Dean masih berdiri dengan wajah yang susah payah ia pertahankan agar bisa tetap santai. Tatapan Bu Amalia terasa menusuknya dari meja makan. Sedangkan tatapan Winarsih membuatnya ingin memeluk wanita itu segera.
Mata Winarsih seperti anak anjing menggemaskan. Tatapan mata istrinya tak pernah menyiratkan kemarahan. Tapi … kekecewaan. Bayangan tatapan mata Winarsih itulah yang sejak dulu berhasil membuat Dean mati kutu karena rasa bersalah.
“Ha? Mau ke mana? Gak ada kok. Emang kenapa?” Dean malah balik bertanya. Apa lagi yang bisa diucapkannya di depan Bu Amalia.
“Pasti ada sesuatu yang mau disampein. Kalo nggak sekarang, nanti-nanti pasti ada.” Bu Amalia masih melemparkan tatapan tak yakin. Namun wanita itu kembali melanjutkan makan siangnya.
Bu Amalia benar-benar telah berpindah posisi. Protektifnya malah melebihi saat Dean masih melajang. Dulu meski diomeli, Dean masih bisa menjawab ibunya dengan santai dan melenggang pergi. Sekarang?
“Gak ada mau ke mana-mana lho. Uti-nya Dirja kok gitu nanyanya.” Dean melirik istrinya. “Gak ada Win, gak ada ...” sambungnya lagi menoleh Winarsih.
Winarsih berdiri menggeser kursinya dan berjalan mendekati Dean yang sedang menggendong Widi.
“Sini aku gendong, Mas makan.” Winarsih kembali melemparkan pandangannya pada sepiring nasi putih yang sudah dingin. “Nasinya udah bener-bener hangat kuku.”
Dean berdiri sesaat merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel. Jemarinya dengan lincah menggulir kursor mencari nama Pak Hartono. Ia berniat mengadukan soal Bu Amalia yang membuatnya mati kutu di depan istrinya sendiri.
Namun matanya malah terbelalak membaca pesan yang sesaat lalu baru diterimanya. Dari Rio.
‘Gue jadi berangkat ke Sukabumi. Jenni oke. Lo?’
“Sok keren,” gumam Dean pada Rio yang tak bisa mendengarnya. Ia menutup pesan Rio dan mencari nama ‘PAPA’ di sana. Dean lalu mengetikkan sesuatu.
‘Pa, kayaknya Dean bukan anak kandung Mama. Makin lama, sikap Mama ke Dean makin berubah.’
Dean mengantongi ponsel dan berjalan kembali ke meja makan. Bu Amalia masih melanjutkan makan. Winarsih mengambil Widi yang langsung mencondongkan tubuh padanya.
Lalu, ponsel yang kini berada di kantong kemeja pantai Dean, kembali bergetar. Kemungkinan besar Pak Hartono membalas pesannya tadi.
‘Bukan anak kandung Mama? Coba kamu ngaca.’
Setelah membaca pesan dari Pak Hartono, Dean mencibir. Siapa yang bakal percaya kalau ia bukan anak kandung Bu Amalia. Wajah Dean dan ibunya sangat mirip. Masih dengan wajah menekuk, Dean merasakan ponselnya kembali bergetar. Ternyata masih dari Pak Hartono.
‘Inget, anak udah mau empat. Jangan ngambek sama Mama. Malu sama istri kamu.’
Pak Hartono segera tahu kalau putra bungsunya sedang berniat merajuk pada ibunya.
Dean menempati kursi di depan Bu Amalia. Sesaat lamanya, ibu dan anak itu beradu pandang. Bu Amalia melemparkan tatapan berarti, “Mama tau apa yang kamu rencanakan.”
“Win … jangan berdiri gendong Widi. Beratnya udah lumayan. Duduk sini,” kata Dean menepuk kursi bekas duduk istrinya tadi. Winarsih menuruti perkataannya dan langsung duduk masih sambil memangku putri bungsu mereka.
Dean melemparkan tatapan pada Bu Amalia yang mengatakan, “Ada Winarsih, jangan ngomong macem-macem.”
Bu Amalia lalu meletakkan sendoknya dan meraih gelas air putih. “Mbak—Mbak,” panggil Bu Amalia pada babysitter Widi yang duduk di sofa ruang keluarga tak jauh dari sana. “Ambil Widi, udah nggak rewel lagi kok. Ini gantian Bapaknya yang rewel.”
“Apa sih Mama …” sungut Dean.
Bu Amalia berdiri dan meraih tongkat yang disodorkan seorang perawat yang sejak tadi duduk di belakangnya. Wanita itu tak peduli dengan anak bungsunya yang uring-uringan karena langsung diskakmat sebelum menjalankan rencana.
Dulu, Bu Amalia tak bisa begitu mencurahkan perhatian penuh pada Dean yang sering ditinggal di rumah semasa remaja. Begitu pula saat putra bungsunya melajang. Dean yang keras kepala, sulit sekali dilarang. Kemauannya harus dituruti. Pergi ke sana kemari bahkan tak bisa dikontrol bersama siapa. Tapi sekarang berbeda.
Sejak Bu Amalia sudah menonton dua video yang dikirimkan Disty, mantan pacar Dean, ia merasa benar-benar kapok. Video itu memang ‘hanya’ video sepasang manusia bercumbu. Tapi ia sebagai ibu saja, jijik melihatnya. Apalagi Winarsih yang merupakan seorang istri.
Bu Amalia merasa tak bisa memberi kelonggaran pada Dean. Sebagai seorang ibu, ia sebisa mungkin menjaga anaknya yang kadang masih bertingkah seperti remaja saat bersama teman-temannya. Walau ia juga tak bisa menampik kalau anak laki-lakinya itu masih sangat menawan di usia 33 tahun. Dean yang sejak dulu sangat perfeksionis, tak akan membiarkan tampilannya asal meski hanya pergi ke ATM mini market.
Untuk makan siang di rumah pada akhir pekan saja, Dean berdandan seperti pergi berlibur ke pantai. Pagi-pagi betul, Winarsih telah mengenakan terusan berwarna hijau pupus yang membalut tubuhnya dengan elegan. Busana pilihan siapa kalau bukan suaminya.
Winarsih tak pernah melangkah keluar kamar mengenakan daster. Daster hanya untuk tidur kata Dean. Selebihnya, pasti berbagai pakaian tidur seksi dengan warna mencolok. Winarsih pernah membawa ibu mertuanya ke kamar demi bertanya soal mode pakaian. Tak sengaja pintu lemarinya terbuka lebar.
Bu Amalia masih ingat bagaimana wajah menantunya yang merona saat menyadari pandangannya mengarah pada deretan lingerie. Sebagai seorang ibu, Bu Amalia merasa pengertiannya terhadap anak laki-lakinya jauh di atas rata-rata. Menjadi ibu Dean itu perlu energi besar.
Bu Amalia benar-benar tak heran kenapa jumlah anak-anak Dean berkembang dengan pesat. Ditambah lagi pemikiran Dean yang kolot soal tugas seorang istri. Banyak bertingkah semasa muda ternyata membuat Dean bertransformasi menjadi suami yang posesif. Mungkin di kepalanya terbayang dengan kelakuan dan omongan-omongannya selama ini. Anjuran kontrasepsi pun hanya dijawab nanti-nanti.
Bu Amalia sekarang bersyukur bahwa menantunya adalah Winarsih yang kalem dan tak banyak tingkah. Ia tak bisa membayangkan kalau Dean memiliki istri yang sama berisik dengannya.
Dulu Bu Amalia pernah mengatai-ngatai Winarsih yang hamil di luar nikah karena menggoda Dean. Walau mungkin Winarsih sudah memaafkan ibu mertuanya, perasaan tak enak selalu menjalari tiap Dean berulah di luar. Bu Amalia merasa harus mencegahnya lebih awal. Apapun itu.
Tapi semuanya tetap kembali pada Winarsih. Sebagai istri, Winarsih pasti lebih paham dalam meletakkan kepercayaan pada suaminya. Dan yang paling utama, yang penting Bu Amalia merasa sebagai ibu, ia sudah cukup berusaha.
Bu Amalia melangkah perlahan masuk ke kamarnya. “Istri disuruh hamil terus tapi dianya mau kelayapan aja.” Hampir saja tadi ia mengatakan hal itu pada Dean di depan Winarsih.
Sorenya Dean mengajak istri dan anak-anaknya ke sebuah mal. Tiga orang anak dan tiga orang babysitter. Mobil seketika penuh dengan suara jerit dan ocehan balita. Winarsih yang selalu tenang tak terlihat terganggu dengan suara anak-anak yang bergantian menggelantungi kakinya. Setengah hari Dean memanjakan keluarganya. Membelikan Winarsih sebuah tas branded terbaru dan tiga pasang sepatu untuk kakinya yang mulai membengkak karena kehamilan.
Saat sedang sendirian atau bersama teman-temannya, Dean bisa memasang wajah angkuh dan berjalan elegan melepas pesonanya ke mana-mana. Sikap yang sangat bertolak belakang jika ia sedang bersama istri dan anak-anaknya. Dean tak sempat melepas pesonanya karena sibuk memomong anak. Tapi, bukannya luntur atau hilang sama sekali, bagi Winarsih pesona Dean semakin memancar saat ia menjalankan tugasnya sebagai seorang bapak.
Winarsih masih sering melihat suaminya menjadi objek tatapan para wanita meski sedang menggendong balita yang merengek memanggil, “Bapak ….”
Ketiga balita sudah tertidur dalam perjalanan kembali ke rumah. Rupanya bermain di playground sangat menguras tenaga ketiga balita itu. Setibanya di rumah, Winarsih mengawal semua anaknya kembali ke kamar. Ia mengawasi semua babysitter mengganti pakaian dan memberi susu pada Widi yang sempat rewel saat diletakkan di box-nya.
Selesai dengan anak-anaknya, Winarsih kembali ke kamar dan melihat lampu sudah disetel ke lampu tidur. Seperti biasa, suaminya sudah berada di ranjang dengan sikap posisi paripurna. Sebuah buku di tangan kiri dan lampu baca yang mengarah padanya. Ketika masuk ke kamar, pandangan mereka bertumbuk sesaat. Winarsih melihat bagian depan rambut suaminya basah karena ritualnya mencuci wajah dan menggunakan skincare yang pasti secepat kilat dilakukan agar tak tertangkap basah.
Padahal sudah menikah cukup lama, tapi Dean selalu menjaga hal itu agar tak terlalu kentara. Kadang-kadang Winarsih merasa geli sendiri.
“Kakinya gak pegel?” tanya Dean pada Winarsih yang berdiri membelakanginya menggantungkan tas.
“Pegel sedikit,” jawab Winarsih. Ia menggeser lemari dan mengeluarkan daster. Hampir 20 menit berada di kamar mandi, ia lalu keluar dengan daster batik kebanggaannya.
“Sini Win,” panggil Dean menepuk sisi ranjang sebelahnya. “Sini aku pijetin,” kata Dean bangkit dari posisinya dan mengatur letak bantal.
Winarsih merangkak naik ke atas ranjang dengan menggenggam tangan Dean yang terulur menyambutnya. Ia lalu membaringkan kepala pada bantal yang telah diatur Dean sedemikian rupa untuknya. Matanya melirik, Dean sudah menggenggam sebotol minyak zaitun yang memang biasa digunakan suaminya untuk memberinya pijatan.
Winarsih sudah berbaring miring menatap Dean yang sedang memangku kaki dan mengoleskan minyak zaitun di sepanjang betisnya.
“Capek ya Win … kamu hamil anakku terus-terusan.” Dean memijat lembut betis istrinya. Pengacara narsis yang mencuci tangan puluhan kali sehari, malam itu jemarinya berlumur minyak.
“Jadi aku hamil anak siapa lagi?” tanya Winarsih melirik suaminya. Dean terkekeh.
“Iya, harus anakku dong. Namanya juga aku yang rajin.”
Winarsih mengusap paha Dean yang duduk bersila di dekatnya. “Mau pergi bareng temen-temen ya? Berapa lama? Aku nggak apa-apa. Pergi aja, anggap Mas refreshing. Aku percaya Bapak anak-anakku bisa bijaksana di luar.”
Dean mengangkat wajah menoleh istrinya. “Enggak kok Win, gak apa-apa. Mereka bertiga aja udah cukup. Lagian tiga hari dua malem, aku bakal kangen anak-anak.” Dean menelusuri betis istrinya sampai ke belakang lutut.
“Tapi nggak rame karena biasanya pergi berempat,” kata Winarsih. “Nggak apa-apa. Aku percaya bapaknya Dirja.”
“Sebenernya aku gak apa-apa, tapi kalo kamu bilang gitu … ya udah. Nanti aku kabari Toni kalo aku jadi berangkat,” sahut Dean. “Yang atas ini, pegel juga gak?” Tangan Dean mulai beranjak dari belakang lutut Winarsih terus naik dan terus lagi sampai tangan itu berhenti di tempatnya.
Winarsih meringis. Ternyata pijatan enak di betisnya tak bertahan lama.
“Makasi Bu … aku cinta kamu.” Dean mengungkung Winarsih masuk ke dalam pelukan. Winarsih bergulung melingkarkan tangan ke pinggangnya.
Pada siapa lagi ia bisa mengadu dan meminta belas kasihan selain dari pada Winarsih? Ibunya sudah kebal terhadap semua ucapannya. Lagi pula, sejak dulu, Winarsih-lah tempatnya berkeluh kesah. Winarsih satu-satunya perempuan yang pernah membuatnya meneteskan air mata. Mana mungkin ia bermain-main dengan perempuan di luar sana dengan resiko kehilangan Winarsih.
Dean merasa pasti bakal mati kalau winarsih yang meninggalkannya.
Yang penting ia telah mengantongi izin dari istrinya. Itu sudah cukup. Teman-temannya tak perlu tahu seberapa memelas wajahnya barusan hingga membuat Winarsih iba.
To Be Continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
Yeti Kosasih
gayamu pak de hoalaaaaah....istrimu yg luar biasa itu akhirnya mengendus niatmu dan izin turun tanpa kegaduhan ..,😂😂😂
2025-02-20
0
dyul
😜😝🤣🤣🤣
nyokap emang yak, kita udah tua, tapi dia paling tau bulus2nya kita🤣🤣
2025-01-12
0
dyul
kan.... kan.... papa tau mode modusnya si kang ngambek🤣🤣🤣🤣
2025-01-12
0