Rio membuka pintu kamarnya dan tak menemui Jenni di sana. Ia merebahkan diri di ranjang dan memejamkan mata. Baru pukul 9 malam saat ia tiba di ruma. Ketiga anaknya sudah masuk ke kamar dan ia sempat mengintip ketiganya baru saja tertidur pulas di bawah lampu tidur bermotif polkadot yang berputar dan memantul di dinding.
Pintu kamar terbuka dan Rio menebak itu pasti Jenni yang baru saja naik ke kamar. Matanya terlalu berat untuk dibuka.
“Udah pulang.” Suara Jenni terdengar mendekat. “Mandi dulu Pi,” katanya lagi.
“Kalo gak usah mandi boleh?” tanya Rio masih memejamkan mata berbaring melintang di ranjang dengan tangan terentang.
Jenni yang sudah terbalut piyama satin ikut merebahkan diri di sebelah suaminya. Ia menjadikan lengan Rio sebagai bantal.
“Dari mana? Ketemu anak-anak lagi?” Jenni berbaring miring dan memeluk suaminya. Masih dengan mata terpejam, Rio membalas pelukan dengan mengusap lengan istrinya.
“Iya … ketemu anak-anak. Biasalah, yang diomongin sebenarnya itu-itu aja. Tadi aku ke Beer Garden setelah ngecek outlet di Bekasi. Dean nelfon minta ketemu di sana. Rapat darurat katanya.” Rio terkekeh membayangkan Dean yang sebegitu datang langsung mengeluarkan jeruk purut.
“Apa yang lucu?” tanya Jenni. “Cerita dong. Pasti Dean … apalagi kekacauan yang dibuatnya?” tanya Jenni.
“Bukan—bukan, kali ini bukan dia. Toni.” Rio kembali tertawa.
“Kalo aku nanya, pasti nggak dikasi tau.” Jenni mencubit pelan perut suaminya.
Rio tertawa dan menangkap tangan istrinya. “Gak usahlah kamu tau. Yang itu-itu juga masalahnya. Yang penting kita semua masih dalam batas wajar.” Hati nurani Rio kadang terganggu kalau harus menceritakan kejelekan sahabatnya. Di lain sisi, ia tak ingin penilaian Jenni pada teman-temannya akan berubah.
“Toni gimana? Masih?” tanya Jenni.
“Masih, masih ‘kata mami gue’.” Rio tertawa dan berguling ke samping menarik istrinya dalam dekapan.
“Kasian,” kata Jenni. “Mami Toni ternyata gak nikah lagi. Bener-bener cinta ama Mr. Anderson.”
“Kalo aku yang meninggal, kamu nikah lagi gak Mi?” tanya Rio tiba-tiba. Jenni yang tadi terkekeh, kini berhenti menatap serius suaminya.
“Apa sih, Pi …” sergah Jenni menepuk pelan lengan Rio. “Kalo aku jadi mami Toni, mungkin aku bakal kayak gitu. Lebih mudah menikah saat ditinggal cerai ketimbang ditinggal mati.” Jenni menerawang.
Rio menumpukan lengan dan membelai kepala istrinya. Sebentar tangannya berhenti untuk membenahi rambut Jenni yang masih terikat kendur di belakang kepala.
“Artinya , Toni masih cinta ke Wulan. Dia sebenarnya masih cinta, makanya dia belum bisa memulai hidup yang baru bersama orang baru. Buat Toni, Wulan itu selalu spesial. Sayangnya, Toni gak bisa membuat Wulan dan maminya hidup berdampingan dalam satu rumah. Toni kurang luwes untuk hal-hal kayak gitu,” kata Rio.
“Mirip keadaan Dean dulu ya …” ucap Jenni.
“Dean anak bungsu, dia manja. Tapi lama di luar negeri bikin Dean sedikit kehilangan taste-nya sebagai anak bungsu. Dia lebih mandiri karena cukup lama pisah dari keluarga. Pak Hartono juga keras didik dia. Beberapa tahun kuliah di luar negeri, buat pola pikir Dean berbeda ama Toni yang berdarah Amerika tapi tinggal selalu dengan maminya di sini. Toni gak bisa nempatin diri kapan jadi anak laki-laki dan kapan jadi seorang suami untuk Wulan. Dan … Wulan juga belum nikah lagi. Atau setidaknya itu info yang kita terima.”
“Artinya kalian semua selama ini selalu ngikutin berita soal Wulan?” tanya Jenni mendelik menatap Rio.
“Gak ngikutin banget, tapi kadang ketemu dan ngobrol. Terakhir ketemu Wulan, dia lagi ama laki-laki. Tumben. Keliatan deket, perasaan aku dikit nggak enak. Kayaknya Toni bakal ditinggalin selamanya. Wulan udah moved on dan Toni belum.” Rio masih mengusap perut istrinya dengan lembut.
“Toni bisa patah hati,” kata Jenni. Ia benar-benar memahami Toni. Mereka semua berteman sejak ia dan Rio berpacaran di kelas 2 SMA. Sejak saat itu, kebanyakan waktu di akhir Minggu yang dihabiskannya bersama Rio, juga bersama teman-temannya.
Toni hampir tak memiliki pacar tetap dulunya. Ia lebih sering menghabiskan waktu bersama mereka semua ketimbang berkencan dengan seorang gadis di sekolah.
Jennifer adalah adik kelas. Persahabatannya bersama Dean, Langit dan Toni dimulai sejak ia sebulan menjadi murid baru di sekolah mereka. Saat itu, Rio bisa dikatakan jatuh cinta pandangan pertama padanya. Sejak mereka berpacaran, tak pernah ada masalah yang berarti. Hubungan mereka selalu stabil hingga mereka menikah. Dan untuk urusan pengalaman berpacaran pun, Jenni sangat minim. Nyaris tak ada sama sekali. Rio adalah cinta pertama yang menjadi suaminya. Berpacaran selama sembilan tahun, cukup memantapkan hatinya menerima lamaran Rio kala itu.
Rio sadar kalau Jenni selalu berpikiran ia adalah suami yang lurus dan tak banyak tingkah. Memang itu ada benarnya, selama menikah, ia memang tak pernah macam-macam. Baginya Jenni adalah wanita paling cantik yang pernah dilihatnya. Sejak SMA, Jenni selalu kalem. Anak pengusaha menengah yang keluarganya jauh dari polemik. Hampir sama sepertinya. Mungkin banyak kesamaan itu yang membuat mereka jarang sekali berdebat apalagi bertengkar.
“Aku juga kasian ama Toni,” kata Rio. “Kayaknya aku mau kasi saran ke dia. Mau nanya ke yang lain dulu.”
“Apa emangnya?” tanya Jenni.
“Nanti aja kalo udah pasti, aku bakal ceritain semuanya. By the way … sebelum itu, aku mau minta izin ke kamu Mami Sayang ….” Rio kembali membelai rambut istrinya.
“Apa itu?” Jenni mendongak.
“Minggu depan, aku nemenin Toni outing kantornya ke Sukabumi boleh nggak? Bareng anak-anak yang lain. Tiga hari dua malem,” ujar Rio yang tangannya naik perlahan dan memijat lembut dada istrinya.
“Ngapain aja sampe tiga hari dua malem?” tanya Jenni seraya bergeser demi mengetatkan pelukannya pada Rio.
“Paling kegiatannya kayak outbond gitu. Kita bertiga cuma nemenin Toni. Kasian dia nggak ada istrinya.” Rio menarik simpulan piyama Jenni hingga terurai dan memperlihatkan lingerie berbahan tile merah.
“Janji gak bakal macem-macem?” tanya Jenni yang tangannya perlahan membuka kancing kemeja Rio satu persatu. Ia memang percaya diri kalau Rio tak akan macam-macam. Sejak dulu, Rio tak pernah memuji wanita lain selain dirinya. Baginya Rio adalah contoh sebenar-benarnya dari seorang family man.
“Janji …” sahut Rio menyibakkan piyama Jenni dari bahunya. Jemarinya merayap perlahan merasakan satin halus yang menonjolkan puncak dada istrinya dengan jelas.
“Boleh nggak Mi …?” tanya Rio lagi.
“Boleh …” sahut Jenni dengan suara parau. Ia memejamkan mata dan merasakan kecupan lembut Rio di lehernya.
Eksekusi yang lembut sekali pikir Rio. Izin sudah di tangan. Tinggal bagaimana menunggu nasib Dean yang pasti akan uring-uringan jika tahu bahwa ia sudah mengantongi izin dari Jenni.
Sementara itu, di lain tempat keesokan harinya.
“Ya udah, kamu makan dulu. Biar aku yang gendong Widi.” Dean mengambil Widi dari pangkuan Winarsih yang baru saja duduk menghadapi piringnya.
“Minta digendong sama babysitter-nya aja, keliling taman sebentar. Kamu duduk makan dulu,” pinta Bu Amalia pada Dean.
“Udah—udah, gak apa-apa kok. Biar bapak gendong, sebelum masa bungsunya berakhir. Ya, kan Nak?” Dean mengangkat Widi dan mencium perut bayi itu sebelum kemudian memeluknya di depan dada.
“Iya, bener kata Mama. Kasi ke mbak-nya sebentar nggak apa-apa Mas … ini nasi Mas udah nggak panas lagi.” Winarsih menunjuk piring berisi nasi yang sudah sejak tadi disendokkannya.
“Kamu makan duluan gak apa-apa. Nanti anak Mas yang di perut malah kelaperan. Makan aja Sayang …” pinta Dean memajukan letak piring Winarsih.
“Ya udah, aku makan duluan …” kata Winarsih.
“Nanti selesai makan, kita bawa anak-anak keluar ya …” tukas Dean kemudian bersenandung dan menggendong Widi keliling ruang makan.
“Pak … Mas nggak kasi itu,” rengek Dita berlari memeluk kaki Dean.
“Gak dikasi apa? Mas Dirja-nya mana?” tanya Dean berjongkok memeluk Dita yang merajuk.
“Cuma ini kok,” kata Dirja berlari menunjukkan dua tangkai bunga anggrek yang baru dipetiknya.
“Anggrek Uti …” gumam Bu Amalia melirik bunga di tangan Dirja.
“Maaf ya Uti,” kata Dean. “Nanti diganti ama Bapaknya Dirja. Mau anggrek apa aja?” tanya Dean dengan raut serius. Kini tubuhnya telah digelayuti tiga orang balita.
“Nggak apa-apa,” jawab Bu Amalia yang siang itu makan tanpa ditemani suaminya. Pak Hartono sedang berada di Kalimantan bersama Irman, asistennya.
“Dita sini sama Ibu aja …” panggil Winarsih pada Dita yang masih cemberut meminta bunga dari kakaknya.
“Gak usah—gak usah, ibunya makan aja yang banyak. Hari Sabtu siang gini, istriku harus santai.” Dean kembali menggendong Widi dan menggandeng tangan Dita. Sementara Dirja memegangi ujung kemejanya dari belakang.
Baru saja Dean berjalan beberapa langkah, terdengar panggilan dari Bu Amalia.
“De …”
Dean berbalik untuk memandang ibunya.
“Ya Ma?” tanya Dean memandang ibunya.
“Mau minta izin ke mana emangnya?” tanya Bu Amalia.
“Ha?” Dean melirik raut istrinya yang juga sedang melemparkan tatapan menuntut jawaban.
Sampai usia berapa pun anaknya, ibu tetaplah seorang ibu. Seseorang yang tak akan lupa soal kebiasaan anak-anaknya.
To Be Continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
Yeti Kosasih
ha..ha..Bu Amalia langsung todong aja tuuh..
pak de langsung kicep..
bagi ibu mau setua apapun anak di matanya tetep lah layaknya seorang anak kecil jdi paham betul dgn watak anaknya..
gimna Dean?
sdh kebaca gerak-geriknya sama mmhmu tuuh?🤣🤣🤣
2025-02-20
1
dyul
waow.... emang yak, dari 4 sahat itu, yg otw lurus2 aja cuman si Rio, yg lain agak geser, miring malah🤣🤣🤣🤣
2025-01-12
0
dyul
cie.... pinter banget si papi, ngomong ngalor ngidul, ngajak iya2, dapet restu deh ngawal duda🤣🤣🤣
2025-01-12
0