Siratan Makna

Mentari siang perlahan mulai tenggelam, cahayanya orens samar-samar masuk menembus kaca jendela kamar tepat mengenai wajah Rian. Cowok itu menggeliat seperti ulat memaksa tubuhnya bangun dan menutup gorden jendela kemudian kembali tidur di atas kasur dengan posisi seperti semula. Hari minggu sore yang indah, tenang, dan nyaman.

Tapi sayangnya keindahan dan kenyamanan itu tidak bertahan lama, setengah terjaga, Rian mendengar suara bedug berbunyi keras tepat di telinganya.

“Sahur ya?” keluhnya masih dalam posisi tidur yang sama.

Tapi semakin lama suara bedug terasa semakin dekat, bibirnya mengeluh dan akhirnya kesadarannya benar-benar kembali. Otaknya bekerja menyadari bahwa bulan puasa masih jauh, mulut cowok itu mulai komat-kamit mengucapkan sumpah serapah menyadari bahwa suara bedug itu berasal dari gedoran keras seseorang pada pintu kamarnya.

qDengan ekspresi kesal Rian memaksakan diri beranjak dari kasur dan membuka pintu, tampak wajah Joe dan Nathan tersenyum manis dari balik pintu, membuat rasa kesal Rian bertambah sepuluh kali lipat.

“Lo berdua ngapain di-”

“Selamat sore sayang” salam Joe memberikan tanda kecupan manis di dahi Rian menggunakan jari tengahnya.

Kedua orang itu melambaikan tangan, tanpa malu-malu menerobos masuk ke dalam kamar mencari tempat paling strategis untuk dijadikan alas duduk pantat masing-masing. Rian hanya bisa membanting pintu jengkel, kemudian kembali ke atas kasur dan memejamkan mata seperti semula, ia melipat tubuhnya dibalik selimut besar, rasanya nyaman.

Tapi sama seperti sebelumnya, rasa nyaman itu tidak berlangsung lama. Seseorang tanpa ragu menarik-narik kaki Rian, memaksanya untuk bangun. Dengan ekspresi tidak senang dan wajah merengut Rian balik badan, ia memicingkan mata menatap Nathan masih menarik-narik kakinya.

“Lo nggak bisa lihat gue tidur nyaman dikit apa? ganggu mulu! Mending lo berdua pergi aja deh dari sini” omel Rian marah-marah.

Kedua temannya hanya cekikikan geli tanpa rasa bersalah. Kali ini Joe mencium-cium kening Rian, membuat cowok itu spontan bangun dan memandang kesal ke arah mereka berdua. “Sebegitu bencinya lo berdua sama gue, sampai nggak bisa biarin gue tidur bentar?”

Joe cengengesan senang. “Jadi gini, kita sebenarnya mau pergi. Sayang banget kan kalo lo nggak ikutan?”

“Nggak, gue mau tidur!” tolak Rian langsung membenamkan kepalanya dari balik bantal.

“Tidur mulu lo!”

“Gue baru tidur kali ini”

“Kali ini? Si tai! Kata Bi Ijah lo tidur udah dari pagi, doi sampai mikir lo udah mati disini” ketus Nathan.

“Berisik lo. Gue capek mau tidur, Lo berdua aja yang pergi, gue nggak ikutan takut item”

“Bodo amat Ian. Mau lo takut item, ijo, biru, pink. Gue nggak peduli. Pokoknya lo harus ikut!”

“Lo cepetan mandi. Perasaan matahari dari tadi udah muncul, lagi tinggi-tingginya nih” kata Nathan sok dramatis padahal jelas diluar matahari sudah tidak nampak dan hari sudah semakin gelap.

Rian sewot langsung bangun dan menatap Nathan lekat-lekat. “Terus? Kalo matahari udah muncul gue harus ngapain? Mangap-mangap di luar sambil berfotosintesis, gitu?”

“Cerewet lo. Sana mandi!”

Joe menarik kuat kaki Rian hingga jatuh terguling dari atas kasur. Sambil mengusap-ngusap jidatnya yang memerah, Rian mengumpat, mengucapkan sederetan panjang cacian kepada kedua temannya yang hanya cuek bebek melihat dirinya di lantai.

“Keburu jam tujuh”

“Emang kita mau kemana sih?” tanya Rian mau tidak mau terpaksa berdiri, menyambar handuknya menuju ke kamar mandi.

Nathan menjawab santai  “cafe lah, emang lo pikir kemana?”

Kening Rian mengernyit tapi hanya sebentar, ia masuk ke kamar mandi meninggalkan kedua temannya. Setelah beberapa menit cowok itu keluar dan dengan cueknya berganti pakaian di depan teman-temannya.

“Lo mandi apa ngeludah diri sendiri sih? cepat amat” ejek Nathan.

Rian mendengus. “Mandilah, gue tadi pagi nggak mandi makanya sekarang beneran mandi”

“Lagian elo aneh, tidur dari pagi sampai sore gini, lo tidur apa pingsan?”

“Simulasi mati” jawab Rian kalem meraih jaketnya dari gantungan lemari.

“Besok libur” celetuk Joe tiba-tiba, matanya berseri-seri menatap memo pengingat libur dari layar ponsel. “Terus kan sih Lena ulang tahun hari ini, jadi gue nggak mau balik cepat ke rumah”

“Emang sejak kapan lo balik cepat? rekor tercepat lo kan pulang jam tiga pagi kak” sindir Nathan

“Si Lena ulang tahun yang keberapa?” tanya Rian acuh tak acuh.

“Empat puluh” canda Joe. Rian malah manggut-manggut kemudian menyambar kunci motornya dan dengan malas mengajak kedua temannya keluar.

“Bi gue pergi dulu, baliknya lama” teriak Rian pada Bi Ijah yang sedang mengupas bawang sambil menonton acara goyang-goyang alay di salah satu siaran stasiun TV. Ketiga orang itu kemudian berjalan beriringan menuju ke arah motor mereka masing-masing.

...*****...

Rian, Nathan, dan Joe berjalan beriringan masuk ke dalam sebuah cafe yang sering dijadikan tempat tongkrongan anak muda. Suasana lantai satu sangat ramai dengan suara keras pengunjung yang mencoba berbicara mengalahkan suara keras musik.

“Lantai dua” kata Joe, matanya jelalatan melirik ke arah cewek-cewek cantik di sekitar situ.

“Ingat dosa dan maksiatmu sudah terlalu banyak dicatat malaikat” ujar Nathan menepuk bahu Joe, cowok itu tersenyum kecut  merangkul kedua sahabatnya agar melangkah lebih cepat.

“Gue tau! Yok, makanya cepetan. Lama-lama disini iman gue bakalan melenceng.”

Mereka bertiga menaiki tangga menuju lantai dua, tampak di meja besar pojok dua kelompok mereka sedang asik gila-gilaan, bercanda, merokok, dan tertawa keras.

“Wah tepat waktu sekali ya? Hampir aja kita mau pulang” kata Manda paling pertama menyambut kedatangan mereka bertiga dengan sindiran.

“Sorry, tadi nunggu tuan puteri mandi dulu” sindir Nathan ke arah Rian. “Happy birthday ya Len” lanjutnya tersenyum lebar memeluk Lena kemudian duduk disebelah Angga. “Sorry gue nggak bawa kado”

“Nggak papa kali yang penting kalian datang. Pesen minum atau makan gih, gue yang bayar” senyum Lena mengembang, ia terlihat senang karena ada Def yang merangkul bahunya erat.

“Yoi sip, berhubung lo yang nawarin gue nggak bakalan malu-malu kali ini” celetuk Rian sengaja menghembuskan asap rokoknya ke arah Angga, cowok itu mengomel memakai ulang parfumnya.

Lena cekikikan geli. “Kan emang dari dulu lo nggak tau malu.”

Suasana pesta kecil-kecilan itu berlangsung meriah, mereka terbahak keras dengan ulah Angga, Ucup, dan Adit trio badut kelompok yang sesekali saling melemparkan lelucon kejam menghina satu-sama lain.

“Jangan kebanyakan minum” tegur Rian. Manda menoleh mengangkat gelas kecil whiskey dan tersenyum lebar.

“Kan ada elu yang nganterin pulang”

“Nggak, lo kalo mabuk gue tinggalin tengah jalan.”

Manda ketawa lalu berpindah tempat di sebelah Lena untuk mengambil beberapa foto. Wajah Rian bergerak mengawasi cewek itu hanya sebentar lalu kembali berpaling mengambil sebatang rokok lagi dari Jefri.

“Jangan terlalu perhatian, ntar salah sangka lagi” celetuk Jefri. Rian mendongak bingung sampai Jefri memberikan kode menunjuk ke arah Manda dengan dagunya.

“Dia udah gue anggap kayak adik gue sendiri” balas Rian tidak peduli.

“Belum tau dia baginda bagaimana kalo adik sendiri jatuh cinta ke kakaknya” ujar Ray ikut-ikutan. Jefri nyengir lebar sementara Rian mendengus.

“Kafe gimana?”

“Ya gitu kayak biasa, paling yang beda kita nggak perlu sewa penyanyi lagi, udah ada pegawai berbakat yang multitasking”

“Gajinya lo naikin”

“Iya dong, masa gue kurangin” balas Jefri. “Lagian lo tuh ya aneh bener, pemilik kafe tapi nggak peduli sama kelangsungan bisnis kafenya sendiri”

“Kan ada elu yang ngehandle semuanya”

“Gue dikit lagi mau skripsi cuy, ntar pas momen itu datang lo yang harus gantiin gue bentar”

“Sanslah masih lama. Orang tua masih kaya kan? ngulang aja terus” kekeh Rian antara bercanda atau menyindir Jefri yang setiap semester pasti mengulang minimal satu mata kuliah, entah karena ketahuan salah jurusannya baru di semester dua jadi kuliah asal-asalan atau memang karena selalu sial mendapat dosen yang galak.

“Kaya gigi lo beranak tiga” ketus Jefri. “Kemarin nyokap gue udah marah-marah, adek gue kan udah masuk kuliah, terus nyokap ngancem kalo gue nggak lulus-lulus gue bakal dikirim ke kampung nenek gue buat jaga sapi, gila aja cowok sekeren gue ngurus sapi. Mana adek gue udah bilang kalo misal dia lulus duluan gue bakal diludah-ludahin lagi” curhat Jefri, kedua temannya terbahak sampai hampir keselek rokok.

“Jadi anak kuliah itu nggak enak. Lo tau nggak gue berada di posisi dimana gue mau minta duit tambahan ke nyokap tapi malu, kalo nggak minta gue mati dikosan”

“Apa gue nggak usah kuliah tapi langsung nikah aja?” celetuk Ray bertanya.

Jefri menggeleng keras. “Lo pikir kalo nikah buru-buru lo bisa bahagia?”

“Ya selama gue nikah dengan orang yang gue cinta”

“Cinta nggak bisa bikin lo kenyang” ujar Jefri serius. “Tau nggak menurut fakta pernikahan, dari sepuluh orang hanya satu atau dua yang hidupnya bahagia karena nikah muda, itu pun karena emang ortu mereka punya banyak duit, kalo enggak? mau kasih makan apa keluarga lo? batu bata? Zaman sekarang itu semuanya harus pake perencanaan matang, salah dikit habis hidup lo kedepannya”

“Nasehat lo udah kayak pakar percintaan”

“Oh jelas dong gue kan udah semester enam udah mau jadi bapak-bapak yang bijak”

“Tau-tau pas lulus malah masuk grup portugal”

“Apa itu?”

“Perkumpulan orang tua gatal” jawab Rian disambut gelak tawa Ray. Jefri hanya bisa mendengus melemparkan cowok itu dengan sisa puntung rokoknya yang sudah mati

...*****...

Pukul lima sore ketika langit sudah mulai menggelap, Clara baru bangun dari tidurnya, ia mengerjap-ngerjapkan mata dengan rambut acak-acakan dan wajah lesu berjalan keluar dari kamar sambil menenteng laptop.

“Tumben Clara baru bangun, capek banget ya kegiatan di sekolah?” tegur Indah. Clara menarik napas panjang mengusir rasa malas dan duduk di kursi meja makan mulai mengerjakan poster pesanan Gerald sambil menemani Arda mengupas bawang untuk bumbu catering.

“Nikmatin aja Cla, mbak dulu sekolah juga capek makanya cuma sampai SMP” balas Indah serius lalu ke belakang untuk mengangkat jemuran ikan asin. Clara jadi senyum-senyum sendiri.

“Project lagi?”

“Iya mbak lumayan dibayar.”

Sejenak Arda melemparkan tatapan kurang senang. “Kamu itu ya punya ayah duitnya banyak malah part time, kerja ini itu, kalo nilai kamu jelek gimana?”

“Ya nggak papa biar aku mandiri, terus kalo masalah nilai kan Mbak Arda tau sendiri nilai aku bagus”

“Terserahlah, pokoknya kalo kamu sampai kecapekan, nilai kamu jelek, mbak laporin ke ayah kamu kalo kamu part time”

“Siap mbak, nggak bakal nilai aku turun” jawab Clara tersenyum kecil mulai mengerjakan poster. Suara nyanyian Doel Sumbang dari radio ponsel Arda membuatnya merasa rileks dan ikut bersenandung kecil. “Mbak bagusan ini diletakkan disini atau agak kebawah?” tanya Clara mengarahkan layar laptop ke arah Arda.

“Kebawah dikit aja biar nggak nabrak sama logo osis”

“Makasih mbakku sayang” balas Clara. Posternya baru jadi setengah jam kemudian, matanya menyipit mencoba mencari kekurangan dari hasil pekerjaannya, tapi karena dirasa otaknya buntu ia kemudian memilih mematikan laptop dan akan mengecek pekerjaannya besok pagi di sekolah ketika otaknya sudah segar kembali, sekalian supaya bisa bertanya pada Sybil.

“Kamu sama Gerald gimana?” tanya Arda tiba-tiba.

Clara angkat bahu. “Ya gitu mbak anaknya baik kok buat dijadiin temen”

“Dia kelihatan suka banget sama kamu dan nggak mungkin kalo kamu nggak nyadar” ujar Arda langsung ke inti topik pembicaraan.

Clara mengangguk, bohong kalau ia tidak menyadari tingkah cowok itu yang terlalu peduli padanya. Bahkan untuk ukuran cewek tidak peka sekalipun akan langsung menyadari begitu melihat sikap Gerald yang kerap kali menunjukan rasa pedulinya.

“Coba deh kamu sekali-kali buka hati kamu, sedikit aja, nggak bakal buat kamu mati cepat kok” nasehat Arda serius.

Kepala Clara langsung menggeleng menolak. “Aku udah nyaman mbak kayak gini”

“Sampai kapan kamu mau melarikan diri dalam perlindungan kata nyaman?”

“Entah mbak, aku cuman mau ngikutin arah angin” jawab Clara lalu berdiri kabur ke dapur untuk membantu Indah menggoreng tempe. Berbicara tentang zona nyaman kehidupannya dengan Arda membuat hatinya sedikit merasa sesak dan tidak nyaman.

...*****...

“Bil menurut lo ada yang kurang nggak?” tanya Clara menunjukan hasil kerja posternya kemarin. Sybil menatap poster Clara dan menunjuk ke arah tulisan bahasa Inggris sebagai semboyan osis sekolah.

“Yang ini fontnya gue kecilin ya?” kata Sybil meminta izin, Clara mengangguk memperhatikan cara cewek itu bekerja. “Udah kok ini doang, hasil kerja lo bagus kenapa nggak daftar osis aja tahun depan?”

“Nggak mau, ntar capek iya dapat duit enggak”

“Bener, manusia jaman sekarang itu hidupnya harus berlandaskan duit”

“Dasar nggak punya Tuhan” celetuk Fani. “Ntar kuburannya sempit loh.”

Sybil memalingkan wajah sebal, “Tadi kan cuman perkataan asal bunyi.”

Fani mencibir kembali sibuk menghabiskan sisa siomaynya, ia mendongak begitu Vio menyodorkan tangan dengan buku kas kelas. “Berapa Vi?”

“Goceng”

“Ini dua puluh ribu, buat kita berempat” kata Fani menyodorkan uang dua puluh ribuan.

Vio tersenyum lebar paling senang menagih uang kas kelas ke barisan anak-anak cewek karena selalu dibayar tepat waktu, dibandingkan anak cowok yang hobinya nunggak dengan alasan macam-macam, kayak Nus misalnya mengaku tidak punya uang tapi setiap kencan sama ceweknya pasti di Jco, Starbucks, atau kafe mahal.

“Weh Clara cantik, bisa ngedit poster laptop lo?” Rakai muncul tiba-tiba mengagetkan Clara dan Sybil, cowok itu terkekeh geli dari auranya sih terlihat lagi ingin mengisengi warga kelas.

“Ngedit poster di laptop bukan ngedit poster laptop” balas Fani judes menatap Rakai tidak suka, ia memang salah satu cewek yang sering menjadi korban kenakalan Rakai. Entah kuncirnya suka ditarik, bukunya disembunyikan, atau penanya dicolong, pokoknya apapun yang berhubungan dengan Rakai membuat Fani merasa muak setengah mati. “Terus lo ngapain manggil-manggil Clara cantik? mau iseng ya lo?”

“Berisik aja nih yang buruk rupa” balas Rakai nyengir lebar. Fani memutar bola matanya tidak suka.

“Apaan sih lo? Pagi-pagi udah ngajak berantem, sana lo balik ke habitat, Clara muak lihat muka lo”

“Eh tau nggak? Orang yang suka marah-marah nggak jelas kayak lo ini biasanya lagi nahan cemburu” kekeh Rakai lalu melangkah pergi.

“Najis!” maki Fani sementara teman-temannya tertawa ngakak.

“Clara cantik kalo ngedit foto bisa nggak?” teriak Rakai dari belakang.

Clara memalingkan wajah dan mengangguk heran. “Dikit doang sih, kenapa lo mau minta tolong gue editin foto?”

“Iya tapi bukan buat gue, buat Asep sebagai hadiah ulang tahun” jawab Rakai serius, tapi hanya sebentar karena setelah itu bandelnya kumat lagi. “Tolong editin muka Asep sama Miyabi dong, yang posenya paling seksi.”

Fani langsung berteriak jijik. “Dasar lo mesum akut”

“Lah wajar dong gue mesum, kan gue cowok” balas Rakai tidak mau kalah dibantu teman-temannya bersiul-siul genit. “Kalo nggak percaya sini lihat aja, gue tunjukin.” Anak-anak cowok spontan tertawa ngakak sementara Fani langsung bergidik ngeri dan memalingkan wajah.

“Itu anak kalo mati, neraka pun enggan menerima” omel Fani jengkel.

“Hati-hati loh Fan biasanya benci bakal jadi cinta” celetuk Clara didukung anggukan setuju Sybil, Fani langsung melemparkan ekspresi menahan muntah. Setelah puas tertawa Clara balik badan sambil menyodorkan air mineral kepada Icha yang sibuk menahan pedas karena sambal siomaynya kebanyakan. “Nih Cha minum, kalo kurang noh minum air di got depan sekolah”

“Makasih ya.” Icha mengambil minuman Clara dan menegak sampai setengah botol.

“Makanya jangan maruk kalo makan”

“Bukannya maruk, tapi gue cuman pengen nyicip-nyicip aja”

“Nyicip tapi habis dua plastik”

“Ya namanya juga manusia” kekeh Icha santai. “Nggak pernah puas kalo belum berada di ambang kematian.”

...*****...

Tangan Clara terjulur mengambil sebuah novel terjemahan karya Ursula K. Le Guin berjudul The ones who walk away from omelas, setelah itu ia menyusuri rak buku lain menghampiri Icha sibuk mencari buku resep masak dari majalah remaja.

“Gue ambil resep yang ini aja deh” kata Icha memotret isi resep dengan kamera ponsel. “Bodo amat entar Ray mau keracunan atau enggak yang penting dia harus jadi kelinci percobaan gue.”

Clara ngakak. Seminggu ini Icha lagi rajin latihan memasak, keinginannya untuk menjadi seorang chef terkenal mendadak muncul setelah iseng menonton master chef Indonesia, yang kerepotan tentu saja Ray. Cowok itu terpaksa harus menjadi kelinci percobaan untuk merasakan setiap masakan Icha yang rasanya tidak karuan. Terlalu pedas, terlalu asin, terlalu asam, atau bahkan tawar.

“Emang minggu ini lo mau masak apa?”

“Sayur asem pakai jamur, minggu kemarin waktu pake jagung kurang asem, Ray bilang rasanya kayak limbah” cerita Icha. Clara cekikan bisa membayangkan seperti apa penderitaan cowok itu.

“Kalo nggak berhasil lagi gimana?”

“Gue kursus masak di Mbak Indah” balas Icha. “Tapi gue optimis kali ini akan berhasil.”

Clara nyengir mengikuti Icha naik menuju tangga lantai dua, kerumunan ramai di dekat kelas XC membuat kedua cewek itu mendadak melangkahkan kaki cepat ingin mengetahui apa yang terjadi, berkat badannya yang mungil mereka bisa menyusup dan berdiri di barisan paling depan. Mata Clara membulat terkejut ketika melihat Rian bersama teman-temannya sedang berbicara dengan seorang cowok.

“Berantem lagi deh” keluh Icha menarik napas kesal melihat ada Ray berdiri bersama teman-temannya.

“Cowok itu siapa Cha?” bisik Clara bertanya.

“Karlos, temannya Chiko” balas Icha. Mereka sama-sama terdiam menatap ke arah yang berbeda.

Rian dan Karlos tampak sedang membicarakan sesuatu, entah apa tapi bisa terdengar beberapa kalimat umpatan keluar dari mulut Karlos yang berusaha keras menyembunyikan rasa takut.

“Lo anjing!”

Bug!

Suara tinju Karlos tepat mengenai rahang Rian, cowok itu mundur ke belakang memegang rahangnya.

“Lo pikir gue takut sama lo? Sini lo maju anjing!” teriak Karlos emosi maju menyerang Rian, tapi tanpa diduga tubuh Rian bergerak bersamaan dengan kedua tangannya mencengkram baju Karlos dan membantingnya ke lantai. Suara benturan dan ekspresi Karlos yang terlihat kesakitan sekaligus berusaha menarik napas membuat Clara mundur selangkah, cowok itu jatuh tepat di dekat kakinya.

Rian menarik napas panjang tapi tetap mendekati Karlos, sepatu putihnya lantas langsung menginjak bahu cowok itu kuat-kuat membuat semua orang serempak berteriak ngeri.

“Gue kalo jadi lo, mending milih buat pindah sekolah” kata Rian pelan tapi terdengar jelas. Wajah cowok itu mendongak mendapati Clara menatapnya, ada pancaran rasa takut dari dalam mata cewek itu yang berusaha ia kendalikan dengan memeluk novelnya erat-erat.

Hening, hanya terdengar bisikan kecil dari penonton dan suara rintihan kecil Karlos. Tanpa ampun Rian menambahkan tekanan pada kakinya diatas bahu Karlos sementara matanya tetap menatap Clara, ia sedikit menikmati rasa takut dalam ekspresi wajah cewek itu. Tatapan Rian ternyata menarik perhatian semua orang sehingga ikut menatap Clara tentu saja dengan berbagai pertanyaan muncul di benak mereka masing-masing. Salah satu sudut bibir Rian terangkat naik, ia tersenyum kecil dan menendang Karlos lalu melangkah pergi melewati Clara dan kumpulan anak-anak yang serempak membuka jalan.

Tubuh Clara mendadak membeku, ia bahkan tidak bisa menarik napas, sampai kemudian tangan Icha menyentuh pelan bahunya. Clara memalingkan wajah sedikit merasa canggung ketika Joe berhenti sejenak di depannya. “Lo yang namanya Clara?” tanya cowok itu, Clara mengangguk gugup.

“Gue Joe, anak kelas dua belas IPA” kata Joe memperkenalkan diri, senyumnya mengembang memberikan makna tertentu.

Clara diam tidak menyambut uluran tangan Joe sampai cowok itu memasukan kembali tangannya kedalam saku celana, ekspresinya terlihat santai tapi tatapan matanya jelas sedang menilai Clara, ia baru saja ingin mengatakan sesuatu tapi tertahan begitu Ray menepuk bahunya dan mengajak pergi.

“Yuk cabut” ajak Ray sambil melambaikan tangan ke arah Icha dan Clara. Ia nyengir lebar begitu melihat Icha menunjukan tinjunya karena kesal melihat Ray ikut-ikutan, meskipun tidak jadi berkelahi.

“Cla lo nggak papa kan?” tanya Icha ketika kerumunan penonton satu persatu bubar. Clara menarik napas panjang dan menggeleng pelan.

“Ke kelas yuk, bisa mati berdiri gue kalo lama-lama disini” pintahnya pelan lalu melangkahkan kaki masuk ke dalam kelas diikuti Icha. Perasaannya mendadak berkecamuk antara takut dan khawatir, tatapan Rian tadi sukses membuatnya merasa tidak nyaman.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!