“Pantes aku gak dicariin, ternyata istriku enak-enak tidur. Padahal suaminya belum pulang.” Dean sudah duduk di belakang setir dan bersungut-sungut pada Winarsih.
“Aku ngantuk. Makanya jangan dihamilin terus. Aku sampe nggak denger Mas pulang jam berapa.” Winarsih baru masuk ke mobil dan memangku tasnya saat mendengar keluhan Dean pagi hari.
“Semaleman aku tidur nggak dipeluk. Dipunggungi. Padahal kemarin malem aku pengen,” keluh Dean lagi.
“Maaf Mas Dean … sini aku peluk.” Winarsih merentangkan tangannya meminta Dean mendekat.
Dean langsung menyambut pelukan itu. “Aku pulang malem karena ada kerjaan yang harus aku selesaikan karena pagi ini mau nganter kamu ke dokter.”
“Iya, Sayang …” jawab Winarsih mengeratkan pelukannya dan mengecup lembut leher Dean.
Dean hampir tertawa terkikik, namun menutup mulutnya di balik punggung Winarsih. Andai saja istrinya tahu bahwa kemarin malam ia adu mulut dengan seorang dukun wanita di hutan belantara. Ia tak bisa membayangkan apa yang akan dikatakan oleh istrinya. Dean menikmati Winarsih yang sedang merasa bersalah dengan mengecupi lehernya berkali-kali.
“Kalau Mas buru-buru pagi ini, besok juga bisa ke dokternya.” Winarsih melepaskan pelukannya dari Dean.
Pagi itu mereka sudah cukup terlambat karena ada dua anak yang tantrum tak mau lepas dari ibunya. Dean harus mengendap-endap agar tak ditangisi Widi, putri bungsunya. Dan saat ia berhasil melepaskan diri, giliran Winarsih yang harus membujuk Dita yang tak mau makan disuapi babysitter-nya.
“Bisa kok, bisa … aku udah janji sama Bu Winar. Masa udah aku yang menghamili, tapi ke dokternya sendirian terus. Nanti dari dokter, kita makan dulu, terus aku anter pulang. Baru … aku ke kantor.” Dean mencondongkan tubuh untuk melingkarkan tangan kanannya di pinggang Winarsih. “Cium Win,” bisik Dean.
“Kan tadi bisa di kamar,” sahut Winarsih mulai gelisah karena Dean sudah menciumi pipi dan mengusap-usap perutnya yang berisi janin 12 minggu.
“Tapi tadi dor—” Dean mengatupkan mulutnya. Hampir saja dia keceplosan menyebutkan Dirja, Dita dan Widi sebagai doremi. Winarsih bisa mengomelinya lagi kalau anak-anak mereka dipanggil dengan sebutan anak tangga nada, meski kenyataannya mendekati kebenaran. Tinggi badan Dirja, Dita, dan Widi, runtut seperti anak tangga. Dan sekarang, anak tangga nada berikutnya sedang dikandung.
“Aku udah rapi mau diacak-acak lagi.” Winarsih cemberut.
“Jangan pelit-pelit … nanti anak kamu mirip aku lagi,” gumam Dean kemudian menekan punggung Winarsih sampai menempeli tubuhnya. “Wangi banget kamu … tadi mau aku acak-acak di kamar, anak kamu nangis.” Dean menyibak rambut Winarsih ke belakang telinga dan mengecup ruas leher istrinya.
“Udah kesiangan …” tegur Winarsih pada suaminya. Meski mengatakan hal itu, tangannya sudah berpindah ke paha Dean dan menggaruk lembut bagian itu.
Dean memberikan ciuman selamat pagi pada Winarsih. Memiliki tiga orang balita yang besarnya hampir sama, membuat ranjang mereka selalu penuh dengan anak-anak yang mau tidur di pelukan ibunya setiap malam.
Winarsih masih menjalani masa kuliahnya. Ajakan-ajakan mahasiswa di kampus agar istrinya mengikuti banyak kegiatan, membuat Dean merasa harus kembali menghamili wanita itu. Dan syukurnya, Winarsih yang merasa harus berbakti pada suami, tak pernah mengeluh atau menolak keinginan suaminya.
Dalam sekejab saja, Winarsih yang tengah mengandung sudah tersengal-sengal melepaskan ciuman Dean. “Udah, nanti malah ngajak ke dalem. Makanya pulang cepet,” kata Winarsih menyeka bibir Dean yang terkena noda lipstik.
“Aku kan, kerja Sayang …” sahut Dean menurunkan sun visor untuk mengecek wajahnya. “Entar malem ya .…” Belum apa-apa Dean sudah memesan slotnya.
“Masih ada noda lipstiknya.” Winarsih menoleh sekeliling dasbor dan tak menemukan tisu. “Tisunya nggak ada?” tanya Winarsih membuka laci dasbor. Tak berhasil menemukan tisu di depan, tangan Winarsih terjulur merogoh kantong belakang jok Dean. Karena tak juga menemukan, ia sedikit mencondongkan tubuhnya ke belakang dan merogoh kantong belakang jok yang didudukinya.
“Nggak ada juga Mas …” ucap Winarsih.
Mendengar itu, Dean melipat sun visor dan berbalik menghadap istrinya. “Mundur dikit, nyangkut ini.” Dada mereka berhimpitan di antara jok.
Winarsih mencibir melihat wajah genit suaminya. “Eh tunggu—ini apa?” Winarsih merasakan tangannya memegang plastik yang isinya benda bulat dan keras. Ia langsung mengangkat plastik itu dari dalam kantong jok.
Dean yang masih mencoba menghilangkan noda lipstik mahal yang tadi dilahapnya, mengernyit penasaran dengan kantong plastik yang sedang dibuka Winarsih.
Sejurus kemudian, “Ini kembang siapa, Mas?”
“Hah?” Dean setengah ternganga. Bibirnya masih berwarna pink dan rautnya benar-benar bingung.
Winarsih kembali mengaduk isi plastik kresek hitam yang ditemukannya.
“Ada jeruk purutnya juga … Mas ke dukun? Lulusan luar negeri, pulang ngantor bawa kembang tujuh rupa.” Winarsih berdecak dan melemparkan tatapan kesal pada suaminya.
“Itu kemb—”
“Apa pesona Mas udah mulai pudar, sampe perlu ke dukun?”
“Nggak mungkin kalo itu Win … bukan aku.”
“Jadi siapa?” tanya Winarsih menyodorkan isi kembang yang dibungkus daun pisang.
“Toni itu—si bule sinting,” jawab Dean.
“Kok bisa di sini? Kemarin malam pulang terlambat memangnya ke mana? Katanya di kantor,” tuntut Winarsih meletakkan plastik kresek di dasbor tengah.
“Emang di kantor Sayang … tapi Toni mampir, trus dia nebeng pulang.” Dean mengalihkan pandangannya ke depan dan mulai melajukan mobil. “Kita langsung ke dokter ya, entar keburu rame.”
Dean bisa merasakan Winarsih masih menatap tajam ke arahnya. Sekarang wanita itu sudah sangat ahli men-CT scan isi kepalanya. “Nanti aku taburi bunga itu di kepala Toni,” tukas Dean benar-benar kesal.
Sepertinya sore itu, mereka semua harus melakukan rapat darurat di Beer Garden. Dean merasa perlu mengembalikan bunga itu pada pemilik aslinya. Juga … soal snack Langit yang masih dirahasiakannya.
Selama Dean menemani Winarsih di dokter kandungan, wanita itu jadi minim berbicara. Istrinya terlihat tak percaya dengan hal yang dikatakannya barusan. Dean merasa tak mungkin jujur untuk hal itu. Harga dirinya tak terima kalau Winarsih sampai tahu ia bersama teman-temannya pergi membelah hutan hanya untuk bertemu dukun ngawur. Bisa-bisa hal itu malah mempersulit izin keluarnya di kemudian hari.
Tapi meski sedikit menekuk wajahnya, Winarsih tetap membiarkan tangannya berada di paha Dean. Itu sudah seperti perjanjian tak tertulis. Dean tetap menggenggam erat tangan istrinya di atas paha selama mereka duduk menunggu. Tak boleh bergerak.
***
Sorenya, Dean datang sedikit terlambat ke Beer Garden. Di saat ia tengah bersiap keluar dari ruangannya tadi, Ryan masuk menyerahkan setumpuk berkas yang harus ditandatanganinya. Sedikit tergesa ia mendorong pintu kaca café dan langsung menuju meja yang biasa mereka duduki.
Sebelum Dean melangkahkan kakinya menuju meja, pandangannya mengedar sekilas. Ia melihat dua pria yang sepertinya juga tim bapak muda, menempati meja yang berseberangan dengan lorong. Pasti pengunjung baru, pikir Dean. Wajah keduanya jarang terlihat di sana. Kalau dua orang pria itu akan sering berada di sana, bisa-bisa predikat bapak ganteng di Beer Garden tak akan bisa genk-nya pertahankan. Salah seorang pria yang berlesung pipi tersenyum padanya, sebelum ia menghempaskan diri di sebelah Langit.
“Lama banget lo! Kebiasaan kalo janji suka dateng paling telat,” umpat Toni.
“Biasa. Dia kalo dandan pasti paling lama. Dateng juga paling lama,” sambut Langit.
“Tapi entar pulang paling cepet. Alesannya bini gua udah nelfon,” sambar Rio. Dean hanya terkekeh-kekeh menanggapi ocehan para sahabatnya.
Baru saja Dean menepuk bahu Langit ingin memulai percakapan soal misteri snack, dari arah pintu masuk seorang wanita cantik lewat di lorong yang memisahkan dua baris meja di café itu. Blus ketat berwarna merah langsung memaku mata para lelaki yang berada di sana.
“Cinta!!” panggil wanita itu pada temannya yang sudah menduduki meja. Dengan langkah gemulai wanita itu berjalan bak model seolah menikmati tiap pasang mata yang sedang melahap tubuhnya dengan pandangan.
Tak sengaja, seperti sebelum-sebelumnya, mereka semua serentak mengeluarkan kata, “Uuuuuu ….” Saat bokong wanita itu baru berlalu dari hadapan mereka.
“Cinta katanya, gue udah mau jawab aja. Kirain gue,” kata Toni terkekeh.
“Cakep ya, pasti masih muda.” Langit berkata seolah pada dirinya sendiri.
“Gede.” Kata-kata itu langsung meluncur dari mulut Dean secara otomatis seperti sudah diprogram sebelumnya.
“Otak lo dari dulu yang gede terus. Yang di rumah kurang gede?” tanya Langit sambil menonjok pelan bahu Dean.
“Yang di rumah tetep yang terbaik,” sambung Dean sambil tertawa.
Dan saat mereka semua sedang terkekeh-kekeh, pandangan Dean kembali bertemu dengan pria berlesung pipi yang juga ikut tertawa kecil. Ia berani bertaruh bahwa apa yang mereka berempat katakan barusan soal wanita tadi, pasti sama dengan yang dipikirkan kedua pria di meja seberang.
To Be Continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
jumirah slavina
habislah Kauu Pa'De...
barang dukun d'tinggal Toni...
🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
2025-03-01
1
dyul
wew.... tetep yak komenin cewe2 seksi n gede, emang ini genk isiya omes😂😂
2025-01-12
0
dyul
si playing victim, lagi bodoh bodohin buk winar, dasar ya😂😂😂
2025-01-12
0