Tentang Esther

“Jadi gimana rasanya?”

“Apa?” tanya Rian acuh tak acuh menggigit baksonya setengah hati menatap wajah ceria Nathan setelah kembali dari toilet.

“Pulang sekolah boncengan sama cewek”

“Oh enak, kayak nano-nano” dengus Rian menahan diri untuk tidak menancapkan garpu ke bibir Nathan. Cowok itu cekikikan geli, gosip terhangat minggu ini adalah Rian sedang dekat dengan seorang cewek kelas sepuluh setelah sebelumnya sempat mengantar cewek itu pulang, meskipun faktanya bukan mengantar pulang, tapi tetap saja menghebohkan melihat Rian bersama seorang cewek selain Manda.

“Beliau cantik sih, udahlah pepet aja” celetuk Def dari samping.

“Kakak lo sini gue pepet” balas Rian cuek. Def langsung melemparkan tatapan judes, sampai kapanpun ia tidak akan membiarkan teman-temannya mendekati kakaknya, bahkan meskipun Joe sering kali mengatakan akan menjaga hati kakaknya dengan serius. Motto hidupnya cuman satu, jangan pernah besanan dengan manusia-manusia kadal ini.

“Mau kita bantu nggak Rian? biar seru, soalnya kalo lo sendiri yang usaha suka gagal ujung-ujungnya” tawar Ucup setengah mengejek.

Rian langsung buru-buru menghabiskan es tehnya dan bangkit berdiri hendak menyusul Angga dan Joe yang sedang merokok di belakang kantin.

Bruk!

Tidak sengaja seorang siswi menabrak Rian membuat es teh milik cewek itu jatuh kebawah, beruntung karena ia hanya menggunakan gelas plastik, tapi sayangnya tumpahan es itu mengenai baju Rian membuat ekspresinya langsung berubah tidak senang.

“Anjing!” sungutnya jengkel melihat setengah baju putihnya basah kuyup. “Mata dipake!” bentaknya melemparkan tatapan tajam dan akhirnya lanjut berjalan pergi, tidak memperdulikan tatapan seluruh penghuni kantin yang terdiam karena mendengar bentakannya.

“Nggak usah diambil hati Sis, Rian lagi haid makanya rada sensitif” cengir Ray menepuk pelan pundak Siska yang mematung mendengar bentakan Rian. Cewek itu akhirnya mengangguk pasrah membersihkan kekacauan yang ia sebabkan sambil berharap tidak ada lagi masalah lain timbul akibat ketidaksengajaannya tadi.

“Gila tuh orang, galaknya nggak pandang bulu” bisik Fani pelan dari meja ujung ketika suasana kantin kembali normal seolah tidak ada kejadian yang sempat menarik perhatian mereka. “Woi Cla, lo denger kan gue ngomong apa?” sikut Fani keras, Clara mendongak dengan tampang cengo seakan baru tersadar dari lamunan.

“Hah kenapa?”

“Ih Cla, lo seharian ini melamun terus deh, ada masalah?” tanya Icha khawatir. Clara menggeleng melemparkan senyum canggung pura-pura tidak terjadi apa-apa.

“Perut gue sakit, kayaknya mau haid deh”

“Mau ke UKS aja nggak? Gue perhatiin lo dari tadi nggak fokus, sakit banget ya?” tawar Icha khawatir. Clara mengangguk pelan lalu berdiri mengikuti ketiga temannya menuju ruang UKS ketika bel tanda masuk kelas berbunyi nyaring.

“Eh tiba-tiba gue juga sakit perut, kayaknya karena kebanyakan makan sambal deh tadi”

“Jangan macem-macem Bil, satu galaksi udah tau kalo perut lo itu karet, dikasih nuklir juga nggak bakalan meledak. Ayo kita balik ke kelas, biarin Icha yang ngurusin Clara”

“Sialan lo” dengus Sybil terpaksa mengikuti Fani kembali ke kelas, tampangnya dibuat semuram mungkin mengingat setelah ini adalah pelajaran fisika, sungguh suatu anugerah luar biasa, siang-siang harus hitung menghitung suhu derajat air panas.

“Cha tugas gue ada di dalam tas, tolong dikumpulkan ya” pintah Clara sambil berbaring diatas tempat tidur salah satu bilik UKS. Icha mengangguk, niatnya untuk terus mengomel berhenti begitu melihat wajah lemas Clara ketika mencoba menarik selimut. Ia kemudian berjalan keluar sambil menutup tirai bilik dan mengurus surat perizinan tidak ikut kelas karena sakit.

Tik tik tik, bunyi jam terdengar memenuhi ruangan yang sunyi, tidak terdengar suara Ibu Laras, mungkin beliau sedang berpatroli mencari anak-anak yang belum masuk kelas atau berniat bolos. Clara menarik napas panjang, perutnya memang betulan sakit karena ini hari pertama masa datang bulan. Namun dibandingkan perut  kepalanya terasa dua kali lebih sakit.

Sreet.

Suara tirai ditarik dari sebelah membuat pendengaran Clara terjaga, ia mengerutkan kening begitu mendengar umpatan-umpatan kecil dari seseorang yang berada di sebelahnya.

Duh, berisik banget sih! keluh Clara dalam hati bangkit dari tidurnya dan duduk karena rasa sakit di kepala serta pinggangnya semakin menjadi-jadi.

Selalu seperti ini setiap awal bulan, rasa sakit dan hormon yang mulai meledak-ledak membuat hampir semua cewek ingin baku hantam dengan siapapun. Istilah singkatnya senggol bacok. Karena itu tidak ada salahnya ketika Clara kesal setengah mati mendengar suara ribut dari tempat tidur samping dan menyalahkan Ibu Laras karena lama kembali.

Dengan emosi dan keinginan untuk jambak-jambakan yang kuat tangan Clara bergerak menarik tirai, ekspresinya terlihat sangat ketus berniat mengomeli si pendatang baru. Sreet.

“Eh, sorry bisa diam-” Ekspresi ketus Clara berubah melongo begitu melihat siapa yang berada di tempat tidur samping, Rian sedang bertelanjang dada dan sibuk mengerikan baju dengan kipas angin kecil yang entah ia dapat dari mana. Tangan Clara spontan bergerak buru-buru menarik kembali tirai agar menutup arah pandangnya.

Sreet.

Tirai dibuka lagi, kali ini karena Rian, cowok itu diam menatap Clara datar selama lima detik. “Kenapa lo? Kayak habis ngeliat setan aja” dengusnya santai.

“Lo ngapain disini?”

“Keringin baju, lo sendiri ngapain?”

Clara tidak menjawab, ia malah berbaring kembali sambil menarik selimut dan memperhatikan Rian mengerikan baju, mereka terdiam cukup lama sampai kemudian bibir Clara bergerak mengeluarkan tawa kecil ketika melihat Rian meniup-niup bajunya agar cepat kering.

“Lo bisa senyum juga ya? Gue kira muka lo permanen judes” kata Rian melirik sekilas.

“Tau nggak? lo niup-niup gitu bikin lo keliatan kayak bocah tolol.”

Wajah Rian langsung berpaling dengan ekspresi setengah dongkol, ia sebenarnya ingin membalas perkataan Clara tapi tawa cewek itu mendadak membuatnya terpaku. Manis, itu adalah kata yang terlintas dalam benak Rian.

“Lo diam kayak gitu juga malah lebih kelihatan dua kali kayak bocah tolol” tawa Clara pelan. Sesaat tawanya hilang digantikan ekspresi lelah.

“Lo sakit ya?”

“Hmm, biasalah masalah bulanan cewek”

“Oh pantas nyebelin?”

“Siapa yang nyebelin?” tanya Clara langsung menyipitkan mata.

“Gue” jawab Rian kikuk, sesaat baru menyadari bahwa pertanyaan Clara hanya sekedar candaan semata. “Mau bantu tiup nggak?” tawarnya mengubah topik pembicaraan.

Clara langsung menggeleng. “Gue nggak hobi ngelakuin hal yang nggak berguna, mending lo jemur aja di luar”

“Jemur baju sambil bertelanjang dada kayak gini?” tanya Rian heran.

Clara tersenyum kecut, benar, sejak tadi Rian tidak mengenakan atasan dan ia baru menyadari tubuh atletis cowok itu yang hampir sempurna meskipun usianya baru berada di pertengahan enam belas tahun. Kalau ada papan penilaian disini mungkin Clara akan memberikan nilai sembilan dari sepuluh, berkurang satu karena pemilik tubuh itu adalah cowok mengesalkan bernama Rian Giovani.

Blush, mendadak pipi Clara merona menyadari bahwa ia terdiam karena asik memperhatikan tubuh Rian, cewek itu menggelengkan kepala mengusir pikirannya dan langsung balik badan mencoba memejamkan mata. Rian nyengir menyadari perubahan ekspresi Clara, ia tidak bertanya lagi hanya diam sambil tetap mengeringkan baju tanpa ada niatan untuk menarik tirai menutupi arah pandangnya. Ia baru beranjak pergi ketika mendengar suara dengkur Clara terdengar pelan tanda bahwa cewek itu sudah tertidur lelap.

...*****...

Rian berlari kencang menghampiri Manda yang sedang bersandar di dinding dekat ruang ekskul, tangan cewek itu menyodorkan sebuah map berisi daftar nama anak baru yang sudah melewati tahap akhir seleksi basket.

“Banyak banget ih, ini satu sekolah diterima semua?” keluh Rian menatap berlembar-lembar profil anak baru tim basket, bisa ia bayangkan betapa ribetnya harus memasukan rekap data ke dalam komputer.

“Kan nanti dibagi ke dalam dua tim, jangan ngeluh masih untung ada yang mau daftar, tau nggak tim voli hanya dikit aja yang ngedaftar”

“Ya iyalah sedikit, ketuanya aja nggak jelas gitu, pacaran aja kerjaannya, tim nggak diperhatiin” balas Rian malah mengomel. Manda tertawa memperbaiki letak tasnya di bahu.

“Anterin gue sampai depan dong” pintahnya, Rian mengangguk berjalan di samping cewek itu, mereka mengobrol, lebih tepatnya adalah Rian yang terus berbicara panjang lebar menceritakan kegiatan tidak penting apa yang ia lakukan semalam diselingi lelucon kecil yang mampu membuat Manda ketawa ngakak dan memukul bahu cowok itu.

Beberapa siswi melemparkan tatapan iri ke arah mereka, Manda dan Rian memang selalu terlihat cocok bersama. Bahkan tidak ada harapan bagi cewek-cewek yang ingin mendekati Rian selama melihat Manda berada disekitar cowok itu. Kecantikan Manda tanpa sadar selalu berhasil membuat siapapun mundur selangkah karena hilang rasa percaya diri ketika ingin berjuang mendapatkan hati Rian.

“Pak nih anak kalo berisik lempar aja ke tengah jalan”

“Wah nggak bisa dong den, nanti Den Rian patah hati lagi kalo misal Non Manda hilang tengah jalan” balas supir pribadi Manda. Rian ketawa geli iseng menarik kuncir Manda ketika cewek itu masuk ke dalam mobil, ia menjulurkan lindah lalu melambaikan tangan dan balik badan hendak kembali ke lapangan basket, tapi langkah kakinya mendadak terhenti begitu melihat Clara sedang menunggu angkot berhenti.

“Woi Clara udah sehat lo?” tanya Rian iseng. Clara menoleh, tanpa diduga ia tersenyum kikuk dan mengangguk.

“Udah, gue duluan ya” jawabnya seakan tidak menyadari siapa yang bertanya lalu masuk ke dalam angkot. Rian bengong sejenak tidak percaya, dipikirnya akan mendapatkan ekspresi judes dari cewek itu.

“Anjir kesambet siang-siang” gumamnya heran lalu berlari menuju lapangan basket.

...*****...

“Clara makan dulu” tawar Arda begitu Clara masuk ke dalam rumah, cewek itu lantas menggeleng menolak dengan ekspresi lelah.

“Udah tadi mbak waktu istirahat di sekolah” jawab Clara langsung melangkahkan kaki naik ke tangga atas masuk ke dalam kamarnya. Ia melemparkan tasnya ke lantai dan merebahkan diri di atas kasur. Matanya ingin terpejam tapi plafon putih kamar membuat jalan pikirannya bekerja tidak menentu

“Anjir gue udah mau enam belas tahun tapi hidup gue masih gini-gini aja” gumam Clara tiba-tiba mengeluh. Matanya fokus  menatap ke arah lampu di atas plafon sembari otaknya mulai merangkum apa saja yang sudah ia lakukan selama hampir enam belas tahun ini.

Tiba-tiba Clara teringat sesuatu, dengan malas-malasan ia beranjak mengambil amplop dari dalam laci meja belajar, amplop kecil berwarna campuran antara hijau, abu-abu, dan putih dengan gambar kupu-kupu dan sebuah tulisan kecil ‘the most beautiful moment in my life.’ Clara mendapatkan amplop ini dua tahun lalu ketika merayakan festival salon du chocolat bersama Arda di Paris, saat itu Arda memberikan amplop dan meminta Clara untuk menulis di kertas momen paling indah yang ia rasakan di tahun itu sebagai pengingat untuk selalu bersyukur, dan menulis di balik kertas ingin menjadi apa ia di kehidupan selanjutnya. Setelah menulis maka kertas akan dimasukan ke dalam amplop dan harus dibakar di hari terakhir di bulan desember, konon apa yang Clara tulis di balik kertas akan benar-benar terjadi di kehidupan selanjutnya.

Tangan Clara menimang-nimang amplop di tangannya, ia kemudian mengambil pena dan mengeluarkan kertas putih dari dalam amplop. Sejenak ia hanya terdiam menatap pantulan dirinya dari kaca besar lemari pakaian, jarinya mengetuk-ngetuk meja mencoba mengingat momen terbaik apa yang pernah terjadi dalam hidupnya. Lama, sampai kemudian suara tarikan napas terdengar, Clara tidak menemukan momen apapun yang benar-benar menyentuh hatinya, akhirnya ia memilih membalikan kertas dan menuliskan jawaban atas pertanyaan apa yang ia inginkan di kehidupan selanjutnya.

‘In my next life I wanna be born as a stone’ tulis Clara.

Dulu Clara selalu berpikir menjadi seorang anak kecil sangat menyenangkan karena mereka tidak perlu memikirkan banyak hal, pemikiran terberat seorang anak kecil adalah hanya tentang bagaimana mereka bisa menjadi rangers merah dihari esok.

Tapi lama-kelamaan Clara tahu, seorang anak kecil harus bertumbuh dan berakhir menjadi orang dewasa yang memiliki banyak pikiran dan masalah dalam hidupnya. Melepaskan masa kecil sangat tidak menyenangkan, tidak ada lagi tawa tulus dan argumen tanpa memberikan bekas kebencian. Menjadi orang dewasa berarti harus siap berpikir keras, berjuang keras, dan menyimpan kecewa sendirian. Karena itu Clara memilih untuk menjadi batu, terdengar konyol. Tapi ia benar-benar ingin di kehidupan selanjutnya hanya terdiam memperhatikan setiap orang berlalu-lalang dan menyelesaikan masalah mereka masing-masing.

“Clara” panggilan dari balik pintu membuat Clara menghentikan lamunannya dan berlari membuka pintu.

“Ya mbak?”

“Kalo kamu nggak mau makan minimal ngemil deh.”

Clara tertawa lebar mengambil mangkok mie yang disodorkan Arda. “Makasih mbak mienya, sebenarnya aku mau ngerjain PR dulu mbak, biar entar malam bisa tidur lebih cepat” alasan Clara berbohong. Arda mengangguk lalu menarik pintu menutup dari luar. Senyum Clara langsung hilang menatap mangkok mie di tangannya, ia tidak merasa lapar tapi mau tidak mau terpaksa ia duduk di kursi meja belajar dan menghabiskan mienya.

...*****...

Rian menegak habis es tehnya dengan perasaan campur aduk menatap sisa tulang ayam di atas piring. “Lo suka ngemil nggak?” tanyanya tiba-tiba pada Ray.

Ray mendongak dan mengangguk lugu. “Kenapa? Ntar lo mau singgah minimarket?”

“Nih kuyah, kata nenek gue kalo suka makan tulang ayam bisa buat kita lebih berani” jawab Rian menyodorkan tulang ayam ke arah Ray, spontan kepalanya langsung mendapatkan tamparan ringan, ia meringis mengusap-usap kepalanya.

“Gue kan cuman nawarin, sensi amat lo kayak cewek” ketus Rian memalingkan wajah ke arah dua orang banci yang masuk ke dalam tenda pecel lele dan menyanyi di depan mereka.

“Halo epribadeh!  Termasuk mas-mas yang cakep ini. Eike mau numpang nyanyi boo.” Banci bergaun hitam seksi membusungkan dada memamerkan payudara palsunya ke arah Rian dan Ray, spontan Rian mendengus langsung memalingkan wajah sementara Ray malah ikut bernyanyi membuat banci tadi semakin bersemangat dan mulai mengedarkan topi.

“Duh pelit amat sih you jadi orang” kata banci itu sewot pada seorang mas-mas karena hanya memberikan lima ratus rupiah. Cowok itu jelas melongo tapi tidak berani protes, takut malah terjadi perkelahian hanya karena masalah lima ratus rupiah.

“Duh makasih cyin. Udah cakep ngasihnya banyak, eike doain jodohnya lancar.” Banci bergaun merah itu tersenyum genit ketika Ray memberikan uang sepuluh ribuan. Setelah itu dengan pedenya ia bergerak ke arah Rian dan mencolek-colek pundak cowok itu. “Jangan malu-malu cyin buat ngeliatin saya.” Rian diam karena merasa risih dicolek-colek seperti itu, ia buru-buru mengeluarkan duit lima puluh ribu dan memberikan kode agar banci itu cepat pergi.

“Udahlah mimpi buruk malam ini” keluh Rian pelan setelah suasana kembali kondusif, ia menggelengkan kepala berusaha menghapus ingatan ketika banci tadi menggoyang-goyangkan payudaranya sesuka hati dihadapan mereka.

“Kalo ada Nathan pasti minta mati tuh anak” kekeh Ray mengingat Nathan takut setengah mati dengan banci, alasannya karena dulu pernah ada seorang banci meremas pantatnya setelah memuji Nathan ganteng, Setelah hari itu setiap kali melihat banci Nathan akan histeris takut dilecehkan lagi.

“Lo habis ini mau langsung balik?” tanya Ray, Rian menggeleng bingung.

“Gue malas di rumah, tapi malas juga mau pergi”

“Yaudah diam aja disini”

“Maunya gitu” kata Rian tersenyum getir.

Mata Ray menyipit melemparkan tatapan ingin tahu. “Lo ada masalah?”

“Besok tanggal dua puluh” jawab Rian mengaduk-aduk es mencair dalam gelasnya, ekspresinya mendadak muram membuat Ray langsung paham, besok adalah peringatan hari kematian Esther pantas saja cowok itu merasa gelisah sejak tadi pagi, pasti dalam hati ia sedang merasa tidak nyaman karena rasa bersalah perlahan mulai muncul dan menggerogoti mentalnya.

“Gue pengen ngunjungin dia, tapi gue masih belum bisa nerima dia udah nggak ada. Kalo diinget lagi rasanya sakit man, sesek banget disini” lanjut Rian menunjuk ke arah kulit luar dari pelindung jantungnya.

Hening.

Ray hanya diam mendengarkan penuturan Rian, ia tidak mencoba memberikan nasehat atau kalimat penyemangat, karena Rian tidak pernah menyukai hal-hal seperti itu, yang cowok itu inginkan adalah hanya didengarkan secara serius tanpa ada komentar apapun. Karena pada faktanya seringkali ketika seseorang mencoba memberikan nasehat atau kalimat yang ia anggap sebagai kalimat penyemangat justru akan membuat orang yang mencurahkan isi hatinya merasa semakin terpuruk. Manusia cenderung lebih suka untuk menjadi penasehat dibandingkan pendengar.

“Balik yuk, gue mau mandi terus hibernasi sampai besok pagi” ajak Rian pada akhirnya memilih untuk pulang. Ray mengangguk singkat membayar makanan mereka berdua dan berjalan keluar mengikuti Rian menuju motor masing-masing.

“Jangan ngelamun woi, lo mau kerasukan?” tegur Ray. Rian menggeleng menunjuk ke arah langit yang mulai menggelap, bukan karena hari semakin sore tapi tanda bahwa sebentar lagi akan turun hujan, dan benar baru setengah perjalanan hujan deras turun mengguyur apapun yang berada dibawahnya.

...*****...

Suara alarm jam dua belas malam terdengar keras memenuhi ruang kamar Rian, membangunkan cowok itu dari tidurnya, ia bangun dan duduk di atas kasur dengan kesadaran perlahan mulai mengumpul. “Shit” umpat Rian mematikan alarm dan menuju kamar mandi untuk mencuci muka lalu kembali berbaring di atas kasur. Rasa kantuknya menghilang begitu membaca tulisan di memo alarm.

Kakinya kemudian bergerak mencari album berisi foto-foto lama yang disimpan di dalam lemari rak buku meja belajar. Punggung Rian bersandar di dinding sambil membuka isi album, bibirnya tersenyum kecil mengingat betapa banyak momen yang diabadikan sejak SMP dengan kameranya. Semua foto pemandangan yang ia ambil kemanapun ia pergi, Rian lebih suka menyimpan fotonya kedalam album fisik dibandingkan memposting di instagram, ia memang memiliki minat cukup besar dalam bidang fotografi.

Semakin lama membuka tiap lembaran album membuat senyum Rian mendadak menghilang ketika foto-fotonya menampilkan potret seorang cewek berambut panjang dengan tawa hangat.

Esther, pacarnya yang meninggal setahun lalu akibat kecelakaan tragis dan kelalaian Rian membiarkan cewek itu pulang sendirian. Ia masih mengingat bagaimana pertengkaran hebatnya dengan Esther di hari itu menjadi penutup dari kisah mereka. Rian yang selalu bersikap egois menganggap setiap cowok yang mendekati Esther akan menjadi perusak hubungan mereka tanpa pernah berpikir bahwa cewek itu benar-benar menyukainya.

Penjelasan dan rasa sabar Esther tentu saja memiliki batas tertentu, ia marah besar ketika beradu argumen dengan Rian. Keputusan terakhir yang ia lakukan adalah pergi lebih dulu untuk menenangkan diri dan ternyata kepergian Esther bukan hanya sementara, cewek itu pergi jauh tanpa sempat memberikan kesempatan bagi Rian untuk meminta maaf.

Rian menarik napas panjang melemparkan albumnya ke atas kasur dan berjalan keluar mencari udara segar dari balkon kamar, dadanya terasa sesak. Ia menyalakan sebatang rokok dan menghisap untuk menenangkan pikirannya. Hembusan asap di udara membuatnya menyadari rasa bersalah yang sudah tertanam erat dalam hatinya. Ia tidak ingin menangis, karena itu tangannya bergerak mengambil ponsel mengetikan pesan singkat untuk Nathan.

Rian Giovani; Gue ke rumah lo sekarang, tulisnya lalu menghisap rokoknya untuk terakhir kali sebelum mematikan sisa bara di atas pagar pembatas.

“Gue kangen sama lo” bisik Rian melemparkan puntung rokoknya ke lantai dan meraih jaket berjalan keluar kamar menuju rumah Nathan dengan mobilnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!