Sindiran

Dentingan suara gitar dari atas panggung Cafe terdengar sangat merdu, lantunan nyanyian dari seorang penyanyi mampu menarik perhatian para pengunjung meskipun hanya sekilas.

It's alright, now count one two three and forget, erase all sad memories adalah penggalan lirik dari lagu yang dinyanyikan.

Beberapa orang ikut bernyanyi tapi ada juga yang hanya menatap kosong mencoba mengaitkan setiap penggalan lagu dengan permasalahan hidup mereka di hari itu. Tidak bisa dipungkiri, musik adalah obat terbaik untuk melarikan diri dari kehidupan barang sejenak.

“Gue nggak pernah denger lagu ini, lagu baru ya?”

Manda memalingkan wajah kembali menatap Rian. “Ini lagu Korea tapi dicover kedalam bahasa Inggris”

“Emang bisa?”

“Bisalah, buktinya tuh mbaknya nyanyiin.”

Rian mengangguk-angguk antara paham tidak paham, tangannya terus menyuap makanan ke dalam mulut sementara Manda sibuk bernyanyi mengikuti alunan gitar, setelah penampilan selesai ia yang paling pertama bertepuk tangan.

“Enak kan makanannya?”

“Biasa aja, karena gue lapar makanya gue makan”

“Huh dasar selera lidah lo emang payah!” ejek Manda, Rian bersendawa kecil sebagai bentuk ejekan membuat tangan Manda langsung bergerak mencubit bahunya, cowok itu tertawa geli.

“Eh lo pernah nggak berantem sama orang?”

“Pernalah”

“Terus lo minta maaf?”

“Tergantung siapa yang salah. Yang salah yang minta maaf duluan” jawab Manda. “Kenapa lo nanya gini?”

“Gue habis nabrak orang”

“Hah?!”

“Nggak sengaja nyenggol, bukan pakai mobil”

“Oh  gue kirain” kekeh Manda kikuk. “Habis lo kan hobi banget ngancem mau giling orang pake mobil”

“Mau dengerin cerita gue sampai selesai nggak?”

“Iya”

“Nah, gue nggak sengaja nabrak terus tangannya patah, gue udah minta maaf, tapi bukan minta maaf langsung, gue ngasih parcel gitu, sama duit, dan surat. Cuman gue nggak nulis identitas gue.”

Manda melongo, reaksi yang ia berikan sama persis seperti Ray waktu pertama kali mendengar cerita Rian. Sesaat cewek itu diam lalu berganti dengan tawa kecil, ia menggelengkan kepala. “Kenapa lo nggak mau minta maaf secara langsung?”

“Malas aja, ntar kayak di sinetron-sinetron lagi, dia nyuruh gue jadi pembantunya selama sebulan. Gue ogah sama yang kayak gituan”

“Lain kali kalo punya duit banyak nonton film bioskop aja, biar nggak kemakan jalan cerita sinetron” sindir Manda, Rian nyengir lebar.

“Terus menurut lo gimana?”

“Menurut gue lo salah” balas Manda tegas. “Pertama dia nggak pernah minta buat ditabrak sama lo, tapi malah lo tabrak sampai tangannya patah, kedua minta maaf secara langsung itu perlu buat nunjukin lo bener-bener merasa bertanggung jawab, dan ketiga nggak semua orang itu hidupnya sedramatis elu pake acara jadi pembantu segala buat menebus kesalahan”

“Ah lo mah sama aja kayak Ray. Gue tuh pengen lo ngedukung gue, minimal bilang ‘apa yang lo lakuin udah bener kok Rian’ gitu”

“Lah kan lo minta pendapat gue”

“He’eh terserah”

“Dih ngambek kayak cewek”

“Pulang sendiri lo jalan kaki.”

Manda terbahak melihat cara Rian pura-pura ngambek, ia menopang dagu lalu kepalanya berpaling kembali ke arah panggung kecil, kali ini penyanyinya adalah seorang cowok yang mempersembahkan lagu kepada seorang cewek di depannya, entah siapa, tapi tepuk tangan terdengar begitu ia menyelesaikan kalimat pertama dari lagu yang ia bawakan.

'The hardest part, blind to reason, lose the sight of what's to come’

...*****...

Gerak jarum jam berpindah ke angka sebelas malam, obrolan dan teriakan menggema memenuhi ruang kedap suara. Seorang DJ wanita berbalut celana pendek dan bra hitam seksi meneriaki beberapa kata kotor yang disambut tawa semangat para pengunjung dan musik kembali terdengar lagi, seolah tidak ada yang salah dengan berbagai celetukan kasar yang mereka lemparkan satu sama lain, bahkan dengungan panjang karena taruhan menghabiskan bir berukuran besar dalam sekali teguk ikut menghiasi kesenangan di malam panjang itu.

“Eh, cewek itu ngeliat ke arah kalian. Gih dah sana nyamperin daripada diembat orang lain” tunjuk Adit minat pada seorang wanita berambut pendek dengan gaun hitam ketat, ekspresi cowok itu terlihat sangat senang efek setengah jam lalu baru saja resmi menjadi pacar dari Gita, gebetannya yang sudah diincar sejak lama.

“Enggak ah, lebih menarik cewek gue” tolak Ray langsung. “Lo aja kak yang pergi”

“Gue? Idih ogah! Ngapain? Baru juga jadian sama Gita. Nggak lucu kalo gue diputusin sekarang” cengir Adit mencoba untuk terlihat tidak tertarik, padahal sejak tadi ia yang paling tergoda dengan tatapan wanita itu.

“Lo sama Icha udah mau empat tahun kan?” lanjut Adit buru-buru mengganti topik untuk mengalihkan fokusnya.

“Iya, kenapa? Mau gue kasih tips biar hubungan langgeng?”

“Enggak, makasih. Gue cuman penasaran dari dulu, lo beneran suka ya sama Icha? Kagak main-main kan?”

“Iyalah” jawab Ray tegas. “Nggak bakal gue lepas, sampai mati lah pokoknya”

“Tau-tau lo yang dilepas” celetuk Rian dari samping. Ray mendengus tidak senang mendengar perkataan itu, ia baru saja akan membuka mulut untuk mengumpat ketika Def menunjukan sebuah foto instagram dari layar ponselnya.

“Pantes doi kagak mau ngelepas, seksi gini” kata Def menunjukan sebuah foto dari beranda instagram.

“Sejak kapan lo follow instagram cewek gue?” Kedua alis Ray terangkat heran mengetahui Def mengikuti akun instagram Icha.

“Woh posesif! nggak seneng temennya tau ceweknya. Nggak baek tuh, nggak baek. Kata nyak gue nggak sehat,” geleng Adit sembari tertawa geli.

“Kagak, gue nanya doang elah”

“Lah kita kan satu SMP”

“Oh iya lupa” kekeh Ray malu.

“Temen-temennya cakep” celetuk Nathan melihat foto yang dipost Icha.

Tampak cewek itu bersama ketiga temannya sedang menghabiskan waktu di kafe, bahkan ada sebuah post Icha mengambil video teman-temannya sedang tertawa geli menggoda salah satu dari antara mereka ketika mendapatkan bunga dari seorang cowok yang mengenakan apron.

“Ini cewek cakep banget nggak sih? cewek yang rambut pendek” tunjuk Nathan tiba-tiba.

Merasa tertarik Rian mengambil ponsel milik Def lalu dengan seksama memperhatikan foto itu, ia lantas mendengus dan menjitak kepala Nathan keras-keras ketika menyadari bahwa cewek itu adalah orang yang ia tabrak minggu lalu.

“Jadi, cewek tadi gimana? Keburu pergi tuh” kata Adit malah kembali ke topik awal.

Teman-temannya serempak menggeleng tidak tertarik. “Sorry, gue nggak hobi ngejar cewek seksi” kata Def, tangannya sibuk menahan kepala Nathan agar tidak terjatuh di bahunya.

Adit mendesah kecewa. “Yah lo mah gitu. Cantik noh kayak bidadari lumayan kan? Sayang kalo dianggurin” rayunya dengan ekspresi seperti setan baru habis sauna, semangat ingin menjatuhkan orang ke dalam dosa.

“Rian lo nggak mau?”

“Nggak. Udah kenyang tiap hari ngecengin Miyabi” jawab Rian sembarangan.

Nathan ikut mangut-mangut, kemudian mulai menyanyikan bait demi bait lagu bangun pemudi pemuda ciptaan Alfred Simanjuntak, nasionalismenya selalu keluar setiap kali berada di puncak rasa mabuk.

Bahkan mungkin sudah biasa bagi teman-temannya ketika mendengarkan Nathan menyanyikan lagu Indonesia raya versi lama sebelum revisi atau sealbum penuh lagu karya Ibu Soed. Efek dari kakeknya seorang mantan pejuang kemerdekaan yang setiap pagi selalu punya ritual khusus untuk mendengarkan lagu pahlawan.

Jadi jangan heran, meskipun bandel Nathan tetap punya cita-cita mulia, ia ingin jadi dokter dan kelak bekerja di daerah pedalaman Papua untuk membantu masyarakat di daerah sana.

Meskipun terkadang teman-temannya pesimis dan mengatakan Nathan akan berakhir menjadi seorang bandar narkoba.

“Kalian mau nginep di rumah gue nggak?” tawar Rian tiba-tiba, Def dan Ray langsung mau sementara teman-teman lainnya tidak.

“Tumben lo nawarin? Biasanya kan kita diusir-usir pulang” tanya Ucup curiga. Sebenarnya pengalaman buruknya menginap di rumah Rian bukan diusir, tapi karena pernah saat subuh-subuh diceburkan kedalam kolam renang oleh teman-temannya.

Saat itu memang mereka sedang merayakan ulang tahun Ucup sekaligus memberi pelajaran agar dirinya rajin mandi, karena meskipun selalu wangi parfum tapi Ucup tahan tidak mandi berhari-hari, teman-temannya yang tidak tahan.

Setelah diceburkan Ucup jadi trauma dan rajin mandi, sehari tiga kali kayak minum obat. Setiap minggu rajin nyobain merek sabun baru, gayanya sekarang sudah seperti sales sabun batang.

“Gue lagi mau nyobain PS, nggak asik kalo nggak ada teman” jawab Rian santai.

“Eh minggir, gue mau nelpon Icha dulu.” Ray berdiri kemudian berjalan mencari tempat sepi untuk menelepon, jauh dari gangguan teman-temannya. Adit mencibir, sempat menendang kaki Ray sebelum cowok itu pergi menjauh.

“Bucin bangsat!” maki Adit jengkel.

“Dit, lo dicariin Gita di bawah. Udah mulai hangover tuh!” kata Angga baru datang dari bawah setelah bertemu temannya dan berkenalan dengan seorang cewek dari SMA lain.

“Lo juga bucin anjing!” teriak Ucup langsung dijawab cengiran singkat Adit ketika ia buru-buru lari ke bawah mencari Gita untuk dibawah pulang, daripada semakin mabuk dan menyusahkan orang se-Indonesia raya.

...*****...

“Wah kalian pemilik sekolah tahu tidak sekarang sudah jam sembilan lewat lima belas?” ujar Ibu Indah sarkas.

Rian dan Def cengengesan memasang tampang bodoh dan tidak bersalah. Tangan Ibu Indah menjewer telinga mereka satu persatu membuat kedua cowok itu meringis kesakitan.

“Ini bukan mall ya anak-anak didikku yang bandel, jadi jangan seenaknya datang jam sembilan”

“Bu mall biasanya buka jam sepuluh” celetuk Rian keceplosan membuat mata Ibu Indah membulat lebar, cowok di depannya itu memang terkenal nakal, bebal, dan kurang ajar.

“Ya terserah! Kenapa kalian terlambat?” ketus Ibu Indah jengkel karena hampir setiap pagi ia harus berurusan dengan dua manusia itu.

“Ban motor saya bocor bu, terus Def nemenin saya buat nambal di bengkel”

“Harus banget ditemenin?”

“Iya bu saya anaknya penakut kalo sendirian” jawab Rian lugas.

Mereka menyembunyikan fakta bahwa alasan telat kali ini karena bangun kesiangan setelah semalam suntuk asik bermain PS. Awalnya sudah diingatkan Ray untuk tidur, tapi tidak digubris alhasil keduanya telat, mereka baru terbangun setelah Ray pamit pergi duluan.

Ibu Indah mendengus mengambil secarik kertas dari atas meja jaga. “Saya mau kalian merefleksikan keterlambatan kalian hari ini di atas dua lembar kertas folio. Refleksinya bukan dalam bentuk kalimat biasa tapi dalam bentuk puisi, dalam satu paragraf tidak boleh ada pengulangan kata. Satu paragraf empat baris dan delapan kata. Dikumpulkan setelah jam pertama selesai. Paham?”

Rian dan Def mematung menatap Ibu Indah lekat-lekat. Syok, karena kali ini bukan lari atau mengelap kaca tapi malah disuruh membuat puisi refleksi di dua lembar kertas folio, mau nulis apaan?

Mereka ingin protes tapi ekspresi Ibu Indah terlihat tidak peduli, ia malah tersenyum penuh kemenangan memberikan kode agar kedua orang itu pergi.

“Kalo kayak gini jadinya mending gue lari lima belas putaran, sialan!” ujar Rian bersungut-sungut mengikuti Def masuk ke dalam perpustakaan menyusuri bagian buku sastra Bahasa Indonesia, tempat yang jarang dimasuki oleh tipikal murid bandel seperti mereka.

Def anti mencium bau perpustakaan, ia mengaku setiap keluar dari perpustakaan bawaannya gatal-gatal, katanya sih pengaruh buku-buku pelajaran tidak baik buat kesehatan fisik dan mentalnya. Sedangkan Rian ketika ke perpustakaan kerjaannya pasti tidur, alasannya bau perpustakaan sama seperti bau kasur kamarnya.

“Dikit lagi gue bakalan gatal-gatal” keluh Def cemberut mengambil sembarangan buku bahasa Indonesia. “Gue duluan duduk disitu mau nyari inspirasi” lanjutnya menunjuk ke arah kursi di dekat jendela besar.

Rian mengangguk kembali menyusuri rak lain, tidak ada buku yang menarik kecuali tumpukan majalah gadis dengan cover cewek-cewek cantik. Matanya meneliti satu persatu judul buku sampai rasa kantuknya kembali lagi, apa sebaiknya ia tidur berdiri di balik rak buku? Toh tidak ada yang tahu, kecuali jika Pak Sukro penjaga perpustakaan yang sudah berusia lanjut iseng menyusuri rak paling ujung.

Langkah kaki cowok itu mendadak berhenti ketika melihat seorang cewek berdiri di bagian pojok sedang kesulitan untuk mengembalikan buku di rak atas, selain karena tidak ada tangga naik, pergelangan tangan kiri cewek itu terbalut perban membuat Rian tersadar bahwa cewek itu adalah Clara, orang yang ia tabrak seminggu lalu. Tanpa banyak bicara Rian melangkahkan kaki mendekati Clara, ia mengambil buku milik cewek itu dan menaruh di atas rak sesuai nomor urut. Tentu saja kedatangannya membuat Clara kaget, ia memalingkan wajah dan melemparkan tatapan terkejut, tapi setelah itu ekspresinya kembali datar seolah tidak terjadi apa-apa.

“Perlu gue bantu lagi?”

“Gue mau ambil buku itu” tunjuk Clara tanpa rasa canggung ke arah novel bersampul putih, Demian karya Hermann Hesse. Rian mengambil buku itu tanpa banyak bicara dan menyerahkan ke Clara. “Makasih” kata Clara hendak melangkah pergi tapi Rian menahan tangannya, ekspresi cowok itu terlihat tidak enak hati ia berniat untuk meminta maaf secara langsung.

“Tangan lo nggak papa?”

“Hmm”

“Gue mau-”

“Kebetulan karena lo nanya dan kita ketemu disini” potong Clara cepat, tangannya merogoh saku rok mengeluarkan amplop putih berisi uang yang diberikan Rian minggu lalu sebagai ganti rugi. “Gue balikin. Thanks buat kuenya, tapi gue kasih ke teman-teman gue” lanjutnya menaruh amplop itu di tangan Rian.

“Oh iya, nggak semua hal itu bisa selesai dengan uang.” Senyum Clara lalu pergi meninggalkan Rian mematung menatap amplop di tangannya dan punggung Clara yang menghilang dari balik rak.

Kening Rian berkerut, seketika niat awalnya untuk meminta maaf berubah menjadi mood buruk, ia merasa kesal, entah karena dirinya atau karena Clara. Tapi yang pasti perkataan cewek itu mampu menyindir Rian tepat di dalam hatinya.

...*****...

“Lo udah selesai?” tanya Def. Rian menggeleng menyerahkan kertasnya pada Def, hanya tertulis nama dan empat kata ‘hari ini saya merasa.’

“Tolong selesaiin dong, gue mau ke kantin, laper.”

Def mengambil kertas puisi Rian sambil melemparkan ekspresi horor, seolah ide ke kantin adalah ide terburuk yang pernah ia dengar sepanjang masa. “Gila! Habis ini kan kelas lo ada pelajaran fisika, mau ditampar Pak Jarot?”

Nama guru fisika sekolah adalah Pak Jarot, guru jahat yang tak mengenal ampun.

Dulu ketika masih kelas sepuluh,  beliau selalu bersikap baik dan ramah, tapi ketika sudah berada di kelas sebelas IPA baiknya luntur dan berubah menjadi ganas. Jangankan tersenyum, anak-anaknya pada merem sedikit saja langsung disuruh keluar kelas. Meskipun terkadang hukuman seperti itu malah disambut baik oleh beberapa anak bandel, lumayan bisa keluar tanpa harus berbohong atau bolos.

Hal yang paling dibenci beliau adalah ketika harus berurusan dengan anak nakal tapi pintar, sebangsanya Rian, Ray, dan Nathan. Sesulit apapun soal fisika yang ia berikan, manusia bertiga itu selalu menjadi sasaran empuk beliau untuk disuruh maju ke depan dan mengerjakan soal langsung di papan tulis.

“Alah masih dua puluh menit. Gue cuman mau ngebakso doang kok. Lo nggak mau ikut?” tawar Rian, Def menggeleng meskipun hari ini jadwal pelajaran kelasnya adalah sejarah, tapi ia punya firasat akan mendapat sial jika mengikuti Rian pergi ke kantin.

“Nggak, gue nggak mau cari mati” jawab Def.

Akhirnya Rian sendiri yang pergi ke kantin, cowok itu berjalan mengendap-ngendap, dilihatnya Bang Supri sedang asik berjoget ria menyanyikan lagu dangdut, pantatnya bergoyang kiri kanan sementara headphone merah jambu  bertengger manis di atas kepala.

“Bang! Baksonya semangkok dong. Cepetan ya, laper nih.” Rian muncul tiba-tiba, spontan aja lelaki paruh baya itu menjerit manja bak Syahrini terkena lemparan batu.

“Aduh Mas Rian!! Kalau saya mati karena jantungan, situ mau tanggung jawab?” ujar Bang Supri sewot. Rian cengengesan tanpa rasa bersalah. “Bentar ya mas, tadi saya baru masukin baksonya biar anget, lima menit lagi.”

Rian berpikir sejenak, diliriknya penjual gado-gado, soto, dan ayam masih tutup. Kayaknya sih penjual lain akan datang dua puluh menit lagi. Karena tidak punya pilihan cowok itu akhirnya mengangguk pasrah. “Iya deh bang, tapi cepetan ya.”

Bang Supri angkat jempol membiarkan Rian duduk sambil memainkan jari tangannya di atas meja kantin. Hening. Ditunggu-tunggu sudah lewat lima belas menit baksonya belum datang juga. Rian menjadi gelisah. “Bang masih lama?”

“Sabar mas. Kasihan kalo Mas Rian makan baksonya dingin-dingin, nanti bisa sakit perut, terus kalo sakit perut bakalan masuk rumah sakit, ujung-ujungnya saya juga yang disuruh ganti rugi, habis ganti rugi saya pasti bakalan disuruh angkat kaki dari sekolah ini sama kepala sekolah” tukas Bang Supri menaruh bawang goreng di kuah bakso dalam belanga besar.

Rian diam, ia melirik jam tangannya sisa lima menit, kelasnya di lantai tiga kalau tidak pergi sekarang bisa telat. Akhirnya, dengan ekspresi tidak rela cowok itu pergi begitu saja dari kantin setelah mendengar bunyi bel. Tergesa-gesa ia menaiki tangga menuju lantai tiga, kelasnya berada tepat di pertengahan antara tangga kanan dan kiri. Kebetulan, setelah naik tangga dari lantai satu sebelah kiri matanya menangkap sosok Pak Jarot berjalan santai menenteng buku fisika keluar dari ruang guru. Insting Rian terpacu segera berlari begitu melihat Pak Jarot masih mengobrol dengan Pak Markus di dekat tangga sebelah kanan. Dengan napas tersengal-sengal Rian masuk ke dalam kelas menuju ke kursinya.

“Dari mana lo?” tanya Ray heran karena Rian langsung menegak habis air mineral yang ia colong dari meja Ayu.

“Kantin”

“Ngapain?”

“Sarapan bareng petinggi ASEAN” jawab Rian sembarangan, hidungnya kembang kempis menarik napas dan kakinya sedikit gemetar karena berlari tanpa henti di tangga gedung sekolah.

“Rian dicariin” teriak Velika ketua kelas dari kursinya dekat pintu masuk.

Rian mendongak, matanya melongo begitu melihat Bang Supri muncul dari balik pintu sambil melemparkan senyum manis. Sedikit telat karena lelaki paruh baya itu masuk terlebih dulu baru mengetuk pintu sambil tetap memegang nampan berisi mangkok bakso.

“Den pesanannya.” Bang Supri masuk tanpa permisi langsung menuju tempat duduk Rian dan menaruh bakso lengkap dengan nampan, sambal, dan kecap. Sekelas cekikikan geli melihat tampang bloon Rian yang menatap Bang Supri dengan ekspresi tidak percaya, bagaimana bisa lelaki itu sampai di kelas dengan jarak waktu yang tidak jauh berbeda darinya?

“Ehmm,” suara batuk Pak Jarot membuat perhatian sekelas berpindah ke arahnya, semua mendadak hening kecuali Bang Supri tanpa ragu memberikan salam dan tetap tersenyum manis.

“Ada perlu apa ya bang?” tanya Pak Jarot heran karena ini pertama kalinya ada orang berani menginterupsi jam pelajaran fisika sampai masuk ke dalam kelas.

“Ini pak, saya bawa pesanannya mas Rian. Tadi mesen bakso semangkok. Lagi nunggu bayaran.”

Spontan saja kelas yang tadinya sunyi berubah jadi lautan tertawaan. Bang Supri hanya bisa melemparkan pandangan heran dengan ekspresi tidak bersalah. Sementara Rian sendiri sibuk misuh-misuh di belakang menyesali kegoblokannya melihat semangkok bakso di atas meja yang terlihat berubah seperti senyum jahat Pak Jarot, dan saat itu juga rasa laparnya menghilang entah kemana.

...*****...

Clara melangkahkan kaki menuju ruang osis, ia tersenyum sopan pada beberapa anggota osis di situ dan memberikan kode pada Gerald agar keluar dari dalam ruangan.

“Kayak gini doang gapapa kan? Gue nggak bisa bener-bener nyelesain, tangan gue lagi nggak bisa diajak kerjasama kemarin” kata Clara menunjukan kondisi pergelangan tangannya sambil menyodorkan lampiran data untuk mendaftar klub lukis.

“Tangan lo kenapa? kok sampe diperban gitu?”

“Jatuh”

“Jatuh dimana?”

“Dekat perpustakaan”

“Lo jalannya gimana sih sampai bisa jatuh gitu?” ujar Gerald terlihat khawatir. Clara nyengir tidak menjawab. “Lain kali hati-hati, untung cuman tangan kalo sampai kepala lo juga ikut terluka gimana?”

Clara tersenyum kecil, sedikit merasa canggung dengan rasa khawatir Gerald yang menurutnya terlalu berlebihan. “Jadi gimana? bener kan lampiran data yang diminta kayak gini?”

“Iya bener, ntar gue langsung ngasih ke Pak Jendro” jawab Gerald.

“Bos ada Rigen nggak?” Suara berat dari belakang Clara seketika membuat bulu kuduk cewek itu berdiri. Ia tidak balik badan karena si pemilik suara kini berdiri di sampingnya, Rian dengan baju dan bola basket.

“Mau minta formulir ya?”

“Yo”

“Masuk aja”

“Males lepas sepatu”

“Oke tunggu gue panggil, lo juga tunggu ya Cla biar sekalian gue kasih catetan menu makanan yang diminta ketua osis” kata Gerald lalu masuk ke dalam ruang osis meninggalkan kedua orang itu terdiam.

Clara menyandarkan tubuhnya ke dinding, matanya menatap bola basket yang di jeduk-jedukan Rian ke atas lantai, sesaat cowok itu berhenti dan sedikit menundukan kepala membuat matanya sukses menatap mata Clara, hanya sebentar, karena selanjutnya ia bisa mendengar decakan bibir Clara diiringi dengusan lalu wajahnya berpaling menatap ke arah lain.

Senyum kecil Rian mengembang menyadari Clara sedikit salah tingkah dengan tatapannya.

“Hukumnya sih neraka kalo sengaja nggak mengacuhkan orang lain” kata Rian iseng membuat Clara spontan memalingkan wajah, ia ingin membalas perkataan cowok itu tapi senyum tengilnya sukses membungkam mulut Clara rapat-rapat.

“Masih ingat gue kan?” lanjutnya bertanya tanpa rasa bersalah, sejenak kekesalan Clara naik hampir keluar dari ubun-ubun, beruntung Gerald muncul dari ruang osis dan menyerahkan catatan kepada Clara.

“Jangan sampai salah ya Cla, soalnya ini rembukannya pake baku hantam dulu” canda Gerald. “Tapi kalo misalnya Mbak Arda kesulitan dan mau ganti menu tolong kabarin gue secepatnya, biar bisa gue koordinasikan lagi ke ketua”

“Oke makasih ya kak, gue pulang dulu.” Senyum Clara mendadak muncul, terlihat sangat ramah dibandingkan beberapa menit lalu, membuat Rian mendengus menatap kepergian cewek itu.

“Itu cewek aneh banget sih kalo gue ajak ngomong, lagaknya kayak lagi berinteraksi sama setan” ketus Rian tidak senang, sejenak Gerald kebingungan lalu terkekeh geli meninggalkan Rian berbicara dengan Rigen.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!