''Semalam kakak tidur di mana?'' tiba tiba saja suara itu menyambut Erick yang baru saja membuka pintu, pria dengan mata yang sedikit berat itu mengedarkan pandanganya ke arah tangga. Nampak calon istrinya yang mematung di sana.
Erick melangkahkan kakinya mendekati Alina yang kini melipat kedua tangannya. Seolah ingin mengintrogasinya yang semalam tak pulang.
''Aku ketiduran di apartemen,'' jawabnya diiringi senyuman kecil. Karena Erick tau mau kalau Alina mencurigainya dengan sesuatu yang memang tak ia lakukan.
''Tapi kenapa waktu aku telepon nggak di angkat?'' tanya Alina lagi.
Erick termangu, karena ia tak merasa mendapat telepon dari Alina.
Jangan jangan saat Luna mengatakan ada yang menghubungiku waktu aku ke kamar mandi, untung Luna tak menjawabnya. lirih hatinya.
''Aku ketiduran, maaf, karena sudah membuatmu khawatir.'' Mengacak rambut Alina yang sudah berantakan. Mungkin dengan jawaban itu Alina akan percaya.
''Kak, hari ini aku mau ke restoran.''
''Untuk apa?'' tanya Erick selembut mungkin, demi misinya yang belum mencapai finish.
''Aku boleh kan ngundang Erna.''
Erick hanya mengangguk tanpa suara. Baginya tak masalah dengan siapapun yang di undang Alina.
''Aku mau ke kantor, ada urusan penting, kamu nggak mau nyiapin bajuku?'' spontan Erick merangkul pundak Alina.
Gadis itu hanya mengangguk dan mengikuti Erick menuju kamarnya.
Pertama kalinya Alina harus berada di satu ruangan bersama seorang pria, meskipun Erick adalah calon suaminya, jantung Alina tetap berdegup dengan kencang saat menatap Erick melepas bajunya, bahkan Alina memalingkan wajahnya saat dengan tidak sopannya Erick mendekatinya dengan telanjang dada.
''Kakak mau ngapain?'' Tanya Alina gugup, bahkan untuk menelan ludahnya saja harus dengan susah payah.
Dengan mata saling tatap Erick mengambil handuk dari dalam lemari.
''Ambil ini.'' mengangkat kain putih di depan Alina.
Gadis itu bernapas lega dan mengelus dadanya.
Sedangkan mata Erick pun tak kalah liar dan terus menatap dada Alina yang kini hanya berjarak tiga puluh centi dari dirinya.
Segera Alina mengatupkan kedua tangannya saat menangkap basah mata Erick yang jelalatan. Meski bajunya tertutup, Alina tetap merasa was was, apa lagi mereka sudah sama sama dewasa dan tak memungkinkan akan terjadi sesuatu yang tak di inginkan.
Erick tersenyum, ''Pikiranmu mesum, jangan takut, aku tidak akan melebihi batasan.''
Gimana nggak mesum, kalau dianya menakutkan kayak gitu.
Setelah punggung Erick menghilang dan pintu kamar mandi tertutup rapat, Alina segera menyiapkan baju Erick di atas ranjang lalu keluar, tak mau berlama lama di kamar yang menurutnya sangat mencengkam itu.
Lebih dari tiga puluh menit Alina sudah siap untuk pergi ke restoran menemui Erna, sedangkan Erick pun sama, di waktu yang bersamaan membuka pintu kamar masing masing.
''Mau berangkat bereng?'' tawar Erick yang tak pernah melintas di benak Alina.
''Boleh.'' Dengan semangat sembilan lima Alina menerima tawaran calon suaminya.
Tak ada pembicarana dalam perjalanan, karena pernikahan yang akan di langsungkan beberapa hari lagi itu sudah siap seratus persen, meskipun tanpa meminta pendapat dari Alina, gadis itu sangat yakin seyakin yakinnya kalau Erick akan memberikan yang terbaik untuknya, tak ada keraguan dalam hatinya, karena selama bertemu Erick selalu menyajikan yang terbaik dan membuatnya merasa nyaman.
Mobil berhenti di depan restoran tempat Alina bekerja, sebelum keluar Erick meraih tangan Alina.
''Ingat, kamu calon istriku, jangan lagi dekat dengan laki laki lain, nanti kalau pulang telepon aku.''
Pesan Erick dengan penuh kelembutan.
''Aku tidak punya siapa siapa lagi, dan aku akan nurut apa kata kakak. Kakak hati hati!''
Alina hanya bisa melambaikan tangan melepas kepergian Erick.
Kamu memang tidak punya siapa siapa, tapi papa kamu yang membuat aku kehilangan papa.
Erick menatap wajah Alina dari spion.
Suasana restoran sudah sedikit ramai, jika Alina masuk kerja, itu waktu yang sangat terlambat, namun dengan santainya gadis itu masuk.
Heh... sebuah senyuman getir menyongsong kehadirannya.
Alina hanya bisa menghela napas tak mau meladeni Lusi, yang ujung ujungnya akan beradu mulut. Ia memilih untuk ke belakang.
''Alina.....'' Teriak Erna meletakkan kembali nampannya.
Keduanya saling berpelukan, ''Aku kira kamu nggak masuk,'' ucap Erna setelah melepas pelukannya.
''Aku memang nggak masuk, aku ke sini cuma mau bilang sama pak Anton kalau aku akan keluar.''
Erna mengerutkan alisnya, ''Kenapa? apa kamu nggak betah karena ada mulut ember?'' melirik ke arah Lusi yang baru saja lewat.
Alina menggeleng dan tersenyum.
''Tidak, aku akan menikah.''
"Apa...?" Dengan serempak suara itu membuat telinga Alina berdengung.
Alina menatap semua teman se profesinya itu bergantian, seolah olah tak percaya dengan apa yang baru saja di ucapan Alina.
"Iya, aku mau menikah, jadi aku nggak kerja lagi." meyakinkan mereka untuk tidak terkejut.
"Sama siapa?" tanya lagi Erna makin penasaran, karena selama ini Erna tak pernah tau laki laki yang dekat dengan Alina kecuali pak Anton dan Putra.
"Nggak usah kepo gitu, nanti kamu datang ke pernikahan aku."
"Cih.... palingan juga om om yang kena jebakannya." cibir Lusi.
Plaakk.... sebuah tamparan mendarat di pipi mulus Lusi.
Kali ini Alina sudah tak betah jika harus diam jika sudah memenuhi harga dirinya.
"Selama ini aku sudah sabar menghadapi kamu, tapi kali ini maaf, kamu sudah keterlaluan, jika kamu memang tidak menyukaiku, tidak masalah, setidaknya kamu tidak merendahkan harga diriku."
Dengan lantangnya Alina melawan, karena yang di ucapkan Lusi tidak benar adanya.
"Ada apa ini?" suara berat membuyarkan semua pegawai yang berkerumun.
"Pagi pak." sapa Erna menunduk ramah menarik Alina untuk berdiri di sampingnya.
Tak ada yang menjawab, semua menciut menatap pak Anton yang baru datang.
Anton menatap Alina dari atas hingga ke bawah, "Kenapa kamu belum ganti baju?" ucapnya.
"Maaf pak, mulai hari ini saya mengundurkan diri."
"Kenapa, apa gaji kamu kurang, atau kamu tidak nyaman, Ji, _ Anton menghentikan ucapannya saat Alina mengangkat tangannya.
Alina tersenyum lalu menggeleng. "Bukan itu, gaji di sini cukup banyak, dan saya juga nyaman sekali bekerja di restoran ini, hanya saja, saya akan menikah, jadi saya memutuskan untuk melayani suami saya sepenuhnya."
Tak ubahnya yang lain, Anton pun tercengang mendengar pernyataan Alina. Pria itu merasa kecewa karena tak bisa meluluhkan hati Alina.
"Baiklah, kalau itu memang keputusan kamu, aku tak bisa berbuat apa apa."
Anton mengulurkan tangannya ke arah Alina.
"Selamat ya, atas pernikahan kamu," ucap Anton saat Alina menerima uluran tangannya.
Ternyata Alina sudah punya pacar, pantas saja dia tak pernah menerima cintaku, sudahlah, mungkin dia memang bukan jodohku. batinnya.
Dengan berat hati Anton melepaskan wanita yang di sukainya dari dulu.
Entah berapa banyak yang akan terluka karena pernikahan mendadak Alina, karena tak hanya pria itu, Putra yang hanya di anggap sahabatnya pun diam diam menaruh hati padanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Ciciek Hutapea
harusnya Erik menyelidiki dulu apakay papanya benar di bunuh Johan ga boleh hanya bermodalkan Vidio trs percaya saja nanti menyesal
2021-12-20
1
Lutha Novhia
patah hti berjamaah donk
buat pak anton
putra
mungkin sigit 😂😂
2021-12-03
2
Nurherawati
sedih si anton itu
2021-11-13
0