Insiden

“Clara! Tungguin gue!” Fani berlari kencang memeluk Clara erat sampai cewek itu batuk-batuk hampir kehabisan napas. “Lo kapan potong rambut? jadi cakep gila!” serunya terbelalak kagum menatap rambut pendek sebahu Clara, wajah cewek itu terlihat lebih fresh dibandingkan saat rambutnya masih panjang.

“Jadi menurut lo, gue dulu nggak cakep?”

“Iya, kayak gembel. Rambut lo sih suka banget digerai, cakep lo jadi ketutup”

“Makasih untuk pujian yang sebenernya adalah sebuah hinaan” ujar Clara pura-pura jutek. Fani tertawa geli mengandeng lengan cewek itu berjalan menuju kelas di lantai atas.

“Tumben lo datang pagi, kesambet apa lo?” tanya Clara heran. Biasanya Fani baru masuk kelas sepuluh menit sebelum lonceng berbunyi. Cewek itu termasuk salah satu anggota tetap manusia-manusia yang suka melakukan apapun dalam keadaan kepepet dan huru-hara.

“Kesambet cintanya Kak Def. Nggak, bercanda” kekeh Fani karena Clara langsung melemparkan tatapan ingin muntah. “Gue mau nyalin PR matematika nih. Semalem nggak sempat, kucing gue lagi lahiran soalnya. PR lo udah belum? Bagi dong" lanjutnya tanpa malu-malu meminta, Clara mengangguk pasrah. Kebiasaan anak SMA dari zaman batu sampai sekarang, datang pagi kalau ada PR.

Ketika mereka sampai di kelas tidak seperti biasa kelas sudah ramai. Bahkan Rakai, cowok ternakal di kelas yang kalau datang ke sekolah berlandaskan pergerakan jam luar negeri, pas sudah tiga puluh menit pelajaran baru masuk kelas, kali ini dengan wajah tanpa dosa ikut duduk di barisan Cindy dkk, sibuk menyalin PR.

“Woy kertas jawaban gue mana?!” teriak Icha galak, ia kesal kertas jawabannya berpindah-pindah tempat. Awalnya di Heru, Hendrik, Ahmad, dan sekarang sudah sampai ke meja Doni. “Awas ya kalo robek!” dengus Icha, Doni hanya manggut-manggut tidak jelas masih konsen pada kertas jawaban berusaha meneliti setiap angka yang ditorehkan di atas kertas itu.

Clara menaruh tas di atas meja lalu duduk di samping Icha. Ia mengeluarkan kertas jawaban matematika langsung disambar oleh Fani dan Sybil untuk disalin. “Pagi Cha”

“Eh Pak Tri nggak masuk lagi loh” beritahu Icha tanpa basa-basi.

“Kok bisa? sekarang gantian dia yang lahiran?”

“Heh ngaco lo!” Icha tertawa geli. “Kata Dio berhubung dia lagi ngerayain kebahagian karena istrinya habis lahiran kemarin, jadi dianya nggak masuk. Mau pesta kebun kali. Jadi, jam pertama ini kita cuman ngerjain soal-soal aja” jelas Icha, matanya berbinar-binar bahagia.

“Guru nggak masuk aja lo senang banget”

“Ya nggak apa-apalah, seneng gue nggak lihat mukanya Pak Tri. Udah enek gue tiga bulan belajar sejarah! Tiap malam gue jadi susah tidur”

“Idih, apa hubungannya?”

“Nggak ada” kekeh Icha, rona mukanya terlihat sangat bahagia. Meskipun suka belajar dan termasuk golongan kutu buku tapi ternyata cewek itu bisa merasa bosan juga untuk belajar. Ah, benar manusia kan punya limitnya masing-masing.

“Btw, kabar Ray gimana? gue lihat kemarin di Instagram dia post foto lo berdua lagi kencan” celetuk Sybil bertanya dari belakang.

“Ihi asik, makan bareng, malam-malam lagi”

Senyum Icha semakin merekah. “Dia tiba-tiba ngajak kencan” balasnya sambil tersipu malu.

Meskipun lingkaran pertemanan Ray agak menakutkan karena berteman dengan anak-anak nakal sekolah, tapi tingkahnya masih bisa dibilang jauh lebih baik dari teman-temannya yang bandel dan kurang ajar.

“Emanglah bucin” celetuk Clara mengejek, tangan Icha bergerak memukul pelan bahu cewek itu dengan buku tebal matematikanya.

Tidak lama kemudian bel masuk berbunyi dan tanpa menunggu lama Dio maju ke depan kelas berteriak meminta perhatian teman-temannya. “Lo semua tau kan kalo hari ini Pak Tri nggak masuk? Nah karena beliau sayang sama kita, nih ada tugas dari Pak Tri. Lo semua disuruh ngerjain soal halaman tiga puluh, pilihan ganda lima puluh nomor. Nulis jawabannya di kertas terus kumpulkan ke gue maksimal setelah pulang sekolah.”

Spontan sekelas pada misuh-misuh, belum kelar PR matematika eh sudah ada tugas baru.

“Heran deh sama guru-guru nggak bosan apa ngasih tugas? Gue yang ngerjain aja bosan setengah mati” omel Nus nyaring dari belakang.

“Lihat tuh calon presiden Zimbabwe lagi marah-marah. Untung PR matematika gue udah selesai, nih Cla makasih ya” kataFani cekikikan melihat Nus mengomel.

“Perpustakaan yuk, lumayan ngerjain sambil ngadem” ajak Sybil menarik teman-temannya pergi.

Mereka lantas mendadak lomba lari, adu kecepatan menuruni tangga lantai satu, Fani yang paling cepat disusul Sybil, Icha, dan Clara.

“Eh itu masnya larinya belum selesai!” teriakan keras Ibu Indah menggelegar memenuhi koridor lantai satu. Langkah Clara mendadak berhenti, ia balik badan dan bruk! badannya sukses terlempar jatuh ke lantai.

“Awh!” Clara mengeluh merasakan pantatnya menyentuh lantai, sakitnya bukan main. Belum lagi pergelangan tangannya terluka karena harus menahan bobot tubuhnya agar kepalanya tidak ikut menyentuh lantai. l

Clara mendongak dengan ekspresi kesal, cowok yang menabrak dirinya hanya diam tanpa ada niatan untuk membantunya berdiri. Ia malah balik badan dan berlari naik tangga ketika teriakan Ibu Indah terdengar lagi membuat Clara melongo, ia lantas memaksakan diri untuk berdiri dengan sumpah serapah masih merasakan nyeri di pergelangan tangan kirinya.

“Cla lo nggak papa?”

“Telat Cha” ketus Clara mendadak kesal karena tingkah cowok tadi.

“Sorry Cla, tadi waktu gue denger bunyi keras, gue kira tempat sampah jatuh, pas gue keluar malah lo yang jatuh”

“Lo tau nggak siapa cowok yang nabrak gue tadi?”

Icha menggeleng pelan, ia tidak sempat melihat siapa yang menabrak Clara karena orang itu sudah lebih dahulu berlari naik ke tangga. Fokusnya juga teralihkan ketika melihat Ibu Indah berlari sambil marah-marah menjewer telinga beberapa anak yang terlambat.

“Udah yuk Cha ke perpustakaan biar dingin hati gue kena AC, awas aja tuh cowok kalo sampe gue ketemu lagi, gue patahin lehernya” ujar Clara emosi lalu menarik Icha masuk ke dalam perpustakaan.

...*****...

Rian masuk ke dalam kelas dengan napas tersengal-sengal, kakinya melangkah menuju kursi belakang, tempat paling eksklusif untuk barisan anak-anak bandel yang hobinya tidur dan mengganggu orang lain belajar.

“Dit, pindah gue mau duduk di ujung.”

Ditho menguap lebar menggeser pantatnya ke kursi sebelah membiarkan Rian duduk dan mengipas-ngipas tubuhnya dengan buku milik Ditho.

“Lo pasti kabur dari Bu Indah” tuduh Ray.

Rian mengangguk tanpa rasa bersalah. “Lagian beliau aneh, masih pagi udah nyuruh lari lima belas putaran, emang gue gasing?”

“Ini udah mau jam setengah sepuluh ya njing, kalo mau telat mikir-mikir dulu. Yang lain gimana?”

“Nggak tau. Tadi sih Def alasan ke toilet, mungkin udah tenggelam di kloset” jawab Rian sembarangan membuka kancing baju atas agar angin kipasan bisa kena tepat di kulitnya yang berkeringat setelah lari sepuluh putaran.

“Eh tapi tadi gue nabrak cewek” lanjutnya bercerita, Ray menengok sebentar lalu kembali sibuk bermain game di ponsel.

“Nabrak dimana?”

“Dekat tangga perpustakaan”

“Luka nggak?”

“Kayaknya sih iya, cuman gue langsung cabut tadi Bu Indah bawel banget soalnya, ngejar-ngejar gue pake penggaris.”

Ray ngakak lalu mematikan ponsel ketika gamenya selesai. “Berarti lo nggak minta maaf dong?”

“Enggak, kepepet gue”

“Minta maaf gih”

“Nanti aja kalo misal tulangnya ada yang patah, rusuknya pindah, atau otaknya geser baru gue minta maaf” jawab Rian cuek lalu mendongak ketika Pak Budi guru matematika masuk ke dalam kelas, lelaki tua itu menunjuk ke arah Rian dan Frengky dengan penggaris panjang membuat keduanya serempak mendengus sambil memboyong bukunya pindah duduk, Rian tepat di depan meja Pak Budi sementara Frengky di meja depan barisan ketiga.

Efek ketika minggu awal belajar mereka tidak sengaja memancing emosi Pak Budi dengan ular mainan yang sengaja di taruh di dalam tas Dilla, spontan cewek itu menjerit gaduh ketika hendak mengambil buku paket matematika. Dilla menangis sedangkan Rian, Frengky, dan barisan anak cowok tertawa ngakak. Tentu saja sejak saat itu mereka secara langsung sudah menandai diri sebagai murid bermasalah di mata pelajaran matematika.

“Buka buku kalian halaman delapan belas soal latihan nomor satu, dua, dan tiga” perintah Pak Budi sesaat sebelum pelajaran benar-benar dimulai.

...*****...

Mata Icha menatap khawatir ke arah tangan Clara yang dibalut perban dan arm sling, beberapa kali cewek itu meringis kesakitan ketika Ibu Laras menyentuh pelan pergelangan tangannya.

“Kamu jatuhnya bagaimana sih sampai bisa seperti ini?”

“Jatuhnya nggak terlalu parah bu, cuman memang tangan saya pernah patah sekali makanya jadi rapuh” jawab Clara jujur tapi tetap mencoba bercanda.

Ibu Laras geleng-geleng lalu pergi mengambil teh hangat, pengobatan khas Indonesia; apapun penyakitnya teh hangat selalu menjadi pendamping.

“Gila ya Cla, untung gue nyadar ada yang nggak beres sama tangan lo. Masa sih tadi lo beneran nggak ngerasa sakit sama sekali?” omel Sybil.

Clara tersenyum kecut, ia memang merasa sakit tapi karena marah-marah setelah ditabrak rasa sakitnya sempat terlupakan, dan ia baru sadar ada yang salah dengan tangannya ketika Sybil menarik dirinya untuk duduk di depan meja komputer.

“Lo beneran nggak tau siapa yang nabrak lo?”

Clara menggeleng. “Tapi gue ingat mukanya”

“Kayak apa? kasih tau biar kita datangi sekarang suruh bayarin biaya rumah sakit, kurang ajar banget tuh orang, awas kalo ketemu, gue patahin lehernya. Habis nabrak langsung kabur, gue sumpahin kepleset“

“Hush Fan, jangan doa kayak gitu, sekalian aja doain biar ketabrak” imbuh Sybil. Fani nyengir lebar lalu kembali menatap Clara.

“Masih ingat kan orangnya, pas pulang entar kita tungguin di gerbang luar”

“Enggak Fan, lo marah-marah kayak gitu buat ingatan gue mendadak lenyap” jawab Clara. Fani mencibir kemudian mengambil teh hangat dari Ibu Laras, setelah beberapa nasehat panjang dan teh hangat habis mereka kemudian keluar dari UKS.

Clara menatap pergelangan tangannya yang terbalut perban dan arm sling, hidungnya menarik napas panjang lalu dengan sedikit berat hati melangkahkan kaki kembali ke kelas.

...*****...

Bel pulang sekolah berbunyi, rasa kantuk yang sejak tadi merambat naik perlahan menghilang bagai debu. Suara senyaring toa khas anak kelas XA memenuhi ruang kelas mengiringi kepergian Ibu Epi, selanjutnya seperti biasa semua berlari keluar berebut melewati pintu kecil, sampai kemudian kelas menjadi kosong menyisakan beberapa anak yang memilih menunggu perang di depan pintu selesai.

“Cla, sini gue bantuin” kata Icha menggantungkan tas Clara di pundaknya. “Tante gue bilang ntar pas sampai rumah sakit minta ke registrasinya untuk dirujuk ke dokter Milla Ananda, ntar kita bisa langsung ke dia” lanjutnya memberitahu.

Clara mengangguk, sepulang sekolah ini ia dan Icha akan pergi ke dokter untuk memeriksa pergelangan tangan Clara. Sebenarnya Clara tidak mau tapi Icha memaksa, dengan alasan untuk memastikan tidak ada tulang yang bergeser.

“Tante lo beneran nggak papa nih? Dia kan dokter spesialis ortopedi dan gue cuman keseleo biasa, ntar dianggap menghina profesi lagi”

“Nggak usah lebay Cla” celetuk Sybil cekikikan lalu pergi bersama Fani karena harus mengikuti kegiatan ekstrakurikuler.

Clara dan Icha kemudian keluar kelas berjalan melewati lapangan basket. Suara panggilan dari arah belakang membuat keduanya balik badan, tampak Ray melambaikan tangan berlari menghampiri.

“Cha, aku anterin pulang ya?”

“Nggak bisa” geleng Icha menunjuk tangan Clara. “Mau ke dokter buat periksa tangan”

“Tangan lo kenapa anak baru? Habis tinju? atau habis ngangkat batu bata?”

“Ihs kamu ya, orang lagi kena musibah bukannya disemangatin malah diledek” cubit Icha gemas, Ray ketawa sambil mengelus-elus bahunya.

“Oke, gws anak baru. Tangan lo kenapa bisa gitu?”

“Kecelakaan”

“Hah? dimana?”

“Jadi tadi pagi kita berempat ke perpustakaan terus lari-lari gitu, Clara yang paling terakhir, eh dia ditabrak orang langsung jatuh tapi orangnya nggak minta maaf, mana kabur lagi. Kurang ajar banget kan? Untung cuman tangannya yang luka, gimana kalo misalnya kepalanya kebentur terus gegar otak?” omel Icha.

Ray bengong sejenak menatap Clara lekat-lekat, tangannya buru-buru menutup mulut Icha ketika cewek itu akan mengomel lagi.

“Lo ditabrak di tangga dekat perpustakaan?”

Clara mengangguk. “Kok lo tahu?”

“Nggak, nebak doang” jawab Ray bohong. “Yaudah yuk gue anterin sampe ke depan” lanjutnya lalu berjalan ke depan gerbang sekolah, sekitar lima belas menit kemudian angkot baru datang. “Cla, kalo misalnya tangan lo jadi sakit parah kasih tahu gue ya”

“Buat apaan?”

“Gue punya kenalan dokter sekaligus tukang pijat, dijamin sembuh kalo sama dia” sahut Ray beralasan, ia melambaikan tangan melepas kepergian dua cewek itu dan balik badan berlari masuk menuju lapangan basket.

...*****...

Rian melemparkan bola basketnya masuk ke dalam ring, ia berlari sebelum bola basket melewati garis keluar dan mendribling lagi. Hidungnya mendengus ketika melihat Ucup dan Def berlari gembira masuk ke pekarangan sekolah dengan balon kuning hadiah dari happy meal McDonald.

Plak!

Sebuah tamparan keras dari belakang kepala membuat Rian balik badan dengan ekspresi masam, tapi eskrpesinya berubah begitu melihat aura Ray dua kali lebih masam dari dirinya.

“Kenapa sih? Mau ngajak gue gulat? yaudah ayok”

“Eh tolol, lo bilang tadi pagi lo nabrak cewek di dekat tangga perpustakaan kan?”

“Iya terus kenapa? Lo mau nabrak juga?” tanya Rian jutek.

Ray menjitak kepala Rian kuat-kuat. “Cewek yang lo tabrak itu Clara temannya Icha”

“Oh yaudah, tolong bilangin gue minta maaf”

“Tangannya patah ***!” teriak Ray, logat Jogjanya selalu keluar setiap kali merasa kesal menghadapi kebolotan teman-temannya.

Hening, mata Rian menatap Ray serius, tampang cowok itu terlihat tidak bercanda.

“Ah, jangan kebanyakan bohong lo ama gue”

“Gue serius, dia lagi diantar cewek gue ke dokter. Dokter spesialis ortopedi. Ortopedi, gue ulang or-to-pe-di.”

Tangan Rian bergerak melempar bola basket ke arah Nathan dan menggaruk rambutnya. “Ini serius kan?”

“Ya masa gue bercanda sih?”

“Terus gue harus gimana?”

“Minta maaf”

“Kalo dia nggak mau maafin?”

“Yang penting lo udah minta maaf dan nunjukin diri kalo lo yang nabrak dia. Gila lo nabrak orang langsung kabur, udah kayak kasus tabrak lari aja.“

Rian tersenyum kecut. “Ya namanya juga orang panik. Ntar deh gue pikirin cara terbaik untuk minta maaf”

“Sungkeman kalo perlu” geleng Ray lalu masuk ke barisan untuk melakukan pemanasan ketika mendengar peluit pelatih berbunyi, meninggalkan Rian masih termangu, antara terkejut habis mematahkan tangan orang atau memikirkan cara untuk meminta maaf. Mana yang ia tabrak seorang cewek pula!

Ah tiba-tiba saja Rian merasa alur hidupnya sedikit melaju keluar dari garis.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!