Hukuman

“Cla tolong anterin ke meja pesanan nomor lima” perintah Martin, Clara mengangguk membawa hati-hati pesanan di atas nampan, kondisi pergelangan tangannya sudah lebih baik, bisa digerakkan meskipun masih harus menggunakan perban.

“Mbak tolong bawain tisu ya”

“Baik mas” jawab Clara sopan mengambil tisu di dekat mesin kasir. Ia kemudian berdiri di dekat Martin sembari menunggu pengunjung datang atau meminta bantuan. Suara bel dari atas pintu membuat Clara dan Martin spontan mendongak, tapi hanya sebentar karena bukan pengunjung yang datang melainkan Nichol.

“Sorry telat, tadi I must to take care of something” kata Nichol terengah-engah, Clara tertawa geli melihat ekspresi capek cowok itu ketika menghabiskan segelas air, ia buru-buru mengenakan apron dan menggantikan posisi Martin.

“Cla coba deh tatap gue, lekat-lekat di mata” kata Martin tiba-tiba, Clara bingung dan terlihat tidak mengerti. “Gue mau latihan bertatapan mata, biar nggak gugup pas sidang”

“Emang face Clara terlihat seperti dosen?” Nichol ikutan bingung.

“Gue cuman mau latihan, buruan Cla tatap mata gue, yang duluan ngedip kalah, tapi gue harap lo nggak ngedip biar latihan gue makin asoy” pintah Martin cerewet, Clara nyengir lalu mengedipkan mata beberapa kali sebelum menatap mata Martin lekat-lekat. Sedetik, empat detik, enam detik, mata Martin mulai menyipit dan mengeluarkan air mata. Clara iseng menjulingkan matanya membuat kepala Martin mundur kebelakang dan buru-buru mengedipkan matanya. “Ah Cla kok lo curang sih?”

Clara dan Nichol ketawa ngakak sementara Martin mengelap air matanya dengan tisu. Clara terlihat senang karena tidak butuh waktu lama agar bisa dekat dengan rekan kerjanya.

Martin adalah cowok paling supel, suka bercanda dan sering memulai topik pembicaraan yang lucu, mungkin karena ia adalah orang paling tua di disitu jadi lebih pintar menempatkan diri.

Nichol pendiam tapi akan berubah cerewet ketika mengomel, bahasa Indonesianya suka kebalik-balik, saya makan nasi sering berganti jadi makan saya nasi atau nasi makan saya.

Joji baik tapi sering terlihat stres karena sedang mengambil mata kuliah metodologi penelitian, cerita terakhirnya di hari kemarin adalah ingin membakar kampus karena judul latihan skripsinya ditolak lima kali oleh dosen.

Terakhir Jefri, meskipun pendiam tapi ia punya sisi menyenangkan yang membuat semua orang segan padanya, bahkan meskipun usia Martin lebih tua tidak membuat Jefri merasa canggung untuk menegur cowok itu jika membuat kesalahan.

“Selamat datang di bee and bir mother of country” sapa Nichol, Clara memalingkan wajah tampak Manda tertawa geli mendapat sambutan hangat dari cowok itu.

“Lama banget nggak kesini Mand, nggak kangen apa sama kita?”

“Gue sibuk terus kak nggak ada waktu, ini aja karena mau nungguin Rian”

“Yaudah kalo gitu mau pesan apa? Khusus buat lo setiap pesanan kita paketin spesial rasa kasih sayang. Boleh pesan apapun kecuali bir karena lo masih dibawah umur” kata Martin cerewet, Manda nyengir lebar menunjuk ke arah cake red velvet.

“Ngomong-ngomong, lo anak baru ya disini?” tanya Manda ramah membuat Clara tersenyum kikuk.

“Baru seminggu kak”

“Betah kan?”

“Oh iya dong jelas” jawab Martin pede. “Lo nggak lihat mukanya bahagia kerja sama kita?”

Manda geleng-geleng kepala lalu mengulurkan tangan. “Gue Manda”

“Clara” balas Clara menyambut uluran tangan cewek itu.

Setelah melakukan pembayaran Manda kemudian menunjuk ke arah pojokan. “Nic tolong anterin kesitu ya”

“Aye aye bos” ujar Nichol memberikan hormat, Manda cekikikan lalu pergi duduk ke tempat yang ditunjuknya.

“Cla waktu itu lo nanya kan pemilik tempat ini siapa? Namanya Rian, ntar kalo orangnya datang lo lihatin deh sampai puas” bisik Martin.

“Itu ceweknya?”

“No, hubungan mereka itu seperti dekat tapi tidak dekat. Well you can call it friendzone” kata Nichol yakin. Martin cengengesan menjitak pelan dahi cowok itu.

“Gaya lo friendzone udah kayak wartawan gosip”

“Jangan jitak-jitak ntar dahi gue masuk kedalam” ketus Nichol mengelus-elus dahinya. “Ssst jangan berisik tuh ada yang mau minta tolong” lanjutnya menunjuk ke arah seorang pengunjung yang mengangkat tangan. “Kak tolong sekalian nganterin ini buat Manda”

“Kak Nichol gue buat list lagu baru ya? buat diputar besok”

“Iya terserah, tapi jangan death metal”

“Yakali kak” tawa Clara geli lalu sibuk memilih-milih lagu. “Kak kalo lagu jazz mau nggak?”

“Terserah Cla, yang penting nggak death metal aja” balas Nichol lagi. Clara mengangguk memilih-milih lagu bernuansa jazz atau beberapa lagu genre lain yang menurutnya enak didengar ketika sedang bersantai dengan secangkir kopi.

“Nich, tolong bungkus dong” pintah Manda pada Nichol untuk membungkus sisa cakenya yang belum habis dimakan.

“Rian mana?” tanya Martin, Manda menunjuk ke arah luar dengan dagunya

“Lagi nyebat diluar, katanya malas masuk”

“Oh yaudah deh. Hati-hati ya lo baliknya”

“Oke kak, duluan ya semua” lambai Manda lalu berjalan keluar cafe, sekilas mata Clara menangkap sosok seorang cowok berkaos biru tua berbicara dengan Manda, tapi setelah itu pandangannya kembali teralih pada list lagu dan rengekan Martin yang memaksa memasukan lagu-lagu metal dan ditentang keras Nichol. Kedua orang itu sempat beradu argumen sampai kemudian dihentikan Jefri yang baru keluar dapur, dan keputusan akhir adalah menambahkan lagu-lagu ambyar milik Didi kempot.

“Nggak papa nggak metal yang penting ambyar” ujar Jefri disambut cekikikan Clara dan Nichol.

...*****...

Pukul setengah sembilan pagi Clara baru tiba di sekolah, ekspresi lelah sekaligus takut bercampur jadi satu, kepalanya terus menunduk ketika mendengar teriakan menggelegar Ibu Indah dari dekat gerbang masuk. Dengan kesadaran penuh Clara melangkahkan kaki bergabung di antara lima anak lain yang terlambat datang. Sial, karena hanya dia satu-satunya cewek di antara kumpulan cowok-cowok bandel sekolah. Sekitar tujuh menit lebih Ibu Indah memberikan nasehat panjang lebar lalu setelah itu mulai membagikan tugas hukuman. Membersihkan kebun sekolah di dekat laboratorium anak IPA, mengelap kaca, menyapu halaman, dan menggantikan Pak Sukro mengembalikan buku-buku pinjaman ke dalam rak perpustakaan.

“Kalian berdua yang bagian ngurusin perpustakaan, ingat jangan sampai saya dengar keluhan dari Pak Sukro karena kalian kabur” ancam Ibu Indah menunjuk ke arah Clara dan Rian. Tanpa disuruh dua kali semua langsung berpencar mengerjakan tugas masing-masing.

Clara melangkah lemas menuju perpustakaan, matanya menatap malas ke arah punggung Rian, cowok itu terlihat santai bersiul-siul ria seolah hukuman seperti ini sudah menjadi rutinitas biasa baginya.

“Dihukum ya?” tegur Pak Sukro senang.

“Nggak kok pak, saya cuman kangen bantuin bapak ngatur buku” jawab Rian nyengir lebar menuju ke arah rak paling ujung dimana banyak tumpukan buku berada di lantai. Ia balik badan dan menatap Clara seksama dari ujung rambut sampai ujung kaki, kepalanya bergerak memberikan kode agar cewek itu naik ke atas tangga.

“Apa?” tanya Clara tidak mengerti.

“Lo yang naik”

“Gue? Nggak gue di bawah, lo yang naik”

“Emang lo bisa sekali ngangkat langsung sepuluh buku? Kalo satu-satu ntar lama”

“Nggak mau” tolak Clara mentah-mentah. “Pokoknya gue yang di bawah, lo yang naik tangga”

“Lo yang naik” balas Rian tidak mau kalah.

“Nggak, ntar kalo gue naik tangga lo bakal nyari-nyari kesempatan buat ngintip rok gue” ketus Clara blak-blakan.

Sejenak Rian terdiam lalu setelah itu ia tertawa terbahak-bahak, seolah perkataan Clara barusan adalah lelucon paling lucu yang pernah ia dengar.

“Gue nggak demen kali ngelihatin rok lo, gue masih suka tipe cewek seksi bukan anak TK kayak elu” ujar Rian asal.

Mata Clara menyipit mencoba tidak menggubris perkataan Rian yang menurutnya terdengar kurang ajar di telinganya.

“Naik lo, buruan, gue mau kelas habis ini” putus Rian memaksa. Bibir Clara berdecak memutuskan untuk naik dan berhenti memancing argumen melawan cowok itu. Ekspresinya berubah masam karena paksaan Rian.

“205.A, 205.B, 206.A” baca Rian satu persatu ketika memberikan buku kepada Clara. Sedikit menyebalkan karena harus Clara akui Rian benar, dengan dirinya yang mengatur buku dari atas tangga pekerjaan berjalan dua kali lebih cepat, karena cowok itu bisa memegang banyak buku ditangan sementara Clara hanya tinggal memasukan setiap buku ke dalam pembatas-pembatas sesuai nomor urut.

“315.A”

“Disini cuma buat angka awal dua. Angka awal tiga di sebelah, ntar gue turun buat geser tangga-”

“Nggak, pegangan” potong Rian langsung mendorong tangga Clara bergeser ke samping, cewek itu menjerit kecil spontan memegang erat bahu Rian, tubuhnya condong ke depan hampir terjatuh.

“Gue orang bukan kapas, kalo mau dorong mikir kek” ketus Clara berusaha bangkit. Mendadak wajahnya memerah karena posisi tadi membuat hidungnya bisa mencium jelas aroma parfum Rian.

“Yang penting nggak jatuh” balas Rian cuek. Clara mendelik mengambil buku dengan kasar lalu menaruh sesuai tempat.

“Lo anak kelas XA ya?”

“Hmm”

“Wali kelasnya siapa?”

“Ibu Epi”

“Ketua kelasnya?”

“Dio”

“Sekertaris?”

“Nggak ada”

“Bendahara?”

“Vio”

“Teman duduk lo siapa?”

Sejenak Clara berhenti, kepalanya menunduk menatap Rian baru menyadari bahwa sejak tadi pertanyaan itu hanya sekedar iseng belaka. Terlihat senyum tengil Rian mengembang lebar membuat Clara ingin melempar cowok itu dengan buku.

“Kenapa sih lo senyum-senyum kayak gitu?” tanya Clara risih.

“Nama panjang lo siapa?”

“Nggak penting buat lo tau”

“Panjang juga ya” gumam Rian mangut-mangut. “Jadi gue harus manggil apa? Nggak, penting, buat, lo, atau tau?”

“Clara, puas?”

Rian nyengir merasa menang setelah berhasil menggoda cewek itu. “Lo nggak pengen tau nama gue siapa?”

“Nggak, sini bukunya” ketus Clara lalu mengambil paksa buku terakhir dari tangan Rian.

Setelah selesai ia langsung turun tangga, mengambil tas hendak melangkah pergi. Tapi dengan tidak sopannya Rian malah menarik ujung jaket Clara membuat langkahnya mundur kebelakang. Spontan kaki Clara naik hendak menendang Rian tapi cowok itu sudah terlebih dahulu berlari dengan tawa keras, tidak peduli apakah pengunjung perpustakaan akan menatap kesal ke arahnya atau tidak.

Dasar cowok kurang ajar! batin Clara marah.

...*****...

“Clara lo dari-” Fani memotong ucapannya sendiri begitu melihat Clara naik ke atas tangga lantai dua, tapi ia tidak sendiri, tampak Rian berjalan santai tepat di belakang cewek itu. Spontan tangannya langsung menyikut Sybil menunjuk ke arah pandangnya.

“Gue duluan.” Rian menjentikan jari kuat-kuat tepat di depan wajah Clara lalu tanpa rasa bersalah naik ke tangga lantai tiga. Clara bergumam dari belakang menunjukan setengah tinjunya dan memalingkan wajah ke arah Fani dan Sybil.

“Ngapain lo berdua disini?”

“Baru dari toilet” jawab Fani pelan. “Lo ngapain sama Rian?”

“Nama cowok itu Rian?”

“Iya”

“Anak yang kalian bilang bandel parah?”

Fani mengangguk melemparkan tatapan horor. “Kok lo bisa kenal dia?”

“Tadi dihukum bareng disuruh beresin buku di perpustakaan. Lo tau nggak? cowok itu yang nabrak gue”

“Seriusan Rian?!” Mata Fani membulat lebar, ia benar-benar terkejut sementara kening Clara berkerut heran. “Aduh Cla mulai sekarang nggak usah dibahas lagi siapa yang nabrak elu, intinya pergelangan tangan lo udah baik-baik aja”

“Emang kenapa sih?”

“Rian itu nakal Cla, untung lo nggak diapa-apain tadi selama di perpustakaan” ujar Fani menggebu-gebu.

“Lebay ah lo Fan, yekali dia mau ngapa-ngapain Clara. Biar bandel gitu dia masih tau aturan kali” bela Sybil.

Fani menyipitkan mata tidak suka. “Nabrak orang terus langsung pergi tanpa minta maaf itu yang lo sebut tau aturan?” ketusnya nyinyir, wajahnya kembali berpaling pada Clara. “Pokoknya Cla jangan sampai lo berurusan lagi sama Rian. Inget dia itu nakal parah, bandel, dan nggak tau aturan. Kalo lo mau kehidupan SMA lo baik-baik aja, jangan pernah deket sama dia termasuk teman-temannya juga” lanjutnya menasehati.

Clara tidak menjawab ia hanya mengangguk untuk meyakinkan Fani, ekspresi cewek itu terlihat menahan muak, efek sering melihat perkelahian dan kerusuhan sekolah timbul dari kelompok Rian.

“Dia nasehatin elu tapi sejenak lupa kalo lagi naksir Def” bisik Sybil pada Clara sambil terkekeh geli lalu melangkahkan kaki masuk ke dalam kelas.

...*****...

“Cla, Erika ada ngirim paket buat kamu, mbak taruh diatas kasur” kata Arda memberi tahu, Clara langsung berlari naik ke atas meninggalkan makan siangnya. Masih dengan balutan seragam sekolah ia membaringkan tubuh di atas lantai kamar.

Senyum kecil Clara muncul begitu melihat sebuah album berwarna hitam berisi foto-foto pemandangan yang diambil Erika dari berbagai sudut kota Jogja. Sesekali ia juga mengambil foto punggung Victor, ayah mereka ketika lelaki itu sedang berdiri menatap langit biru Malioboro. Ada keterangan tanggal dan tempat sesuai dengan waktu ketika Erika mengabadikan setiap foto. Clara bergerak mengambil ponselnya menelpon Victor.

“Ayah aku kangen” kata Clara ketika panggilannya tersambung. Terdengar tawa Victor dari seberang.

[Kamu mau liburan ke Jogja?]

“Nggak bisa ayah, belum libur. Aku kalo bukan anak baru, aku pasti udah skip kelas buat liburan ke Jogja”

[Oh jadi kalo misalnya semester depan udah jadi anak lama kamu bakalan sering bolos sekolah, gitu?]

“Ya nggak gitu juga ayahku sayang” kekeh Clara salah tingkah, sejenak mereka mengobrol sampai terdengar suara teriakan Erika memanggil-manggil nama Clara.

[Kak gimana hasil foto aku? bagus kan?]

“Bagus dong, akhirnya bakat kamu kembali” puji Clara. Erika tersenyum malu menceritakan betapa excited dirinya ketika memotret dan menempatkan hasil fotonya ke dalam album. Nada ceria Erika terdengar jelas menunjukan bahwa dirinya sedang merasa bahagia, tapi tidak untuk Clara, lidah cewek itu terasa kelu.

[Kak, aku pengen deh ke Lembata. Kemarin aku searching di internet ada pulau di dekat teluk Lewoleba, namanya pulau siput. Kalo aku udah benar-benar sehat kakak mau kan temani aku? Hanya kita berdua]

“Ya kakak janji” jawab Clara sembari meremas erat rok seragamnya, setelah itu sambungan telepon dimatikan.

Clara menarik napas panjang menatap langit-langit kamar yang berwarna putih. Hening. Dalam sedetik ia langsung menyadari betapa kesepian dirinya saat ini. Bahkan meskipun cewek itu memiliki seribu alasan untuk bersyukur, tapi tetap saja ada satu hal yang kurang dan terasa sangat mengganggu hidupnya. Pantulan diri dari kaca lemari membuatnya paham dengan kesendirian dan perasaan asing mematikan yang sejak dulu tertanam dalam salah satu sudut hatinya, mungkin karena ia terlalu lama berdiam diri dalam rasa sakit.

Tangan Clara lantas bergerak menulis di bagian belakang album yang berisi halaman kosong, sengaja diberikan Erika agar Clara bisa menulis sesuatu disitu. Kalimat demi kalimat perlahan mulai mengisi ruang dari halaman kosong itu;

‘Ia membenci dirinya sendiri, rasa benci itu sebenarnya berasal dari kerinduan akan impian terhadap surga yang hilang dan jalan kembali menuju rumah. Ia terlalu lama bergelung dibawah perlindungan keyakinan bahwa dirinya baik-baik saja dan juga rasa percaya bahwa memiliki cinta dalam hatinya adalah sebuah tindakan tak bermoral dan tak berharga. Sekarang, di tengah gambaran yang berputar, ingatan lama gadis itu mulai menarik diri sepenuhnya ke dalam jiwanya. Ia benar merasakannya, sebuah perasaan nyata dalam kesendirian yang membuat tubuhnya gemetar menahan diri untuk tidak menangis.’

Clara menutup albumnya dan meringkuk di lantai, matanya terpejam, mencoba mengingat kembali setiap kepingan ingatan lama dalam memori otaknya yang semakin lama membawanya terbang ke alam mimpi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!