Sepuluh menit sebelum Clara tampil bersama Nichol di kafe membuat cewek itu menjadi gelisah, ia menatap pantulan dirinya di kaca dan berkali-kali meyakinkan dirinya sendiri kalau ia bisa melakukan yang terbaik sama seperti waktu itu ketika pertama kali tampil di depan banyak orang.
“Cla udah siap?”
“Belum Cha” geleng Clara gugup. “Gue udah cuci muka tapi masih tetap kelihatan dekil”
“Sini gue bantu” kekeh Icha mengeluarkan alat make-up standar dari dalam tas kecilnya, bedak baby, liptint, dan maskara. “Mau gue bantuin atau sendiri?”
“Sendiri” jawab Clara bergegas menggunakan make-up Icha. “Udah nggak kelihatan dekil lagi kan?”
“Sebenarnya lo nggak dekil, cuman mata lo aja mendadak katarak”
“Iya mungkin. Cha kasih gue semangat dong”
“Semangat sayangku”
“Jangan pake sayang, gue bukan Ray”
“Yaelah.” Icha tertawa. “Semangat Clara Tineza!”
Clara menarik napas dan melangkah keluar, ia tersenyum kikuk ke arah Nichol. Kali ini bukan hanya mereka berdua saja yang tampil tapi bersama Martin sebagai pemegang cajon dan chimes. Tidak terlalu banyak pengunjung karena seorang teman Jefri menyewa kafe untuk merayakan ulang tahun pacarnya. “Nama cowoknya Jeremy dan ceweknya Alda” bisik Nichol memberitahu.
“Yang lain itu teman-temannya?” tanya Clara berbisik menunjuk ke arah kumpulan orang yang sedang berfoto sambil menyanyikan lagu ulang tahun. Nichol mengangguk dan duduk di samping Clara sambil mengiringi lagu mereka dengan gitarnya.
“Anak gaul Jakarta kalo ngerayain ulang tahun teman memang suka buat geleng-geleng kepala” kata Martin ikut-ikutan berbisik. Clara cekikan menyetujui perkataan cowok itu. “Nyanyi Cla lagu pertama” korek Martin membuat Clara agak gelagapan baru menyadari lampu kafe sudah dinyalakan. Bibirnya mulai bersenandung lagu kado ulang tahun diikuti Jeremy dan teman-temannya, mereka tampak sangat bahagia dan bergembira. Bahkan beberapa kali Clara, Martin, dan Nichol harus kewalahan mengiring beberapa anak yang ingin menyanyi tanpa persiapan sebelumnya. Untung Martin dan Nichol sudah terbiasa dengan situasi seperti itu dan Clara cepat menangkap gerakan bibir Martin ketika memberikan kode chord lagu.
“Gue mau nyanyi dong, tapi pake iringan piano doang, soalnya yang main cakep” celetuk seorang cowok tiba-tiba maju ke depan mengambil mic. “Lagunya Jaz dari mata bisa nggak mbak?”
“Bisa-bisa” jawab Clara cepat mulai memainkan melodi sesuai dengan nada cowok itu, sesekali ia meringis karena suara cowok itu fals bukan main bahkan mata Clara bisa melirik Martin mengelap air matanya karena berusaha keras menahan tawa. Semua orang tertawa tapi cowok itu tidak peduli ia malah turun panggung sambil terus menyanyi dan mengambil bunga plastik dari dalam vas.
“Dari mata kau buatku jatuh, jatuh terus ke hati” nyanyi cowok itu memekik seperti nenek-nenek kejepit pintu. Dia akhir lagu ia menundukan kepala dengan ekspresi lucu lalu melemparkan flying kiss ke arah semua penonton yang terbahak. “Mbak kalo kita ketemu lagi fix kita jodoh, wassalam” tutupnya tanpa malu-malu memberikan bunga tadi pada Clara.
“Jangan mau mbak, dia playboy” teriak seseorang disambut tawa ngakak. Clara nyengir lalu menyanyikan lagu favorit Alda dan meminta cewek itu naik ke atas panggung.
“Aduh gue malu” teriak Alda malu-malu. Martin nyengir menahan diri untuk tidak melontarkan candaan berbahaya, ia mendengus memberikan tanda agar musik dimulai. Lagu lover milik Taylor Swift, sebenarnya suara Alda cukup bagus kalau saja ia tidak memaksakan diri untuk bernyanyi dengan gaya Taylor Swift sehingga membuat telinga teman-temannya mendadak membeku.
“Sebagai penutup saya akan menyanyikan lagu bitterlove dari Ardhito Pramono yang dipersembahkan khusus untuk Mbak Alda, happy birthday dan wish kami adalah semoga ditahun ini banyak hal baik datang untuk Mbak Alda” kata Clara disambut tepukan dan siulan dari cowok-cowok yang sejak tadi tidak bisa diam melihat cewek itu.
Clara mulai memainkan chord demi chord dari lagu bitterlove yang sudah ia hafal luar kepala. Suaranya yang merdu mampu menyihir semua orang agar terfokus pada dirinya. Sejenak ia mendongak mendapati Icha berdiri di belakang dengan Ray, cewek itu melambaikan tangan dengan kamera merekam penampilan Clara. Matanya bergeser ke arah sebelah Ray tampak ada Rian disana juga menatapnya, cowok itu tersenyum kecil lalu melangkahkan kaki keluar dari kafe.
“To fall in love again, to be the one for me. Sometimes you fall, but there’ll be time we’d be together.”
...*****...
Jefri mengecup puncak kepala Nichol ketika penampilan mereka selesai, cowok itu berteriak kesetanan mengusap-usap kepalanya dengan umpatan kasar. Jefri malah cekikikan geli lalu melambaikan tangan ke arah teman-temannya yang memutuskan melanjutkan acara ulang tahun itu di club. “Penampilan kalian luar biasa, trio racun”
“Lo mati aja” maki Martin sambil membersihkan meja. “Cla pulang gih udah mau jam delapan nih, atau lo mau nginep disini?”
“Emang lo nggak perlu gue bantuin?”
“Nggak usah anggap aja tebus dosa karena lo yang beresin kulit buah gue minggu kemarin” jawab Martin.
Clara nyengir menatap Jefri dengan ekspresi memelas “boleh?”
“Iya nggak papa, pulang aja duluan”
“Gaji gue nggak bakal dipotong kan?”
“Nggak”
“Yes” tawa Clara melonjak senang lalu masuk ke dalam ruang ganti untuk melepas apron. Sesaat terdengar suara teriakan Clara ketika melihat Nichol bertelanjang dada. “Lo ngapain telanjang gitu?”
“Calm down girl, I’m just shirtless”
“Ihss!” dengus Clara menggantung apron dan mengambil tasnya dari dalam lemari.
“Penampilan lo tadi bagus, kapan-kapan cover bareng gue yuk?”
“Di akun youtube lo?”
“Yoi.”
Clara mengangguk, ia mendongak hendak melangkah keluar tapi tertahan begitu melihat tato besar di rusuk sebelah kanan Nichol, tato berbentuk tiger lily dengan tulisan kecil please love me. “Lo punya tato?” tanya Clara takjub. “Keren banget”
“Lo suka ngeliat orang tatoan?” tanya Nichol heran, ini pertama kalinya ada seorang cewek yang menatap tatonya dengan pandangan takjub tanpa melemparkan ekspresi seolah sedang melihat Nichol sebagai anak pembangkang dan punya sifat buruk karena tatonya.
“Tato itu seni dan gue cinta seni.”
“Lo nggak takut sama gue?”
“Takut? Takut karena apa?”
“Karena gue tatoan.”
Clara nyengir dan menggeleng pelan. “Gue picik kalo misalnya takut sama lo karena tato. Lagian nggak semua orang yang punya tato itu buruk, orang-orang aja nggak ngerti seni. Kalo misal ada yang nganggep lo negatif karena punya tato tampol aja biar nggak kebiasaan”
Perkataan Clara sukses membuat Nichol terdiam, kakinya maju selangkah sementara tatapan matanya mendadak berubah serius. Secara tiba-tiba tangannya meraih ujung rambut Clara dan menunduk sedikit mendekati wajah cewek itu. “Hati-hati Cla, kalo gue nyaman sama lo bisa bahaya”
“Hah? gue-”
“Hayoloh kalian! Mau ciuman ya?” Suara keras Martin membuat Nichol menjauhkan wajahnya dari Clara, ia balik badan memakai bajunya dan bersikap seolah tidak terjadi apapun. “Wah sepertinya gue datang disaat yang tidak tepat” kekeh Martin.
Mendadak wajah Clara merona baru saja menyadari maksud perkataan Nichol tadi, ia buru-buru melangkahkan kaki keluar membiarkan Martin tertawa terbahak-bahak dan menutup pintu. “Gue balik duluan ya kak” pamit Clara pada Jefri langsung berlari keluar. Ia berhenti di depan kafe dan menghela napas. Clara tidak habis pikir kinerja otaknya mendadak beku saat menghadapi tingkah aneh Nichol tadi, dalam hati ia berharap agar perkataan cowok itu hanya sekedar candaan belaka dan semoga mulut besar Martin tidak mengatakan apapun pada Jefri.
“Mau rokok?”
“Anjir!” Jantung Clara hampir copot mendengar suara Rian. Cowok itu ternyata sedang berjongkok sambil merokok. “Lo ngapain jongkok di gelap-gelap kayak gini? Mau nyopet ya lo?” tuduhnya langsung.
“Emang ada pencopet ganteng kayak gue?” tangkis Rian pede membuat Clara langsung mencibir mengejek. “Suara lo bagus”
“Iya makasih, tapi lo nggak dengerin gue sampai selesai”
“Gue dengerin kok”
“Pas lagu terakhir lo keluar, padahal gue belum selesai nyanyi” balas Clara. Rian nyengir tidak membantah perkataan cewek itu, ia menghisap rokoknya kuat-kuat untuk mengalihkan fokus dari detak jantungnya yang mulai berdetak tidak normal. Entah sejak kapan terjadi tapi Rian bisa merasakan jantungnya mulai bekerja tidak karuan ketika sedang berbicara dengan Clara, sepertinya cewek itu punya pengaruh buruk untuk kesehatannya. Mungkin dia jelmaan virus yang bisa membunuh orang dalam sepersekian detik.
“Gue mau nganterin lo pulang, tapi pasti lo nggak mau” kata Rian mengubah topik. Clara mengangguk dan tersenyum kecil membuat Rian sejenak merasa terpana dengan senyum cewek itu. Sekali lagi kata manis terlintas di benaknya.
“Lo nggak mau masuk? Disini dingin dan lo nggak pake jaket” tanya Clara.
“Gue bisa bakar diri pake rokok kalo misalnya kedinginan”
“Terus lo cacat”
“Nggak papa yang penting nggak mati karena hipotermia”
“Iya, tapi matinya karena bunuh diri nyalahin Tuhan untuk kesalahan yang lo lakuin sendiri” balas Clara tertawa geli. Rian nyengir membuang puntung rokoknya ke bawah dan menginjak dengan sendal sampai mati. “Masuk gih”
“Ntar, kan gue masih mau disini buat nemenin elu”
“Nggak usah tuh angkotnya udah mau datang” balas Clara memberikan tanda kepada angkot yang melaju ke arah mereka. “Lagian ngapain sih lo mau nemenin gue? Kan gue nggak minta”
“Ya biar lo tau gue peduli sama lo”
“Kenapa lo harus peduli?”
“Ntah, mungkin karena gue tertarik sama lo?” jawab Rian terdengar seperti sebuah pertanyaan yang ia tunjukan untuk dirinya sendiri. Clara memalingkan wajah menatap Rian serius, mendadak bibirnya membeku tidak berani mengatakan apapun. Beruntung angkot berhenti tepat di depannya dan saat itu juga ia langsung naik tanpa sempat melambaikan tangan ke arah Rian. Perkataan cowok itu sukses membuatnya merasa terkejut.
...*****...
Hari masih pagi tapi suasana kelas XA sudah mulai ramai karena Ibu Indah selaku guru bahasa Indonesia belum masuk kelas padahal bel sudah berbunyi dari lima menit yang lalu. Suara keras musik dari barisan belakang mengiringi tarian heboh anak cowok, ada yang joget sambil mengangkat botol minum berlagak lagi berada di dalam club malam.
“Wajah kampung tapi tingkah sok ibu kota” ketus Fani mencela Rakai lalu memalingkan wajah tidak senang.
“Lo kenapa sih sensi mulu tiap kali ngeliat Rakai? Perasaan dia diem-diem aja” tanya Clara heran karena tiada hari tanpa ujaran kebencian dari Fani untuk Rakai.
“Diem-diem apaan? Dia kemarin nyolong coca cola gue terus sengaja ngelempar gue pake botol” ketus Fani jengkel. “Belum aja tuh anak gue lempar pake kursi, nakalnya kebangetan! Pasti dulu nyokapnya ngidam kadal makanya punya anak pecicilan kayak gitu”
“Eh, kecilin volumenya dong” teriak Vio tiba-tiba, Rakai mendengus malah semakin mengeraskan volume lagunya begitu adatnya kalo ditegur malah semakin bebal tidak terkendali. “Gue laporin guru nih” lanjut Vio mengancam.
“Apaan sih lo! ganggu kesenangan orang aja!” balas Rakai sewot membuat Vio mendengus melemparkan tatapan kesal.
“Gue ngasih tau baik-baik”
“Gue juga jawab baik-baik. Sirik aja lo yang nggak punya lagu. Mau gue kasih lagunya? Nyalain bluetooth gih” ejek Rakai tidak mau kalah.
“Udah Vi nggak usah diladenin kadal mah gitu nggak tau aturan” kata Fani lalu memalingkan wajah ke arah Clara. “Gue mau ngelamar kerja di tempat lo”
“Hah?”
“Gue mau part time juga”
“Pasti lo mau part time buat ngecengin Jefri” nyinyir Sybil.
“Enggak kok gue beneran mau nyari pengalaman” jawab Fani cengengesan membuat Sybil melemparkan tatapan ingin muntah. Ia tahu betul Fani bukan tipe orang yang secara sukarela bekerja lelah demi mendapatkan pengalaman kerja, cewek itu adalah anak bungsu keluarga yang manja luar biasa. Sejak kecil Fani tidak pernah dibiasakan untuk bekerja dan apapun yang ia inginkan selalu dipenuhi, jadi boro-boro mau part time, memegang sapu saja tidak pernah. “Gue serius tahu! Cla lo mau kan bantuin gue?” tanya Fani penuh harap.
“Tapi janji ya lo beneran mau kerja bukan mau PDKT doang”
“Iya Cla suer, paling ya tebar pesona sesekali doang” balas Fani mengangkat dua jarinya. Clara akhirnya mengangguk membuat cewek itu bersorak girang.
Tidak lama kemudian Ibu Indah masuk kelas bersama dengan seorang guru cewek muda yang memperkenalkan diri sebagai mahasiswa PKL dari salah satu universitas di Jakarta. Anak-anak cowok kontan bertepuk tangan ria sibuk melemparkan pertanyaan tidak penting kepada guru baru itu, seperti alamat rumah, nomor hp, makanan kesukaan, tempat kencan favorit, dan tipe ideal. “Pokoknya kalian bisa panggil saya Ibu Elfrida”
“Panggil sayang boleh nggak bu?” teriak Rakai disambut sorakan teman-temannya.
“Nggak usah didengar bu, dia emang berisik” kata Fani.
“Yaelah cemburu mulu lo. Biasa lah bu dia sering marah-marah nggak jelas gitu sama saya, padahal saya diem-diem aja”
“Pede lo!”
“Ih yang ngomongin elu siapa, orang gue ngomongin Clara cantik” balas Rakai tidak mau kalah, Fani melemparkan tatapan tidak suka.
“Nggak usah nyebut-nyebut nama Clara, dia muak sama lo”
“Tuh kan bu, saya suka kewalahan sendiri, belum jadi pacar aja cemburuan, gimana kalo jadi beneran?” tukas Rakai membuat tertawaan semakin terdengar keras, wajah Fani merona merah langsung balik badan dengan jengkel, kalau bukan karena ada Ibu Indah di depan bisa dipastikan akan ada pertunjukan kursi melayang ke arah Rakai. “Jangan marah dong, sayang” lanjut Rakai masih bersemangat mengobarkan kemarahan Fani. Ia baru berhenti ketika Ibu Indah memukul meja keras-keras untuk membuat mereka terdiam lalu kembali memulai pelajaran.
“Lo anjing” kata Fani ke arah Rakai tanpa suara lalu balik badan lagi, cowok itu cekikan geli merasa menang.
...*****...
Suasana jam pelajaran kedua kelas sebelas IPA 1 begitu sepi, tidak ada tanda-tanda kehidupan bahkan jika udara bisa skip mungkin ia tidak akan bekerja memberikan oksigen di ruang kelas itu, padahal Pak Tri sedang bersemangat menceritakan kisah sejarah bangsa Indonesia. Terlihat hanya barisan depan sibuk mendengarkan dan mencatat, karena memang di setiap kelas barisan depan selalu dijadikan 'tumbal' untuk mendengarkan celoteh guru, sementara di barisan belakang rata-rata para calon cendikiawan asik membenamkan wajah dari balik buku yang disandarkan di kursi teman depannya, tujuannya biar kelihatan sedang membaca buku, padahal sebenarnya lagi terbang ke alam mimpi.
“Ngantuk lo?” tegur Ray pada Rian. Cowok itu mengangguk-angguk mencoba menghilangkan rasa kantuk dengan melebarkan dan menyipitkan mata, tampak di depannya Frengky sedang tertidur pulas tertutup badan besar Ade yang duduk di depannya. “Cuci muka gih”
“Gue kalo keluar mager balik lagi”
“Mau main tebak-tebakan nggak?”
“Hmm, kasih gue pertanyaan susah yang bikin gue harus mikir keras”
“Oke, kalo gitu ada seratus ekor kunang-kunang hinggap di satu pohon. Total listriknya berapa watt?” Rian bengong, pertanyaan Ray malah membuat rasa kantuknya bertambah. Ia menguap lebar sampai menopang dagunya diatas meja, matanya mencoba fokus memperhatikan Pak Tri tapi lama kelamaan matanya bertambah berat dan menjadi gelap, Rian sukses tertidur lelap.
Tuk! “Anjing!” umpat Rian membuka mata, ia meringis melihat penghapus whiteboard sudah duduk manis di atas mejanya.
“Kalian bertiga yang tidur keluar sekarang!” bentak Pak Tri pada Rian, Frengky, dan Ditho yang ketahuan tidur karena tadi Abe berdiri untuk meminta ijin ke toilet. Ketiganya spontan bangkit berdiri merasa senang diusir seperti itu, sementara yang tidak ketahuan hanya bisa menatap iri kembali memasang ekspresi bete menahan kantuk.
“Makasih pak, permisi” kata Rian masih sempat-sempatnya pamit, wajahnya menatap Ray dengan senyum penuh kemenangan berjalan keluar kelas.
“Mau ke kantin nggak?” tawar Frengky, Rian mengangguk hendak mengikuti cowok itu tapi tertahan begitu melihat sosok Clara mengendap-endap naik ke tangga atas menuju rooftop sekolah.
“Lo berdua duluan aja, ntar gue nyusul” kata Rian meninggalkan kedua temannya. Ia diam-diam mengikuti Clara naik ke atas, niatnya ingin mengejutkan cewek itu tapi lagi-lagi langkahnya tertahan begitu mendengar suara Clara yang sedang menahan tangis berbicara dengan seseorang lewat sambungan telepon.
“Aku juga kangen mama, kamu jangan lupa makan, kalo kamu pergi aku sama siapa?”
Punggung Rian bersandar di tembok, sebenarnya ia tidak ingin menguping tapi perkataan bernada sedih dari Clara membuat tubuhnya mendadak terdiam. Tidak berapa lama kemudian ia bisa mendengar suara sambungan telepon di matikan berganti dengan suara tangis. Rian ingin keluar dari persembunyiannya dan menenangkan cewek itu tapi entah mengapa pikirannya mengatakan bahwa Clara saat ini hanya ingin sendiri tanpa ada orang lain yang berani menginterupsi tangisannya. Akhirnya Rian memilih balik badan hendak turun menemui Frengky, tapi ia berteriak terkejut ketika tidak sengaja menginjak ekor kucing orens milik penjaga sekolah. Spontan kucing itu ikut berteriak dan mencakar betis Rian sampai mundur kebelakang.
“Anjing! Eh kucing kurang ajar” umpat Rian marah-marah. Sesaat ia terdiam, memalingkan wajah, dan tersenyum kikuk menatap Clara yang menatapnya heran. “Hai” kata Rian mengangkat tangan dengan canggung menyapa cewek itu.
...*****...
“Mau rokok?”
“Lo tawarin lagi gue hajar lo”
“Mau rokok- awh!” teriak Rian karena Clara benar-benar memukul bahunya, cowok itu cengengesan mengelus bahunya. “Kenapa lo bolos?”
“Lo sendiri kenapa bolos?”
Rian berdecak, ternyata Clara lebih suka melempar balik pertanyaan orang lain dibandingkan harus langsung menjawab. “Gue bukan bolos tapi diusir keluar, kalo lo nggak mungkin diusir jadi gue berasumsi lo bolos. Sekarang gue nanya kenapa lo bolos?”
“Pengen aja” jawab Clara singkat atas pertanyaan panjang Rian.
“Kalo gue nanya lo kenapa nangis etis nggak?”
“Tanya aja paling nggak gue jawab”
“Ck” decak Rian sekali lagi sementara Clara nyengir lebar. “Gue baru tahu kalo nongkrong diatap sekolah sama cewek itu menyenangkan, apalagi sama lo”
“Alah, emang dasarnya lo suka bolos. Nggak usah bawa-bawa cewek dan gue untuk lo jadiin alibi ngebolos kelas” balas Clara memperbaiki posisi punggungnya bersandar di dinding. Kepalanya mendongak menatap langit yang semakin terang karena waktu sudah hampir mencapai tengah hari.
“Lo selain menyanyi suka sesuatu yang lain nggak?” tanya Rian tiba-tiba mengubah topik, nalurinya mengatakan bahwa mengajak cewek di sampingnya ini mengobrol akan membuat suasana hatinya berubah sedikit lebih baik, karena Clara terlihat jelas tidak ingin menceritakan alasannya menangis pada Rian.
“Ngelukis, rebahan, dan nonton film”
“Lo nggak nanya gue balik?”
“Hobi lo pasti main basket, jadi untuk apa gue tanya?”
“Gue suka dengerin orang nyanyi karena suara gue jelek” balas Rian malah bercerita. “Satu-satunya alat musik yang gue bisa cuman gitar, bokap gue bilang daripada belajar musik mending gue belajar bisnis makanya gue buka kafe dan minta Jefri buat nyewa penyanyi.”
Clara memalingkan wajah karena merasa tertarik mendengar cerita cowok itu. “Bokap lo sekarang dimana?”
“Inggris. Percaya nggak kalo gue bilang gue dari dulu pengen belajar main biola tapi nggak punya kesempatan?”
“Gue juga” balas Clara. “Dulu gue pengen main biola tapi bahu kiri gue pernah cedera dan gue nggak kuat nahan biola, terus kemarin pergelangan gue luka jadi gue beneran nyerah, untung gue masih bisa main gitar” kekehnya santai. Mendadak Rian merasa bersalah, ia salah satu penyebab Clara mengubur keinginannya untuk belajar biola karena menyebabkan pergelangan tangannya terluka. “Jangan ngeliatin gue gitu, gue cuman bilang gue nyerah belajar biola bukan lagi cerita sedih”
“Gue minta maaf”
“Hah?”
“Gue dulu nggak sempat minta maaf secara langsung dan malah buat lo tersinggung” kata Rian serius. “Jadi sekarang gue mau minta maaf karena pernah nabrak lo sampai pergelangan tangan lo terluka, lo mau kan maafin gue?”
Hening sejenak karena Clara malah melemparkan tatapan aneh pada Rian, seolah perkataan maafnya tadi adalah hal teraneh yang pernah ia dengar. “Coba kepala lo nunduk deh” pintah Clara. Rian menatap heran tapi tetap mengikuti keinginan cewek itu.
“Awh!” Rian mengelus keningnya bekas terkena sentilan tangan Clara yang sekarang sedang tertawa geli. “Jadinya lo maafin gue atau enggak?”
“Iya, berisik lo.”
Rian ikut tertawa, ia menarik napas lega merasa satu bebannya berkurang sementara Clara memejamkan mata mencoba merasakan angin yang berhembus di tengah berisiknya mesin dari balik dinding tempat ia bersandar. Cewek itu tidak menyadari Rian sedang menopang dagu asik memperhatikan wajahnya secara detail. Bibir Rian menyunggingkan senyum manis, menyadari betapa cantiknya Clara. Cewek itu punya kulit berwarna kecoklatan tapi bersih tanpa bekas flek hitam atau jerawat, bulu matanya lentik dengan bentuk wajah yang bisa menarik perhatian kaum adam dalam sekali tatap, bahkan rambut sebahunya yang berterbangan menutup sebagian wajahnya justru memberikan kesan manis kepada cewek itu.
Tangan Rian bergerak menyingkirkan rambut Clara dari wajahnya. Sesaat membuat Clara terbangun dan matanya langsung menatap lurus mata Rian, ia tidak tersenyum ataupun mengeluarkan ekspresi yang menunjukan rasa tidak sukanya pada interupsi cowok itu saat ia memejamkan mata. Deg. Rian bisa merasakan detak jantungnya berdetak tidak normal, seakan bunyi detaknya bisa terdengar keras sampai keluar. Tubuhnya seolah membeku menatap tatapan tanpa makna dari Clara sampai kemudian bel tanda istirahat terdengar.
“Sampai kapan lo mau pegang rambut gue?” tanya Clara buka suara, Rian langsung menjauhkan tubuhnya dengan ekspresi salah tingkah. Clara menggeleng lalu bangkit berdiri sambil membersihkan roknya dari debu. “Gue mau ke kantin, lo jalan jauh-jauh dari gue, enam meter ke belakang” katanya lalu melangkah pergi meninggalkan Rian masih terdiam menyadari dirinya mendadak menjadi orang aneh karena tatapan Clara tadi.
Sial! umpat Rian dalam hati lalu akhirnya ikut berdiri dan melangkah pergi menyusul Clara.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments