Perasaan Manda

Clara membaca ulang daftar belanjaan untuk bahan katering memastikan tidak ada yang terlupakan, ia kemudian memasukan daftar belanjaan itu ke dalam tas kecilnya dan mengambil sandal jepit dari atas rak. Hari ini seharusnya Clara pergi bersama Indah ke supermarket tapi mendadak wanita itu sakit demam akibat kecapekan dua hari berturut-turut kerja tanpa henti menyiapkan makanan untuk pesta pernikahan salah satu warga kompleks.

“Permisi paket”

“Mbak ada pesan paket?” tanya Clara, Indah menggeleng lemah meneguk teh hangatnya. “Aku pergi dulu ya mbak, sekalian ngecek siapa yang ngirim paket” pamitnya lalu berlari ke depan. Senyum Clara mendadak muncul begitu melihat siapa yang datang, tampak Rian dengan jaket hitam sibuk berteriak-teriak dari depan pagar.

“Permisi mbak paket”

“Disini nggak ada yang mesan paket pak” kekeh Clara mendekati Rian.

“Hah iya? tapi disini katanya ada paket buat Mbak Clara” balas Rian pura-pura mengecek ponselnya.  “Bener kok ini, pesanan paket berisi hati buat Mbak Clara dari Rian”

“Paketnya ditolak” jawab Clara nyengir lebar membuka pintu pagar. “Lo ngapain kesini? perasaan gue nggak ada utang sama lo”

“Kan gue bilang mau datang lagi”

“Emang ya lo itu manusia paling kurang kerjaan, sana masuk gue mau pergi”

“Kemana?”

“Supermarket, mau belanja bulanan”

“Yaudah sama gue. Gue anterin, emang lo tega biarin gue sendiri disini ngobrol sama ikan?”

“Nggak mau, masa tukang antar paket mau anter manusia juga?”

“Oh kebetulan sekarang udah pindah profesi jadi tukang ojek”

“Dasar!” tawa Clara mengambil helm yang disodorkan Rian lalu naik ke atas motor. “Jangan balap-balap”

“Siap bos” jawab Rian melajukan motor meninggalkan tempat itu.

...*****...

Rian mendorong troli mengikuti Clara dari belakang, sesekali ia ikut mengambil barang-barang yang dibaca cewek itu dari kertas daftar belanja. “Cla entar” tahan Rian berhenti dibagian kue dan roti, tangannya mengambil sepotong kecil dari piring yang disediakan gratis untuk pelanggan. “Cobain deh, enak loh” sodor Rian ke arah Clara lalu menaruh sekotak kue ke dalam troli.

“Gue nggak suka terlalu manis” geleng Clara ketika lidahnya mengecap rasa kue tadi. “Lo ada mau beli sesuatu lagi nggak? Sebelum kita ke tempat sayur”

“Nggak” geleng Rian. Mereka kemudian pergi kebagian sayur dan buah, sempat berdebat kecil ketika Rian ngotot mengatakan telur itu bukan hewan ketika melihat iklan menu untuk diet vegan, sementara Clara bersikukuh mengatakan telur adalah hewan karena berasal dari hewan. “Nah lupain telur sekarang gue tanya, terong itu buah atau sayur?”

“Sayurlah, orang sering dimasak jadi tumis”

“Salah, terong itu buah. Terong punya biji bahkan masih saudaraan sama strawberry”

“Emang ada yang pernah bilang buah terong? Lo kalo belanja pagi-pagi di tukang sayur juga pada ngomong ‘mas beli terong’ atau enggak ‘mas terongnya satu’ habis beli terus dimasak jadi sayur” Clara ngotot.

“Nggak bisa pokoknya terong itu buah, lihat dia sekarang aja sebelahan sama tomat, karena apa? karena mereka sama-sama buah” tunjuk Rian ke arah terong ungu di sebelah tumpukan tomat.

“Loh? tomat itu juga sayur. Gue sering masak sayur tomat pake daging” geleng Clara tidak mau kalah. “Pokoknya tomat dan terong itu sayur”

“Buah”

“Sayur”

“Buah”

“Sayur” mata Clara mendelik memasukan dua plastik tomat ke dalam trolling, sesaat ia tertawa geli bersama Rian menyadari perdebatan mereka tidak akan ada habisnya. “Kita lucu banget sih ngedebatin sesuatu yang nggak penting”

“Oh penting kok buat tau lo masuk tim mana. Kayak gue sama Ray, dia tim bubur diaduk sedangkan gue enggak.”

Clara ketawa geli membantu menarik troli antri di depan kasir. “Tapi lo sama Ray itu so sweet banget, kemana-mana bareng sampai Icha suka kesel gitu berasa lo yang pacarnya Ray”

“Ya gimana dari SD udah bareng, dia itu udah kayak belahan jiwa gue” jawab Rian bercanda, Clara pura-pura bergidik ngeri sambil menaikan semua barang belanjaan ke atas meja kasir.

“Mbak yang ini notanya tolong disendirikan ya” pintah Clara memisahkan barang belanjaan katering dengan milik Rian. Selesai belanja mereka kembali ke parkiran, sempat kesulitan karena barang belanjaan yang dibawa banyak. “Ini buat lo” kata Clara menyodorkan sebungkus jelly sebelum naik ke atas motor. “Upah karena udah jadi tukang ojek.”

Rian nyengir mengambil jelly itu. “Ini upah pergi, upah balik?”

“Gue kasih doa”

“Kalo doa mah tiap hari ada yang doain” balas Rian beralasan.

Clara geleng-geleng kepala, “dasar lo cowok banyak modus” ejeknya santai membuat Rian angkat bahu cuek memakan jellynya, setelah itu mereka kemudian pergi dari situ.

...*****...

Rian memarkirkan motor di halaman rumah Clara, kepalanya mengangguk sopan kepada Arda yang terlihat terburu-buru keluar dari rumah. “Mbak mau kemana?” tegur Clara heran agak kerepotan membawa barang belanjaan.

“Mau ketemu teman, kalian masuk aja bantuin Mbak Indah masak buat makan malam”

“Tapi mbak-” Clara memotong ucapannya sendiri karena Arda sudah lebih dahulu melangkah pergi, keningnya berkerut heran melihat tingkah wanita itu, sepenting apa pertemuan mereka sampai membuat Arda terlihat tergesa-gesa? “Yuk masuk” ajak Clara akhirnya pada Rian.

Mereka masuk ke dalam rumah disambut Indah sedang sibuk memotong tempe dengan koyo di pelipis. “Udah enakan mbak?”

“Iya, tadi habis minum obat, mbak disuruh tidur tapi nggak betah kalo nggak ngantuk terus diem-diem aja, mending motong tempe buat makan malam.”

Clara menarik napas menaruh belanjaan diatas meja. “Aku lapar pengen makan mie, Mbak Indah sama Rian mau nggak?”

Indah menggeleng sementara Rian mengangguk ragu, “tapi gue nggak bisa masak”

“Yaudah gue masakin, tapi lo bantu, yuk” ajak Clara menarik Rian ke dapur. Sampai di dapur Rian hanya menatap takjub kearah berbagai jenis panci yang tergantung di dinding, mendadak jiwa penasarannya keluar sibuk membuka-buka lemari untuk sekedar melihat isi didalamnya. “Lo nggak pernah masuk dapur ya?” cengir Clara merasa lucu melihat tingkah Rian.

“Pernah lah sesekali, cuman di dapur Bi Ijah nggak pernah gantung barang-barang kayak gini di dinding. Ini namanya apa sih?”

“Frying pan”

“Kalo yang ini?”

“Saute pan”

“Beda ya?”

“Iyalah bentuknya aja udah beda” jawab Clara mengambil dua bungkus mie dari dalam lemari dan panci kecil. “Mau rasain nggak?” tanganya menjulurkan potongan kecil mie ke arah Rian, sejenak cowok itu menatap ragu. “Nggak bakal sakit perut” ujar Clara meyakinkan seolah paham dengan tatapan Rian.

“Rasanya aneh”

“Lo nggak pernah makan mie gemez ya?”

“Yang di gelas kan?”

“Itu mah mie gelas”

“Emang beda?”

“Menurut lo aja” kekeh Clara menaruh panci berisi air diatas kompor, ia kemudian memotong-motong tomat dan sedikit sayuran segar. Kaki Rian berjalan mendekati Clara, ia bersandar di dinding sambil memperhatikan cara cewek itu bekerja.

“Mienya dimasukin?”

“Tunggu airnya agak mendidih, kalo masukin sekarang mah percuma ntar lebih lama nunggunya, percaya sama gue, gue ini lulusan terbaik universitas mie instan” canda Clara membuat Rian tersenyum geli, ia menyodorkan dua buah mangkuk sambil terus menunggu. “Kenapa lo senyum-senyum?” tengok Clara setelah memasukan mie ke dalam panci.

Rian angkat bahu, “nggak tau, tapi gue seneng aja ngeliat lo kayak gitu. Berasa lagi nungguin pacar masak”

“Mulai lagi deh” geleng Clara sambil memasukan potongan tomat dan sayuran ke dalam panci. Rian menarik kursi duduk di sebelah Clara sambil menopang dagu.

“Kalo gue bilang gue tertarik sama lo gimana?”

“Lo udah bilang beberapa kali, udah bosan gue dengernya” balas Clara acuh tak acuh.

“Cla, gue suka sama lo.”

Deg. Spontan wajah Clara berpaling dengan ekspresi terkejut. Rian terlihat serius tidak nampak dalam raut wajahnya ada sebuah lelucon yang tersimpan dari pernyataannya tadi, bibirnya bahkan tidak mengeluarkan tawa ataupun senyum kecil. Tangannya terus menopang dagu sementara matanya menatap mata Clara lurus, sejenak Clara sadar bahwa cowok di depannya ini benar-benar sedang menyatakan perasaannya dan saat itu juga ia bisa merasakan detak jantungnya mulai berdetak tidak normal sementara sistem kerja otaknya mendadak beku bingung harus menjawab apa.

“Udah masak tuh” tunjuk Rian ke arah mie di panci dengan dagunya.

“Eh- i-iya” balas Clara salah tingkah buru-buru memindahkan mie ke dalam mangkuk. “L-lo mau makan disini atau di ruang makan?”

“Disini aja sambil ngelihatin halaman belakang” balas Rian santai mengambil mangkuk mienya. “Makasih ya.”

Clara mengangguk menarik kursi duduk disebelah Rian, ia menghabiskan mienya dalam diam tidak ingin memulai topik pembicaraan karena masih merasa terkejut dengan perkataan cowok itu. Hening, baik dirinya maupun Rian sama-sama terdiam untuk alasan berbeda, raut wajah cowok itu terlihat begitu menikmati suasana di sekitarnya tidak memperdulikan fakta bahwa keheningan diantara mereka ikut dibalut rasa canggung. “Disini nggak sepi-sepi banget ya?” gumam Rian membuat Clara berpaling. “Gue di rumah nggak pernah makan terus ditemani gini”

“Sepi banget?”

“Yoe” jawab Rian acuh tak acuh menatap senang ke arah luar jendela dapur. Halaman belakang rumah Clara tidak terlalu luas hanya dihiasi tiang jemuran dan pohon jambu air, dibandingkan halaman rumah Rian tentu saja milik cewek itu tidak ada apa-apanya tapi entah mengapa Rian lebih senang berada di rumah ini, lebih kecil dengan banyak orang tinggal di dalamnya, seolah tidak akan pernah muncul hari-hari sepi dan sendiri. “Kapan-kapan bangun kemah yuk di halaman belakang” usul Rian tiba-tiba. Clara nyengir langsung menggeleng menolak.

“Banyak nyamuk, lagian apa enaknya kemping berdua?”

“Enaknya karena bisa satu tenda bareng”

“Ngarep lo” kekeh Clara. Rian nyengir menghabiskan mienya, sesaat ponselnya berbunyi nyaring. Dengan berat hati ia mengangkat panggilan telepon dari Nathan sembari batinnya mengucapkan sumpah serapah karena interupsi cowok itu.

[Lo dimana?] Suara keras musik membuat Rian langsung tahu Nathan sedang berada di club.

“Lagi kencan, kenapa sih?”

[Ke sini sekarang, Manda mabuk]

“Yaudah anterin aja pulang” balas Rian cuek, terdengar suara helaan napas Nathan tanda sedang menahan kesal.

[Gue kalo misal bisa nganterin pulang gue anterin, masalahnya dia nggak mau]

“Paksa aja”

[Dia lagi kacau dan nyariin elu, yakin lo tetap nggak mau peduli?]

Rian diam gantian ia yang menghela napas. “Gue kesana sekarang” katanya lalu menutup sambungan telepon.

“Lo mau pergi?”

“Iya, Nathan berisik banget minta tolong anterin” jawab Rian sedikit berbohong. Clara mengangguk lalu berdiri menemani cowok itu ke teras depan setelah sebelumnya berpamitan pada Indah. “Gue balik”

“Iya”

“Balap atau enggak nih?” goda Rian iseng sambil memakai helm.

Clara menggeleng sembari bersandar di pagar, “nanti lo jatuh” jawabnya pelan sekali sambil melihat ke bawah, sebenarnya hatinya merasa agak sedikit kecewa karena Rian pergi lebih cepat, tapi akan terlihat aneh jika ia menahan cowok itu pergi. Tanpa diduga tangan Rian bergerak naik mengusap pelan rambut Clara membuat cewek itu mendongak dengan ekspresi tidak karuan, ia tersenyum manis sementara Clara hanya terdiam seribu bahasa. Motor Rian kemudian melaju pergi keluar dari halaman rumah Clara dan menghilang ditelan gelapnya malam hari.

...*****...

“Manda mana?”

“Tuh” dagu Nathan menunjuk ke arah Manda yang sedang bersama teman-teman ceweknya di meja ujung. “Dari tadi minum nggak berhenti-berhenti”

“Lo bawa mobil kan?”

“Yoi”

“Pinjem ya, lo pake motor gue.”

Nathan mengangguk melemparkan kunci mobilnya dan mengambil kunci motor milik Rian. “Tuh anak kayaknya ada masalah deh, coba lo samperin.”

Rian mengangguk tanpa perlu dijelaskan lagi ia bisa melihat betapa kacaunya Manda dari cara dirinya menegak bir. Manda yang ia kenal bukanlah seorang yang suka minum sampai hangover, cewek itu pandai mengatur dan membatasi dirinya sendiri jadi agaknya kali ini Rian terpaksa harus membawa Manda pergi sebelum ia benar-benar merusak dirinya sendiri dengan minum sebanyak itu.

“Yuk pulang” ajak Rian tanpa basa-basi meraih tangan Manda. Cewek itu mendongak dan senyumnya mendadak muncul lantas berdiri memeluk Rian erat. Kening Rian berkerut mencium bau nikotin rokok keluar dari mulut Manda, cewek itu merokok? sejak kapan? “Lo ngerokok?”

“Dikit aja tadi” senyum Manda lebar.

Rian menarik napas panjang. “Lo kenapa sih minum banyak banget? Sampai mabuk lagi kayak gini”

“Gue nggak mabuk kok, buktinya gue masih bisa ngenalin elu”

“Len, gue bawa nih orang pulang ya” kata Rian pada Lena, cewek itu mengangguk menghisap rokoknya sambil menyerahkan tas kecil milik Manda.

“Ih gue bilang gue nggak mabuk dan gue masih mau disini.” Tangan Manda menepis kasar genggaman Rian membuat cowok itu balik badan dengan ekspresi tidak senang. Sesaat senyum Manda hilang, hatinya berkecamuk begitu melihat ekspresi Rian, batinnya terus bertanya-tanya apakah ekspresi itu ditunjukan karena Rian peduli padanya atau hanya sekedar bentuk ketidaksukaan karena tingkah Manda. “Gue masih mau disini” kata Manda menunduk.

Kedua tangan Rian terlipat di dada. “Yaudah kita berdiri disini sampai besok pagi.”

Manda mendongak, bibirnya berdecak akhirnya mengulurkan tangan menggandeng tangan Rian dan berjalan pergi. Matanya terus menatap punggung Rian sampai kemudian mereka masuk ke dalam mobil milik Nathan.

“Lo anggap gue apa?” tanya Manda tiba-tiba membuat Rian memalingkan wajah bingung. “Gue sayang sama lo, tapi lo nggak pernah peka sama perasaan gue.”

Hening, karena Rian memilih diam membiarkan Manda menumpahkan rasa sesak dihatinya dalam isakan kecil. Tangannya bergerak ingin menepuk pundak cewek itu tapi sesaat batinnya mengatakan agar tidak melakukan apapun. “Gue anterin lo pulang”

“Gue butuh lo jawab!” teriak Manda tidak bisa membendung rasa frustasi dalam dirinya lebih lama lagi. Rian balas menatap Manda, ia berusaha keras menahan diri agar tidak menghapus air mata dari pipi cewek itu karena Rian tahu sekali tangannya bergerak maka Manda tanpa sadar akan berharap lebih. Mungkin terdengar jahat tapi ini yang Rian yakini, menenangkan Manda saat ini sama saja dengan menunjukan bahwa ia membuka hatinya untuk cewek itu. Bibir Manda bergetar tersenyum pilu ketika mendengar suara tarikan napas Rian. “Lo beneran nggak bisa ngelupain dia ya? Gue ngerti sekarang ternyata sampai mati pun gue tetap nggak bisa ngalahin Esther.”

Rian diam malah menyalakan mesin mobil dan melaju pergi, membiarkan Manda memejamkan mata sambil menyandarkan kepalanya ke kaca pintu mobil. Tidak bisa melupakan Esther? pikir Rian dalam heningnya suasana. Ya mungkin Esther adalah satu-satunya cewek yang sampai kapanpun akan tetap tersimpan mati dalam memori Rian, tapi satu hal yang tidak diketahui oleh banyak orang, hati cowok itu kini perlahan mulai terbuka pada seseorang.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!