''Orang yang membunuh papamu tidak pantas bahagia.''
''Mama....'' jerit Erick, pria yang baru saja membuka mata itu menyibak selimutnya dan turun dari ranjangnya. Dengan tubuh yang di penuhi keringat, Erick beralih menuju sofa kamarnya.
Suara sang mama seakan nyata mengingatkan misi yang harus ia capai.
''Ternyata cuma mimpi.''
Dengan napas ngos ngosan, Erick menuang air putih dan meneguknya.
''Aku tidak akan lupa, siapapun orangnya aku tidak peduli, mereka harus membayar apa yang sudah di lakukannya.
Dengan langkah lebarnya Erick keluar dari kamarnya menghampiri kamar Alina.
Erick mengepalkan tangannya setelah membuka pintu, ternyata Alina masih ada di balik selimut.
Sampai kapanpun aku tidak akan membiarkan kamu bahagia.
''Alina...'' panggil Erick dengan lantang.
Alina yang samar samar mendengar suara familiar itu membuka matanya perlahan dan menggeliat.
''Kak Erick,'' cicitnya saat mendapati suaminya yang sudah mematung di sana.
''Kakak butuh sesuatu?'' Tanya Alina merapikan rambutnya yang berantakan.
Pria itu tak menjawab, namun sorot matanya di penuhi dengan amarah.
''Kakak nggak apa apa kan?'' tanya Alina lagi, rasa ingin taunya begitu besar hingga membuat Alina tak tinggal diam.
Masih tak ada jawaban.
''Kalau kakak ada masalah, cerita saja, sekarang kita sudah menikah, jadi apapun masalah kakak adalah masalah aku juga.''
Seketika Erick mendorong tubuh Alina hingga kembali terjatuh di atas ranjang.
Wanita itu terkejut dan menatap Erick yang makin mendekatinya.
''Ini ada apa, Kak?'' Alina mencoba bangun memukul tubuh Erick, namun Erick tak melepaskannya begitu saja, dan kini tubuh kekar itu malah mengukungnya.
''Kamu ingin tau masalahku kan?''
Alina mengangguk, meski ia merasa takut, Alina mengesampingkan itu semua.
''Masalahku adalah kehadiran kamu, jadi jangan pernah kamu menganggap diri kamu orang yang penting di hidupku, bahkan sedikitpun aku tidak mencintai kamu, dan di sini kamu harus nurut dengan apa yang aku perintahkan.'' Ucapnya lalu kembali beranjak.
Alina ikut bangun dan berdiri tegap di belakang Erick. ''Kalau memang Kakak tidak mencintaku, Lalu kenapa kakak menikahiku, harusnya kakak tidak usah menjemputku dan memberikan harapan palsu. Aku bisa hidup sendiri tanpa kakak.'' Ucap Alina mulai melemah, setegar apapun ia hanyalah seorang perempuan yang mempunyai hati lembut, apa lagi selama ini Alina sudah menderita hidup dengan bibinya.
Erick yang dari tadi mendengar ucapan Alina memutar tubuhnya hingga keduanya kini bersihadap.
''Aku menikahi kamu, karena aku tidak mau kamu hidup bahagia, mulai hari ini hidup kamu ada di tanganku, jadi jangan harap kamu bisa menikmati dunia ini dengan bebas.''
Dengan teganya Erick mencengkeram erat rahang Alina. Matanya menyala dan siap untuk menyemburkan bara api.
Aku tidak boleh gegabah, kekerasan tidak boleh di hadapi dengan kekerasan, karena kelembutan terkadang bisa menghancurkannya, aku akan mencari cara lain untuk membuat kak Erick sadar.
''Permisi, Den,'' tiba tiba saja suara Bi Irah dari arah pintu.
Erick melepaskan cengkeramannya menghampiri Bi Irah.
''Ada Non Luna di bawah.''
''Baiklah, aku akan turun, suruh dia menunggu.''
Luna lagi, Luna lagi, apa mungkin sifat kak Erick berubah gara gara wanita itu, aku tidak boleh menyerah, aku harus memperjuangkan hakku sebagai seorang istri.
Setelah punggung Erick menghilang, Alina ikut keluar kamarnya dan turun menemui tamu yang datang.
''Alina,'' sapa Luna dengan lembut.
''Mau apa kamu pagi pagi kesini, bukankah kamu tau kalau aku dan kak Erick baru saja menikah.'' Ucap Alina.
''Hemmm.... sangat tau, memangnya nggak boleh kalau aku kesini, Erick sahabat aku, dan apa salahnya,'' mengangkat kedua bahunya.
''Sangat salah, seorang perempuan mendatangi seorang laki laki yang sudah mempunyai istri itu sangat tidak pantas, apa lagi kamu seorang artis, jadi aku sarankan jangan pernah datang ke rumah ini.'' Tegasnya.
''Siapa kamu, melarang Luna datang,'' sahut suara Erick yang masih menyusuri anak tangga, pria yang sudah terlihat rapi itu nampak tidak suka dengan teguran Alina untuk Luna.
Luna tersenyum penuh kemenangan, tak menyangka Erick akan membela dirinya.
''Lagi pula ini rumahku, dan hanya aku yang berhak untuk mengambil keputusan, bukan kamu.'' Jelasnya menunjuk ke arah dada Alina.
''Tapi aku istri kamu, Kak,'' mengingatkan satu hal yang mungkin di lupakan Erick.
''Istri di atas kertas, dan aku ingatkan sekali lagi, jangan pernah sok berkuasa, karena dirimu tak lebih seperti Bi Irah.''
Jangan nangis Alina, jangan terlihat lemah di depan Luna, karena dia akan menertawakan nasibmu saat ini.
Sekuat tenaga Alina membendung air matanya yang siap luruh.
Alina alina, kamu belum tau Erick, meskipun kamu pacar masa kecilnya, aku yang lebih tau sifatnya, jadi kamu nggak akan pernah menang dariku, meskipun sekarang kamu istrinya aku juga bisa merebutnya dari kamu.
''Rick, maafkan aku ya, aku sudah lancang ke rumah kamu. Harusnya aku nggak datang kesini, Alina benar,_
Sssttt..... Erick mendaratkan jarinya di bibir Luna. ''Kamu adalah teman aku, jadi jangan pernah bilang seperti itu, kapanpun pintu rumah ini akan selalu terbuka untuk kamu.''
Bagaikan tertusuk jarum yang bertubi tubi, itulah hati Alina, meskipun tak di anggap, setidaknya Erick tak keterlaluan mempermalukannya di depan Luna.
Alina menunduk menatap jam yang melingkar di tangan suaminya, dan ternyata itupun sama dengan jam yang melingkar di tangan Luna.
Apa itu hadiah pemberian Luna, jika tidak, kenapa bisa sama.
''Rick, aku kesini cuma mau bilang, kalau ban mobil aku kempes di depan, jadi aku mau numpang mobil kamu.''
Dasar modus, apa nggak ada cara lain selain ban kempes.
Alina memalingkan wajahnya, tak mau menanggapi adegan di depannya tersebut.
''Nggak apa apa, lagian kita kan satu arah, dan kemanapun kamu pergi, aku siap mengantar kamu.''
Setelah punggung Erick dan Luna menghilang, Alina ke belakang menghampiri Bi Irah yang sibuk dengan peralatan dapur.
''Bi, apa aku boleh pinjam ponsel Bibi.''
''Ini,'' menyodorkan ponsel ke arah Alina.''
''Terima kasih ya, Bi,'' dengan girangnya Alina memeluk Bi Irah.
''Yah....'' Alina kembali menekuk wajahnya karena ia tak ingat nomor Erna, sang sahabat.
''Kenapa, Non?''
''Aku lupa nomor Erna, Bi.''
Apa aku datang ke restoran saja ya, kalau begitu kan aku bisa leluasa bicara sama dia.
Tanpa aba aba Alina berlari menuju arah tangga, namun langkahnya berhenti saat pintu depan terbuka.
Alina menoleh menatap beberapa orang berbaju hitam yang masuk.
''Siapa kalian?'' tanya Alina
Empat orang yang berjejer di belakang pintu itu menunduk.
''Kami adalah suruhan pak Erick untuk menjaga Nona.''
Memangnya aku bayi yang harus di jaga segala.
''Maksud kalian?'' tanya Alina kembali memastikan.
''Pak Erick tidak mengizinkan Nona untuk keluar dari rumah ini dengan alasan apapun dan kemanapun.'' jelasnya secara gamblang.
''Ckckck.... ternyata kak Erick tidak membiarkanku begitu saja, jangan nyerah Alina, pasti akan ada jalan di lain waktu.'' gumamnya kecil.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Uswatun Hasanah
ini smua ulah om bima. dia yg bunuh papa nya erik untuk nguasain harta nya ,,papa nya alina hanya kambing hitam nya bima ,,erik akan menyesal nanti nya
2021-12-06
0
Lutha Novhia
aq berharap alina bukan jodoh erick
n suatu saat alina mndptkn jodoh yg spadan dgnnya
bukan laki2 macem erick yg oon 😠😠
2021-12-03
0
Akira Pratiwie
sneng alina GK lemah dan cengeng
2021-10-17
1