Dean, Rio dan Langit meninggalkan lorong kamar mereka menuju lift. Di dalam lift mereka semua diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Restoran terletak di belakang lobi hotel. Beberapa langkah sebelum tiba di pintu masuk restoran, Dean yang berada di depan tiba-tiba berhenti. Ia menoleh pada dua sahabatnya.
“Toni abis ngapain ya tadi?” Langit tiba-tiba mengeluarkan pertanyaan sekelas anak SMP. Mereka semua menyimpan pertanyaan yang sama dalam kepala mereka.
“Iya--ya … ngapain sih Toni tadi?” Dean balik bertanya.
“Liat mukanya tadi nggak? Saking kagetnya dia gak langsung nutup pintu atau kabur kek,” kata Rio.
“Dia kaget banget, tapi belagak santai. Kalo dia tiba-tiba panik nutup pintu, kita bakal heran. Jadi Toni pengen alami aja. Seandainya cewe tadi gak bunyi dari dalem kamar mandi, kita gak bakal tau kalo dia lagi ama cewe di dalem.” Dean mulai menganalisa.
“Tega sih Toni … padahal kita gak bawa bini.” Rio menggeleng.
“Bukan tega sebenernya. Dia kan, gak rutin kayak kita yang ada bini. Mungkin ini cuma kesempatan aja, lagian Toni udah tua. Anunya gak mungkin dibiarkan terbengkalai bertahun-tahun.” Langit menggeleng-gelengkan kepalanya dengan raut serius.
“Iya, mustahil …” desis Dean menyetujui. "Gue malah gak percaya kalo Toni kalem-kalem aja. Menurut lo bedua, yang di kamar ama Toni tadi siapa?” tanya Dean.
“Nah, iya … gue juga dari tadi mikir. Itu siapa? Apa si Mus?” tanya Langit penasaran.
“Apa Siska? Yang lo bilang ketemu di SPBU dan langsung ngomongin Toni?” todong Rio pada Langit yang wajahnya langsung menegang. Ia kemudian hanya mengangkat bahu dan menggeleng. Menyerah akan kemungkinan itu.
“Yang jelas gak mungkin Asih … kejauhan.” Dean melayangkan pandangannya ke dalam restoran.
“Kok jadi ke Asih?” Rio mengernyit heran menatap Dean. “Kayaknya lo susah banget ngelupain Asih.” Rio menepuk-nepuk pundak Dean.
“Soalnya gue ngerasa kayaknya Asih naksir Toni,” ujar Dean meringis. “Kan, kasian kalo Toni punya istri pake ilmu kebatinan.”
“Cocoknya bini lo yang pake ilmu kebatinan,” ucap Rio. “Bini Langit juga …” sambungnya lagi.
“Gak usah sok suci lo,” sergah Dean pada Rio. “Ayo makan dulu. Bini gue bisa marah kalo tau ternyata suaminya ditelantarkan di sini.”
Rio tertawa-tawa merangkul pundak Dean. “Bersyukur dia-nya lo ditelantarkan. Biar kapok pergi-pergi sendiri …” kata Rio terkekeh.
Dalam soal memenuhi kebutuhannya, Dean tak perlu diperintah. Rio dan Langit masih celingak-celinguk, namun Dean sudah memegang piring dan melongok isi meja buffet.
Rio langsung mengikuti Dean, namun Langit masih mengedarkan pandangannya mencari sesuatu.
“Udah … entar pasti ketemu kalo emang jodoh ketemu.” Dean menyenggol lengan Langit agar tersadar dari bengongnya.
Restoran penuh oleh karyawan dari berbagai perusahaan pengangkutan. Dengan memegang piring masing-masing, ketiga pria itu menuju sebuah meja yang terletak di sudut. Dean memuaskan rasa laparnya yang menjadi-jadi karena udara dingin. Ia berkali-kali berdiri mengambil cemilan. Rio menikmati hidangannya dengan santai sambil sesekali menoleh ke arah pintu masuk. Sedangkan Langit, masih gelisah mencari-cari Siska. Ia mulai ragu apakah benar Siska hadir ke sana.
Hidangan di hadapan mereka telah habis. Perut telah kenyang, namun Toni belum menampakkan diri. Akhirnya mereka menyadari, tak ada satu pun yang mereka kenali di sana selain ….
“Pak Dean,” panggil Ifa yang tiba-tiba berdiri di dekat meja. Dean setengah terlonjak menegakkan dirinya.
“Ngagetin aja sih, Mus …” ucap Dean memegang dadanya.
“Ifa, Pak … Ifa.” Musdalifah melemparkan tatapan sebal-sebal-manja pada Dean.
“Ada apa?” tanya Dean.
“Kunci kamar yang nggak jadi Bapak pakai, boleh saya ambil?” Sebenarnya Musdalifah tak bertanya karena ia langsung menengadahkan tangannya.
Dean sedikit memiringkan tubuhnya untuk merogoh saku celana. “Nih, baru aja mau saya kembalikan. Saya sekamar dengan Pak Rio.” Dean menyerahkan kunci kamar ke tangan Musdalifah.
“Terima kasih, Pak …” kata Musdalifah. Ia tak langsung pergi. Masih berdiri di sebelah Dean demi menatap wajah pria itu dari dekat.
“Ada apa lagi?” tanya Dean melirik Musdalifah dengan wajah curiga.
“Boleh saya panggil ‘Mas’ aja? Mas Dean, gitu?” tanya Musdalifah ragu-ragu.
“Gak boleh. Udah sana,” usir Dean pada sekretaris Toni.
Tak perlu diperintah dua kali, Musdalifah langsung pergi dari hadapan mereka. Dean memalingkan tatapannya pada Rio dan Langit yang sedang menahan tawa menatapnya.
“Ciee … ditaksir si Mus,” kata Langit terkikik.
“Berani juga si Mus,” sahut Rio ikut tertawa.
“Diem lo bedua,” umpat Dean kemudian ikut tertawa bersama sahabatnya.
Saat mereka sedang tertawa-tawa, Toni muncul di ambang pintu restoran. Rio baru melambaikan tangannya pada Toni, saat matanya melihat seorang wanita yang tak asing lagi, memegang lengan Toni dan berbicara dengan raut serius.
“De! Liat,” bisik Rio menunjuk Toni dengan dagunya. Langit ikut menoleh pada sahabatnya yang mereka lihat telanjang beberapa saat yang lalu.
“Siapa, tuh?” Langit sedikit memicingkan matanya. “Serius banget. Apa cewe yang minta handuk tadi?”
“Kayaknya gak asing deh,” gumam Dean mengernyit menajamkan ingatannya. “Bukannya itu cewe yang pernah dibawa Toni jenguk bini gue lahiran? Inget gak lo bedua?”
“Lahiran anak ke berapa?” tanya Langit dengan wajah serius. “Anak lo kan, banyak …” sambungnya lagi.
“Lahiran Dirja. Anak pertama gue, Langit …” terang Dean. “Tapi tuh cewe masih muda banget waktu itu. Empat tahun lalu. Apa masih pacaran ama Toni? Atau jangan-jangan itu cewe yang minta handuk tadi?” Dean mengernyit.
“Eh, mampus …” lirih Rio. “Itu Wulan. Itu cowok Wulan.” Pandangan Rio masih tertuju ke arah pintu masuk restoran. Wulan, mantan istri Toni baru saja masuk menggandeng seorang pria. Ia hanya sedikit mengerling ke arah Toni yang sedang berbicara dengan seorang wanita.
“Ahhh … gue baru inget. Cewe Toni itu namanya Tasya. Iya, Tasya.” Langit yang ternyata sejak tadi diam karena sedang memusatkan konsentrasinya, tiba-tiba heboh mengetuk-ngetuk meja.
“Gue gak tau namanya, yang jelas itu memang pacar atau mantan Toni. Udah lama banget, kenapa masih di sini?” Dean menumpukan siku kanannya di atas meja dan tak henti menggaruk dagunya yang tak gatal.
“Tasya udah tamat kuliah dan dikasi kerjaan ama Toni. Jadi pegawai, tapi di cabang yang lain kalo gue gak salah denger.” Langit masih menatap ke arah pintu.
“Udah kayak agency aja ya si Toni” –Rio mengangkat gelasnya—"Lang, itu yang lo tunggu?” tanya Rio menunjuk ke arah pintu masuk.
To Be Continued
Part dibagi dua.
Like-nya jangan lupa sayang-sayang njusss karena sambungannya langsung di part berikutnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
dyul
hahaha....
kak jus.... knp bisa kau ciptakan tokoh yg duilah🤣🤣🤣🤣
2025-01-12
0
dyul
hahaha....
udah gw bilang dia naksir pakde....
kesel kan🤣🤣🤣🤣
2025-01-12
0
dyul
cie..... otw liat dong...
Siska mode on coming.....
yg tadi di kamar Toni minta handuk🤣😉😉🤣
kasian loe lang ke sambet lagi
2025-01-12
1