Rian memarkirkan motornya di parkiran depan kafe, wajahnya mendongak sejenak menatap langit yang berubah mendung lalu kembali berpaling ke arah Clara, cewek itu sedang sibuk merapikan rambutnya yang kusut terkena angin, terdengar keluhan dari bibirnya menyesal tidak mengikat rambut.
“Sini gue bantuin”
“Awh! Ish.” Clara spontan memukul tangan Rian karena iseng ikut menyisir rambutnya dengan jari. “Sakit tau kalo lagi kusut kayak gini”
“Iya deh iya gue pelan-pelanin”
“Nggak, ntar kepala gue ikutan kecabut lagi” tolak Clara sambil membenarkan tasnya, mereka kemudian berjalan bersama-sama masuk ke dalam kafe. Tangan Rian terjulur iseng mengacak-acak rambut Clara sampai cewek itu berteriak kecil dan menendang betisnya.
Rian tertawa lepas mendorong pintu kafe membiarkan Clara masuk terlebih dahulu, kedatangan mereka disambut Jefri yang memasang ekspresi siap menggoda. “Ntar kak, gue mau bilang sesuatu”
“Lebih penting nggak dari kebenaran berita kedekatan kalian?” goda Jefri membuat Clara langsung mendelik pura-pura kesal.
“Temen gue pengen banget kerja disini buat nyari pengalaman, boleh ya?”
“Gue sih mau, tapi tergantung ijin pemilik, minta aja ke beliau kalo dia mengijinkan nggak papa.”
Clara langsung balik badan ke arah Rian, “boleh?”
“Tergantung”
“Dia orangnya baik, jujur, dan bisa diandalkan”
“Bukan itu maksud gue” geleng Rian, wajahnya sedikit menunduk mendekati Clara dan berbisik pelan “tergantung gimana lo ngerayu gue biar bilang iya”
“Tuh kan kak, kalo minta ijin dia malah jadi aneh-aneh” keluh Clara, Jefri tertawa geli malah angkat bahu dan beranjak pergi ketika seorang pelanggan memanggil meminta bantuan. “Iyain aja ih”
“Janji pulang bareng gue baru gue bilang iya”
“Oke”
“Setiap hari”
“Ok-hah?”
“Deal”
“Ih nggak gitu” protes Clara menolak, pergi bersama Rian sesekali saja sudah menimbulkan kegaduhan diantara teman-temannya apalagi setiap hari. Bisa-bisa Clara kena penyakit jantung karena harus rela digosipin sampai lulus sekolah, baru menghadapi mulut besar Caca saja sudah pusing tujuh keliling jangan sampai ditambah nyinyiran senior kelas, duh membayangkannya saja sudah ngeri. “Mending teman gue nggak usah dapat pengalaman kerja daripada gue yang berkorban pulang setiap hari sama lo”
“Yaelah pulang bareng doang, bukan gue ajak nikah, nggak sulit tau”
“Iya elunya nggak kesulitan tapi gue, capek gue digosipin mulu dikira gue ngejar-ngejar elu” balas Clara keceplosan mengomel.
Kening Rian berkerut. “Siapa yang bilang lo kayak gitu?”
“Enggak ada gue cuman ngarang” cengir Clara berbohong.
Ekspresi Rian berubah sedikit tidak suka, “Cla, bilang aja”
“Nggak ada” geleng Clara. “Intinya lo mau bilang iya nggak?”
Rian menarik napas panjang menyadari betapa keras kepala cewek di depannya ini, akhirnya kepalanya mengangguk membuat Clara bersorak kecil. “Selesai kerja pulang bareng gue”
“Siap” jawab Clara senang lalu balik badan masuk ke dalam ruang ganti. Rian berdecak kecil pergi duduk diluar untuk merokok, sesekali matanya mengawasi Clara bekerja, bibir Rian ikut tersenyum kecil melihat bagaimana Clara tersenyum ramah saat menyapa pelanggan. Pikiran Rian lantas mengatakan bahwa cewek itu terlihat semakin menarik dimatanya, bukan karena ia cantik tapi karena senyum manisnya yang selalu berhasil membuat hati Rian merasa tersentuh. Sesaat wajah Clara berpaling ke arah Rian, tanpa disangka cewek itu menjulurkan lidah dengan wajah jenaka lalu kembali bekerja sementara Rian tertawa geli, ia merasa sangat bahagia.
...*****...
Clara menendang kerikil kecil tepat mengenai kaki Icha dan Fani yang baru nongol di depan gerbang sekolah. “Claraaa halooo” lengkingan suara Fani mengalahkan suara nenek-nenek kecebur got membuat Clara bergidik ngeri, bahkan Icha yang berada disampingnya sampai harus mengorek kuping dengan jempol untuk memastikan telinganya tidak tuli mendadak.
“Tumben lo datang pagi” celetuk Icha melirik jam tangannya baru pukul enam tepat.
Clara angkat dagu “kangen bangku sekolah”
“Gaya lo Cla udah kayak bertahun-tahun nggak sekolah” kekeh Fani geli.
“Fan kemarin gue udah tanya Kak Jefri, dia bilang bisa kalo lo mau ngelamar kerja tapi nanti di interview dulu”
“Serius Cla?” tanya Fani, Clara mengangguk membuat cewek itu bersorak histeris lalu memeluk-meluk Clara. “Gue sayang banget sama lo, sini gue cium”
“Ihh jijik.” Clara berusaha menghindar dari ciuman maut Fani, ia menjauhkan tubuhnya tidak nyaman sampai tidak sengaja menyenggol seseorang disampingnya. Clara berpaling langsung berjongkok mengambil buku Manda yang jatuh ke bawah. “Maaf ya kak” kata Clara merasa bersalah.
Tangan Manda mengambil buku miliknya bersamaan dengan matanya menatap Clara lekat-lekat lalu kemudian beranjak pergi tanpa berkata apapun. Ketiganya spontan bengong sejenak menatap satu sama lain dengan ekspresi heran. “Perasaan gue doang atau emang dia kelihatan nggak suka sama gue?” tanya Clara pelan.
Fani mengangguk setuju, “iya bener, kayaknya dia nggak suka sama lo deh, kelihatan banget dari aura mukanya”
“Hush, jangan suudzon pagi-pagi, siapa tau moodnya emang lagi jelek makanya ekspresinya jadi kayak gitu” bantah Icha buru-buru menarik Clara pergi sebelum Fani sempat protes dan mengemukakan argumentasinya.
...*****...
“Gue udah lihat beritanya.” Nathan membuka percakapan sambil menatap Rian serius, mereka sedang beristirahat setelah menyelesaikan tiga babak pertandingan. “Nyokap lo emang luar biasa, tante gue sampai ribut mesan tiket ke Paris”
“Emang tante lo tertarik sama fashion?”
“Yaelah lo nggak lihat sasak rambut tante gue tinggi banget ngalahin monas? Dia berisik banget dari kemarin sampai nyokap ikut-ikutan ngotot mau ngehadirin acara paris fashion week” cerita Nathan, “Lo datang juga nggak?”
“Menurut lo aja”
“Ya siapa tau lo mau datang, inikan comeback nyokap lo ke dunia fashion setelah dua tahun vakum”
“Aaaaah, biarkan saja” balas Rian acuh tidak acuh sambil tiduran di atas lapangan, matanya menatap langit sore yang mulai menggelap seiring dengan jarum jam bergerak menuju angka enam.
“Hei pemalas” tegur seseorang menyepak pelan kaki Rian, cowok itu mendongak lalu mendengus ketika melihat Manda nyengir lebar. “Nih jaket lo gue balikin”
“Itu jaket gue? gila dari tahun kapan lo pinjem baru balikin sekarang” geleng Rian bangkit duduk mengambil jaketnya. “Sini duduk, lo nggak capek apa habis latihan terus berdiri mulu kayak gitu?” Tangan Rian menepuk lantai di sebelahnya membiarkan Manda duduk.
“Gue dengar-dengar kalian mau lomba ya?” tanya Rian membuka percakapan.
“Iya, makanya latihannya kayak kerja rodi”
“Aduh kasihan ibu suri” kata Rian sambil menumbuk-numbuk pelan punggung Manda. “Kalo menang hadiahnya apa?”
“Sekarang mah bukan masalah menang, yang penting anak baru ada pengalaman buat ikut lomba.”
Rian mengangguk lalu berteriak kepada Adit yang iseng mengganggu permainan, cowok itu nyengir lebar melemparkan jari tengah sebagai umpatan dan akhirnya masuk menggantikan Def bermain.
“Gue ditembak Doni” cerita Manda tiba-tiba spontan Rian memalingkan wajah tertarik. “Menurut lo gue terima atau enggak?”
“Doni? Doni Sugimin?”
“Itu mah Doni anak tukang ketoprak di warung depan. Doni Salim, anak sebelas IPS”
“Oh.” Rian mengangguk-angguk paham, “kalo menurut lo baik ya terima aja”
“Terima?” tanya Manda memastikan ulang perkataan yang keluar dari mulut Rian. Anggukan cowok itu membuat harapan Manda pupus seketika digantikan rasa kecewa, ekspresinya terlihat jelas berubah murung menyadari Rian tidak lagi bersikap seperti dulu, saat dimana ia begitu protektif dengan semua cowok yang mendekati Manda, meskipun agak menyebalkan tapi Manda sangat menyukai sikap protektif Rian. Tapi sayangnya tanggapan cowok itu kini membuatnya hatinya terasa sakit, cowok itu terkesan tidak peduli, seolah rasa pedulinya pada Manda telah menghilang tanpa bekas.
“Ya, lagian lo betah jomblo lama-lama? Cantik-cantik kok jomblo” canda Rian tapi tidak mampu membuat Manda mengeluarkan senyum tulus.
“Yaudah kalo lo bilang kayak gitu, gue bakal terima Doni” balas Manda murung, wajahnya terangkat berlagak melihat jalannya pertandingan membiarkan Rian nyengir lebar dan menepuk-nepuk puncak kepalanya. Manda menarik napas, semenyebalkan apapun Rian saat ini tidak bisa membuat ia membencinya, karena apapun yang terjadi Manda sudah terlanjur jatuh hati kepada Rian.
...*****...
Masih dengan baju basketnya yang setengah basah karena keringat, Rian berlari masuk ke dalam rumah, tujuannya ingin cepat-cepat membuka kulkas tapi langkah cowok itu terhenti saat melihat Benedict kakeknya duduk di ruang keluarga dan berbicara dengan seorang lelaki yang tidak lain adalah Joseph Giovani, papa Rian.
“Rian” panggil Joseph membuat Rian kaget hampir kepleset karena Jumbo anjingnya asik tiduran di lantai, untung tidak terinjak. Rian tidak menjawab hanya matanya membulat lebar dan tubuhnya terdiam mematung sampai Joseph mendekat dan memeluknya erat, ini adalah kepulangan pertama kali lelaki paruh baya itu ke Indonesia sejak perceraian, biasanya lebih sering Rian yang mengunjungi Joseph ke Inggris.
“Kakek baru sampai di sini tadi pagi sama papamu” kata Bendict tanpa ditanya.
Rian duduk dengan perasaan campur aduk, ia merasa canggung melihat Joseph dengan santainya menyesap kopi hangat, matanya seperti melihat orang asing masuk ke dalam rumah yang tidak pernah dikunjungi siapapun selain teman-temannya. “Tumben papa datang?”
“Ada urusan bisnis, sekalian mau jenguk kamu. Gimana sekolahmu?” tanya Joseph.
Rian tersenyum kaku menceritakan hari-harinya di sekolah, meskipun hanya dalam garis besarnya saja. Joseph juga bercerita bahwa kedatangannya kesini untuk menemui rekan bisnis sekaligus temannya saat kuliah dulu. Selain itu, ia juga berencana untuk tinggal seminggu disini bersama dengan Rian, sekalian refreshing sebentar dari pekerjaannya yang menumpuk, tidak ada nama Hana keluar dari bibir Joseph. Rian yang paham juga sengaja tidak bertanya mengenai hubungan Joseph, baik dengan Hana maupun dengan istri barunya, ia hanya ingin terlihat tidak peduli.
“Jadi, papa berencana mau ajak kamu ikutan pameran seni, sponsornya kebetulan teman dekat papa, ya sekalian mau ngenalin kamu” kata Joseph.
Rian berjalan menuju kulkas, tenggorokannya sudah kering sejak tadi karena mengobrol dengan Joseph dan Benedict. “Kayak pacar aja pa dikenalin sana sini” jawabnya muncul dengan segelas air es, “emang kapan?”
“Dua minggu lagi.”
Kepala Rian mangut-mangut kemudian pergi ke kamarnya dengan alasan mau mandi dan mengerjakan tugas. Saat di kamar ia tidak langsung mandi melainkan berdiri di balkon menatap ke arah kolam renang yang sedang dibersihkan tukang kebun. Aneh, Joseph ada disini tapi Rian malah merasa tidak nyaman, seolah kedatangan lelaki itu malah mengusik sepi dari rumah besar ini. Lagipula suara Joseph dan Benedict dari bawah tidak lantas membuat Rian ingin turun dan bergabung, ia memilih menyendiri di dalam kamar sembari meyakinkan dirinya bahwa perasaan asing ini muncul karena ia terlalu lama terbiasa hidup sendiri tanpa ayah, ibu, dan kakek. Cowok itu tanpa sadar telah menciptakan dunia hampanya sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments