Selama ini kebanyakan orang menganggap bahwa perempuan lebih mudah terbawa perasaan dan cepat jatuh cinta daripada laki-laki. Sebenarnya itu salah besar. Sebuah studi menemukan bahwa sebenarnya laki-laki cenderung mudah jatuh cinta dan ingin mengutarakan perasaan terlebih dahulu daripada perempuan.
Itulah yang dialami Langit kala ia bertemu dengan Siska pertama kali di lapangan basket sekolah. Langit yang masih cupu merasa jatuh cinta pada pandangan pertama. Bukan karena Siska anak perempuan paling cantik dan paling pintar di sekolah. Bukan. Ia menyukai Siska karena gadis itu unik.
Di saat gadis-gadis lain khawatir gosong karena sengatan matahari, Siska malah penuh peluh mencetak poin ke dalam ring. Di saat gadis lain sibuk bergerombol, Siska sepertinya oke-oke saja ke sana kemari sendirian. Langit yang sudah ditakdirkan lahir sebagai sosok laki-laki melankolis, pernah duduk berdua di bawah sebuah pohon rindang bersama Siska.
Hari itu, Langit berpikir akan menyatakan perasaan dengan kata-kata paling romantis. Namun, baru saja menarik napas membuka mulutnya, murid laki-laki dari kelas lain yang sangat biasa bernama Sanusi menghampiri mereka. Tak bisa ia lupakan bagaimana Sanusi yang dinilainya biasa, bisa mengulurkan tangan pada Siska dan mengajak gadis itu pergi dari tempat itu.
Langit hanya bisa diam membisu. Bahkan sampai di rumah pun ia masih larut dalam rasa syok. Dia, seorang cowok idaman di sekolah, Rangga Langit Kelana, kalah ditikung dengan seorang Sanusi yang banyak cengengesan. Sanusi yang pernah dilihatnya makan lima bakwan di kantin, namun hanya membayar dua.
Itu adalah salah satu kisah kelam Langit di masa remajanya. Tak ada yang tahu. Termasuk Rio dan Toni. Apalagi Dean. Memikirkan kemungkinan ucapan tajam Dean saja, rasanya ia tak sanggup.
Lalu Langit bertemu dengan Jingga. Wanita yang mengubah hidupnya. Tempatnya berlabuh dan melepaskan perjaka. Bagi Langit, sudah tentu Jingga adalah segala-galanya. Cantik, anggun, dan mempesona. Sifat-sifat yang tak perlu ia cari lagi dari wanita lain di luar sana.
Namun semua itu akan terlupakan sementara jika hal itu menyangkut soal Siska. Bagi Langit, hal itu masih misteri. Ia lebih memaklumi jika Siska memilih Dean, Toni atau Rio. Tapi tidak dengan Sanusi. Ada apa dengan Sanusi? Bertahun-tahun, bagi Langit itu masih misteri.
“Didi …” panggil Jingga dari ruang tamu. Panggilan itu begitu mesra buatnya yang telah diberi sepasang anak kembar oleh Jingga. Kalla dan Zurra. Balita berusia tiga tahun yang tampan dan cantik. Langit berjalan ke ruang tamu menghampir anak-anak dan istrinya. Sudah malam, tapi nampaknya Jingga kewalahan karena anak-anak mereka belum juga mau diajak ke kamar.
“Kangen sama Didi, ya?” tanya Langit berjongkok dan memeluk dua balita yang langsung menghambur ke pelukannya.
“Didinya sibuk terus belakangan ini … kayaknya lupa kalo Mima juga butuh waktu memanjakan diri.” Jingga cemberut seraya memunguti berbagai mainan yang sudah berpindah sebagian dari kamar anak-anak ke ruang tamu.
“Ya udah Mima santai aja. Si kembar ini biar Didi yang bawa ke kamarnya.” Langit bangkit menggendong dua anaknya sekaligus. “Mima siap-siap yang cantik ya … Me time-nya sama Didi aja.”
Langit bisa mendengar suara Jingga yang terkekeh saat ia mengatakan hal itu. Setelah menikah dan memiliki balita, waktu me time bersama pasangan memang kerap tak menjadi prioritas.
Kondisi melelahkan seusai bekerja di kantor dan terjebak jalanan yang macet membuat tubuh hanya mengingat soal beristirahat saja. Tidur.
Langit membawa anak-anaknya ke kamar dan meminta balita itu memilih salah satu buku yang akan dibacakannya untuk mereka.
Dengan semangat Zurra menarik sebuah buku tentang cerita putri dan pangeran yang telah puluhan kali dibacakan untuknya.
Langit merebahkan diri di antara dua balita yang begitu antusias menunggunya pulang setiap hari. Dengan mata membulat dan mulut setengah ternganga, dua balita itu menikmati suara ayahnya.
Bagi Langit, Zurra dan Kalla sudah lebih dari cukup. Meski beberapa waktu yang lalu Jingga sempat down karena divonis tak bisa hamil lagi, Langit merasa semua itu bukan masalah. Istrinya telah memberinya dua orang anak yang sehat dan pintar. Apalagi yang akan dituntutnya dari sang istri?
Menjelang pukul 10 malam, Langit berjingkat-jingkat keluar kamar anak-anaknya dan menyetel lampu tidur. Ia tak sabar menuju kamar demi mendapati istrinya yang pasti telah berpakaian menggoda.
“Mima …” panggil Langit saat mengayun pintu kamar. Ia melihat Jingga yang tadi tidur membelakangi pintu, kini menggeliat berbalik menatapnya.
“Udah tidur?” tanya Jingga soal anak-anaknya.
“Udah dong … kan Didinya yang ngedongeng. Mereka lebih suka denger suara aku,” jawab Langit tertawa. “Jadi gak me time-nya?” tagih Langit saat duduk di tepi ranjang.
Jingga bergulung melingkarkan tangannya memeluk perut sang suami. “Mau …” jawab Jingga dengan suara parau.
“Kamu udah ketiduran. Pasti capek banget yah jaga anak-anak.” Langit membelai pipi Jingga yang kembali menutup matanya.
“Capek, tapi aku seneng. Mereka tumbuh sehat dan bahagia.” Jingga menjawab masih dengan mata terpejam dan tangan yang melingkari sekeliling perut suaminya.
“Lusa aku jadi berangkat ya … kamu bener nggak apa-apa?” tanya Langit lagi. “Kalo kamu keberatan, aku gak apa-apa.”
“Gak apa-apa,” sahut Jingga. “Yang lain pada ikut?” Jingga bertanya soal sahabat-sahabat suaminya.
“Ikut,” kata Langit. “Dean barusan ngirim kabar kalo dia oke.” Langit menyusun bantal dan merebahkan tubuh di sebelah istrinya.
“Jangan macem-macem,” kata Jingga meletakkan telapak tangan di pipi suaminya. “Entar aku ke rumah Bunda aja,” kata Jingga.
“Aku anterin …” sambung Langit. “Makasi ya, udah kasi aku pergi bareng temen-temen. Miminya Zurra dan Kalla memang yang terbaik. Aku janji gak bakal macem-macem. Ini semua demi nemenin Toni.”
Satu kebohongan kecil baru saja terlontar dari mulutnya. Semua demi menemani Toni. Sejak Toni menjadi duda, namanya kerap dipakai sebagai alasan mereka semua berkumpul mengurusi hal-hal tak penting. Nama Toni jadi sering dibawa-bawa meski kadang pria keturunan Amerika itu tak ikut hadir.
Karena saking seringnya nama Toni disebut-sebut, pria itu mungkin sering tercekik-cekik saat makan.
Langit benar-benar tak ada niat apapun menemui Siska. Kehadiran Siska di Sukabumi pun masih fifty-fifty. Mungkin belakangan ini, ia hanya sedikit … penat.
“Aku sayang kamu,” kata Langit memeluk istrinya. Sekilas pemikiran tadi langsung membuatnya disergap rasa bersalah.
Langit merasakan tangan Jingga membelai wajahnya dengan lembut. Tatapan wanita itu masih sama. Tatapan teduh yang membuatnya selalu merasa pulang ke rumah. Jari telunjuk Jingga melangkah ke sisi cambangnya. Naik turun berulang meninggalkan sensasi menggelitik yang jarang bisa ia tahan.
Langit menangkap tangan itu dan mengecupnya. Dengan tarikan lembut di belakang pinggang istrinya, Langit menjatuhkan kecupan di bibir wanita itu. Mata mereka memejam. Menyambut satu sama lain melepaskan kerinduan waktu bercumbu yang sering mereka lewatkan akhir-akhir ini.
Ia bisa merasakan napas Jingga mulai kasar dan tergesa-gesa. Dengan tubuh yang semakin menempel erat, Langit berguling ke atas tubuh istrinya. Ciuman mereka semakin panas. Jingga memejamkan mata dan mendongak seakan meminta kecupan di lehernya.
Masih berpakaian lengkap, mereka menikmati sensasi bersentuhan itu seolah mengenang masa awal mereka berbuat nakal.
***
Jumat sore. Dean memasang wajah muram berdiri di teras rumahnya menunggu kedatangan teman-temannya.
“Widi jangan nangis … Bapak juga sebenarnya nggak mau ikut ke Sukabumi. Ini om Toni yang maksa,” kata Dean mengecupi pipi Widi yang merengek saat melihat bapaknya berpakaian rapi dan menyeret sebuah koper kabin.
Padahal acara outing kantor itu di pegunungan. Bukannya malah membawa ransel, Dean bersikukuh pada Winarsih ransel akan membuat pakaiannya kusut. Ia mengatakan kalau acara outing kantor Toni pasti di sebuah resor mewah.
Winarsih ikut berdiri di teras menggandeng lengan Dita dan Dirja yang tak henti bertanya akan pergi ke mana bapaknya.
“Bapak gak lama, pokoknya jangan nakal ya … Jaga Ibu. Tidur sama Ibu. Dirja awasi Ibu jangan macem-macem,” kata Dean melemparkan tatapan jahil pada Winarsih yang langsung mencibir.
Tak lama berselang, mobil SUV berukuran besar masuk melintasi teras lobby. Kedua sisi kiri kaca mobil langsung terbuka memperlihatkan Toni yang berada di belakang kemudi dan Rio di sebelahnya. Di jok belakang Langit sedang melambai-lambai pada tiga balita yang akan ditinggalkan bapaknya. Dean menurunkan Widi dari gendongannya.
“Ya udah, aku pergi dulu ya, Win …” Dean menangkup kedua pipi Winarsih dan menciumi pipi istrinya berkali-kali.
Meski Winarsih terlihat menjauhkan wajahnya karena malu dicium di bawah tatapan tiga orang pria dari dalam mobil, ia akhirnya harus pasrah saat Dean mencium bibirnya cukup lama.
Ciuman itu terhenti saat Toni berteriak, “Udah Woi!”
Hal itu bisa disimpulkan kalau Toni tak ada mencium bibir siapapun saat akan berangkat tadi.
“Ya udah … aku nggak lama-lama,” kata Dean lagi memasang wajah malas-malasan. “Kenapa sih nggak berangkat sendirian aja? Males banget nemenin lo!" seru Dean pada Toni.
Ketiga pria lain yang mendengar ucapan Dean barusan hanya menaikkan alis dan melengos.
“Hatiku semua, aku tinggalkan di rumah Bu Win … suamimu pergi gak bawa hati,” kata Dean saat melambai-lambai.
Ketika mobil sudah melaju meninggalkan halaman, Toni tertawa terkekeh-kekeh.
“Halah … ‘suamimu pergi gak bawa hati’. Tapi bawa anu. Harusnya yang lo tinggalin itu anu lo. Itu lebih bahaya soalnya.” Toni kembali terbahak.
Sementara itu, di teras rumah sepeninggal Dean dan teman-temannya Bu Amalia tiba di sebelah Winarsih. Matanya menatap mobil yang menghilang di balik pagar tinggi.
“Mau ke mana katanya?” tanya Bu Amalia.
“Sukabumi Ma,” jawab Winarsih. “Outing kantornya mas Toni,” sambung Winarsih lagi.
“Outing—outing, kayak remaja aja kelakuannya.” Bu Amalia masih memandang pagar dengan wajah kesal. “Awas aja dia …” gumam Bu Amalia kemudian mengulurkan tangannya pada Dita.
To Be Continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
dyul
ya iyalah....
yg ada kan cuma bibir mami
mosok mami di sosor🤣🤣🤣
2025-01-12
0
dyul
pasti nih wkt pacaran sering icip icip..... ayo.... ngaku🤣🤣🤣🤣
2025-01-12
0
dyul
bener tuh....
bisa bikin merem melek😂😂😂😂
2025-01-12
0