Buk..... buk.... buk... "Dasar anak tidak berguna, berapa kali bibi bilang, kalau gajian jangan di buat poya poya.''
Bi Monah marah besar setelah menerima uang gaji Alina, bahkan wanita paruh baya itu tak bisa menahan emosinya untuk terus memukul punggung Alina menggunakan guling.
"Ampun, bi." Melindungi punggungnya dengan kedua tangannya, Alina tak kesakitan, namun ia sungguh tak menyangka kalau Bibinya akan semarah itu, padahal Ia cuma mengambilnya untuk membeli keperluannya yang penting.
"Nggak ada ampun," masih saja Bi Monah meneruskan aksinya hingga napas wanita itu ngos ngosan.
Kalau bukan karena wasiat di saat Ibu yang masih mendekam dalam hati, Alina sudah memilih untuk pergi dari rumah itu, sayangnya ia masih berpegang teguh dengan ucapan Mamanya sebelum menghembuskan nafas yang terakhir.
Alina, dunia ini kejam, kamu harus tinggal sama Bibi sebelum ada laki laki yang meminangmu, ingat kata Mama, jangan pernah serahkan kehormatan kamu demi apapun, sampai darah penghabisan pun kamu harus menjaganya.
Bahkan Alina sempat tak percaya kalau itu ucapan yang terakhir dari mamanya, karena di saat itu kondisi sang Mama mulai membaik dari penyakit yang di deritanya, nyatanya setelah beberapa menit mamanya tidur untuk selama lamanya.
Setelah lelah, Bi Monah masuk ke dalam kamarnya, sedangkan Alina membalikkan tubuhnya dan bersandar di kursi yang jauh dari kata empuk.
"Ma, pa, Andaikan kalian masih hidup, aku tidak akan menderita seperti ini, pasti aku kuliah dan menjadi sarjana, tapi apa sekarang, aku hanya pelayan restoran, Ma."
Berulang kali Alina mengeluh dengan nasib yang tak begitu baik, namun gadis itu masih berharap Erick menepati janjinya dan membawa dirinya ke kehidupan yang lebih baik lagi.
Alina menoleh menatap kamar Bi Monah yang tertutup rapat.
"Aku doakan semoga tangan Bibi linu biar nggak bisa mukul aku lagi."
Masih sempat sempatnya Alina berdoa yang jelek untuk bibinya.
Bergegas ia beranjak memungut pembalut dan bedak yang di buang bibinya itu dan mengusungnya ke kamar.
"Gara gara kamu aku di marahi Bibi," melempar barang barang nya di atas ranjang. Alina langsung menghempaskan tubuhnya dan menatap langit langit kamarnya yang sudah lapuk. Masih memikirkan nasib apa yang ada di depannya nanti, harapan yang tak kunjung tiba membuatnya jenuh untuk selalu membendung harapan.
"Sekarang wajah kak Erick kayak gimana ya, pasti dia tampan." Memvisualisasikan wajah pria yang di rindukannya itu bak artis luar negeri.
Alina mengambil foto masa kecilnya bersama Erick. Sembari senyum senyum tipis gadis itu terus mengingat masa lampau, masa yang sangat indah, tiada masalah yang menerpa, hanya ada kebahagiaan yang melanda, namun beda dengan saat ini, tak ada hari yang tak ada masalah, apa lagi jika berhadapan dengan Bi Monah, pasti bawaannya darah tinggi.
Ting tung, tiba tiba saja bunyi notif ponselnya membuyarkan lamunannya, segera Alina merogoh tasnya dan mengambil benda pipihnya.
Ternyata pesan dari Erna yang ngajakain jalan jalan dengan alasan baru gajian.
Alina hanya bisa gigit jari jika menyinggung gajian, karena saat ini sama sekali ia tak memegang uang kecuali kembalian belanjanya.
"Apa aku tolak saja ya," gumamnya.
Akhirnya ia membalas chat dari Erna, menolak dengan alasan capek.
Tapi aku sudah ada di depan rumah bibi kamu, sudah tenang saja biar aku yang traktir.
Balasan dari Erna membuat Alina terperanjat kaget, gadis itu langsung beranjak menghampiri jendela dan membuka gordennya.
Keduanya saling melambaikan tangan, meskipun hari sudah gelap, lampu motor yang menyala membuat Alina masih dengan jelas bisa melihat sahabatnya.
"Tunggu!" sedikit meninggikan suaranya.
Alina segera bersiap untuk pergi, tak muluk, hanya memakai make up tipis dan memakai baju yang lebih tertutup, takut di goda pria yang tak bertanggung jawab.
Meskipun masih sebel dengan Bi Monah yang memarahinya, Alina tetap harus meminta izin, dengan langkah perlahan dan ragu gadis itu mendekati pintu kamar bibinya.
Semoga bibi mengizinkan.
Tok...tok... tok..Alina mengetuk pintu.
Tak lama pintu terbuka, muka yang sinis mematung di depannya menatapnya dari atas sampai bawah.
''Mau kemana?'' tanya nya.
''Aku mau jalan jalan sama Erna.'' Ucap Alina.
Bi Monah melipat kedua tangannya. ''Jangan malam malam kalau pulang, jaga diri, jangan sampai bikin malu keluarga.''
Walaupun ketus, Alina tetap merasa bahagia dengan ucapan Bu Monah. Sebuah peringatan yang menunjukkan kasih sayangnya.
''Baik, Bi.'' Meraih tangan Bi Monah dan mencium punggung tangannya.
''Lama ya?'' tanya Alina menghampiri motor Erna.
''Sedikit.''
''Ke mana nih enaknya?''
Keduanya saling mikir tempat yang akan menjadi tongkrongannya saat ini.
''Cafe saja.''
Alina duduk di belakang Erna, gadis yang memilih jomblo dan belum mau pacaran, karena bagi Erna mempunyai pacar itu sesuatu yang ribet dan tak bisa membuatnya bebas.
Tiga puluh menit kuda besi Erna menerobos jalanan, kini gadis itu sudah berada di cafe, meskipun tanpa pacar setidaknya bisa menghilangkan kejenuhan karena kepenatan bekerja.
''Kamu yakin mau traktir aku?'' Sedikit malu malu.
''Iya, jangan khawatir,'' menepuk lengan Alina.
''Aku tau kok kalau gaji kamu sudah di minta bibi kamu,'' celetuknya, masih teringat dengan cerita Alina di bulan yang lalu.
''Terima kasih ya, kamu memang sahabat yang paling mengerti aku, kamu selalu ada di saat aku terpuruk.'' Dengan erat Alina memeluk Erna yang masih nangkring di atas motor.
''Itulah gunanya sahabat, aku akan selalu ada untuk kamu kapanpun, jangan menyerah, aku yakin suatu saat kamu akan mendapat kebahagiaan.''
Erna mengusap punggung Alina, mengerti dengan keadaannya yang tidak baik baik saja. Bukan tak bisa membantu, Alina memang tak mau menerima tawaran untuk tinggal di rumahnya.
Dengan langkah gontainya kedua gadis itu masuk ke dalam cafe, Alina dan Erna memilih tempat paling pinggir supaya lebih nyaman dan tidak terlalu berisik dengan omongan yang lain.
''Kamu pesan apa?'' tanya Erna.
''Samain saja.'' jawabnya singkat. Sudah di traktir, Alina tak mau merepotkan Erna.
Tak sengaja saat mengedarkan pandangan Alina menangkap seorang laki laki dengan tangan yang tidak asing baginya, Di samping tempat duduknya ada seorang pria yang tadi pagi ia temui di kantor. Pria itu terlihat sangat serius saat bicara dengan orang di depannya. Namun Alina tak mengerti dengan apa yang mereka bicarakan. Dengan nada bicaranya sepertinya itu masalah bisnis.
Tatapan Alina tak fokus pada wajahnya melainkan pada punggung tangan pria itu. punggung tangan yang mirip sekali dengan yang ia gigit waktu kecil.
Itu kan laki laki yang tadi pagi, kenapa bisa kebetulan lagi sih. Apa dunia ini memang sempit, tapi kenapa aku tidak bertemu kak Erick. Jangan jangan orang itu....
Lagi lagi Alina hanya bisa menepis perasaannya, tak mau berburuk pada orang lain.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
🐊⃝⃟ Queen K 🐨 코알라
Erick masuk jebakan pamannya niih 😌😌
2021-10-25
0
Eka Priskila
lanjut
2021-07-22
0
Rahma Wati
kayaknya pelakunya pamannya sendiri
2021-07-22
0