Ryan rasanya baru saja tertidur saat ponselnya terus-menerus bergetar di atas meja. Saat meraba-raba dalam remang cahaya kamar, Ryan melihat nama atasannya memenuhi layar. Padahal dua hari ini, ia merasakan arti weekend yang sebenarnya karena Dean tak merusuhi. Namun ternyata, Ryan salah besar.
Di manapun keberadaannya, Dean selalu punya urusan luar biasa. Dan benar saja dugaannya. Setelah mencoba menjawab dengan suara sangat parau agar Dean mengerti bahwa ia sedang tidur, atasannya malah memintanya pergi ke Sukabumi.
“Telfon dari siapa, Mas?” tanya Novi yang terbangun saat mendengar suara lemari yang dibuka. “Mau ke mana tengah malem gini?” tanya Novi lagi melihat Ryan mengeluarkan jaket.
“Pak Dean terlibat perkelahian di bar bilyar resor. Sekarang di Polsek sama temen-temennya. Aku mau nebus bapak-bapak tawuran di Sukabumi. Gak bakal lama,” kata Ryan.
“Gak mungkin gak lama, pasti sampe pagi. Aku telfon Bu Winarsih juga. Suaminya di Polsek, aku harus ngasi tau.” Novi bangkit mencari ponselnya.
“Jangan! Bisa habis aku diomelin Pak Dean. Gak usah!” cegah Ryan pada istrinya.
“Kalo suamiku yang kayak gitu, gimana perasaanku kalo gak dikasi tau. Belakangan pasti tau juga. Malah bisa makin parah. Bu Winar gak tukang ngomel. Jadi aku kasi tau aja.” Novi sudah menekan nomor telepon Winarsih.
“Iya, Bu Winarsih gak tukang ngomel. Tapi suaminya. Yang ngadepin suaminya itu aku …” gumam Ryan pasrah.
“Bu! Pak Dean di Polsek Sukabumi. Mas Ryan mau jemput ke sana. Gimana? Ibu mau ikut atau cukup Mas Ryan aja?” tanya Novi.
“Aduh, Nov ...” lirih Ryan sambil berpakaian. Ia sudah tahu Dean pasti akan mengutuknya habis-habisan.
“Di Polsek? Kenapa Nov? Ada yang terluka? Bukan kecelakaan, kan?” tanya Winarsih dengan nada cemas. “Bukan rumah sakit?” Winarsih sedikit trauma dengan kecelakaan yang menimpa suaminya saat ia tengah mengandung anak pertama. Dean ditusuk orang tak dikenal, ditambah kecelakaan lalu lintas pula saat itu.
“Polsek Bu, Polsek aja.”
Mungkin jika orang lain mendengar kata Polsek, bayangan yang muncul akan mengerikan. Tapi beda dengan Dean. Selain karena profesinya yang memang kadang berhubungan dengan penegak hukum, Dean juga beberapa kali tersangkut masalah. Hingga orang sekelilingnya tak terlalu kaget jika mendengar Dean berada di Polsek.
“Saya ikut. Minta Pak Ryan jemput saya. Saya langsung siap-siap. Sudah ada kemajuan rupanya. Yang lalu, ditinggal satu malem nginepnya di kantor polisi. Kali ini dua malem, kantor polisi lagi. Gak bisa dilepas!” Winarsih bangkit dari ranjang mengomeli suaminya.
“Baik, Bu.” Novi menutup teleponnya.
“Aduh ... Bu Winarsih jemput anaknya selesai tawuran di kantor polisi untuk kedua kalinya.”
Sudah lewat tengah malam saat Ryan tiba di kediaman Pak Hartono. Winarsih telah menunggu di teras rumah. Ia mengenakan sebuah dress panjang sebetis dengan cardigan rajut model oversized. Di bahunya tersangkut sebuah tas tangan yang baru dibelikan Dean sebelum berangkat ke Sukabumi.
“Pak Ryan, apa mau naik mobilnya Pak Dean aja?” tanya Winarsih dari teras. “Kayaknya naik mobil Pak Dean aja ya … ke Sukabumi, kan lumayan jauh,” kata Winarsih.
“Iya Bu, boleh. Saya parkir dulu ke belakang.” Ryan lalu meneruskan laju mobil memasuki halaman sayap kiri rumah tempat di mana seluruh kendaraan penghuni rumah itu berada.
Sukabumi itu jauh. Tapi kalau perjalanan itu dilakukan tengah malam, jarak tempuhnya lumayan terpangkas. Winarsih yang sedang mengandung, untuk kedua kalinya menuju kantor polisi untuk menjamin suami dan teman-temannya. Entah atas kasus apa pula yang diperbuat empat orang laki-laki itu di sana, pikirnya.
“Heran, kayak remaja aja. Ribut sedikit pasti main fisik. Enggak bisa kalem sedikit aja,” kata Winarsih di dalam mobil.
"Kan, memang gitu Bu ... Dulu masih pake tongkat abis kecelakaan trus dateng ke sidang pelaku penusukannya, Pak Dean nusuk mulut pengacara lawan pake tongkatnya. Aduh, seandainya Bu Winar jadi saya." Ryan kembali mengingat masa-masa awal bekerja dengan Dean.
"Saya memenuhi panggilan kepolisian dengan perkara beragam." Ryan merasa tak perlu menyebutkan serentetan kejadian akibat sikap arogansi Dean.
"Ngapain aja emangnya?" tanya Winarsih.
"Pernah datengin lawan kasusnya. Pak Dean ngomong gak ditanggapi. Pak De ngebalik meja. Orang-orang lagi ngobrol dan minum-minum. Pffft ..." keluh Ryan.
"Susah nahan emosi dan berisik banget kadang-kadang," kata Winarsih. "Tapi bapaknya Dirja pergi dua malem, rumah jadi sepi." Winarsih meneruskan ucapannya di dalam hati.
“Hmmm—Bu Amalia tau soal ini, Bu?” tanya Ryan memastikan situasi atasannya.
“Belum. Mama istirahat, Papa juga. Besok kalau pulang ke rumah, saya juga bingung pakai alasan apa. Pasti Mama marah. Mau nggak didatengin ke Sukabumi, tapi saya kepikiran. Bos Pak Ryan ini anaknya udah mau empat, tapi ampun ... Nanti saya belum ngomel, dianya udah pasang badan. Melas banget. Saya nggak tega,” kata Winarsih masih menumpahkan unek-uneknya.
Winarsih menghela napas. Ia memang tak tega tiap suaminya mendapat omelan dari ibunya. Masalah apapun itu, kalau suami dan ibu mertuanya sudah mulai saling melemparkan argumen, ia hanya bisa diam. Meski seringnya Dean salah, ia tetap tak suka kalau suaminya terlalu sering diomeli. Tapi sering dibela pun, Dean malah jadi begini.
Terkadang, Winarsih merasa seperti memiliki anak sulung yang nakal.
Ryan yang berada di jok depan, hanya bisa meringis. Soal keahlian pasang badan, atasannya tak perlu diragukan lagi. Akhirnya Ryan hanya bisa menyiapkan sepasang telinganya untuk mendengar curahan hati istri bosnya selama dua jam lebih ke depan.
Sementara itu di Polsek.
“Ayo dong De ... bahas siapa yang di—” Langit menoleh pada Wulan dan Rey yang berada di ruangan lain. Setelah memastikan tak ada orang di sekeliling mereka, Langit kembali melanjutkan “Bahas siapa yang di kamar mandi Toni kemarin,” sambung Langit.
“Eh anjing! Itu bukan untuk dibahas rame-rame. Udah sok main detektif-detektifan aja.” Toni menoleh khawatir ke ruang sebelah.
“By the way, Siska gimana? Jadi ketemuan ama Siska?” tanya Dean pada Langit.
“Jadi kok. Dia tadi langsung balik ke kamar, nah gue langsung ke tempat bilyar karena dapet pesannya Toni.” Langit dan Dean duduk di sebuah bangku kayu panjang menghadap meja dengan sebuah komputer terletak di atasnya.
Toni dan Rio duduk di dua buah kursi plastik. Polisi meminta mereka berdamai. Tapi pihak Rey bersikeras kalau perdamaian itu harus di atas hitam putih agar tak terjadi keributan di kemudian hari.
“Cowoknya Wulan khawatir kalo ketemu kita di jalan dia bisa babak belur,” ucap Dean. “Jadi kalo sekali lagi ribut, siapa yang mulai di antara lo bedua, bakal dibui.”
“Tapi tadi yang mulai bukan Toni, De ...” kata Rio.
“Ya emang. Dia udah kesel aja makanya mau sampe ke sini. Malah ngaku anak mantan gubernur. Jijik gue dengernya,” kata Dean.
“Apa perlu kita telfon mantan menteri Hartono?” tanya Langit.
“Jangan macem-macem lo. Yang ada gue diomelin. Dicoret dari penerima warisan,” tukas Dean. Ketiga teman-temannya tertawa.
To Be Continued
Langsung di-up dua bab.
Kejar target 20 bab pertama.
Like-nya jangan sampai kelewatan ya ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
dyul
anjim..... pak mentri mau di ikut sertakan, emang yak, udah pada tuir, kelakuan anak SMA😂😂
2025-01-13
0
dyul
emang harus sabar..... buk winar, anakmu ini yg paling badung emang🤣🤣
2025-01-13
0
dyul
hahaha.... jurus andalan pakde.... cium win, peluk win, gak kangen apa🤣🤣🤣
2025-01-13
0