Rasanya Suka Itu....

Hari minggu jam setengah dua siang, ketika matahari panas sedang bersinar terang dan Clara sibuk mengupas bawang untuk bumbu catering sambil menonton drama Korea bersama Indah.

“Cla, apa bedanya annyeong hashimnikka dengan anneyong haseyo?”

“Yang satu formal yang satu enggak” jawab Clara. Indah mengangguk mengerti lalu berlari ke depan ketika mendengar suara dari pagar depan untuk mengecek siapa yang datang, setelah itu ia kembali lagi. “Cla, ada yang nyariin kamu didepan”

“Siapa mbak?”

“Cowok”

“Gerald?”

“Bukan, cowok cakep baru mbak lihat, mungkin teman kamu mau nagih utang. Udah mbak suruh duduk di teras, buruan takutnya mau nyolong ikan di kolam” kata Indah polos. Kening Clara berkerut, siapa cowok kurang kerjaan yang datang di siang bolong seperti ini? Akhirnya tubuhnya bangkit berdiri dan berjalan ke depan melihat siapa yang datang.

“Hai.”

Clara melongo begitu melihat Rian duduk manis di teras lengkap dengan laptop dan sisa tumpukan kertas data rekap. “Ngapain lo kesini?”

“Mau minta tolong bantuin gue buat ngerjain data rekapan”

“Ini kan udah hampir tiga hari dari terakhir kali kita ngerjain dan lo belum selesaiin?” tanya Clara agak jengkel, Rian mengangguk santai malah tersenyum lebar seolah tidak ada yang salah. “Lo beneran udah gila ya? Niat banget mau gangguin gue”

“Kan gue udah bilang, gue tertarik sama lo”

“Ihss” gumam Clara pelan. “Ntar gue ambil kerjaan gue dulu.”

Clara masuk ke dalam rumah mengambil satu plastik bawang merah yang belum dikupas dan loyang kecil. “Itu teman kamu? atau pacar?” goda Indah ketawa geli.

“Tidak keduanya” jawab Clara sewot lalu kembali ke teras depan. “Lo milih, gue yang kerjain tugas lo dan lo yang ngupas bawang atau sebaliknya? Gue nggak mau multitasking.”

Rian berpikir sejenak menatap bawang merah di dalam plastik, ia belum pernah mengupas bawang sebelumnya tapi kalau hanya sekedar mengupas kulit tentu saja bukan pekerjaan besar. “Gue yang ngupas bawang”

“Yakin?”

“Iya” jawab Rian yakin.

Clara nyengir menyerahkan pisau dan bawang merah, lalu mengambil alih pekerjaan Rian, mereka duduk di lantai karena ukuran kaki meja teras pendek. “Caranya kayak gini.” Clara memberikan contoh. “Yakin bisa kan?”

“Tenang aja, tau-tau selesai aja” kata Rian santai mulai mengupas bawang. Clara angkat bahu mulai mengerjakan rekap data. Semenit, dua menit, tiga menit, dan empat menit terdengar tarikan ingus dari samping, ia memalingkan wajah dan terbahak bukan main begitu melihat wajah Rian memerah sementara air matanya turun sampai ke pipi.

“Cla ini temannya- lo kamu kenapa?” Indah muncul membawa jus dengan cemilan kecil mendadak khawatir melihat wajah Rian, sementara Clara terus tertawa geli. “Ini diminum dulu, pasti matanya pedes ya? Aduh Cla kok teman kamu malah dikerjain gitu?”

“Lah dia yang mau mbak” bela Clara menahan tawa.

“Saya nggak nangis kok mbak, cuman tadi keinget cerita sedih aja” kata Rian ngeles. “Makasih ya mbak minumannya”

“Iya sama-sama, tapi ngomong-ngomong kamu ini temannya Clara?” tanya Indah ramah, Rian mengangguk sementara Clara menggeleng.

“Bukan mbak, dia ini mas-mas yang buka jasa ngupas bawang” ejek Clara cekikikan sementara Rian menatap dongkol, air matanya terus keluar karena masih terasa perih.

“Kamu kalo mau cuci muka masuk aja ya ke dalam” beritahu Indah lalu masuk ke dalam rumah.

“Masih perih? Sini gue tiup” kata Clara iba tapi masih cekikan, ia maju meniup mata Rian sampai cowok itu mengedip-ngedipkan matanya beberapa kali. “Udalah ntar gue yang nyelesain” lanjutnya. Rian menarik napas menyerah menggeser bawang merah tadi jauh-jauh darinya.

“Ini kuenya enak banget, beli dimana?”

“Dibuat Mbak Indah kok”

“Mbak yang tadi?”

“Iya”

Hening, karena Clara sibuk dengan pekerjaannya sementara Rian lebih asik memasukan kue satu persatu ke dalam mulutnya sampai bersih tak bersisa. Ia memalingkan wajah begitu mendengar suara pedagang bakso dari pagar depan. “Cla, mau bakso nggak?”

“Nggak udah kenyang”

“Yaudah gue beli sendiri”

“Eh ntar, pake mangkok dari sini aja, biar abangnya nggak nungguin lo makan” tahan Clara masuk ke dalam rumah mengambil mangkok plastik untuk Rian, ia mendengus begitu melihat cowok itu sudah cekakak-cekikik dengan penjual bakso.

“Bang, baksonya tolong taruh di mangkuk ini aja ya” kata Clara ramah.

“Cla, beli es cendol juga yuk” ajak Rian berbinar melihat gerobak es cendol datang ke arah mereka.

“Lo sakit perut gue nggak tanggung jawab loh” tegur Clara heran melihat Rian bersemangat memesan dua gelas es cendol. Setelah membayar mereka kembali ke teras, sejenak beristirahat dari pekerjaan.

“Gue dulu waktu di rumah nenek suka jajan kayak gini, makanya gue seneng banget tiap sore-sore ada yang lewat”

“Emang di kompleks rumah lo nggak ada?”

“Nggak, mana boleh? mau masuk aja pake kartu” jawab Rian acuh tak acuh. “Duh seger banget, kayak lagi di kutub”

“Lebay lo” kekeh Clara geli. “Eh, lo kesini udah pamit?” tanyanya iseng.

“Ngapain? gue aja cuman tinggal sama pembantu. Orang tua gue di luar negeri”

“Dinas?”

Rian menggeleng. “Pisah. Bokap di Inggris, nyokap di Paris” jawabnya santai memberikan kesan tidak peduli. Mata Clara membulat sedikit merasa heran melihat reaksi Rian, tapi cowok itu malah terus mengoceh berbagai hal yang menarik perhatiannya dari pemandangan di luar pagar. Clara akhirnya memilih menanggapi ocehan Rian dan mengubur keinginannya untuk bertanya tentang orang tua cowok itu, daripada dianggap kepo lebih baik diam saja.

Beberapa saat kemudian mereka terlibat dalam obrolan menarik, secara perlahan keduanya mulai menceritakan banyak hal tentang diri mereka sendiri, sikap, sifat, dan apa yang selalu menarik perhatian mereka. Sesekali Clara tertawa geli ketika Rian melemparkan lelucon, meskipun pernah menganggap cowok itu menyebalkan tapi harus ia akui Rian memiliki selera humor yang cukup bagus. Aura ganteng dan pendiam cowok itu mendadak menghilang begitu mereka mengobrol digantikan aura petakilan dan slengean.

“Disini enak ya, rame” kata Rian tiba-tiba.

“Emang di rumah lo sepi banget”

“Yoi, paling rame kalo teman-teman gue datang. Apa gue pindah disini aja?”

Clara diam malah menopang dagu, dimatanya Rian terlihat seperti orang paling kesepian, bahkan meskipun ia hanya bercanda, tapi Clara bisa menangkap ada setitik keseriusan dalam pandangan matanya.

“Woi Cla malah ngelamun, pikiran ya mau punya tetangga ganteng kayak gue?”

“Gue kalo tetanggaan sama lo bisa mati berdiri” balas Clara.

Rian nyengir kemudian memalingkan wajah ke arah kolam ikan di samping kanan teras. “Cla”

“Ya?”

“Ikan lo bagus-bagus ya, gendut”

“Hah?” Sejenak Clara melongo kebingungan tapi setelah itu ia tertawa geli ikut memperhatikan barisan ikan yang berenang kesana-kemari.

...*****...

Langit semakin bertambah gelap seiring dengan detak jam yang terus bergerak menuju waktu malam. Satu persatu lampu jalan mulai menyala, begitu juga dengan halaman rumah Clara. “Kamu nggak mau nginap aja? Siapa nama kamu tadi?”

“Rian mbak” cengir Rian menggeleng sopan kepada Arda, wanita itu baru datang dua puluh menit lalu dari acara pernikahan seorang kenalan yang meminta dirinya untuk mengurus bagian konsumsi. “Makasih mbak tawarannya, tapi saya harus ngerjain PR” alasan Rian membuat Clara mencibir. “Saya permisi pulang mbak”

“Ya hati-hati” senyum Arda lalu duduk di kursi teras untuk melepas lelah, diam-diam matanya menatap Clara mengantar Rian ke depan pagar, bibirnya lantas menyunggingkan senyum penuh makna.

“Makasih udah mau ngerjain rekap data gue” kata Rian menggantungkan tasnya di bahu dan duduk di atas motor.

“Hmm sama-sama, lo emang ngerepotin” jawab Clara tidak serius.

Rian tertawa senang. “Gue datang lagi boleh nggak?”

“Nggak boleh”

“Yaudah gue bakal datang lain” balas Rian cuek tapi senyumnya masih tersungging di bibir. “Gak mau bilang hati-hati nih?”

“Ya hati-hati dijalan, jangan balap-balap umur nggak ada yang tau” kata Clara sambil memegang pagar dan menyandarkan dagu di atas tangannya. Matanya menatap Rian mengenakan helm, menyalakan mesin motor, dan melaju pergi. Senyum Clara mendadak muncul tanpa alasan, ia menjulurkan kepala memastikan motor cowok itu sudah menghilang lalu akhirnya balik badan.

“Aduh kasihan, udah pergi deh pangerannya” teriak Indah disambut tawa Arda. Senyum Clara langsung hilang digantikan rasa malu, ia buru-buru berlari masuk ke dalam kamar pura-pura tidak mengacuhkan tawa keras kedua mbaknya dari teras luar.

...*****...

Jam sudah menunjukan pukul enam lewat tiga puluh menit pagi, matahari bersinar cerah, tapi tidak secerah wajah siswa-siswa –bukan siswi kelas 11 IPA 1, ekspresi mereka terlihat sangat muram, alasannya karena hari ini ada jadwal pelajaran kimia dan mereka harus mengumpulkan catatan untuk diperiksa guru pengampu mata pelajaran. Menjelang UTS guru-guru memang punya kebiasaan turun temurun untuk memeriksa catatan anak-anak didiknya, tujuannya sih agar mengetahui sampai dimana semangat dan cara belajar anak-anak didik mereka pada tiap mata pelajaran. Aneh-aneh memang program sekolah.

Karena itu sejak subuh Frengky jelas yang paling kelabakan terus memaksa Chintya meminjamkan buku catatan dengan iming-iming nomor ponsel Rian. Pasalnya cewek itu adalah adalah satu-satunya manusia di dalam kelas yang catatannya paling lengkap sejagat raya.

“Duh Chin, habis gue pinjem gue kasih kontaknya Rian” ujar Frengky memelas. Dengan berat hati akhirnya Chintya menyerahkan bukunya, sebenarnya ia tidak terlalu suka dengan Frengky karena sering menjadi korban kejahilan cowok itu tapi mendengar tawaran yang diberikan yaitu nomor Rian membuatnya agak tergiur.

“Awas aja lo nyebar nomor gue sembarangan” ancam Rian datar, sejak tadi ia sudah mendengar namanya disebut-sebut untuk dijadikan alat transaksi oleh Frengky, tapi ia malas menegur karena terlalu fokus bermain game.

“Nggak akan, santailah ntar gue kasih nomor gue sendiri” balas Frengky acuh tidak acuh.

“Gue kemarin dari rumah Clara” kata Rian tiba-tiba bercerita pada Ray membuat cowok itu mendongak dengan ekspresi terkejut. “Dia nggak sejudes yang gue kira” lanjutnya tersenyum penuh kemenangan karena berhasil mengalahkan Ray.

“Serius lo?”

“Yoi”

“Kagak diusir?”

“Kagaklah, gue kan ganteng, lagian gue datang beneran karena mau ketemu dia.”

Tangan Ray langsung bergerak menyentuh dada Rian membuat cowok itu terlonjak kaget mundur ke belakang hampir terjatuh dari kursinya. “Anjir, jatuh cinta beneran ya lo?”

“Ntah” Rian angkat bahu lalu berkata cuek “tapi tiap kali lihat dia bawaannya pengen gue lamar.”

Ray mencibir jijik. “Dangdut banget lo, hati-hati jangan mainin perasaan orang, ntar karma” nasehatnya serius. Rian menaruh ponselnya di meja balas menatap Ray dengan tampang bodoh.

“Kayaknya lo yang harus nasehatin dia deh, siapa tau perasaan gue yang dimainin”

“Ho’oh whatever, aku ra ngurus” balas Ray dengan logat Jogja.

“Weh kalian nggak nyatet juga?” tanya Frengky baru sadar Rian, Ray, dan Ditho hanya adem ayam tidak peduli.

“Gue rajin nyatet kali. Lo nggak tau poin untuk catetan gue tinggi? Noh buku gue dipinjem Edi” jawab Ditho sombong.

“Terus lo berdua?” Pertanyaan Frengky terjawab ketika Dimas, cowok paling pintar dan rajin di kelas datang membawa setumpuk kertas lalu menyerahkan pada Rian.

“Thanks ya Dim, jadinya berapa nih?”  Rian menyodorkan uang seratus ribu.

“Bentar, gue ambil kembaliannya dulu”

“Nggak usah, buat lo aja. Udah sana lo balik” usir Rian. Dimas meringis tapi tetap tersenyum senang karena merasa diuntungkan dengan uang seratus ribu yang berada dalam genggamannya, ia langsung  melangkah pergi kembali ke tempat duduknya sebelum Rian berubah pikiran.

“Apaan tuh?”

Rian tersenyum tengil menyerahkan sebagian kertas tadi ke Ray kemudian kedua cowok itu mulai membuka buku kimia masing-masing. “Gue males nyatet, jadi minjem catatannya si Dimas buat difoto copy”

“Terus mau lo apain?”

“Tempel dibukulah, masa iya gue kunyah” jawab Rian. “Brilliant kan ide gue?" lanjutnya kemudian tanpa malu-malu berdiri dan mengambil lem milik Putri.

“Put pinjem lem bentar!”

“Tumben minta izin, kenapa udah mau mati besok jadi takut masuk neraka karena keseringan nyolong barang orang?” sindir Putri tapi tetap membiarkan Rian memakai lemnya, cowok itu hanya cengengesan kembali sibuk menempel kertas di dalam buku kimia sampai kemudian Pak Sugeng masuk ke dalam kelas.

Pelajaran dimulai seperti biasa, tidak ada yang ribut karena semua sibuk mencuri-curi kesempatan untuk terus mencatat, sebisa mungkin setidaknya minimal buku mereka kelihatan ada catatan. Sesuai dugaan diakhir pelajaran Pak Sugeng meminta catatan anak didiknya untuk segera dikumpulkan. Diiringi ekspresi wajah tidak rela dari beberapa murid yang catatannya hanya tertulis tanggal pelajaran, mereka maju menyerahkan bukunya masing-masing. Sambil mengecek nama-nama yang mengumpulkan buku kimia, Pak Sugeng iseng membuka buku Rian, keningnya langsung berkerut melihat catatan cowok itu hanya empat lembar catatan tangan cakar ayam, sisanya kertas foto copy yang ditempel di buku.

“Rian, kamu itu tidak pernah mencatat ya?” tanya Pak Sugeng datar tapi mendominasi. Rian hanya menggeleng santai, bandelnya kumat.

“Kenapa? Apa kamu tidak suka kalo saya suruh mencatat?”

“Bukan pak, bukan gitu”

“Terus kenapa?”

“Soalnya saya lagi osteoporosis pak” jawab Rian menunjukan ekspresi penuh penyesalan. “Tulang saya rapuh nggak bisa kerja yang berat-berat.”

Pak Sugeng mendengus melemparkan tatapan kesal tapi ia tetap menahan diri untuk tidak mengeluarkan omelan, karena percuma berdebat dengan anak bandel seperti Rian bukannya masalah selesai tapi yang ada malah mati karena hipertensi. Lelaki paruh baya itu kemudian menaruh kembali buku milik Rian diatas tumpukan buku dan segera keluar, membiarkan seisi kelas  tenggelam dalam lautan cekikikan geli.

...*****...

“Cla gimana lo udah bilang ke Kak Jefri?”

“Belum, soalnya dari kemarin Kak Jefri nggak ke kafe lagi sibuk kelas pengganti di kampus, tapi hari ini kalo misalnya dia datang gue bakal bilang kok”

“Jangan lupa ya Cla, sumpah gue udah latihan interview dari kemarin”

“Iya Cla buruan lo bilang ke si Jefri itu, capek gue tiap hari harus pura-pura jadi penginterview” tambah Sybil mengeluh.

“Oh jadi lo nggak ikhlas bantuin gue?”

“Iya”

“Ih jahat banget” dengus Fani lalu memeluk Sybil erat sampai cewek itu menjerit. Clara tertawa geli tidak berniat melerai, ia memalingkan wajah ke arah Icha yang sibuk membuat simpul gelang dari tali sepatu, bakat simpul menyimpul yang ia dapat setelah sembilan tahun menjadi anggota keluarga kelapa alias pramuka.

“Udah jadi” seru Icha senang lalu menarik paksa tangan Clara, Fani, dan Sybil. “Ini gue nyari mata gelangnya susah loh, sampai harus pesan ke orang” katanya menunjuk ke arah bulatan besi kecil di ujung gelang.

Clara mengangkat tangannya melihat lambang seperti nada di atas besi bulatan itu. “Ini hakuna matata?”

“Yoi, keren kan gue pake lambang itu?”

“Hakuna matata? Apaan tuh? Mantra buat lulus ujian?” tanya Fani bolot langsung mendapat jitakan dari Sybil.

“Ini lambang hakuna matata dari Afrika” bibir Clara bergerak  tersenyum tipis.

“Oh iya? gue kira lambang not balok”

“Tolol” kekeh Clara, Fani nyengir menggaruk hidungnya salah tingkah.

“Emang artinya apa sih?”

“No worries” jelas Icha. “Semua orang yang mengenakan lambang hakuna matata percaya kalau hidup mereka bakal berjalan dengan baik. Life without worries”

“Gue baru tau”

“Ya karena lo nggak pernah mau tau” tambah Sybil mengejek, Fani tertawa lebar.

“Cha kenapa lo pilih warnanya ungu sih?” tanya Sybil. Icha angkat bahu, tidak ada alasan khusus hanya saja waktu kemarin membeli tali sepatu ia merasa warna ungu ini kelihatan begitu menarik karena tidak terlalu gelap dan tidak terlalu terang.

“Lo tau nggak kalo warna ungu itu punya arti lain?” tanya Clara tiba-tiba mengangkat gelangnya.

“Janda?” ujar Fani yakin tidak yakin.

“Picik” kekeh Clara lagi senang melihat ekspresi polos cewek itu. “Nggak jadi kasih tau ah, Fani lagi bolot”

“Ya maaf, gue lagi fokus buat interview. Ke kantin aja yuk, daripada ngebahas hal-hal kayak gini” ajak Fani langsung, ia memang satu-satunya orang yang tidak mudah tertarik dengan hal-hal manis seperti itu, kalau kata Sybil sih hati Fani terbuat dari batu bata makanya kadang tidak punya perasaan.

“Hati-hati Fan jangan terlalu berharap buat diterima. Orang kalo naruh ekspektasi terlalu besar terus gagal biasanya bakalan kecewa luar biasa” nasehat Sybil sambil merangkul Fani keluar kelas.

“Ya makanya kalian doakan yang bagus dong biar ekspektasi gue buat diterima tercapai”

“Yaudah deh amin” jawab teman-temannya serempak.

...*****...

Suasana kantin mendadak ramai ketika gerombolan Ucup masuk dan menggebrak meja seorang cowok, awalnya mereka mengira akan terjadi sebuah perkelahian tapi nyanyian lagu selamat ulang tahun lengkap dengan kue buaya membuat penghuni kantin geleng-geleng baru menyadari gerombolan tukang rusuh itu sedang merayakan ulang tahun salah satu teman mereka.

“Lucu ya Angga bawa-bawa kue buaya, dikira lagi lamaran apa?” kekeh Sybil lalu kembali berpaling ke arah Fani, cewek itu sedang asik membaca manfaat kacang almond dari internet.

“Kacang almond bisa membantu menurunkan berat badan. Oke gue makan semua.” Fani langsung memasukan segenggam kacang almond kedalam mulutnya tapi mendadak ia hampir memuntahkannya karena terkejut dengan kedatangan Rian tanpa permisi menarik kursi dan duduk di depan Clara.

“Lo ngapain duduk disitu?” tanya Clara sambil menggigit siomaynya, tidak terlihat rasa gentar dalam diri cewek itu ketika berbicara dengan Rian, padahal semua teman-temannya sedang merasa terkejut.

“Kan ini kantin milik bersama, bebas dong gue mau duduk dimana aja”

“Masih banyak tempat duduk lain yang kosong”

“Gue maunya disini” jawab Rian santai, “makan aja nggak bakal gue gangguin kok, paling gue lihatin.”

Clara mendengus sedikit merasa salah tingkah karena Rian secara terang-terangan menopang dagu sambil menatapnya senang. “Jangan lihat-lihat” tegur Clara pelan balas menatap Rian kesal, cowok itu malah nyengir lebar.

“Gue ngeliat awan kok”

“Heeh angap aja mata gue katarak”

“Tuh kan kalo marah-marah gitu malah tambah manis” kekeh Rian iseng. Fani dan Sybil spontan tersedak minuman sementara Icha melemparkan tatapan heran. Sejak kapan kedua orang itu dekat? begitu pemikiran semua orang yang melihat Rian bersama Clara.

“Sorry, gue boleh kan duduk disini?” Clara mendongak tampak Manda tersenyum manis dengan semangkuk soto, kepalanya mengangguk canggung. “Lo ngapain disini? gangguin orang ya?” tuduh Manda pada Rian.

Bahu Rian terangkat naik, “lagi nunggu belahan jiwa makan”

“Jangan didengar kak, suka ngaco dia” ketus Clara sewot. Senyum Manda mendadak kaku baru pertama kali melihat Rian menampilkan raut wajah bahagia berbicara dengan cewek selain dirinya, setidaknya ini setelah kepergian Esther. Matanya diam-diam mencuri pandang ke arah Clara mencari sesuatu dalam diri cewek itu yang mungkin bisa menarik perhatian Rian, tapi sayangnya Manda tidak menemukan apapun selain fakta bahwa cewek itu cantik sekali, bahkan mungkin lebih cantik dari dirinya.

“Rian! yuk cabut” panggil Def mendekati mereka. Rian berdiri dengan ekspresi tidak rela, ia menundukan wajah mendekati Clara.

“Ntar pulangnya bareng gue, jangan kabur” katanya santai lalu beranjak pergi meninggalkan Clara melemparkan tatapan kesal.

“Tuh orang ya emang mau bunuh gue secara perlahan” ketus Clara menatap punggung Rian menghilang bersama Def ke belakang kantin. Wajahnya berpaling ke arah teman-temannya yang menggeleng sambil mengacungkan jempol takjub, tanpa menyadari Manda diam-diam melemparkan tatapan tidak senang ke arahnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!