''Ya.... kempes,'' Alina hanya bisa menendang ban sepedanya, bosan dengan bannya yang kempes terus, padahal tadi pagi sebelum berangkat sudah diisi angin, mungkin karena sudah butut dan jarang di rawat.
Akhirnya ia memilih untuk jalan kaki meninggalkan sepeda mini di parkiran restoran, setelah beberapa langkah menyusuri jalan, tiba tiba saja sebuah mobil mewah berhenti di sampingnya.
Kaca mobil terbuka membuat Alina tersenyum lebar, ternyata Putra.
''Kenapa jalan?'' teriak Putra dari dalam mobil.
''Ban sepedaku kempes, tukang tambal jauh, sudah terlalu sore, Erna sudah pulang, jadi aku mau cari angkut.''
Alina tetap mematung di tempat tanpa ingin mendekati mobil itu.
"Aku anterin yuk!" Putra membuka pintu sebelah.
Alina diam, berpikir, apa jadinya kalau sampai ia di antar Putra, pasti bibinya sangat marah jika tau.
"Nggak usah bang, dekat kok."
Putra terpaksa turun menghampiri Alina.
"Aku kan sudah tau rumah kamu, jam segini angkut juga sudah sepi, kalau jalan pasti menghabiskan waktu satu jam. Ayo ikut saja, nggak apa apa," menarik lengan Alina dan mendorong tubuhnya hingga duduk manis di jok depan.
"Tapi bang,_ bahkan Alina sudah tak bisa menolak lagi saat Putra memasangkan seal belt nya dan menutup pintu.
Sekarang kamu bisa enak enakan naik mobil, tapi harimau betina pasti akan meraung raung kalau tau.
Tak ada pembicaraan sedikitpun dalam perjalanan, Alina membayangkan raut wajah bibinya jika sampai tau dia di antar laki laki, sedangkan Putra sibuk mendengarkan musik lewat handset.
Setelah tiba di dekat gang, Alina menepuk lengan Putra yang sibuk menikmati musik.
"Apa?" Putra memelankan laju mobilnya dan menoleh menatap Alina.
"Berhenti disini saja, jangan sampai rumah," pinta Alina.
"Nggak apa apa, aku nggak merasa di repotkan." timpal Putra yang masih kekeh menjalankan mobilnya.
"Bang, aku mohon," Alina menangkupkan kedua tangannya mengiba supaya Putra mengabulkan permintaannya.
Terpaksa Putra menghentikan mobilnya.
"Terima kasih ya, bang."
"Sama sama." Sebelum keluar Alina celingak celinguk, takut kalau bibinya tiba tiba lewat dan melihatnya.
Aman, semoga bibi nggak lihat.
"Da... da... bang Putra." Alina melambaikan tangannya, begitu juga dengan Putra yang membalasnya.
Baru saja ingin menancapkan gasnya, ponsel Putra berdering, berkelip nama Kak Erick dilayar ponselnya.
Segera Putra menggeser lencana warna hijau, takut kalau Erick akan marah jika kelamaan.
"Iya kak, aku di jalan," jawab Putra, karena biasanya Erick menanyakan keberadaannya.
Yang di seberang sana masih menggigit bibir bawahnya dan memasukkan satu tangannya di saku celana.
Put, kasih alamat rumah Alina yang bekerja di restoran.
Tak basa basi, baginya tak penting untuk bercanda.
Meskipun sedikit heran, Putra tetap memberi tau alamat rumah Alina, wanita yang baru saja di antarnya.
Belum juga bertanya ada keperluan apa, ponsel keburu terputus, Putra hanya bisa memukul setirnya.
Alina yang sudah tiba di depan rumah bibinya, hanya bisa bernapas lega dan mengelus dadanya saat melihat dari depan bibinya sedang melipat baju di dalam.
Segera gadis itu masuk ke dalam.
''Mana sepada kamu?'' celetuk bi Monah tanpa menghentikan aktivitasnya, bahkan wanita paruh baya itu tak menoleh sedikit pun.
''Bannya kempes, Bi, aku tinggal di restoran,'' jawabnya sedikit ragu, raut wajahnya sedikit takut, karena Alina yakin kalau pertanyaan bibinya tak hanya sampai di situ.
''Pulang naik apa?'' tanya nya lagi.
Kali ini menatap wajah Alina menyelidik.
''Angkut.'' jawab Alina bohong.
''Permisi....'' Tiba tiba suara dari depan membuyarkan keduanya.
Alina langsung masuk kamar, sedangkan Bi Monah menghampiri tamunya.
''Ada apa ya, Bu?'' Ternyata tetangga sebelah yang datang.
''Cuma mau tanya, Bi, itu si Alina pacarnya orang kaya ya?'' sambil kipas kipas wanita yang baru datang itu menyungutkan kepalanya ke arah kamar Alina.
''Maksud ibu apa?'' Tanya Bi Monah antusias.
''Hati hati Bi, jangan terlalu percaya sama wajah polos Alina, tadi aku lihat dia turun dari mobil mewah, mungkin takut ketahuan bibi jadi dia turunnya disana,'' menunjuk ke arah ujung jalan.
Bi Monah diam, amarahnya mulai membludak mendengar ucapan sang tetangga.
''Ibu nggak bohong?'' Tanya Bi Monah lagi, memastikan kalau yang ia dengar saat ini adalah sebuah kenyataan.
''Untuk apa Bi, kami hanya ingin lingkungan ini bersih, nggak di kotori dengan hal yang begituan, apa lagi Alina masih gadis, takutnya terjerumus dosa, kan bahaya untuk remaja yang lainnya.''
Setelah mengucapkan terima kasih, Bi Monah menghampiri kamar Alina dan mengetuk pintunya.
Tak lama, Alina segera membukanya.
''Ada apa, Bi?'' Alina hanya menyembulkan kepalanya.
Tanpa aba aba Bi Monah mendorong pintu hingga terbuka lebar, Alina terkejut dan mundur dua langkah saat melihat kemarahan di wajah Bibinya.
''Kamu sudah berani bohongin bibi,'' cecarnya.
Alina makin tidak mengerti dengan maksud Bi Monah.
''Mak... maksud bibi apa?'' tanya Alina gugup.
Plaakkk.... Tangan Bi Monah mendarat tepat di pipi mulus Alina.
Gadis itu hanya bisa mengelus pipinya yang sudah memerah.
''Berapa kali bibi bilang, jangan sembarangan jalan dengan laki laki, apa lagi di belakang Bibi, kalau kamu sudah tidak mau bibi atur, pergi dari sini!" Menunjuk ke arah pintu depan.
Alina terbelalak, sekian lama bi Monah memarahinya, ini pertama kalinya wanita itu mengusirnya.
"Bi, aku minta maaf, itu teman aku, namanya bang Putra, kalau bibi nggak percaya, aku bisa panggilin dia ke sini," Ucap Alina di sela sela tangisnya, sangat menyayangkan kalau kebohongannya itu malah membawa bomerang bagi dirinya.
Bi Monah diam melipat kedua tangannya.
"Tidak ada maaf, sekarang kamu pergi, bawa semua baju baju kamu, aku tidak sudi punya keponakan yang membangkang dan tak mau di atur," meraih tas Alina dan membuka lemarinya.
Memohon sampai nangis darah pun Alina tidak akan bisa menghentikan amarah bibinya, akhirnya ia memilih untuk diam dan merapikan bajunya.
Setelah semua beres, Alina mendekati Bi Monah yang mematung di samping pintu kamarnya.
"Bi, aku minta maaf, karena selama ini aku sudah menyusahkan Bibi, bibi jaga diri baik baik. Makan yang teratur, aku pergi."
Karena tak ada jawaban, Alina langsung melewati Bi Monah yang masih terlihat marah dengan kebohongannya.
Mungkin pergi dari sini adalah jalan yang terbaik, toh selama ini aku juga sudah membayar ganti rugi dengan gajiku, semoga aku bisa mendapatkan tempat yang lebih layak lagi.
Baru saja membuka pintu depan, Alina di kejutkan dengan pria gagah yang sudah ada di sana.
''Ba... bapak,'' Alina makin bingung dengan pria itu, ada rasa takut yang meliputi dirinya, teringat kejadian di depan perusahaan yang membuatnya harus bolak balik antar makanan.
''Alina Fitriyani, putri Om Johan.'' Ucapnya enteng.
Alina mengerutkan alisnya saat mendengar ucapan pria itu.
''Dari mana bapak tau nama papa saya?''
Tanya Alina makin penasaran, sebenarnya siapa pria di depannya tersebut.
Pria itu menghela nafas panjang. ''Dari kecil aku tau siapa kamu dan keluarga kamu, apa kamu lupa, aku yang melindungimu saat takut suara petir, apa kamu juga lupa aku yang selalu menjemputmu pulang sekolah, dan apa kamu juga lupa kalau aku akan menjemputmu setelah dewasa.''
Seketika Alina menjatuhkan tas yang menggantung di tangannya.
''Kak Erick, kamu kak Erick'' mengulangi menyebut nama itu.
Pria itu mengangguk tanpa suara.
Spontan Alina memeluk tubuh kekar di depannya, tanpa permisi gadis itu menangis sesenggukan di dekapan tubuh pria itu, penantian panjangnya kini sudah tiba.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Gilang Hamzah
Yg sabar Alina penderitaan mu br dimulai😔
2021-12-15
0
Roslia Roslia
lanjut
2021-12-14
0
Nora Hutapea
kasihan alina
2021-12-07
0