“Lo yakin Ryan gak bakal ngomong ke bini lo?” Rio kembali bertanya. “Bisa aja, kan sebelum berangkat dia ngomong dulu. Gue udah ngantuk banget, semoga Ryan entar lagi nyampe.” Rio menoleh jam di pergelangan tangannya.
“Kok lo gak bisa jamin diri sendiri sih De?” tanya Toni.
“Ryan itu pengacara juga. Di sini gue jadi penjahat. Penjahat mana yang menjamin dirinya sendiri? Lagian mau buat surat perjanjian, kita perlu Ryan.” Dean melongokkan kepalanya ke arah pintu Polsek. Saat mengembalikan tatapan kembali pada teman-temannya, pandangannya beradu dengan Musdalifah.
Musdalifah duduk di sebuah kursi plastik di depan meja petugas yang kosong. Persis berseberangan dengan bangku panjang yang diduduki oleh Dean.
Sudah hampir tiga jam mereka duduk di kantor polisi itu dan semuanya sudah menguap bergantian. Andai saja mereka semua mau berdamai di kantor keamanan resor, mereka mungkin sedang tidur nyaman sekarang.
Dean mulai gelisah tak sabar. Ia kembali melongok ke arah pintu belum terlihat tanda-tanda mobil Ryan tiba. Dan saat menolehkan pandangan, matanya kembali bertemu dengan Musdalifah.
“Apa?! Jangan duduk ngadep ke sini. Puter duduk kamu, ngadep ke dinding aja. Awas kalo sampe liat-liatan lagi.” Dean mendengus menatap Musdalifah.
“Bisa jadi karena isi pikiran kita sama,” sahut Musdalifah memutar kursinya menghadap dinding.
“Isi pikiran kita sama? Gak mungkin! Jangan mimpi kamu,” sergah Dean.
“Tapi saya yakin isi pikiran kita sama semua. Pasti pengen tidur.” Musdalifah menguap menutup mulutnya.
Dean semakin sebal dengan sekretaris Toni. Ia sudah tahu gelagat Musdalifah yang sering memandangi wajahnya berlama-lama. Sikap Musdalifah yang samar-samar dan perkataannya yang ambigu sering membuat Dean jengkel.
Toni terkekeh melihat perseteruan Dean dan Musdalifah sejak tiba di resor itu.
“Gue hibahkan Musdalifah ke kantor lo, mau De? Dia kerjanya bagus lho. “Gue yang gaji. Aman pokoknya. Itung-itung bales budi,” kata Toni tertawa.
“Jangan. Bisa pendek umur gue. Anak gue masih kecil-kecil,” kata Dean menggeleng.
Dan kemudian ....
“Udah tau anak masih kecil-kecil, tapi mainnya masih kayak gini.” Winarsih sudah berdiri beberapa langkah dari Dean.
Semuanya seketika terdiam. Dean mematung sesaat. Ia mengira Winarsih hanya halusinasinya di kala ngantuk berat. Tapi setelah mengerjapkan matanya sekali, istrinya masih berdiri di hadapannya. Dan kemudian, Ryan muncul dengan wajah meringis.
“Win ... Kita semua dikeroyok. Suamimu hampir luka-luka,” ujar Dean berdiri menuju Winarsih dan memeluk wanita itu. “Udah jam segini, kok ikut Ryan ke sini? Padahal aku sengaja bilang ke Ryan, besok aja ngomong ke kamu. Aku gak mau kamu kepikiran.” Dean merapatkan gigi menatap Ryan dari atas puncak kepala Winarsih yang sedang dipeluknya.
“Baru pergi dua malem, udah mau nginep di kantor polisi lagi.” Winarsih cemberut.
Rio, Langit dan Toni menyeret Ryan ke sebuah meja untuk merundingkan isi surat perjanjian damai. Musdalifah berdiri dari kursi dan ikut menghampiri bosnya.
“Biasalah, Win ... kenakalan remaja.” Dean terkekeh masih sambil memeluk dan mengusap-usap punggung Winarsih. “Atau jangan-jangan kamu kangen aku? Gak sabar sampe nyusul ke sini? Nanti aku usir Rio. Terserah dia mau tidur di mana,” kata Dean.
Rio yang mendengar perkataan Dean langsung berjengit melemparkan tatapan sinis pada Dean yang bermuka dua.
“Kamu duduk di sini dulu ya ... aku bantu bikin surat perjanjian. Suami kamu ini handal di bidangnya. Buktinya, ini perut kamu udah keliatan makin besar.” Dean menuntun istrinya untuk duduk di bangku panjang yang tadi ditempatinya.
“Sebentar ya ...” kata Dean mencubit pelan pipi tembam Winarsih. Ia kemudian berjalan menghampiri meja tempat di mana sahabatnya berkumpul.
Musdalifah berdiri di sebelah Toni. Wanita itu sedang menunduk melihat blangko kosong yang dibawa Ryan.
“Mbak Ifa ... itu istriku. Ayo godain aku lagi,” kata Dean terkekeh memandang Musdalifah yang melengos tak mau menatapnya.
“Ya ampun, De ... lo ama si Mus kayaknya perlu surat perjanjian damai juga. Berisik banget,” kata Toni.
Dean tersenyum menahan tawanya.
"Kapan yang tadi dibahas?" tagih Langit.
"Besok, malam ini kita istirahat dulu. Biarkan Toni ketar-ketir."
"Beneran dibahas ni?" tantang Toni.
"Pengen denger banget soalnya," kata Langit.
"Lo tidur ama gue aja. Dean pasti mau membantai istrinya biar gak dicemberutin,” kata Toni pada Rio.
"Dih, elo pengertian banget sih." Dean tertawa menonjok pelan lengan Toni seraya melirik Winarsih yang menunduk di atas ponselnya.
"Harus yang yahud, biar gak ngambek." Toni kembali mengingatkan.
"Gak usah ragu kalo itu. Gue spektakuler soalnya. Anak gue juga udah mau empat. Udah saatnya lo mengkhawatirkan diri lo sendiri sobat," ucap Dean dengan gaya membersihkan debu di bahu Toni.
“Gak usah Yo! Lo di kamar gue aja. Jangan tidur bareng ama Toni.” kata Langit. “Kamar Toni pasti beraroma peluh dan pejuuh.” Langit terbahak-bahak.
“Si anjing ...” lirih Toni. "Jangan pada sok tau lo semua. Kalo gak bener gimana?"
"Ya buktiin dong ..." kata Langit masih tertawa.
"Besok gue yang buktiin. Malem ini gue ...." Dean melemparkan tatapan teduh pada Winarsih yang duduk memangku tasnya dengan anggun.
To Be Continued
Upload bersamaan, like-nya jangan kelewatan.
Maafkan njuss kalau komentarnya masih dibales secukupnya. Juskelapa mengejar target 20 Bab lebih dulu
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
dyul
dasar si pengacara kondang😜😝
2025-01-13
0
dyul
kan.... mulut semanis madu😂
2025-01-13
0
dyul
astaga🧐😜
2025-01-13
0