Rian

Hari masih pagi ketika Clara dikejutkan dengan kedatangan Gerald ke rumahnya. Dengan alasan ingin mengambil pesanan akhirnya mau tidak mau Clara terpaksa harus pergi ke sekolah bersama cowok itu.

“Entar kak ngitung dulu udah dua puluh kotak atau belum” tahan Clara menghitung ulang jumlah kotak yang sudah diikat rapi dengan tali rafia. Setelah memastikan tidak ada yang salah ia kemudian memasukan ke dalam dua plastik besar berwarna hitam.

“Biar gue yang bawa” Gerald mengambil kedua plastik lalu berjalan menuju mobilnya diikuti Clara.

“Ini nggak papa nih gue numpang?”

“Nggak papalah, biar sekalian” jawab Gerald memasang seat belt, menyalakan mesin mobil, lalu melaju pergi.

Clara menyalakan radio untuk menemani obrolan mereka sepanjang jalan, ia sedikit merasa canggung meskipun ekspresi Gerald terlihat senang, bibir cowok itu tidak bisa berhenti menampilkan senyum manis meskipun tidak ada hal lucu yang bisa menjadi alasan baginya untuk tersenyum seperti itu.

Sekitar dua puluh menit mereka tiba di sekolah, kali ini Clara buru-buru mengambil salah satu plastik dan berjalan di samping Gerald.

Suara ribut dari arah lapangan menarik perhatian keduanya, mereka serempak memalingkan wajah mendapati sedang terjadi perkelahian. Sorak-sorai penonton tentu saja menarik perhatian murid lain yang baru datang untuk ikut berkumpul di pinggir lapangan.

Tidak ada yang melerai hanya beberapa anak sibuk menjadi pembatas agar tidak ada yang menyeruak masuk ke dalam perkelahian.

Mata Clara mencoba mencuri pandang untuk melihat siapa yang berkelahi.

“Jangan kesana Cla ntar lo malah kena tinju nyasar” tegur Gerald menahan lengan Clara ketika tanpa sadar kaki cewek itu bergerak mendekati kerumunan.

“Lo nggak mau ngelerai kak? lo kan anggota osis”

“Nggak, ngapain? Tuh Babe udah datang” tunjuk Gerald ketika Babe panggilan untuk guru olahraga dan satpam memaksa masuk ke dalam perkelahian dengan bentakan keras. “Lagian udah malas osis ngurusin yang berantem di sekolah, kerjaan kita masih banyak” lanjut Gerald.

Clara diam, masih mencoba mencari tahu siapa yang segitu kurang kerjaannya sampai berantem di pagi hari. Setelah kerumunan dibubarkan ia baru bisa melihat pelaku perkelahian, Rian dan Chiko dua anak nakal sekolah yang selalu terlibat masalah, kapanpun dan dimanapun. Bukan hanya Rian dan Chiko saja tapi teman-teman dekat mereka juga sering berantem, setiap dua kelompok itu bertemu pasti aura sensi dan hawa negatif mulai menyebar bebas di udara, mengalahkan suasana hati cewek-cewek lagi haid, sampai guru-guru sudah bosan untuk memberikan peringatan.

Clara bergidik melihat wajah lebam Rian dan Chiko, seragam putih mereka terkena bercak darah, bahkan meskipun ada Babe berdiri dengan ekspresi marah tidak lantas langsung meredam emosi kedua orang itu untuk berhenti menyerang satu sama lain.

“Yuk Cla keburu bel” ajak Gerald membuyarkan arah pandang Clara, cewek itu mengangguk dan melangkahkan kaki pergi ke ruang osis setelah sebelumnya sempat melihat Rian dan Chiko digiring paksa masuk ruang bimbingan konseling.

...*****...

“Duh… kampret” keluh Rian menahan sakit saat mencoba menempelkan plester ke daerah dekat keningnya yang terluka, ia mencoba tersenyum tapi rasa perih justru terasa dua kali lebih menyakitkan.

Setelah selesai mengobati lukanya sendiri Rian kemudian berbaring di atas kasur salah satu bilik UKS, jam pertama akan berakhir dua puluh menit lagi dan ia memilih untuk lanjut tidur. Tapi baru sebentar memejamkan mata terdengar suara ribut dari luar bilik, tangan Rian menggeser tirai untuk mengintip, senyumnya hampir muncul begitu melihat Clara bersama kedua temannya yang mengenakan baju olahraga sedang berbicara dengan Ibu Laras.

“Kotak P3K? Belum dibalikin sama Rian, coba kamu ambil disitu” tunjuk Ibu Laras ke arah bilik dimana Rian berada lalu membantu salah satu teman Clara berbaring di atas tempat tidur, tampak lutut temannya terluka parah.

Clara tersenyum canggung mengucapkan terima kasih dan dengan berat hati menghampiri Rian, ia membuka tirai bilik pelan-pelan.

“Sorry gue boleh ambil kotak P3K nggak?”

“Mau ngapain?”

“Ngambil kotak P3K yang lo pinjem karena teman gue lagi butuh”

“Gue juga lagi butuh, lo nggak lihat muka gue?” balas Rian menunjuk wajahnya, sebenarnya ia sudah mengobati lukanya sejak tadi isengnya kumat ketika melihat ekspresi judes Clara.

“Pinjem bentar aja habis itu gue balikin lagi”

“Nggak”

“Kalo gitu gue ambil yang temen gue butuh aja” ujar Clara mencoba sabar padahal dalam hati ingin menonjok wajah Rian kuat-kuat.

Cowok itu menggeleng memukul-mukul pelan kotak P3K sambil bersenandung kecil, tingkahnya benar-benar ditujukan untuk mengejek Clara, ia tidak peduli bahkan meskipun tatapan yang diarahkan kepadanya adalah tatapan kesal bercampur emosi.

Selanjutnya Clara hanya diam, dalam hati sibuk mencaci sikap kekanak-kanakan Rian, ia memutuskan untuk tidak meminta lagi tapi menunggu Rian mengobati lukanya. Setidaknya mereka tidak perlu berdebat, karena Clara tahu apapun yang terjadi cowok itu akan selalu berhasil menyulut emosinya keluar.

“Cla lo lama banget sih” tegur Icha tiba-tiba muncul, Clara lantas menunjuk Rian dengan dagunya. “Kak Rian boleh minjem kotak P3Knya nggak?”

“Oh boleh-boleh” ujar Rian langsung menyerahkan kotak P3K pada Icha, Clara jelas melongo ia berdecak keras lalu balik badan dan bisa ia dengar suara tawa kecil milik Rian begitu kakinya melangkah lebih dulu, meninggalkan Icha yang sedikit kebingungan dengan tingkahnya.

...*****...

“Nic, keluarga mendatar, tak ada titik-titik yang tak retak”

“Gading”

“Sudah jatuh tertimpah titik-titik”

“Tangga”

“Titik-titik hendak menjadi naga”

“Cacing”

“Setinggi-tingginya titik-titik terbang, hinggapnya ke kubangan juga”

“Bangau”

“Ah masa?” Joji mendongak tidak percaya. “Kenapa bangau? kenapa nggak betet atau nggak belut? Kan bisa juga belut punya keinginan untuk terbang?”

Spontan Nichol dan Clara berpandangan lalu tertawa ngakak, mereka geleng-geleng kepala membiarkan pertanyaan Joji tidak terjawab. Akibat menjadi mahasiswa semester enam yang pusing harus mengurus makalah laporan magang memang membuat jalan pikiran cowok itu suka kemana-mana, kadang juga stres atau mendadak gila sendiri. Tawa Nichol dan Clara baru berhenti ketika Jefri muncul dengan wajah kusut seperti keset, pertanda ada sesuatu yang salah.

“Ketawa kok nggak ngajak-ngajak?”

“Oh ini lagi ketawain kakak kok” jawab Nichol cuek. Muka Jefri semakin kusut mengambil potongan kecil es batu lalu mengunyah-ngunyah, krauk krauk.

“Pusing gue nih, yang nyanyi malam ini nggak bisa datang katanya mendadak sakit”

“Yaudah nggak usah pakai penyanyi”

“Nggak bisa Jo, hari ini kafe jam tujuh malam udah ada yang pesan, mau ngerayain anniversary, udah bayar gede lagi” keluh Jefri suntuk. “Duh mana Kak Martin di Bogor. Kalian ada yang bisa nyanyi nggak?”

“Gue bisa, mau?” tawar Joji pede, Jefri langsung menggeleng keras menolak, suara cowok itu fals bukan main. Nafas saja sering salah nada apalagi nyanyi? Bisa-bisa niat awal ingin merayakan anniversary malah berubah menjadi putus hubungan.

“She can” tunjuk Nichol tiba-tiba pada Clara. “Kemarin dia nyanyi lagunya cigarettes of ours yang judulnya Ardhito Pramono”

“Kebalik woy” koreksi Clara dan Joji barengan.

Nichol berdecak kecil. “Gosh! hanya salah sedikit juga”

“Cla lo beneran bisa nyanyi?” tanya Jefri menampilkan ekspresi penuh harap. “Tolong nyanyi buat malam ini ya? gaji lo gue tambah bonus, sumpah”

“Tapi gue nggak-”

“Bisa, bisa. Kemarin aja gue puji-puji lo kepala lo langsung membesar gitu” potong Nichol.

Clara menggaruk rambutnya yang tidak gatal, bukan masalah bagus atau tidak, tapi lebih kepada percaya diri atau tidak. Iseng bernyanyi di depan Nichol kan beda cerita dibandingkan menyanyi di atas panggung kafe, lagipula kemarin ia bernyanyi karena mengikuti lagu yang ia dengar.

“Mau ya? mau ya? mau lah, harus dong” tanya Jefri memaksa, akhirnya Clara mengangguk pasrah. “Lo mau diiringi pake apa? Nichol bisa main gitar”

“Ya terserah kak”

“Oke kalo gitu ini list lagunya.” Jefri langsung menunjukan sepuluh list lagu yang seharusnya dibawakan oleh penyanyi sebenarnya, Clara dan Nichol membaca seksama lalu mengangguk-angguk.

“Gue bisa mainin semua lagu itu, lo bisa kan Cla?”

“Bisa kok tenang aja”

“Oke mulai hari ini lo berdua bakal gue panggil duo racun”

“Ewh!” Nichol melemparkan ekspresi tidak setuju, tapi Jefri tidak peduli ia langsung pergi mengatur alat musik diatas panggung kecil dekat jendela ujung. “Ngasih nama nggak bisa yang kerenan dikit apa?” gerutu Nichol tidak suka. “Cla nama duet kita emm-”

“Duo sekawan” celetuk Joji memotong. Nichol hendak protes lagi tapi panggilan Jefri membuatnya terpaksa pergi dari balik meja kasir untuk membantu cowok itu mengurus keyboard musik dan menyetem gitar. “Jangan gelisah gitu Cla, lo cuma mau nyanyi doang bukan drama musikal”

“Emang kelihatan banget ya kak?”

“Iyes” jawab Joji lalu tersenyum manis menyambut pengunjung baru yang memesan. Clara menarik napas panjang untuk mengusir rasa gugupnya, ia benar-benar merasa tidak tenang bahkan sampai matahari mulai menghilang dan lampu luar cafe satu persatu menyala menerangi gelap yang akan muncul.

“Ntar Kak Nic, gue cuci muka dulu” kata Clara lalu pergi membasuh muka di wastafel toilet, ia menatap pantulan dirinya di kaca mencoba meyakinkan diri bahwa menjadi pusat perhatian orang ketika bernyanyi nanti bukan masalah besar.

Tapi ah, bagaimana ini? Clara tahu betul ia benci menjadi pusat perhatian orang banyak. Tangannya terus menerus mengeluarkan keringat dingin karena gugup.

“Cla lo nggak papa?” Clara mendongak, ada Nichol menunggunya di depan pintu toilet. “Jongkok Cla jongkok, gue sering kayak gini tiap kali mau manggung bareng temen-temen gue” lanjutnya sambil berjongkok diikuti Clara.

“Gue takut kak, gimana kalo tiba-tiba malah jadi kacau terus orang-orang pada ilfil?”

“Lo percaya nggak sama diri lo sendiri?”

“Enggak” geleng Clara jujur.

“Kalo gitu percaya sama gue” kata Nichol tegas. Ia jelas mengerti situasi Clara, untuk seseorang yang selalu berusaha agar tidak di notice dan tiba-tiba harus menjadi pusat perhatian orang-orang bukanlah suatu hal menyenangkan. “Udah selesai gugupnya?”

“Belum kak gue pemanasan dulu” ujar Clara buru-buru melakukan pemanasan singkat sambil berjongkok, beberapa pengunjung yang hendak masuk toilet melemparkan tatapan aneh ke arah mereka. “Yuk gue udah siap.”

Nichol menunjukan jempolnya, mereka naik ke atas panggung. Clara duduk di depan mic sementara Nichol memainkan melodi-melodi asing.

Rasa gugup Clara perlahan mulai menghilang melihat sosok berbeda Nichol ketika memainkan gitar, rasa percaya diri cowok itu menular memberikan efek pada Clara untuk terus bernyanyi, bahkan meskipun  pengunjung kafe mulai ramai berdatangan ia tidak lagi merasa gugup. Bait demi bait dari setiap lagu yang mereka bawakan mampu menyihir penonton untuk memberikan tepuk tangan dan tepat pukul tujuh malam Jefri memberikan kode agar Clara dan Nichol membawakan lagu khusus.

“Setelah tadi saya menyanyikan banyak lagu yang dipersembahkan khusus untuk kalian semua. Sekarang saya akan menyanyikan satu lagu khusus yang saya persembahkan untuk Kak Arin, mana Kak Arin? boleh angkat tangannya sebentar?” tanya Clara tiba-tiba berbicara dengan mic, sejenak Nichol terkejut lalu tersenyum lebar karena akhirnya cewek itu mau berbicara setelah sejak tadi hanya Nichol yang terus melakukan interaksi dengan penonton.

“Halo Kak Arin” lanjut Clara tersenyum begitu melihat seorang wanita mengangkat tangan. “Lagu ini dikhususkan untuk kakak atas permintaan seseorang, mungkin dia adalah orang yang berharga mungkin juga tidak, tapi happy anniversary untuk dua tahun semoga hubungannya makin langgeng sampai ke pelaminan”

“Amiin” teriak pengunjung lain membuat Arin tersipu malu.

“Pacar kakak bilang he loves you and didn’t say that to hear it back, but he said it to make sure you know.”

Tepuk tangan terdengar semakin keras memenuhi ruang cafe. Clara bangkit berdiri berpindah duduk di depan keyboard musik, ia memainkan melodi awal dari lagu kasmaran milik Jaz, tanpa diduga Nichol bisa mengimbangi penampilan tanpa perencanaan dari cewek itu. “Pun aku merasakan getaranmu, mencintaiku seperti ku mencintaimu”

“Sungguh kasmaran aku kepadamuuuuuu” sambut penonton ikut bernyanyi keras, Clara tertawa senang, ekspresinya terlihat begitu menikmati apa yang ia lakukan saat ini. Untuk pertama kalinya dalam hidup Clara bisa merasakan seperti apa rasanya menjadi sosok yang bisa mengontrol emosi orang lain.

“Lagi dong mbak, satu lagu lagi, tapi spesial buat saya” teriak seorang cowok yang duduk dekat jendela, teman-temannya tertawa ikut berteriak. “Mbak teman saya jatuh cinta beneran, katanya I love you.”

Clara tertawa ngakak, ia tidak merasa tersinggung dengan candaan itu mungkin karena efek dahsyat penampilannya masih membekas dihati. Setelah lagu tadi selesai Clara dan Nichol turun sedikit diiringi nada kecewa terutama dari kumpulan cowok-cowok di meja ujung.

...*****...

“Lo berdua keren banget, terima kasih sudah menyelamatkan nyawa kafe malam ini. I love you” ujar Jefri memeluk Clara dan Nichol erat. “Hidup duo racun!” lanjutnya berteriak, beruntung cafe sudah mau tutup jadi tidak akan ada yang merasa kaget mendengar teriakan Jefri

“Kak ini udah boleh pulang kan?”

“Iya, tapi gue anterin lo pulang”

“Hah? Ih nggak papa kak, gue naik angkot aja”

“Ini udah jam setengah sepuluh Clara, lo mau dibawa kabur tukang angkot?”

“Kan biasanya juga naik angkot pulang pergi”

“Ya kan itu kalo lo pulangnya masih jam tujuh, masih terang, ini tuh udah mau tengah malam” balas Nichol gemas.

“Gue anterin sekarang, bentar ya ngambil jaket dulu” kata Jefri mengambil jaketnya, ia hendak melangkah keluar tapi tertahan begitu Joji masuk ke dalam cafe dengan wajah garang, cowok itu baru saja selesai merokok di luar.

“Mau kemana lo?” tanya Joji ngegas begitu melihat Jefri meraih kunci motor dari gantungan di belakang rak meja kasir. “Jangan coba-coba kabur ya lo, selesaiin dulu pendahuluan makalah kelompok. Heran gue, dimana-mana orang ngerjain pendahuluan dulu baru pembahasan ini malah pembahasan dulu baru pendahuluan”

“Gue mau nganterin Clara  pulang”

“Nggak. Nggak ada alasan nganter-nganter! Lo tuh kebiasaan kalo udah keluar dari cafe nggak bakal balik lagi. Tahu enggak kemarin gue udah dimarahin Maya karena pendahuluan kita belum selesai-selesai” omel Joji jengkel. Jefri berdecak, terkadang untuk urusan mengerjakan tugas semangat Joji tidak bisa dilawan, meskipun semangatnya baru muncul ketika sudah dimarahi anggota kelompok, tapi setidaknya ia sedikit lebih baik daripada Jefri.

“Tapi masa lo tega sih biarin Clara pulang sendirian?”

“Ada Nichol yang nganterin”

“Lah kan gua numpang balik sama elu kak? Gue nggak bawa mobil” Nichol menyela.

“Pakai motornya Jefri, lo antarin Clara pulang”

“Masalahnya gue nggak bisa bawa motor.”

Clara bingung, detik jam terus bertambah tapi belum ada kepastian siapa yang akan mengantar dirinya pulang, padahal ia benar-benar harus belajar untuk ulangan besok. “Kak kalau kayak gini mending gue pulang naik angkot aja”

“Gak boleh!” seru Jefri, Nichol, dan Joji serempak.

Clara tersenyum kecut, “terus gimana dong?”

“Tenang ada bos” kata Joji lalu memanggil seseorang dari balik pintu masuk. “Yang sini dulu, ada pekerjaan untuk kamu daripada kamu hanya nyebat sambil menatap langit gelap”

 “Apalagi? Rokok gue bagi, minuman gue bagi, makanan gue bagi, apalagi yang kurang hah?”

Wajah Clara mendongak seketika tubuhnya mematung melihat Rian muncul dari luar dengan rokok di jari tangan.

“Cla, ini yang namanya Rian, pemilik asli tempat ini, gayanya emang kayak preman tapi aslinya pewaris harta keluarga Giovani” kata Jefri memperkenalkan Rian sambil bercanda. Clara memaksakan diri untuk tersenyum, ia tidak menyangka nama Rian yang selama ini selalu disebut-sebut adalah Rian yang sama dengan cowok menyebalkan yang ia temui hampir setiap hari di sekolah.

Indonesia luas, cowok bernama Rian lebih dari seribu orang, tapi kenapa harus Rian ini yang jadi bos gue? batin Clara merutuki nasibnya.

“Gue Rian” Rian mengulurkan tangan memperkenalkan diri seolah ini adalah pertama kalinya ia mengenal Clara.

“Cakep banget ya Cla sampe bikin lo terpana?” sindir Joji membuat Clara salah tingkah, ia menyambut uluran tangan Rian dengan ekspresi gugup.

“Tolong anterin Clara pulang ya Ian, gue nggak bisa gara-gara beliau terlalu ambis mau mengerjakan tugas” ujar Jefri meminta.

Please jangan mau, jangan mau, jangan mau, batin Clara meminta.

“Yaudah ayuk” ujar Rian tanpa pikir-pikir. Tubuh Clara langsung lemas, mau tidak mau akhirnya ia terpaksa mengikuti cowok itu keluar cafe, setelah sebelumnya sempat digodain Joji.

“Jangan bengong, nih” tegur Rian menyerahkan helm pada Clara, cewek itu menarik napas panjang mencoba menetralisir rasa canggung.

“Kenapa sih gue selalu ketemu lo dimana-mana? Lo ngintilin gue ya?” ujarnya ketus. Rian ngakak sambil mengeluarkan motornya dari parkiran.

“Bagus lah selalu ketemu lo dimana-mana, peletnya kuat berarti” jawab Rian santai. Ia menyalakan mesin motor dan memberikan kode agar Clara naik. “Alamat rumah lo dimana?”

“Jalan matraman, di belakang gang apartemen metropolis” jawab Clara.

Motor mereka kemudian melaju pergi menembus langit malam kota Jakarta. Clara mencengkram erat bahu Rian, kecepatan motor membuatnya merasa sedang melakukan aksi uji nyali di tengah jalan raya. Diliriknya Rian dari pantulan kaca spion motor, cowok itu terlihat santai, seolah tidak ada masalah dengan kecepatan motornya yang hampir menyamai kecepatan motor pembalap. Sesaat mereka berhenti di lampu merah depan gerbang monas, kepala Clara berpaling menatap tugu besar yang menjadi lambang kebanggan warga Jakarta.

“Lo udah pernah ke monas?” tanya Clara tiba-tiba. Sejenak Rian sedikit memalingkan wajah, dipikirnya setan yang mengajak berbicara.

“Udah, kenapa?”

“Nggak nanya aja. Tapi monas bagus ya dari sini” balas Clara kagum melihat warna-warni yang muncul dari tugu monas.

Mata Rian melirik Clara dari kaca spion, cewek itu benar-benar menunjukan rasa kagum dengan senyum kecil, ekspresi jutek dan cemberut yang selama ini sering ia tampilkan mendadak lenyap tak berbekas membuat Rian terpaku diam, sampai kemudian suara klakson dari belakang membuat kesadarannya kembali untuk melajukan motor.

“Makasih udah mau nganterin gue” kata Clara ketika sudah sampai di depan pagar rumah, ia merasa sangat canggung. Rian hanya mengangguk tanpa mengatakan apapun menyalakan mesin motor lalu kemudian melaju pergi meninggalkan Clara sendiri menatap kepergian cowok itu menghilang dari balik gang. Clara tersenyum kecut kemudian melangkah masuk ke dalam rumah.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!