Dean berdiri dengan kedua tangan berada di saku celananya. Teras lobi itu memiliki tiga anak tangga dan Tasya berdiri di undakan paling bawah. Rio berdiri di atasnya, dan Dean berdiri di teras lobi dengan Musdalifah yang berjarak semeter darinya.
“Papa kamu udah nyampe mana?” tanya Rio pada Tasya yang berdiri mematung di depan lobi.
“Gak tau,” jawab Tasya.
“Ya ditelfon dong … ditanyain.” Dean menyela dari balik punggung Rio. Ia melemparkan tatapan kesal pada Tasya. Ia heran kenapa Toni bisa pacaran dengan anak ingusan seperti Tasya.
“Diem dulu,” sergah Rio sedikit berbalik dan mendelik pada Dean.
“Kamu jangan pergi sampai orangtuanya nyampe di sini ya. Jangan lupa dicek dulu yang jemput benar orangtuanya apa bukan.” Dean berbicara pada Musdalifah dalam bisikan.
“Baik, Pak. Aman … percayakan dengan Ifa.” Musdalifah tersenyum.
“Ifa—Ifa … Mus. Mus. Itu yang bener,” kata Dean melengos.
“Iihh … berisik banget sih,” kesal Rio kembali menoleh pada Dean. Ia sedang mencoba mengorek cerita dari Tasya soal merajuk luar biasa yang sedang dilakukan oleh wanita itu.
“Gue telfon si bule sinting dulu.” Dean mengeluarkan ponselnya dan menelepon Toni.
Setelah beberapa kali panggilan, Toni tak juga menjawab. Dean kembali mengantongi ponselnya dengan wajah kesal.
“Ada?” tanya Rio menoleh Dean.
“Gak dijawab,” ketus Dean.
“Tasya … kenapa langsung telfon orang tua? Kan gak enak kalo acara kantor tapi kamu pulang nangis-nangis kayak gini,” kata Rio memandang Tasya.
“Gak apa-apa, Mas. Eh, itu Papa!” ujar Tasya menoleh pada mobil yang baru masuk dan mendekat ke arah teras.
Mobil itu hanya sebuah mini bus biasa dan seorang pria paruh baya langsung keluar dari pintu bagian supir. Wajah pria itu terlihat berang menatap Rio dan Dean bergantian.
“Toni! Kalau kamu nggak bisa berlaku seperti laki-laki dewasa, kamu jangan pernah menjalin hubungan dengan wanita. Tampang kamu aja yang baik. Anak saya sampe nangis-nangis gini, kamu gak mau nganterin. Malah saya yang jemput.” Pria setengah baya tadi menghardik Rio.
Rio mundur selangkah dan mengibaskan kedua tangannya. “Bukan Pak—bukan. Saya bukan Toni.” Rio menggeleng-geleng.
“Kalau gitu pasti kamu! Masih bisa kamu ngeliat orang dengan muka kamu yang sombong itu. Gak ada gunanya muka ganteng tapi jadi laki-laki angkuh!” maki Ayah Tasya pada Dean.
“Bukan—bukan. Enak aja ngira saya Toni. Mantan pacar anak Bapak, gak seganteng saya. Jauh …” jawab Dean dengan wajah sebal.
“Halah—kalian semua laki-laki sama saja!” umpat Ayah Tasya mengangkat koper anaknya.
“Lah, Bapak juga laki-laki.” Dean tak terima dimaki-maki oleh orang asing. Terlebih ia tak mengerti duduk perkara yang sebenarnya. “Tasya … kamu jelasin ke orang tua kamu masalahnya apa.” Dean meneruskan ucapannya pada Tasya yang masuk ke kursi penumpang bagian depan.
“De … udah.” Meski Rio ikut kesal karena dimarah-marahi di depan umum oleh orang yang tak dikenal, ia tak mau Dean ribut di sana.
Dean menekuk wajahnya memandang mini bus tadi pergi meninggalkan teras lobi resor.
"Bisa-bisanya si bule sinting itu pacaran ama anak ingusan. Umur 24 tahun jaman sekarang perempuan masih keliling dunia. Si Tasya kayak gak bisa nyari laki-laki lain aja," gerutu Dean masih dengan kedua tangannya berada di saku celana.
"Inget, De ... istri lo hamil anak pertama umur berapa? 21 tahun. Sekarang umur berapa? 25 tahun, kan? Hamil anak keempat?" Rio mengingatkan Dean sebelum sahabatnya itu mengata-ngatai Toni lebih lanjut.
Dean bungkam dan melengos saat mendengar perkataan Rio yang benar adanya. Perempuan lain keliling dunia, tapi Winarsih hamil sepanjang tahun karena perbuatannya.
“Kalau gitu, tugas saya udah selesai, Pak?” tanya Musdalifah memandang Dean.
“Ini semua karena bos kamu, si bule sinting itu. Bisa banget mantan pacar diterima kerja di perusahaan yang sama. Kayak gak bisa ngasi info di tempat lain aja. Di saat-saat kayak gini bukannya malah muncul. Ditelfon gak dijawab. Dikirimin pesan gak dibaca. Ngajak ke sini ngebetnya minta ampun,” kesal Dean. Musdalifah juga kebagian apes cercaan dari Dean.
“Pak,” panggil Musdalifah.
“Apa lagi?” tanya Dean.
“Pak Toni tadi titip pesan, katanya dia di ruang bilyar. Bapak berdua diminta ke sana,” kata Musdalifah.
“Kapan bos kamu bilang gitu?” tanya Dean.
“Tadi, waktu mbak Tasya nangis-nangis. Sebelum bapaknya dateng,” jawab Musdalifah dengan polosnya.
Dean mengeluarkan kedua tangannya dari saku dan menarik napas panjang. “Waah … bener-bener luar biasa si Toni. Semua dalam kehidupannya ganjil. Setelah ngasi gue cobaan dalam bentuk Asih, sekarang dalam bentuk si Mus. Kenapa gak bilang dari tadi?" Dean berkacak pinggang menggelengkan kepalanya. Rio terkekeh-kekeh melihat raut kekesalan Dean yang sepertinya sudah mencapai puncak.
“Gak ada gunanya muka ganteng tapi jadi laki-laki angkuh,” gumam Musdalifah.
“Kamu mau ngajak ribut?” tanya Dean.
“Kata-kata bapaknya mbak Tasya tadi memang keterlaluan ya, Pak …” sahut Musdalifah memasang wajah polos.
“Wah … kayaknya kamu perlu melihat keindahan Indonesia bagian Timur dari jendela kantor T&T Express di sana.”
“Jangan, Pak. Kasian debt collector kalo nyari saya sampe sana. Permisi, Pak ….” Musdalifah buru-buru pamit sebelum Dean semakin murka. Ia khawatir laki-laki itu akan benar-benar membujuk atasannya untuk memindahkannya ke cabang Indonesia Timur.
“Ayo—ayo, kita ke tempat bilyar. Mungkin Langit juga udah ada di sana,” ajak Rio.
Rio melingkarkan tangannya ke bahu Dean. Meski tangannya harus terentang ke atas, ia berusaha menepuk-nepuk bahu Dean yang terlihat masih kesal. Di antara mereka berempat, Toni memiliki tubuh paling tinggi dengan 186 cm. Sedangkan Dean, 184 cm. Menyusul langit yang memiliki tinggi 175 cm dan terakhir Rio dengan tinggi badan 170 cm.
Dulunya, Rio menjadi manusia yang paling sering digendong oleh teman-temannya karena dinilai bertubuh paling ‘mini’. Ketika mereka berada di bangku sekolah SMA, Rio sering digendong oleh Toni atau Dean saat mengintip jendela kelas Jennifer.
“Itu Tasya kenapa, sih?” tanya Rio menoleh Dean saat mereka berdua beriringan menuju ruang bilyar yang menyatu dengan sebuah bar. “Lo tau?”
“Tau. Gue tau,” jawab Dean. “Besok kita pulang. Jadi besok gue kasi tau selengkapnya. Gue tinggal menyusun kepingan puzzle terakhir.” Dean menoleh sembari terkekeh.
“Gaya bener,” ucap Rio ikut terkekeh. “Termasuk cewe yang minta handuk ama Toni?” tanya Rio lagi.
“Termasuk cewe yang minta handuk. Dan jangan kaget …” kata Dean. “Apapun yang terjadi, mereka udah dewasa. Dan itu urusan pribadi Toni. Sama kayak Wulan yang—”
“Gue cuma nawarin Wulan minum. Kenapa lo yang sewot?” hardik Toni pada seorang pria. Pria itu pacar Wulan yang sedang berdiri memegang stik bilyar di tangannya.
Baru saja langkah kaki Dean dan Rio tiba di ruangan bilyar, mereka telah menyaksikan keributan lainnya yang baru akan dimulai.
“Gue gak suka. Dia pacar gue. Dan gak penting banget lo nawar-nawarin minuman ke dia,” sergah laki-laki itu. “Gue udah cukup jijik liat kelakuan lo sejak tiba di sini. Sikap lo itu nggak penting banget!” kata laki-laki itu lagi.
“Rey … udah.” Wulan menarik lengan laki-laki yang dipanggil Rey.
“Lepasin dulu, Lan!” bentak Rey pada Wulan yang sedikit terhempas mundur karena kibasan tangan Rey.
“Jangan kasar lo!” teriak Toni.
“Lo emang siapanya? Lo cuma mantan suami yang nggak bisa moved on tapi gak ada usaha buat dia!” Rey tampak benar-benar emosi. Sepertinya ia turut mengamati perhatian Toni pada Wulan selama di sana.
“Gue ngelepasin dia, karena gue pengen dia bahagia. Gue gak mau liat dia sedih karena hidup dengan gue. Tapi kalo ngelepas dia ke orang kayak lo … kayaknya gue gak bisa.” Toni menatap Wulan saat mengatakan hal itu.
Wulan memandang mantan suaminya dengan raut muram.
“Udah jijik dia buat balikan ke lo!” Rey maju dengan stik bilyarnya.
“Wow—wow … gak adil ini. Gak adil kalo Toni tangan kosong. Jadi gue kasi ini,” kata Dean maju menyodorkan sebuah stik bilyar ke tangan Toni.
“De!” Langit baru tiba dengan wajah bingung namun geli melihat Dean berada di antara dua orang pria seperti seorang wasit.
“Ganti rugi peralatan,” ucap Dean. Matanya sedang menatap sebuah papan yang menampilkan tabel harga ganti rugi peralatan bilyar jika pengunjung merusaknya. “Harga laken 1.900.000, stik-nya 650.000. Oh, murah kok … lanjutin kalo gitu.” Dean mundur kemudian menyilangkan kedua tangannya di dada.
“De! Gak lucu!” tegur Wulan pada Dean. Ia menarik lengan Rey agar pergi dari tempat itu. Namun, lagi-lagi Rey menghempaskan tangan Wulan dan bersikeras tetap berada di sana.
Dean menatap kesal pada pacar Wulan.
“Emang gak lucu! Tapi aku pengen liat, mana yang mau babak belur demi kamu, Wulan. Untuk hal ini, aku yakin Toni pasti spektakuler,” kata Dean.
To Be Continued
Jangan lupa likenya ya Bebs, :*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
ahjuma80
dean sm kayak g suka keributan wkwkw
2024-11-08
0
dyul
pakde.... paling sukak keributan😜
2025-01-12
0
dyul
bisa ae kunti wedok🤣🤣🤣
2025-01-12
0