“Mbak Ardaaaa” teriak Icha masuk ke dalam rumah Clara. Wajah Arda berpaling, ia tersenyum manis lalu kembali sibuk menyiapkan nasi kotak dibantu Indah dan Bude Sumiyati.
“Sibuk banget nih mbak?” tegur Icha tanpa basa-basi mengambil kerupuk dari dalam toples.
“Iya nih, anaknya Pak RT habis sunatan terus nanti sore mau buat acara syukuran” jawab Arda. “Cla, kamu udah- lo tangan kamu kenapa?” Raut wajah Arda langsung berubah begitu menyadari tangan Clara terbalut arm sling, ia lantas berhenti melakukan pekerjaannya dan mendekati Clara.
“Aku jatuh tadi mbak pergelangan tanganku terkilir terus udah ke dokter, katanya harus hati-hati soalnya tanganku kan pernah patah sebelumnya” jelas Clara.
Arda menarik napas terlihat khawatir. “Kok bisa sih sampai jatuh kayak gini? Kamu jalannya pasti pencicilan?”
“Iya mbak, salah aku tadi kurang hati-hati” jawab Clara buru-buru sebelum Icha buka mulut, ekspresi Icha terlihat tidak suka karena Clara berbohong padahal ia berniat untuk menceritakan semuanya kepada Arda. “Cha, tunggu bentar ya gue ganti baju dulu,” Clara naik ke tangga atas untuk berganti pakaian lalu turun lagi membawa buku tebal matematika.
“Cla ngerjainnya di teras aja biar adem.” Clara mengangguk mengikuti Icha duduk di teras depan. “Lo kenapa sih harus bohong gitu? Gue gemes tau dengernya”
“Biar Mbak Arda nggak khawatir aja, dia orangnya panikan Cha”
“Tapi ya nggak gitu juga”
“Udahlah Cha yang penting tangan gue nggak kenapa-napa” ujar Clara. Icha diam, lalu selanjutnya sibuk mengerjakan PR matematika.
Sesi belajar mereka berjalan serius tapi sesekali terganggu akibat suara keras pedagang keliling, mulai dari tukang bubur, kue putu, jagung manis, sampai suara ribut ibu-ibu kompleks sedang lari sore. Langit mulai menggelap dan tanpa terasa tugas mereka sudah selesai. Icha merenggangkan otot-otot tangannya yang kaku dan melakukan sedikit pemanasan.
“Cha mau jajan es cincau nggak?” tawar Clara menunjuk ke arah abang penjual es cincau berdiri bersama gerobak di dekat pagar rumah dikelilingi beberapa penghuni kompleks dan anak-anak kecil yang baru pulang dari pengajian.
Icha melemparkan tatapan curiga. "Rasanya nggak kayak air sabun kan?”
“Ya enggak lah, gue udah pernah rasa. Enak, gue jamin. Ini yang jual es cincau lulusan master Chef Indonesia” jelas Clara tertawa mengingat kejadian ketika mereka jajan es cincau di dekat persimpangan gang masuk kompleks dan rasa cincaunya seperti sunlight, pahit berbusa mematikan. Mungkin saat itu abang penjual kurang cermat membilas gelasnya sehingga masih ada sisa-sisa sunlight. Beruntung setelah minum mulut mereka tidak mengeluarkan busa balon.
“Jamin ya?”
Clara mengangguk lalu pergi ke depan pagar rumah memesan dua gelas sedang cincau. Sekitar lima menit kemudian ia baru kembali, sedikit kerepotan karena salah satu tangannya terbalut arm sling, bibirnya bergerak mencibir Icha karena cewek itu hanya cekikikan tanpa ada niatan untuk membantu.
“Jangan ngomel-ngomel terus Cla, ntar sakit perut loh” ejek Icha mengambil cincau miliknya, mereka duduk di lantai teras menikmati suguhan manis dari luar pagar rumah ketika banyak anak kecil berlarian atau bermain drama peran mengikuti adegan sinetron yang mereka tonton semalam.
“Eh Cla, gue lupa mau ngasih lo ini” Icha mengambil sebuah brosur iklan lowongan kerja part time di salah satu kafe. “Kan waktu itu lo bilang mau part time, nah ini kebetulan temennya Ray punya cafe dan lagi nyari karyawan. Dulu Ray kerja di situ juga cuman karena sekarang lagi sibuk mau lomba basket jadi dia nggak punya banyak waktu luang. Gue udah ngecek dan menurut gue nggak bakalan ganggu sekolah sama ekstrakurikuler lo, kecuali kalo lo ngambil lebih dari satu ekstrakulikuler” jelas Icha panjang lebar.
Clara menatap minat, ia membaca teliti isi brosur. Cafe Bee and Bir, letaknya tidak jauh dari sekolah hanya sekali naik angkot, persyaratannya juga tidak sulit hanya mengutamakan kejujuran, penampilan rapi, dan sehat jasmani rohani.
“Ini serius Cha? Lo kenal sama pemiliknya?”
“Iya namanya Kak Jefri, gue sering main kesitu. Tenang aja Cla, cafe mereka emang dikhususkan untuk orang-orang yang ingin dapat pengalaman kerja”
“Pemiliknya kaya raya dong? Nggak papa rugi yang penting karyawan gue dapat skill baru”
“Ya nggak gitu juga Cla, lagian kan kerja di kafe nggak kayak kerja kantoran, gimana sih lo” balas Icha heran. “Tapi seriusan deh dulu Ray tuh nggak bisa ngapa-ngapain pas kerja disitu jadi pinter cuci piring sekarang.”
Clara ngakak. “Yaudah deh Cha makasih banyak yak, lo mau kan nemenin gue besok?”
“Ya gampang, sekarang mah lo mikir aja mau jawab apa pas di interview besok. Ingat ‘menjilat’ itu perlu” kata Icha memberi nasehat semetara Clara hanya mengangguk-angguk antara paham tidak paham.
...*****...
Jam setengah tujuh Clara baru menginjakan kaki di dalam kelas dan ia sudah mendapat sambutan hangat dari Fani yang berteriak kencang, “Cla lo dapat hadiah dari fans rahasia!”
Kening Clara berkerut mendapati mejanya penuh dengan parcel buah-buahan, kue tart lengkap dengan buah ceri, satu boneka kecil kumamon, dan sebuah amplop putih. Tangan Clara mengambil amplop putih tadi dan semakin terkejut ketika mendapati uang sekitar lima ratus ribu, lengkap dengan surat kecil permintaan maaf dari orang yang menabrak dirinya kemarin.
“Wah Cla dia beneran niat banget mau minta maaf” ujar Fani ikut membaca isi surat, singkat hanya tertulis; ‘Sorry udah nabrak kemarin, ini uang untuk ganti rugi biaya perawatan kalo misal lo mau ke dokter’ tidak ada nama ataupun alamat dari si penabrak.
Clara menarik napas kesal, ia memang ingin mendapatkan permintaan maaf dari cowok yang menabrak dirinya kemarin, tapi bukan dengan cara seperti ini, dan juga uang sebagai ganti rugi malah membuat hatinya terasa semakin kesal, seolah apapun yang terjadi bisa terselesaikan dengan uang.
Memang apa susahnya sih menunjukan diri dan meminta maaf secara langsung?
“Ada yang mau nggak?” tanya Clara ke arah barisan Nus, tanpa ditawar dua kali spontan cowok-cowok itu langsung mengangguk bahagia tanpa ragu menghabiskan kue tart dan parcel buah-buahan.
“Aduh Cla asli lo baek banget, gue doain jalan hidup lo lancar, banyak rejeki” kata Nus mengelus-elus perutnya yang kekenyangan, ia bersendawa keras membuat Caca yang kebetulan baru datang langsung bergidik jijik. “Biasa aja dong Ca lihatnya, lo sirik ya nggak punya tembolok gede kayak gue?”
“Sialan lo!” maki Caca cekikikan kecil.
“Cla tangan lo udah nggak papa kan?” tanya Fani hati-hati ketika melihat ekspresi kesal Clara pada makanan yang ia terima tadi.
Clara mengangguk menunjukan tangannya, sudah tidak ada arm sling hanya tinggal perban membalut pergelangan tangannya, cewek itu kemudian duduk sambil mengambil buku dari dalam tas. Sekali lagi matanya membaca ulang tulisan di atas surat, cakar ayam, membuat rasa kesalnya semakin bertambah.
“Fan lo mau bawa pulang nggak?” tawar Clara menyodorkan boneka kumamon.
Fani mengeleng. “Simpen aja Cla siapa tau bisa lo pake buat mukul orang yang nabrak elu”
“Bener juga sih, tumben lo ada akal” balas Clara lalu dengan berat hati memasukan boneka kumamon itu ke dalam tasnya.
...*****...
“Gimana Ky? berhasil nggak? udah dimakan kan?” todong Rian ketika Frengky masuk ke dalam kelas, cowok itu menggelengkan kepala dengan ekspresi lelah karena sejak subuh sudah tiba di sekolah untuk menyiapkan parcel, kue tart, boneka dan dua jam berdiri memata-matai Clara di depan kelas cewek itu.
“Muka doi kelihatan kesal banget waktu ngelihat isi surat lo” kata Frengky melaporkan secara jelas.
Rian melemparkan pandangan heran, ia sudah berkonsultasi dengan Ray kemarin, menurut cowok itu membawakan parcel berupa buah-buahan atau kue biasa dilakukan ketika mengunjungi orang sakit dan akan membuat orang sakit itu merasa senang, tapi apa yang dilaporkan Frengky justru berbeda jauh dari prediksi mereka.
“Woi Ray, kata lo kalo gue kasih parcel doi bakalan senang.”
Ray balik badan, “emang lo udah datang ke rumahnya?”
“Harus ke rumahnya emang?”
“Iyalah, emang lo ngasihnya kapan?”
“Tadi pagi, gue taruh di mejanya, lengkap, kue tart, parcel, boneka, surat permintaan maaf, dan duit lima ratus ribu di dalam amplop” jawab Rian polos.
Ray melongo pandangan matanya berubah seolah sedang melihat lebah berterbangan dari dalam lobang hidung Rian, sesaat ia geleng-geleng kepala dan bergumam dalam bahasa Jawa. “Eh, kowe tau ora? nek zombie nyerbu, kowe bakal aman, soale sing diincer kui utek”
“Dia bilang apa sih?”
“Kalo ada zombie lo bakal aman karena yang dicari otak. Intinya lo nggak punya otak” jelas Frengky, tangan Rian langsung bergerak menjitak kepala Ray kuat-kuat.
“Lagian lo aneh bukannya minta maaf langsung malah ngasih diem-diem gitu, pakai ngasih duit lagi. Kalo dia tersinggung gimana?”
“Lah kan gue mencoba menganti rugi”
“Tapi ya nggak gitu caranya” balas Ray sengit. Rian mendadak bingung, perkataan Ray tiba-tiba menjadi pembelajaran bahwa apa yang ia lakukan salah.
“Gue harus gimana dong?” tanya Rian lagi karena meskipun nakal ia bukan tipe cowok yang terbiasa berurusan dengan cewek asing, kecuali berurusan denganManda -yang bahkan jarang ia anggap sebagai seorang cewek- ketika datang bulan karena memang di momen-momen seperti itu tingkat menyebalkannya naik tiga poin.
“Mau nggak mau lo harus temuin, minta maaf secara langsung, dan nganterin ke dokter, bukan malah lo ngasih duit di amplop, emang lagi bagi hadiah kuis?”
“Ya udah ntar kalo misal patah tulangnya tambah parah baru gue datengin langsung” putus Rian langsung mengangkat jari tangannya ke bibir ketika Ray akan protes lagi. Ray mendengus lalu balik badan bersamaan dengan langkah kaki Pak Jarot guru fisika masuk ke dalam kelas.
...*****...
Jam pulang sekolah sudah berakhir dari sejam yang lalu, setelah menunggu Icha selesai ekstrakurikuler Clara langsung pergi ke cafe bee and bir, ekspresinya terlihat gugup setengah mati sampai mengundang tawa Icha.
“Aduh Cla santai aja kalik, Kak Jefri orangnya baik nggak bakal lo dimakan hidup-hidup”
“Sabar Cha gue pemanasan dulu” kata Clara tidak menggubris tawa Icha, ia menarik napas panjang-panjang dan melakukan pemanasan, mulai dari star jumps, squat, dan lari-lari kecil. “Haaaa, gue udah siap Cha”
“Yaudah ayuk”
“Eh entar Cha pemanasan sekali lagi deh” tahan Clara mengulang pemanasan singkatnya. Icha menatap malas lalu menarik Clara melangkahkan kaki masuk ke dalam kafe, tampak tiga orang laki-laki mengenakan apron berwarna hitam tersenyum ke arah mereka.
“Cla itu yang namanya Kak Jefri” bisik Icha melambaikan tangan pada seorang cowok yang baru keluar dari dapur. Usianya terlihat seperti anak kuliahan semester akhir dengan jenggot tipis dibawah dagu dan berambut ikal sebahu yang diikat setengah, wajahnya manis bukan main ditambah senyum tipis.
“Hai Cha, tadi kesini naik apa?” sapanya ramah memberikan kode agar Clara dan Icha duduk di depannya.
Ekspresi Clara terlihat semakin gugup, setelah berbasa-basi sebentar ia kemudian memperkenalkan diri secara resmi. Ekspresi Jefri langsung berubah serius, matanya menatap Clara tajam membuat kegugupan cewek itu naik dua kali lipat, tangannya meremas erat rok sekolah sebagai pelampiasan rasa gugup dan berusaha mengontrol ekspresi wajah agar tetap terlihat tenang menjawab semua pertanyaan Jefri.
“Selain bahasa Inggris lo punya kemampuan lain? Karena kalo cuman ngandelin bahasa Inggris semua teman-teman gue bisa, si Nichol bahkan bisa bahasa Perancis, Jerman, dan Rusia” kata Jefri menunjuk seorang cowok seusia mereka yang berambut kecoklatan. Clara menelan liur menarik napas, mendadak terbesit pikiran untuk bersikap bodoh amat dan mengatakan semua hal yang terlintas di otaknya.
“Bahasa isyarat.”
Baik Jefri maupun Icha menatap Clara lekat-lekat dengan dua makna yang berbeda, Icha terkejut sementara Jefri sekilas menampilkan ekspresi tertarik.
“Terdengar unik, setau gue belum banyak orang yang bisa bahasa isyarat”
“Itu bisa jadi salah satu alasan kenapa kakak harus menerima saya disini” balas Clara cepat.
Hening karena Jefri malah melemparkan tatapan tidak tertarik. Clara menggigit bibir bawahnya sejenak lalu mengangkat wajah dengan ekspresi penuh percaya diri, kepercayaan yang ia dapat sedetik setelah berpikir apapun yang terjadi, terjadilah.
Tangan Clara bergerak membentuk beberapa isyarat yang berarti ‘*mohon pilihlah saya, karena kalau tidak saya akan balas dendam pada a*nda’ dan setelah itu senyumnya mengembang.
“Artinya?”
“Mohon terima saya” jawab Clara pelan. Jefri nyengir lebar seketika ekspresi seriusnya hilang digantikan tawa keras yang memenuhi ruang kafe, membuat Clara dan Icha berpandangan heran.
...*****...
“Ya ampun Cla, lo lucu banget sih, gue beneran nggak nyangka lo bakalan pakai bahasa isyarat kayak gitu. Mana tadi ketawanya Kak Jefri kayak puas banget lagi” tawa Icha ketika ia dan Clara duduk di dalam tenda pecel lele.
Clara nyengir, usaha dan nekatnya membuahkan hasil baik, ia diterima tentu saja setelah Jefri tertawa ngakak karena menurutnya ekspresi gugup dan polos Clara terlalu kentara. Meskipun sempat malu-malu akhirnya Clara tetap bisa bergembira karena ia diperbolehkan kerja di cafe mulai besok.
“Lo masih ingat kan siapa aja nama teman-teman kerja lo nanti?” tanya Icha menunjukan foto Ray dan karyawan di kafe tadi. Clara memicingkan mata berusaha mengingat-ingat.
“Yang ini Kak Nichol anak SMA internasional kelas dua bahasa Indonesianya masih berbelit, Kak Martin dan Kak Joji anak kuliah, Kak Martin lagi nunggu buat sidang skripsi, terus Kak Joji semester enam dan lagi kerja sekalian magang buat kuliah. Terus Kak Jefri kuliah semester enam juga dan pemilik kafe”
“Bukan dia pemiliknya” koreksi Icha. “Kak Jefri cuman ngejalani kafe”
“Oh iya lupa” tepuk Clara di dahi, baru lima menit lalu Icha bercerita kalau Jefri hanya orang yang menjalankan usaha, bahasa kerennya manajer kafe sedangkan pemilik tempat itu adalah teman dekat Ray dan bersekolah di tempat yang sama dengan mereka, entah siapa Icha juga tidak tahu.
“Tapi Cla lo kenapa sih ngotot banget mau part time? Emang duit jajan lo kurang? Perasaan lo nggak pernah tuh ngutang-ngutang dikita” tanya Icha, sejak kemarin ia selalu penasaran dengan jalan pikiran cewek itu.
Dari sisi keuangan Clara tidak terlihat seperti seorang yang butuh duit dan dari segi mencari pengalaman kerja Clara juga bisa dibilang punya pengalaman kerja yang baik, efek sering membantu bisnis katering Arda di rumah.
“Nggak papa Cha, biar gue bisa sibuk aja”
“Lo aneh deh, orang lain pengen bersantai lo malah pengen sibuk.”
Bibir Clara bergerak menampilkan senyum kecil penuh makna, kepalanya mengangguk mengucapkan terima kasih ketika pecel lele pesanan mereka datang. “Orang yang punya banyak pikiran itu cocoknya menyibukan diri biar nggak ada waktu buat berpikir banyak-banyak.”
Kening Icha berkerut mencoba mencerna perkataan Clara. “Emang lo banyak pikiran?”
“Iya”
“Mikir apa?”
“Masalah hidup”
“Hidup siapa?”
“Hidup gue lah, masa hidup lo” kekeh Clara pelan. “Lo pernah nggak sih ketika lo rebahan di kamar terus lo mikir 'anjir kok hidup gue gini-gini aja ya?' dan dari pemikiran itu bikin lo sadar kalo sebenarnya lo nggak bisa terus-terusan ngikutin alur hidup yang berjalan, sesekali lo butuh ngelakuin sesuatu biar bisa survive, entah apapun caranya”
“Gue pernah mikir kayak gitu tapi nggak sampai yang gimana caranya gue harus survive, umur gue masih muda dan gue masih SMA, gue perlu bersenang-senang. Gue rasa lo terlalu cepat dewasa Cla, lo perlu nikmatin hidup lo barang semenit dua menit.”
Clara tersenyum tipis, suatu hal yang akan ia lakukan jika tidak mampu menjelaskan isi hatinya secara spesifik, lagipula jika terus dilanjutkan rasanya Icha tidak akan mengerti dengan jalan pikirannya. Clara memiliki hidup, pemikiran, dan pandangannya tersendiri, tumbuh dewasa itu tidak menyenangkan tapi terkadang jalan kehidupan memaksa seseorang harus bersikap dewasa lebih cepat dibanding usia aslinya.
“Jangan terlalu banyak pikiran Cla” kata Icha untuk terakhir kalinya sebelum mereka mengganti topik pembicaraan. Clara mengangguk tidak menjawab, sejenak matanya menatap ke arah luar tenda pecel lele, langit mulai menggelap tanda sebentar lagi akan turun hujan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments