Menjelang pukul delapan malam, Langit bersiap-siap menemui Siska di dekat danau. Tak terlalu jauh pikirnya, paling hanya lima menit berjalan kaki. Sambil mematut dirinya di depan kaca, ia mengingat-ingat akan duduk di mana bersama Siska.
Pada saat sampai pertama kali ke resor itu, Langit sempat melihat danau yang Siska katakan. Jadi ia bisa mengira akan duduk di mana dan menghadap ke mana.
Merasa tak perlu pamit pada Dean dan Rio, Langit hanya melintasi kamar kedua sahabatnya itu sambil melirik ke arah kamar Siska yang sepi. Wanita itu pasti sudah berada di luar sejak tadi, pikirnya.
Dan dugaan Langit benar. Saat ia tiba di dekat danau yang separuh tepiannya diterangi cahaya lampu, Langit sudah melihat Siska duduk di sebuah bangku panjang.
Siska yang selalu ceria, sudah berusia 33 tahun namun duduk sambil mengayunkan kakinya seperti seorang bocah.
“Hei, udah lama?” sapa Langit.
“Baru kok,” kata Siska menoleh tersenyum. “Duduk, Lang” ucapnya menepuk bangku kosong di sebelahnya.
“Udah lama kerja di perusahaan ekspedisi?” tanya Langit.
“Udah. Udah lama banget malah. Tapi ketemu Toni, baru-baru aja. Sejak ikut kepanitiaan outing ini. Sering-sering meeting. Toni selalu dateng ama sekretarisnya. Gue juga baru tau kalo dia pisah ama istrinya.” Siska menoleh Langit yang duduk di sebelah kirinya.
“Iya, Toni udah lama pisah ama Wulan.” Langit hanya mengatakan hal itu, namun ia sudah merasa seperti pengkhianat yang membeberkan rahasia negara.
Tak ingin melanjutkan obrolan soal Toni, Langit ingin sedikit mengulas masa lalu mereka.
“Lulus SMA, lo ngilang gitu, emang kuliah di mana? Di grup sekolah juga nggak ada.” Langit memandang Siska yang tertawa kecil.
“Ada. Gue di Jogja. Kuliah biasa aja kayak anak-anak lain. Ayah gue meninggal waktu di semester lima, sejak saat itu yang ada di pikiran gue cuma soal gimana cepet tamat dan bisa dapet kerja.” Siska menoleh sekilas pada Langit kemudian menunduk memandang sepatunya.
“Gue nggak tau ayah lo meninggal. Aku nggak tau tau ...” ucap Langit menghaluskan bahasanya.
“Cie ... langsung pake aku-kamu. Biasa aja nggak apa-apa. Kamu ke mana aja? Anak udah berapa?” tanya Siska.
“Aku ngelanjutin perusahaan orang tua. You know—” Langit terkekeh.
Siska mengangguk tanda mengerti.
“Anakku kembar. Sepasang. Kalla dan Zurra,” jawab Langit menerawang diiringi seulas senyuman. Bayangan Jingga sedang bermain dengan sepasang balita masuk ke pikirannya.
“Beruntung banget ... istri kamu pasti cantik yah, Lang.” Siska menoleh Langit yang masih menatap danau.
Langit menghela napas, “Cantik banget ... Jingga cantik banget.”
“Namanya juga cantik banget,” sambut Siska tersenyum.
“Kamu?”
“Aku baru nikah,” kata Siska.
“Baru?”
“Baru Lang ... aku masih banyak mimpi kemarin-kemarin. Masih banyak yang harus aku selesaikan. Sekarang aku udah santai. Adik-adikku udah selesai sekolah semuanya.”
Langit mengangguk-angguk. Mengerti dengan maksud Siska namun semakin penasaran dengan hidupnya. Siapa suaminya dan yang paling membuatnya penasaran tetaplah ... masa lalu mereka.
“By the way, maaf kalo aku melenceng nanyanya. Kamu inget sama—Sanusi?” Langit meringis menoleh pada Siska.
Awalnya Langit mengira kalau Siska akan sedikit menajamkan ingatannya untuk mengingat Sanusi, tapi ternyata tidak. Siska tertawa terbahak-bahak.
“Kok ketawa?” tanya Langit.
“Sanusi yang suka senyum-senyum itu ya?” tanya Siska.
“Hmm—iya. Sanusi yang itu. Kamu emang deket ama dia dulunya?” tanya Langit tak sabar. Tapi di dalam hati ia tak menyetujui pernyataan ‘Sanusi yang suka senyum-senyum’ karena menurut langit itu bukan senyum melainkan cengengesan.
“Sanusi itu ... tetanggaku dulunya. Lebih tepatnya, ibuku kerja di rumah keluarganya.” Siska kembali meringis menoleh Langit. “Keluarga Sanusi itu paling kaya di daerah kami. Ibuku bantu-bantu di rumahnya. Makanya, aku sering nebeng dia kalo pulang sekolah.”
“Jadi ... dulu—”
“Dulu aku minder temenan ama siapa aja. Anak-anak orang kaya di SMA elit. Aku sekolah di sana karena orang tua Sanusi. Aku suka kamu Lang, tapi aku minder. Dan waktu itu, kayaknya aku gak boleh mikirin soal cinta-cintaan jaman sekolah. Dan untungnya, aku gak sempet bilang kalo aku suka kamu. Kalo nggak, kita bisa aneh ketemu sekarang. Ketemu mantan pacar itu, kedengaran gak enak. Kalo gini kan, kita ngobrolnya juga santai.” Siska tertawa. Akhirnya dia bisa selugas itu berbicara dengan Langit. Dulunya, menatap wajah Langit saja, rasanya ia tak bisa berlama-lama.
“Iya, aku juga dulu suka kamu Sis ... tapi aku gak ngomong karena ngeliat kamu kayaknya lebih suka sendiri. Dan juga ... kamu kayaknya nyaman dengan Sanusi.”
Siska kembali tertawa kecil.
“Hmmm ... Sanusi ya—” Siska menghela napas dan menatap Langit. “Sekarang udah jelas, kan? Seandainya kamu nyatain perasaan ke aku dulunya, aku juga gak tau gimana. Lagian, takdir itu udah tertulis dari sebelum manusia lahir ke dunia.”
“Bener. Kamu bener ...” sambut Langit seraya mengangguk. “Gak ada yang kebetulan.”
Langit tak menyangka Siska ternyata lebih bijaksana darinya. Apa karena tuntutan hidup? Ia yang sejak dulu hidup santai, hanya melihat sisi ‘cinta-cintaan’ remaja kala itu. Ia tak menyadari ternyata Siska memiliki tekanan hidup yang bisa dikatakan cukup berat bagi anak seusianya.
Ibunya ‘bantu-bantu’ di rumah Sanusi? Siska bersekolah di SMA elit itu karena orang tua Sanusi? Apa kalau pada saat itu ia mengetahui perihal orang tua Siska, ia masih ngotot mengejar gadis itu?
Jujur, Langit tak yakin. Ia masih remaja dan tak yakin bisa cukup dewasa menyikapi hal itu. Sanusi yang banyak cengengesan itu ternyata lebih berjasa bagi hidup Siska. Langit mengatupkan mulutnya.
Sudah terpenuhi rasa penasarannya. Mereka duduk dalam diam. Masing-masing sedang mencari bahan pembicaraan paling santai yang bisa mereka lontarkan saat itu.
“Jadi sering ketemu Toni, akhir-akhir ini aja?” tanya Langit lagi. Ia tak yakin apa tadi sudah menanyakan hal itu pada Siska.
“Iya. Akhir-akhir ini aja. Sebulan terakhir ini tepatnya. Biasa para panitia meeting di akhir Minggu. Makanya kita sering ngumpul.”
Langit kembali mengangguk.
“By the way, kalian semua masih deket banget ya ... sampe sekarang. Aku nggak nyangka lho. Kirain bakal bubar setelah selesai sekolah atau sibuk dengan dunia pekerjaan.”
“Masih deket. Kita semua masih sering ngumpul.” Langit tersenyum menoleh Siska. Pandangannya menatap Siska yang malam itu mengenakan jeans dan sweater maroon. Siska manis, pikirnya. Sejak dulu. Ia harus mengakui hal itu karena ia tidak buta.
Tapi ... Jingga selalu luar biasa. Jingga cantik dan telah memberinya sepasang bayi kembar.
“Kamu pasti masih sering main basket ya?” tanya Siska.
“Kadang-kadang aja. Gak sempet Sis ... kerja, jadi ayah, jadi suami. Semuanya perlu waktu yang gak sedikit.” Langit tertawa.
Sementara di lain tempat. Dean sedang bertelepon dengan istrinya sambil berbaring memeluk bantal. Dan Rio sedang berbaring di ranjang sebelah, menonton pertandingan ulangan motoGP.
“Win, aku kangen. Kangen kamu, kangen anak-anak. Aku liatin foto anak-anak kita, ternyata, semuanya mirip aku ya Win ...” ucap Dean di telepon. Rio mencibir mendengar perkataan sahabatnya.
“Ngomong kangen kayak dipaksa masuk asrama aja. Kayak aku yang nyuruh pergi," sahut Winarsih di seberang.
Dean terkekeh mendengar jawaban istrinya.
“Kamu lagi ngapain? Gak kangen dipegang-pegang sebelum tidur?” tanya Dean.
Rio melengos.
“Kangen. Makanya jangan pergi-pergi sendiri. Aku gak diajak. Nanti lain kali, aku juga kepingin pulang ke kampung sendirian."
"Gak boleh. Gak boleh kalo itu. Harus bareng aku," jawab Dean segera. "Ini lagi ngapain?" tanya Dean.
"Ini mau tidur. Anak-anak tidur denganku. Pada nanyain bapaknya,” jawab Winarsih.
TOK TOK TOK
Terdengar ketukan buru-buru di pintu kamar mereka. Dean dan Rio saling pandang. Rio segera berdiri menghampiri pintu. Dan dalam sekejab saja, ia membuka pintu tanpa sempat mengintip dari lubang.
“Mas Rio, temenin aku ke depan. Aku mau pulang sekarang,” kata Tasya yang muncul di depan pintu kamar sambil menangis.
Rio menatap Tasya dengan tatapan bingung. Tasya menangia tersedu-sedu tanpa penjelasan.
“De! Dean! Tolong—” Rio membutuhkan teman untuk meminta pendapat.
Dean bangkit dari ranjang masih dengan teleponnya.
“Mas Dean, bareng Mas Rio, temenin aku ke depan resor. Aku mau pulang sekarang. Aku nggak mau lagi di sini.” Tasya tersedu-sedu.
“Suara perempuan, Mas? Nangis? Siapa itu? Perempuan nangis malem-malem?” tanya Winarsih di seberang.
“Pacar Toni, Win ... eh, mantannya—mantannya. Inget kan, yang dateng jengukin kamu waktu lahiran Dirja? Bukan siapa-siapaku. Aku gak laku di sini. Toni yang lagi naik daun,” kata Dean.
“Anterin, Mas ...” ucap Tasya lagi.
“Oh, oke—oke. Kita sama-sama. Aku gak tau masalahnya apa. Tapi—De!” panggil Rio lagi.
“Win, aku tutup telfon dulu ya Sayang .... Jangan khawatir dengan aku. Hatiku udah habis untuk kamu semua.”
“De—” panggil Rio lagi. Dean segera menutup teleponnya dan kembali menghampiri Rio.
“Jadi gimana ini?” tanya Rio memandang Tasya yang masih terus menangis.
“Ayo kita cari si Mus,” kata Dean. “Dia kan, sekretaris Toni. Dia harus bisa beresin ini.”
Rio berjalan di depan sambil menyeret koper Tasya menuju lift. Wanita muda itu masih menangis dan terus menerus menyeka air matanya. Dean dan Rio hanya bisa menebak hal ini pasti berhubungan dengan Toni.
“Siapa yang jemput kamu?” tanya Rio.
“Papa—” jawab Tasya. Dean menarik lengan Rio agar mendekat padanya.
“Waduh,” gumam Dean. “Kita tunggu Mus dulu. Kalo manggil Toni, bakal runyam. Dia dijemput bokapnya cuy. Bisa baku hantam, Toni malu. Jadi kita panggil Mus, buat kesan agar Toni gak menelantarkan Tasya. Dia udah mantan pacar, kok masih ngotot. Emang ada urusan apa, sih?” kesal Dean berbisik.
“Kayak yang lo pernah bilang, mungkin Toni enak banget. Kayak yang Disty dan Ara rasain,” jawab Rio.
“Anjing! Beda! Ya udah, kita cari si Mus. Gue gak mau nelfon dia. Entar dia simpen nomer. Bahaya.” Dean kembali menyeret Rio masuk ke dalam lift dan menekan tombol L untuk menuju ke lobi.
“Si Mus, kalo dicari malah ngilang. Gak dicari malah berserakan di mana-mana.” Dean mengomel di teras lobi.
“Berserakan? Lo kata si Mus sampah apa?” Rio terkekeh.
“Ada yang sebut-sebut nama saya?” tanya Mus tiba-tiba.
Dean memeluk bahu Rio. Dan Tasya seketika menghentikan tangisnya karena rasa terkejut. Mus ternyata sedang duduk di kursi kayu teras luar. Beberapa langkah dari tempat mereka berdiri. Dean dan Rio hanya kurang menoleh ke belakang saja.
“Ngapain kamu di situ?” tanya Dean sedikit kesal. “Harusnya kalo denger dicariin, langsung muncul.”
“Saya lagi merajut, Pak ...” jawab Mus berdiri menghampiri Dean dan Rio.
“Merajut apa di gelap-gelap?” kesal Dean.
“Merajut asa dan mimpi-mimpi—”
“Cukup Mus! Diem! Ini, temenin mantan pacar bos kamu untuk nunggu jemputan orangtuanya.” Dean menggeser berdirinya agar Mus bisa melihat Tasya yang sekarang berhenti menangis.
To Be Continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
dyul
hahaha.... uda tau.... lebay pake pengumuman 🤣🤣🤣
2025-01-12
0
dnr
pak de ampun bangett😂😂😂
2025-01-13
0
dyul
atit peyut..... 😂😂😂
2025-01-12
0