera oleh Babe.

“Putra itu sepatu gue awas.....Eh sialan lo!” teriakan keras Vio menggema membuat sekelas terdiam sejenak.

Semua serempak menatap ke arah luar, tampak rambut pendek Putra dan Rakai sedang dijambak Vio, tenaga cewek itu mampu membuat Putra dan Rakai bertekuk lutut. Sekelas hanya tertawa geli lalu kembali sibuk dengan aktivitas masing-masing tanpa ada niatan untuk memisahkan ketiga orang itu.

“Ambil nggak lo?!” bentak Vio marah besar.

“Iya Vi iya, gue ambilin, lepasin dulu ih tangan lo, sakit tauk!” ringis Putra memohon.

“Kalian ngapain sih?” tanya Icha yang kebetulan baru dari toilet bersama Clara. Vio menunjuk ke luar balkon diatas genteng lantai satu. “Lah kok sepatu lo bisa nyangkut disitu?”

Dengan kesal Vio melepas genggaman tangannya dari rambut Rakai dan Putra, membiarkan kedua cowok itu  berusaha keras mengambil sepatunya. Sebelumnya Putra dan Rakai hanya berniat menggoda Vio dengan melempar-lempar sepatu cewek itu. Tapi saat Putra melempar ke arah Rakai, sepatu Vio malah nyantol ke atas genteng lantai bawah.

“Lo berdua sih aneh-aneh” tawa Clara.

Putra dan Rakai hanya bisa mendengus lalu sibuk menggapai-gapai sepatu Vio, salah gerakan sedikit saja mereka bisa terjun bebas ke bawah.

“Pakai sapu Put terus di iket dengan penggaris, biar panjang”

“Ikatnya pake apa?”

“Dasi lo tuh dicopot.”

Rakai mengikuti instruksi Clara, setelah jadi mereka kembali berusaha keras menggapai sepatu Vio.

“Makanya jadi orang jangan bandel. Manusia bandel itu unyeng-unyeng hanya dua, tapi khusus kalian kayaknya ada sembilan deh” kata Icha geleng-geleng kepala.

“Majuin dikit Put” pintah Rakai tidak menggubris perkataan Icha. Ujung penggaris bergerak maju mengenai sepatu Vio, dengan semangat empat lima Putra menggerakkan tangannya berusaha agar sepatu Vio bisa bergerak lebih dekat ke arah mereka.

Buk!

Bukannya mendekat sepatu Vio malah jatuh ke bawah, tepat mengenai kepala Rian yang kebetulan lewat disitu bersama Ditho.

“Aduh anjing!” teriak Rian keras membuat semua yang melihat insiden itu spontan berjongkok menyembunyikan tubuh mereka. Bisa mati kalau sampai ketahuan!

“Mati kita, kena Kak Rian. Lo sih bego!” Putra mendorong bahu Rakai, seketika wajahnya pucat pasi tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya.

“Sepatu gue gimana nih?” tanya Vio cemas. “Nggak lucu ih kalo dibuang ke tong sampah”

“Mending dibuang Vi, daripada kita yang dihajar” ketus Putra ketakutan.

Mereka semua terdiam memikirkan bagaimana caranya mendapatkan sepatu Vio kembali, sampai  tidak sadar Rian datang sambil menenteng sepatu Vio, ekspresi cowok itu terlihat tidak senang.

“Punya siapa nih?” tanyanya tanpa basa-basi.

“Punya saya kak” jawab Vio takut-takut.

 “Oh, elo ya yang jatuhin nih sepatu terus kena kepala gue?” Ekspresi Rian datar tapi kotradiktif dengan tatapan matanya yang terlihat begitu menusuk ke arah Vio, membuat tubuh cewek itu seakan membeku, kepalanya menunduk tidak berani menatap wajah Rian.

“Gue lagi nanya sama lo, bisu?” lanjut Rian tenang tapi tetap terdengar  menakutkan.

“Maafin saya kak, tadi saya yang nggak sengaja jatuhin sepatunya ke bawah.” Putra angkat bicara, ia memberanikan diri untuk bertanggung jawab karena melihat wajah Vio berubah pucat pasi, bisa dipastikan dalam beberapa detik cewek itu akan menangis.

“Oh lo yang jatuhin? Sini ambil”

Putra diam, ia tidak berani bergerak karena sadar perkataan Rian barusan sama saja dengan menyerahkan diri kepada cowok itu. Ia yakin sekali ketika melangkahkan kaki maju bukan sepatu yang ia dapat melainkan tinju dari Rian.

“Saya-” Putra meringis karena merasa bimbang untuk mengambil sepatu itu atau tidak. Tapi tanpa disangka Clara yang maju dan mengambil sepatu Vio, membuat teman-temannya terkejut tapi tetap tidak bisa mengatakan apapun.

“Dia nggak sengaja jatuhin sepatunya ke bawah” kata Clara, wajahnya agak mendongak menatap Rian karena cowok itu sedikit lebih tinggi darinya. Tidak nampak ekspresi takut atau gentar ketika berbicara dengan Rian. “Dia nggak sengaja dan udah minta maaf secara langsung, bukannya harusnya udah selesai ya?”

Hening.

Mata Rian kini benar-benar terpusat pada Clara, ia tidak mengatakan apapun, bahkan ekspresi wajahnya tetap datar tanpa makna. Perlahan ujung bibir Rian bergerak mengeluarkan seringaian kecil, ia kemudian balik badan dan pergi bersama Ditho naik ke atas lantai tiga.

Vio, Rakai, dan Putra bingung tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Secepat ini masalah dengan pembuat onar sekolah selesai?

“Aduh detak jantung gue” Vio terduduk lemas di lantai ketika Rian sudah benar-benar menghilang dari jarak pandangnya.

“Vi, sorry banget ya. Kita janji nggak bakal lempar-lempar sepatu lo lagi” kata Rakai buru-buru menahan Vio agar tidak berbaring di lantai.

“Diam lo! Gue lagi gemetar nih”

“Gue juga, jantung gue kayak udah pindah ke lambung” imbuh Putra ikut-ikutan duduk. Clara dan Icha tertawa geli menyerahkan sepatu Vio. “Tapi Cla lo udah gila ya? Untung Rian nggak ngamuk tadi, bisa jadi samsak alternatif gue”

“Nggak papa, kan ntar ada cowoknya Icha yang ngebelain kita” balas Clara kalem.

“Eh tolong bedain ya bermasalah sama Ray yang baik dan Rian yang menakutkan!” seru Putra sewot. Clara hanya angkat bahu lalu mengajak Icha masuk kelas, tidak memperdulikan ketiga orang itu masih sibuk mengurus detak jantungnya masing-masing.

“Gue tadi syok sih, cuman baru nyadar kalo perkataan lo tadi itu seperti nyindir dia karena nggak minta maaf langsung sama elu”

“Enggak Cha, gue nggak niatan nyindir. Cuman emang gue pikir harus digituin biar dia pergi dan pemikiran gue bener”

“Cerdas” puji Icha sambil cekikan geli.

...*****...

 “Woi Ray mau denger gosip nggak?” Ditho masuk ke dalam kelas dan duduk di depan Ray dengan semangat menggebu-gebu. “Tadi ada nih orang kejatuhan sepatu, udah marah-marah kan beliau mau nonjok, eh malah nggak jadi karena ada cewek yang nantangin”

“Dia nggak nantangin, cuman bilang mereka udah minta maaf dan nggak sengaja” koreksi Rian.

Ray mendongak menatap heran. “Emang siapa cewek yang berani sama lo?”

“Ada tuh anak kelas XA, temennya cewek lo, cakep gila, lebih cakep dari Manda” jawab Ditho menggebu-gebu.

“Clara”

“Oh namanya Clara? cocok sih sama mukanya, cakep abis” puji Ditho mengangguk-angguk sementara Ray tertawa ngakak.

“Azab sih ini, azab akibat melarikan diri dari permasalahan, jadi nggak ada takut-takutnya tuh cewek sama elu”

“Diem lo!” ketus Rian lalu bertukar tempat duduk dengan Frengky ketika Pak Antonius Gultom guru PKN asli orang Batak masuk ke dalam kelas. Ia memulai pelajaran bersamaan dengan kelas yang berubah sunyi.

Pak Anton terkenal sebagai guru paling galak kedua setelah Babe jadi jangan heran kalo anak-anak mendadak alim, kecuali bagi mereka yang suka mancing-mancing emosi guru biar diusir keluar kelas.

“Tapi lo kenapa sih tumben mau ngalah gitu?” tanya Ditho berbisik takut didengar Pak Anton.

“Malas debat sama cewek, ribet.”

Hening.

Menit-menit terus berlalu sementara Pak Anton tetap asik menjelaskan materi pelajaran. Hawa-hawa mengantuk mulai berbisik dari satu telinga ke telinga lain mendendangkan untuk tidur saja. Satu persatu mulai berguguran memejamkan mata, tapi terkadang terbuka lebar ketika suara keras Pak Anton terdengar dari depan.

Mulut Rian menguap, awalnya ia konsen tapi suasana hening membuat matanya mendadak berat. Tuk, sebuah gulungan kertas jatuh tepat diatas kepala Rian. Cowok itu berpaling tampak Greg memberikan kode agar Rian membaca isi suratnya. Rian nyengir kalau tampang Greg sudah seperti itu biasanya dia mau mengajak bolos dan merokok di belakang kantin sekolah.

‘Cabut yuk, mulut gue asem nih belum nyentuh rokok’  begitu isi pesan dari Greg.

“Ky lo yang balas Ky, gue malas nulis” pintah Rian, Frengky mengangguk menulis balasan untuk Greg. Tapi entah karena salah perhitungan atau memang terlalu bersemangat, Frengky malah melempar surat balasannya terlalu kencang sehingga jatuh tepat mengenai wajah Pak Anton, ketiganya spontan menjadi gugup.

Pak Anton menghentikan penjelasannya sejenak untuk membaca isi dari kertas yang kena wajahnya tadi dengan suara keras. “Cabut yuk mulut gue asem nih belum nyentuh rokok, Greg. Oke kalo gitu gue sama Rian pura-pura sakit perut bareng, lo ngarang alasan sendiri aja, Frengky.”

Sekelas langsung tertawa keras, sedangkan ketiga tersangka itu hanya bisa menelan air ludah masing-masing menyalahkan diri sendiri karena terlalu bodoh menulis identitas mereka di surat itu.

“Merencanakan kejahatan di hari bahagia seperti ini?” tanya Pak Anton kalem menunjuk ke arah pintu luar. “Kalian lihat pintu itu? Silahkan keluar”

Seketika rasa gugup Rian berubah bahagia, meskipun ekspresinya terlihat seperti sedang merasa bersalah tapi senyum kecilnya muncul sedikit. Mereka serentak bangkit berdiri hendak berjalan keluar, lumayan bisa keluar kelas tanpa harus capek-capek berbohong.

“Eh, eh mau kemana kalian?”

“Keluar pak, tadi kan bapak nyuruh gitu”

“Siapa bilang kalian boleh keluar tanpa ngapa-ngapain?” ketus Pak Anton sewot. “Ambil buku kalian dan duduk di depan pintu, aku gak mau tahu pokoknya hari ini kalian bertiga belajar dari depan pintu. Biar bisa kalian rasakan susahnya anak-anak yang ingin bersekolah tapi gak ada duit.”

Mereka bertiga spontan melongo sementara suara tawa terdengar memenuhi kelas. Akhirnya dengan ekspresi menahan kesal dan tanpa protes ketiganya mengambil buku PKN dan duduk bersila di depan pintu kelas memperhatikan Pak Anton terus mengajar.

Mau bagaimana lagi, guru memang selalu punya kekuasaan absolut di dalam kelas dan tidak bisa terbantahkan oleh siapapun.

...*****...

Suasana kantin saat istirahat ramai seperti biasa, ditambah lagi kelompok Ucup sibuk menyanyi keras-keras menambah kebisingan kantin. Beberapa murid menatap mereka dengan ekspresi kesal, takut keselek ketika makan akibat mendengarkan suara fals Angga, cowok itu dengan cueknya menyanyikan lagu kemesraan milik Iwan Fals.

“Kemesraan iniiiiiiiii, janganlah cepat berlalu uuuuuu” suara falsnya menggema memenuhi kantin.

Dari barisan Clara duduk langsung pada cekikikan geli mendengar suara biduan palsu itu, dasar Angga! mentang-mentang penyanyinya punya nama belakang Fals dianya ikutan fals, nada kemana musik kemana, jalan sendiri-sendiri.

“Cha cepetan lo ambil keburu bel nih” kata Clara ditengah gelak tawanya. Icha mengangguk pergi mengambil bakso yang mereka pesan. “Heran deh gue sama si Angga, udah tau fals masih aja tancap gas”

“Gue pernah stalk instagramnya, isi postnya mellow semua” cerita Sybil. “Tiga puluh foto hampir semuanya caption mellow, kayaknya anak senja deh dia”

“Senja tapi hobi nyanyi dangdut”

“Multifandom kali”

“Lo kata fans kpop?” kekeh Clara. Sybil angkat bahu menyeka air matanya yang menetes karena tertawa terlalu banyak.

Fani buka suara hendak membalas kata-kata Sybil tapi ia malah terpaku menatap ke arah belakang Clara dan Sybil. Heran, kedua cewek itu ikut balik badan melihat ke belakang, mereka terkejut bukan main, tampak Ucup dan Adit berangkulan mesra tersenyum manis ke arah mereka bertiga dan tanpa malu-malu keduanya langsung duduk di kursi. Ucup duduk di samping Fani sementara Adit mengambil paksa kursi salah seorang siswa kelas sepuluh dan duduk di sisi ujung dekat Clara.

“Hai, kenalin gue Adit dan ini sohib gue namanya Ucup.” Adit memperkenalkan diri, tangannya menggantung di udara mencoba untuk bersalaman. “Kata nyak gue sih kalo orang mau salaman jangan dianggurin” sindirnya membuat Clara terpaksa menyambut uluran tangan itu.

Tanpa diduga Adit iseng mencium tangannya bekas salaman dengan Clara. “Harum Cup. Pantes Rian suka” celetuknya sukses membuat ekspresi wajah Clara langsung berubah tidak enak.

Cewek itu diam tanpa suara sementara Ucup malah tertawa geli melihat ekspresinya, matanya menatap ke arah belakang Ucup dan Adit, dilihatnya Angga cs masih bernyanyi tapi sembari menatap ke arah mereka, sesekali kelompok itu tertawa geli lalu berbisik-bisik mendiskusikan sesuatu.

“Gimana Cup?!”  teriak salah seorang dari barisan mereka membuat meja Clara sejenak menjadi pusat perhatian semua warga kantin. Mereka melemparkan tatapan penuh tanda tanya, tapi ada juga yang lebih memilih tidak ikut campur atau bersikap tidak peduli dengan tingkah manusia-manusia tukang buat masalah ini.

“Lancar jaya!”  Ucup balas berteriak lalu kembali berpaling pada Clara, matanya menatap cewek itu lurus-lurus menimbulkan perasaan tidak nyaman, tapi Ucup tidak peduli ia malah mengaduk-aduk es tehnya tanpa rasa bersalah. “Makan aja, nggak bakal kita apa-apain sumpah” janji cowok itu serius. Clara tersenyum kecut  menggigit potongan baksonya tidak bersemangat, keinginannya sekarang adalah ingin segera angkat kaki kembali ke kelas.

“Menurut lo Rian gimana?”

Clara tercekat hampir tersedak pentolan bakso, baru semenit lalu Ucup berjanji tidak akan mengganggunya tapi pertanyaan cowok itu sukses membuat Clara terkejut.

Jujur Clara tidak mengenal Rian kecuali sifat kurang ajarnya, tapi melihat ekspresi Ucup dan Adit, Clara bisa memastikan dua orang itu sedang memikirkan sesuatu yang lain.

“Gi- gimana? maksudnya kak?”

Ucup dan Adit saling melemparkan tatapan penuh arti  lalu mengangguk mengerti. “Kita boleh kan makan disini?” tanya mereka agak terlambat untuk meminta izin.

“Ya” jawab Clara pelan dan ragu, matanya menatap kedua orang itu bingung.

“Kita cuman khawatir aja tangan lo kenapa-napa lagi”

“Nggak papa kok kak tangan saya udah baik-baik aja” balas Clara buru-buru.

“Oh bagus kalo kayak gitu” tawa Adit geli membuat Clara semakin kebingungan. “Jadi, jawaban atas pertanyaan kita tadi gimana?”

Clara diam, matanya melirik ke arah dua temannya yang juga terdiam. Mereka tidak ada yang berbicara sampai kemudian Icha muncul dengan ekspresi heran.

“Lo duduk disini Cha? Ntar ya gue masih mau bersilaturahmi” kata Ucup nyengir lebar. Icha mengangguk dan duduk di samping Clara, lima detik kemudian ia baru menyadari situasi canggung diantara mereka.

“Saya nggak terlalu kenal dia kak”

“Mau kita kenalin nggak?” balas Ucup sukses membuat Clara menyesal menjawab pertanyaan cowok itu.

“Ini ada apa sih kak?” tanya Icha heran.

“Oh ini mau jodohin Clara sama Rian, kemarin gue lihat aura Clara, feng shuinya bagus” jawab Adit sembarangan. Ucup cekikikan geli sementara Sybil hampir tersedak es batu karena menahan tawa.

“Gue boleh duduk disini?” suara seseorang membuat mereka serempak memalingkan wajah. Tampak Manda dan seorang temannya tersenyum manis ke arah mereka, Ucup serta merta berdiri mempersilahkan cewek itu duduk.

“Silahkan duduk disini ibu suri.”

Manda tertawa geli. “Balik gih kak jangan gangguin orang makan”

“Ntar, masih mau ngobrol” kekeh Ucup. Clara diam, rasa laparnya langsung menghilang, ia berhenti makan karena indra pengecapnya mendadak berubah menjadi hambar.

“Woi bos! Sini” Adit tiba-tiba berteriak memanggil Rian yang baru masuk kantin, cowok itu menoleh sebentar lalu memberikan kode dua jari. “Ikut dong, eh gue balik ya, kapan-kapan kita ngobrol lagi” lanjutnya ke arah Clara dan beranjak pergi menghampiri Rian bersama Ucup.

“Jangan diambil hati ya, mereka emang suka kayak gitu” kata Manda tersenyum kecil.

“Iya, makasih ya kak” jawab Clara pendek, ia menghabiskan es tehnya tidak bersemangat. Sekilas matanya menangkap Rian sedang menatap sejenak kearah dirinya ketika berbicara dengan Ucup dan Adit. Ekspresinya datar dan setelah itu ia merangkul teman-temannya pergi menuju belakang kantin untuk merokok.

...*****...

 Clara mendorong pintu cafe dan masuk diikuti ketiga temannya, ia tersenyum lebar ke arah Jefri sembari memperkenalkan teman-temannya. Terlihat jelas Fani terpaku bwgitu melihat senyum manis Jefri, mulutnya sedikit terbuka sampai Sybil harus menyikut lengannya keras-keras

“Wah bagus nih strategi marketingnya, nyuruh pegawai sendiri buat bawa orang kesini” celetuk Martin dari belakang. Ia menaruh empat gelas air putih dan tersenyum lebar. “Air putih disini gratis. Oh iya, nomor telepon gue juga gratis”

“Mulai deh, kak inget umur” geleng Clara, Martin cengengesan lalu kembali ke belakang meja kasir.

“Cla, ngomong-ngomong orang kemarin muji elu, katanya suara lo bagus parah. Kapan-kapan nyanyi lagi ya Cla?”

“Gampang kak, ntar sama Kak Nichol lagi”

“Hidup duo racun!” ujar Jefri semangat. “Gue kesana dulu ya, kalian pesan aja sepuas kalian, asal bayar. Lo masih sejam lagi kan kerjanya?”

“Iya kak, ini gue masih mau ngerjain tugas dulu”

“Sip” Jefri mengangkat jempolnya lalu kembali bekerja melayani pengujung baru. Clara memalingkan wajah dan tertawa kecil melihat ekspresi Fani, cewek itu mendengus pura-pura tidak mengerti arti tatapan ketiga temannya.

“Kayak habis lihat malaikat kan Fan?” goda Icha.

Fani diam lalu buru-buru mengganti topik. “Emang lo nyanyi juga disini?”

“Sebenarnya enggak, cuman kemarin urgent butuh penyanyi karena yang nyanyi nggak dateng, yaudah deh terpaksa gue yang gantiin” cerita Clara. Fani mengangguk-angguk paham.

“Mau gue pesanin sesuatu nggak? Disini breadsticknya enak loh”

“Ikut Cha” Fani sontak berdiri mengikuti Icha sementara Sybil dan Clara cekikikan geli.

“Eh Cla lo suka nggak kalo misal gue ajak ke pameran lukisan?”

“Sukalah, emang lo mau ngajak gue?”

“Iya. Jadi sepupu gue itu kan pelukis nah nanti salah satu karyanya mau dipamerin, tapi masih lama, cuman gue nanya lo dari sekarang mumpung gue inget. Lo mau kan?”

“Mau dong, masa iya gue nolak” angguk Clara senang. “Fani dan Icha lo ajak juga nggak?”

“Nggak” jawab Sybil tegas. “Nggak ada jiwa seni itu orang berdua yang ada malah ngerusak suasana. Masa gue pernah ngepost foto di instagram kan terus captionnya mellow parah gue ambil dari lirik lagu spring day, tulisannya gini I wanna hold your hand and go to the other side of the earth. Lo tau nggak Fani komen apa? Dia nulis gini, anda butuh pembesar payudara? hubungi nomor yang tertera disini. Gimana gue nggak kesal coba?” cerita Sybil, Clara ngakak.

“Terus lebih tai lagi anak-anak sekelas pada ikutan komen kayak gitu, makanya tiap kali gue ngepost dengan caption mellow pasti komen postingannya gue matiin”

“Emang dari aura mukanya nggak ada jiwa seni, yang ada hanya jiwa liar bebas di alam” imbuh Clara nyengir, dari kejauhan matanya menatap Fani yang terlihat salah tingkah ketika berbicara dengan Jefri. Salah satu sudut bibirnya tersenyum kecil, jadi seperti itu kelihatannya ketika seseorang jatuh cinta pada pandangan pertama.

...*****...

^^^Yogyakarta.^^^

“Masih merasa jetlag?” Victor Tineza menegur Ardi Wijaya, lelaki tua berusia empat puluh tahun, tiga tahun lebih tua darinya.

“Sedikit, tidur seharian membuat kepalaku dua kali lebih sakit.” Ardi menuangkan wine ke dalam gelas dan menyodorkan kepada Victor.

“Aku menyetir” tolak Victor. Ardi angkat bahu memilih duduk di kursi goyang, matanya menatap jauh ke arah pantai sementara gelas wine berada dalam genggaman tangannya.

“Erika bagaimana?”

“Entahlah, dia terlalu banyak menyembunyikan sesuatu” jawab Victor datar. “Tapi dia sudah bisa berinteraksi dengan baik”

“Aku tahu”

“Lalu untuk apa bertanya”

“Hanya ingin memastikan kau tidak menyembunyikan sesuatu dariku.”

Victor diam, satu tarikan napas menunjukan bagaimana ia berusaha keras untuk tidak menunjukan tinju pada lelaki di sampingnya ini. “Tapi kenapa tiba-tiba ke Indonesia?”

“Satu karena pekerjaan dan dua karena ingin bertemu anak-anakku”

“Tampangmu seperti mereka akan menerimamu saja” ketus Victor. Ardi tertawa kecil melirik ke arah jam tangannya, sekarang sudah pukul setengah dua pantas saja sejak tadi perutnya terasa lapar. “Erika mungkin akan menerimamu lagi, tapi jangan lupakan kakaknya”

“Aku bisa mengurus hal itu, kau sibuk saja dengan hidupmu” kata Ardi setelah terlalu lama terdiam. Ia kembali dengan ekspresi wajahnya yang dingin dan terlihat tidak mengacuhkan tatapan kesal Victor akan pernyataannya.

“Maksudmu kehidupan yang kuhabiskan hanya untuk memperbaiki hasil masa lalu kotormu?” balas Victor sinis.

“Semua itu terjadi diluar kendaliku Vic. Situasi saat itu memaksaku untuk diam, tapi sekarang aku bisa memperbaiki segalanya”

“Dengan apa? uang?”

“Apapun, aku punya banyak rencana”

“Oh baguslah dan jangan meminta bantuanku lagi” ujar Victor jengkel, dalam pikirannya setelah sekian lama tidak bertemu Ardi maka amarahnya akan meredah, tapi nyatanya sama saja, malah emosinya naik dua kali lebih besar dari terakhir kali ketika mereka bertemu. “Aku pulang sekarang, sampaikan salamku pada Jiyeon” lanjutnya berdiri dan membungkuk sedikit untuk berpamitan.

“Clara ada mengatakan sesuatu tentangku?” tahan Ardi sejenak, meskipun matanya tertutup kaca mata tapi Victor yakin ada sebuah lirikan penuh harap yang ditunjukan lelaki itu.

“Tidak” jawab Victor pendek. “Tapi satu hal yang pasti, dia sudah terlanjur membencimu.” Setelah berkata begitu Victor kemudian melangkahkan kaki pergi meninggalkan Ardi yang terdiam tanpa suara.

“Keparat!” umpat Ardi pelan, suasana hatinya mendadak buruk, ia bahkan tidak mengangguk ataupun tersenyum kepada pelayan yang menyiapkan makan siang untuknya, perkataan Victor Tineza sukses membuat darahnya mendidih.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!