“Gue kira Dean gak dikasi berangkat,” ucap Toni dari belakang kemudi.
“Mana mungkin …” sahut Dean santai.
“Lo kok bawa koper De?” tanya Langit menoleh Dean yang berdandan sangat necis seperti akan berangkat ke luar negeri.
“Emang kenapa? Ransel bakal bikin pakaian gue kusut,” jawab Dean.
“Kita nginepnya di perkemahan, lho” kata Toni.
“Lo yang serius, kalo nginep di tenda, gue pulang minta jemput pak Noto.” Dean memandang Toni dari kaca spion tengah.
“Oh, udah mendingan berarti …” ucap Rio. “Gue kira mau ngadu ama pak Hartono.” Rio menoleh ke belakang kemudian tertawa memandang Dean yang melengos.
Langit sudah gelap saat mobil memasuki gerbang utama resor. Lobi hotel terlihat ramai dengan orang-orang yang baru tiba dengan berbagai bentuk tas. Seluruh sofa dan kursi yang berada di lobi terisi penuh oleh para tamu yang sedang menunggu pembagian kunci kamar dari koordinator kelompok dari perusahaan masing-masing.
“Ini gak dari perusahaan Toni aja, kan?” tanya Dean pada Rio.
“Kata Toni enggak. Ini outing gabungan. Semacam persahabatan dengan sesama perusahaan pengangkutan.” Rio mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan.
Toni kembali dari resepsionis bersama dengan seorang wanita di sebelahnya. Wanita itu adalah sekretaris Toni yang sudah menunggu mereka sejak tadi.
“Ini kunci kamarnya Pak Rio, yang ini Pak Langit, dan ini Pak Dean.” Sekretaris Toni menyerahkan kunci kamar hotel yang berupa gantungan kayu dengan sebuah kunci manual tersangkut di ujungnya.
“Perkenalkan nama saya Ifa. Saya sekretarisnya Pak Toni. Selama berada di sini, jika ada sesuatu yang kurang, bisa hubungi saya. Ini kartu nama saya ….” Ifa mengangsurkan kartu namanya ke masing-masing laki-laki yang menunggunya berbicara dengan berbagai ekspresi berbeda.
Langit terlihat santai dan ceria. Rio terlihat ramah ketika menerima kartu nama itu. Sedangkan Dean, terlihat sedikit cemberut seakan ada yang mau kembali diprotesnya.
“Ini yang ngurus sekretaris gue. Kita dapet kamar masing-masing satu. Yuk, ke kamar dulu. Naruh barang-barang, terus kita ikut makan malam.” Toni berbicara sambil menaikkan ranselnya yang melorot.
“Kalau kamar Pak Dean kurang nyaman, bisa hubungi saya. Nanti saya usahakan cari yang lebih bagus.” Ifa mengamati wajah Dean dari jarak hanya dua langkah. Baru kali itu ia bisa melihat teman-teman bosnya dengan jarak begitu dekat. Biasanya, siapapun di antara mereka yang datang ke kantor T&T Express, hanya melewati mejanya tanpa pernah bertanya lebih dulu sebelum masuk ke ruangan bosnya.
Dean yang tersadar kalau sekretaris Toni sedang berbicara dengannya, seketika menoleh dan tersenyum tipis untuk menjawab ucapan wanita itu barusan. Senyuman Dean ternyata membuat Ifa bahagia. Sekretaris itu kembali mengembangkan senyumnya. Dan sedetik berikutnya, senyum Dean langsung lenyap.
Dean si tukang protes berwajah datar telah kembali. Melihat reaksi Dean, senyum Ifa barusan langsung sirna.
“Kok kamarnya sendiri-sendiri sih? Mana kuncinya manual gini. Apa panitia gak bisa bikin acara di resor bintang lima?” kata Dean. “Kan ceritanya bakal bareng-bareng … gue tidur di kamar lo aja Yo!” Dean menyenggol bahu Rio di sebelahnya.
“Mulai komplain dia. Cuma perkara kunci Dean … gak ada bedanya. Yang penting bisa dikunci dan lo bisa tidur.” Toni yang sudah terbiasa dengan perkataan temannya, merangkul Dean dan menyeretnya menuju lift. “Makasi Mus …” ujar Toni pada sekretarisnya.
“No problem,” jawab Rio sambil berjalan. “Lo Lang?” Rio menoleh Langit yang sudah berdiri di dalam lift dengan wajah berseri-seri.
“Gue tidur sendiri aja juga gak masalah. Rame-rame gak masalah. Bebas,” kata Langit.
“Gue sendiri,” tukas Toni dengan mata menatap nomor lantai yang mulai berganti.
“Perasaan gue mulai gak enak,” kata Dean. “Kayaknya bakal terjadi sesuatu di luar skrip kita.”
“Apa sejak adu mulut sama mbak Asih, ilmunya udah nurun ke lo?” sindir Langit terkekeh. Dean membalas perkataan Langit dengan mempertahankan raut seriusnya.
“Ton! Itu sekretaris lo yang lama, kan? Bukan sekretaris baru? Kenalan namanya Ifa, lo kok manggilnya Mus? Mus apa? Mus Mulyadi atau Mus Mujiono?” tanya Dean melirik Toni yang tertawa mendengar ucapannya.
“Mulut lo …” kata Rio menonjok lengan Dean yang tak tertawa saat mengatakan hal itu.
“Sekretaris gue yang lama kok. Ifa panggilannya. Nama lengkapnya Musdalifah,” jawab Toni.
Serentak ketiga pria yang mendengar hal itu langsung berkata, “Ooo ….”
Dean mengekori Rio ke kamar dan meletakkan kopernya di sana. Setelah mengecek tampilannya dan menelepon Winarsih, Dean sudah kembali berdiri di depan pintu menunggu sahabatnya.
“Tumben Langit gak mau ngikut kita. Harusnya dia bisa tidur bareng ama Toni aja,” kata Rio dari depan kaca.
“Udah ah, bodo amat. Yang penting pulangnya utuh,” jawab Dean terkekeh.
Acara makan malam outing gabungan itu diadakan pukul 19.30. Sudah terlambat sebenarnya, tapi mereka bukan merupakan karyawan perusahaan manapun. Jadi Dean dan Rio masih bisa tertawa-tawa dan mengobrol santai di depan kamar yang ditempati Langit.
Mereka menempati kamar yang terletak di lorong paling pojok. Dalam lorong itu terdapat enam kamar, dengan posisi 3 kamar yang saling berseberangan. Kamar yang ditempati Dean dan Rio terletak di sisi kanan dan lebih dulu di dapat.
“Perasaan kita udah ngabarin jangan lama-lama, tapi udah 15 menit gak keluar juga.” Dean melangkah maju membuka pintu kamar.
BRAKK
Tangan Dean masih berada di pegangan pintu yang menjeblak terbuka. Tampak Langit sedang berada di depan cermin dan menoleh santai ke arah Dean. “Sorry, gue mandi dulu … gerah banget.” Langit sedang mengatur rambutnya.
“Bukan gerah, lo emang niat mau ketemu orang.” Dean menatap Langit dengan sorot jengkel.
“Santai Pak De … gak sering-sering. Ngobrol doang kok,” ucap Langit. “Toni belom keluar kamar, ya?” tanya Langit.
“Itu juga entah ke mana. Padahal gue udah bilang jangan lama-lama. Gue laper … chat gue belom dibaca.” Dean mundur beberapa langkah untuk memberi jalan pada Langit yang menutup pintu kamarnya.
“Yuk ah, udah malem. Kalo Toni gak jelas, kita makan duluan aja.” Rio melangkah lebih dulu menuju kamar Toni yang terletak paling belakang.
“Lo bedua dari tadi berisik banget deh,” kata Langit. “Untungnya kamar di depan kita kayaknya kosong,” sambungnya lagi.
"Masa sih kosong ... resor ini kayaknya penuh karena ada acara." Rio bergumam memperhatikan jajaran kamar yang memang terlihat begitu sepi.
“Sini biar gue lagi aja yang dobrak kamar,” pungkas Dean menerobos tubuh Rio dan Langit yang berjalan di depannya. Dean langsung menuju kamar Toni dan meraih handle pintu.
BRAKK
Tangan Dean masih berada di handle pintu. Dean beruntung, pintu kamar Toni tidak terkunci dan langsung mengayun terbuka sebegitu didorongnya. Rio dan Langit lalu tiba di belakangnya. Tiga orang pria terpaku menatap Toni yang sedang berdiri, baru keluar dari kamar mandi.
Toni sedang dalam keadaan polos. Telanjang. Tanpa handuk.
“Si anjing …” gumam Dean.
Kemudian ….
CEKLEK
Pintu di seberang kamar Toni mengayun terbuka. Serentak Dean, Rion dan Langit menoleh ke belakang.
“Hei!” sapa Dean riang pada seorang wanita yang sedang menatap mereka semua dengan wajah terkejut.
“Wulan …” sapa Rio.
“Apa kabar?” tanya Langit.
“B-baik …” sahut Wulan sedikit terbata. Pandangannya tertumbuk pada Toni yang sedang berdiri mematung menatapnya. “Aku duluan ya,” kata Wulan kemudian pergi dari sana dengan wajah memerah.
“Woow …” kata Dean. “Momen reuni yang langsung membawa Wulan pada puncak kenangan.”
“Kira-kira Wulan liat anunya Toni gak?” tanya Rio kembali melirik Toni yang masih telanjang mematung.
“Mustahil gak liat,” jawab Langit ikut menatap Toni yang memasang wajah muram.
“Ternyata cuma segitu. Gue kira selama ini lo spektakuler banget Ton …” Dean menutup mulutnya menahan tawa.
“Si anjing! Yang dibahas malah itu,” maki Toni. "Bukannya pada ngetuk pintu dulu," sergah Toni.
"Cuma perkara kunci lho Pak Toni," balas Dean.
"Diem Lo!" maki Toni.
Dan kejutan berikutnya ....
"Mas Toni ... ambilin handuk!" Suara seorang wanita terdengar dari dalam.
Toni terperanjat seolah baru menyadari situasinya. Ia langsung mendorong Dean keluar dan menutup pintu kamar.
Sementara itu di luar, tiga orang pria saling bertukar pandang.
"Bener, kan? Perasaan gue gak enak dari tadi. Kita gak bawa bini, dia malah ngurung perempuan. Tiba-tiba gue kangen bini gue ...."
Dean melangkah pergi meninggalkan pintu kamar Toni disusul dua orang temanya.
To Be Continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
dyul
cie.... ti ati pakde..... die kesem sem😂😂
2025-01-12
0
dyul
emang pd gila2... an.... ying🤣🤣🤣🤣
2025-01-12
0
dyul
🤣🤣🤣
2025-01-12
0