''Ada apa, Bi?'' tanya Erick saat Bi Irah mendekatinya.
Dengan langkah yang sedikit ragu dan wajah menunduk, pembantu itu mematung di samping Erick yang sedang menyantap sarapan paginya.
Semoga Den Erick mau mengerti.
''Den, Non Alina kemarin nggak mau makan,'' ucap Bi Irah sedikit gemetar, takut dengan Erick yang mungkin akan memarahi Alina, tapi Bi Irah juga takut terjadi apa apa dengan Alina.
"Apa?" Erick memekik dan melepaskan sendok di tangannya saat mendengar ucapan bi Irah.
Ada rasa khawatir dan ada rasa kesal dengan pernyataan itu.
"I.. iya, Den, bahkan Non Alina marah dan membuang makanannya." Lapornya lagi sengaja karena itupun perintah Alina untuk mengadu ke Erick.
Dengan sigap Erick beranjak dan berlari menyusuri anak tangga menuju kamar Alina.
Ceklek.... Erick membuka pintu dan menghampiri Alina yang masih meringkuk di atas ranjang.
"Kenapa kamu nggak makan?" celetuk Erick.
"Nggak lapar," jawab Alina ketus, gadis itu menarik selimutnya hingga menutupi seluruh tubuhnya, malas bertemu dengan Erick yang tak pernah halus padanya.
Terdengar Erick makin mendekatinya dan menarik selimutnya dari belakang.
"Cepat bangun, makan, atau kamu mau aku lebih kasar lagi," ancamnya.
Tanpa mengangkat kepala Alina menoleh menatap manik mata tajam Erick.
"Aku tidak peduli, mau mati di tangan kakak pun aku sudah ikhlas, asalkan kakak puas, lagi pula apa yang aku harapakn, satu satunya orang yang aku cintai malah membenciku." Suara lirih Alina yang tak bisa melanjutkan ucapannya karena sesak di dadanya makin menyeruak.
Aku yakin masih ada cinta di hati kakak untuk aku, tapi aku tidak tau apa yang membuat kakak membenciku, semoga cintaku bisa mengalahkan rasa benci kakak.
"Jhon tutup pintunya!" titah Erick pada sang penjaga.
"Kakak mau apa?" tanya Alina sedikit gugup saat senyum seringai itu terbit di sudut bibir Erick saat menatapnya.
Erick mendekatkan wajahnya di telinga Alina dan menarik ceruk lehernya.
''Kita kan suami istri, bukankah harusnya kamu melayaniku.''
Deg, jantung Alina berdetak dengan cepat, bulu halusnya mulai berdiri saking kagetnya dengan ucapan Erick, Alina sontak memukul dada Erick yang mulai terekspos.
''Tidak,'' tukas Alina. ''Aku tidak mau.'' lanjutnya lagi mencoba untuk mundur menghindari Erick yang kini ikut naik ke atas ranjang.
''Kenapa, bukankah aku orang yang kamu cintai, kenapa kamu masih menolakku?'' Erick mulai memainkan jarinya di wajah Alina.
''Karena kakak bukan orang yang mencintaiku.'' Jawabnya, meskipun dalam keadaan yang mencekam Alina masih berpikir dengan jernih mana yang harus di perjuangkan dan mana yang tidak.
''Apa itu penting?'' tanya Erick masih dengan aksinya yang mencoba menggapai tubuh Alina.
''Sangat penting, karena bagi aku, orang yang mencintai aku lah yang berhak atas diriku, jadi jangan harap aku akan diam dengan perlakuan Kakak.''
Seperti sebuah angin lalu, itulah anggapan Erick saat mendengar suara Alina, pria itu makin antusias melepas kemejanya dan mengukung tubuh Alina di bawahnya, bahkan Erick tak memberi ruang sedikitpun pada istrinya itu untuk bisa lepas.
''Tapi sayang, kamu tidak bisa lari dari kenyataan, jadi terimalah.''
Tuhan, selamatkan aku, meskipun dia suamiku aku tidak rela dia memperlakukan aku seperti ini.
Kini percuma, tubuh Alina sudah terkunci, kedua tangannya berada di genggaman tangan Erick, sedangkan tubuh Erick bertumpu pada tubuhnya. Alina memilih untuk memejamkan matanya dan berharap ada keajaiban yang datang. karena melawan pun percuma, tenaganya yang sangat kecil tak mampu mengimbangi tenaga Erick yang perkasa.
Tangan Erick mulai nakal membuka kancing piyamanya di bagian atas, hanya air mata yang kini menjadi saksi bisu betapa bejatnya Erick memperlakukan dirinya.
Segera Erick mencium leher Alina dan memberi tanda kepemilikan disana, dengan tegasnya pria itu tak menghiraukan Alina yang sudah terisak.
Saat Erick ingin mendaratkan bibirnya yang kedua kali, terlintas bayangan gadis kecil yang dengan manjanya merengek minta gendong padanya.
¤ ''Kakak, aku capek, gendong,'' gadis kecil itu nerentangkan kedua tangannya saat berjalan di belakang Erick.
Dengan sigap Erick menoleh lalu berjongkok di depan gadis itu dan menggedonngnya.
''Kapan kamu mandiri?'' goda Erick kecil.
''Nanti,'' jelasnya mencubit telinga Erick.
''Alina, nanti kalau aku sudah besar, aku akan melindungimu, kita akan sama sama selamanya.'' ucap Erick.
''Janji ya!" pinta lagi Alina mengangkat jari kelingkingnya.
"Aku janji, aku akan menjadikanmu wanita paling bahagia di bumi ini." keduanya saling menautkan jari dan tersenyum.¤
Spontan Erick beranjak pergi dari tubuh Alina tang tergolek lemas.
Pria itu memungut kemejanya yang di letakkan di lantai lalu memakainya.
"Sekarang kamu turun, aku tunggu di meja makan."
Tak menunggu jawaban Erick meninggalkan Alina yang masih sangat kacau.
Aku harus bagaimana menghadapi kamu, makin hari kamu makin menyakiti diriku kak, kesabaran ada batasnya, dan rasanya aku sudah lelah berada di posisi ini, aku juga ingin bahagia seperti wanita lain yang di cintai oleh suaminya.
Setelah punggung Erick menghilang, Alina berlari ke kamar mandi menyalakan sower, mengguyur seluruh tubuhnya dengan air dingin.
''Kamu jahat kak, kamu benar benar kejam, kamu sudah tega menyakitiku, baiklah, karena kamu yang memulai, kamu juga yang harus mengakhiri sampai di mana batas hubungan ini.''
Tak mau larut dalam kesedihan yang berhari hari meliputinya, Alina segera turun menemui Erick setelah membersihkan dirinya.
Tiga puluh menit di meja makan, belum ada tanda tanda Alina muncul, Erick hanya bisa melihat jam yang melingkar di tangannya dan sesekali menoleh ke arah tangga.
Apa Alina nggak mau turun.
Erick mulai menyendok makanan yang ada di hadapannya, namun tangannya berhenti saat telinganya mendegar suara langkah kaki.
Erick menerbitkan senyum kecilnya, namun kembali menenggelamkannya saat Alina mendekatinya.
''Duduk!" titah Erick tegas, menyungutkan kepalanya ke arah kursi yang ada di sampingnya.
Alina menarik kursi di bagian paling ujung.
Kenapa dia duduknya disana, apa dia nggak ingin dekat denganku.
Kali ini Eeick hanya bicara dalam hati, tak mau membuat makan paginya penuh drama.
Baru beberapa menit hening, suara ribut terdengar dari pintu utama.
Erick menghentikan makannya, sedangkan Alina tak peduli, meskipun tak ***** setidaknya makanan itu untuk mengganjal perutnya.
Erick beranjak dan keluar untuk melihat keributan didepan.
"Ada apa ini?" tanya Erick menatap Melani yang mematung dengan wajah jengkelnya.
"Kak, masa aku nggak boleh masuk sama mereka," ucap Melani, menunjuk dua penjaga yang masih berdiri tegap di samping pintu.
Tanpa bicara Erick menarik pengelangan tangan Melani dan membawanya masuk.
"Untuk apa kamu datang ke sini sih?" tanya nya.
"Mau main saja," mata Melani langsung melirik ke arah Alina yang masih sibuk dengan piringnya.
Itu Alina baik baik saja, kenapa bang Putra pengin tau keadaannya sih, itu leher, a.... itu artinya kak Erick sudah melakukan itu sama Alina, benar benar kak Luna sudah nggak punya harapan lagi.
"Lihatin apa?" cetus Erick saat mata Melani terus tertuju pada sesuatu yang mengejutkannya.
Melani menggeleng tanpa suara, tak mau Erick curiga dengan kedatangannya, gadis itu mengambil piring dan mengambil nasi. alih alih ikut makan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Andi Fitri
erick sayang sm alina itu krn pengaruh om nya aja
2021-11-07
0
Tiah Sutiah
sebenar nya erik juga cinta sama alina karna misi dendam nya yg membutakan mata dan hatinya semoga erik segera menyadari nya dan mau menyelidiki kembali kasus pembunuhan orang tua nya sebelum terlambat semangat thor lanjuttt
2021-08-13
1
Diana Susanti
lanjuuuut kak up nya yaa kutunggu loh💪💪💪💪
2021-08-13
0