(Playlist : My Way - Frank Sinatra)
Langit tertawa terbahak-bahak sambil menggelengkan kepalanya. Rio pergi menuju bar dan terlihat mengatakan sesuatu pada bartender. Selang berapa lama ia mengangkat telepon ekstensi dan menghubungi seseorang.
Ternyata di ruangan itu ada dua orang pegawai Rey. Salah seorangnya menyambar stik dan mendekati meja.
“Jangan ikut-ikutan!” teriak Dean mengarahkan stik bilyar dari meja yang sekarang berada di tangannya. “Bos lo udah bisa dijerat pasal penyerangan. Diem di situ kalo gak mau jadi perkara. Biarkan mereka selesaikan sendiri.”
Dean baru selesai bicara saat Rey terhempas dari atas meja dan jatuh terjengkang ke lantai. Ia bangkit dan merampas stik bilyar dari tangan pegawainya yang tadi diteriaki Dean.
Toni baru saja bangkit dari meja ketika Rey mengarahkan stik itu langsung ke kepala Toni.
TAKKK
Dean sempat menangkis stik itu beberapa saat sebelum menghantam kepala Toni. “Gue udah bilang fair play! Gak ada yang mau denger!” seru Dean maju memukulkan stik bilyar itu ke arah Rey. Pegawai Rey yang satunya lagi memungut stik lainnya dan menuju ke arah Dean.
Untungnya, Langit sebagai pengamat memahami situasi. Ia bangkit dari kursinya dan merampas stik dari salah seorang pria yang sedang bengong.
“Ton!” panggil Langit mencampakkan stik bilyar itu pada Toni.
“Udah! Udah! De! Ton! Sinting! Gila! Ini bukan tawuran!” teriak Rio yang baru selesai menelepon.
Tak ada pria lain yang melerai. Karyawan biasa hanya memandangnya itu sebagai perseteruan orang kaya yang susah untuk dicampuri.
“Ton, udah!” teriak Wulan. Sekarang ia meminta mantan suaminya berhenti. Bukan pacarnya.
“Eh jangan dulu, Lan! Toni udah ditonjok sekali belum sempet bales!” seru Langit pada Wulan.
Wanita itu mendelik memandang Langit. Langit terdiam sesaat kemudian berteriak, “Tonjok Ton! Entar lagi keamanan dateng!”
Wulan semakin mendelik. “Gak ada yang bener!” teriak Wulan.
“Gue, Lan?” tanya Rio dengan bodohnya.
Wulan mendengus mendengar pertanyaan Rio.
Dean masih mengibaskan stik bilyar menghindari sabetan stik dari Rey. Kakinya hanya mundur selangkah ke belakang atau ke samping. Toni sudah kembali maju dan mencampakkan stik dari tangannya setelah berhasil mendorong dua orang pegawai Rey yang bertubuh sedang dengan mudah.
“Nih Ton!” teriak Dean menendang Rey hingga terjengkang kembali ke lantai. Untuk itu dia tak perlu berkeringat. Kakinya jauh lebih panjang dari Rey.
Setelah menyerahkan Rey pada Toni, Dean melemparkan stik bilyar dan membenarkan rambut bagian depannya yang turun ke dahi.
Toni mengangkat kerah kemeja Rey, dan ….
BUGG!!
Satu pukulan dari Toni mendarat di rahang Rey.
“Naaahhh …” ujar Dean dan Langit bersamaan.
Sementara itu Rio menghampiri empat orang satpam yang baru tiba di tempat itu.
“Ini Pak—ini pak! Bantu dipisahin,” kata Rio. Dua orang satpam menarik tubuh Toni yang sedang berada di atas tubuh Rey.
Rey kemudian dibantu berdiri oleh dua pegawainya. Wulan tak ada menghampiri siapa-siapa. Ia hanya membekap mulutnya. Dalam situasi itu, dia menyadari bahwa Rey-lah yang memukul Toni lebih dulu.
Benar-benar outing yang membawa bencana pikirnya. Ia benar-benar tak mengira hal yang dikiranya sederhana bisa menjadi serumit itu. Ia dan Toni sudah berpisah empat tahun. Selama itu, mereka memang sama sekali tak pernah bertemu.
Selentingan kabar yang ia dapat hanya soal kekasih-kekasih Toni. Ia memang menunggu pada siapakah Toni akhirnya berlabuh. Namun, setelah menunggu sekian lama, ia tak juga mendengar kabar soal Toni yang akan menikah.
Wulan menganggap, mungkin Toni mau membaktikan hidupnya sementara pada sang ibu. Tapi ia harus moved on. Cinta saja tak cukup sebagai modal rumah tangga.
Setelah melirik sudut bibir Toni yang terluka karena pukulan Rey, Wulan pergi mendahului mereka semua menuju kantor keamanan.
“Lo jangan taunya bantu misahin aja …” kata Dean pada Rio. “Itu Toni ama Wulan juga bantu disatuin,” sambung Dean tertawa-tawa puas setelah melihat Toni berhasil membalas.
“Mari bapak-bapak ikut saya ke kantor untuk menjelaskan duduk perkaranya.” Seorang satpam yang terlihat paling senior.
“Ayo, De … di kantor aja. Malu di sini,” kata Rio.
“Ayo—ayo,” kata Langit. “Sakit, Ton?” tanya Langit pada Toni yang mengusap sudut bibirnya.
Wulan sudah mendahului mereka semua berjalan di depan demi menyembunyikan rasa malunya.
“Ayo, kita harus menjelaskan duduk perkaranya di kantor manajemen resor.” Rio sedikit menarik lengan Dean.
“Bukan menjelaskan duduk perkara. Tapi itung-itungan kerugian,” sahut Dean sambil menendangi stik bilyar yang patah dibuatnya.
Hampir tengah malam, mereka semua berada di kantor keamanan resor. Rio, Langit dan Wulan ditetapkan sebagai saksi. Sedangkan Toni, Dean, Rey dan kedua pegawainya ditetapkan sebagai tersangka perkelahian.
Mereka semua tiba di sebuah kantor keamanan yang berukuran kecil. Hanya ada dua buah kursi plastik untuk tamu. Wulan duduk di sebuah kursi yang letaknya di sudut kiri. Tepat di sebelah seorang pria berdasi yang merupakan Duty Manager resor. Sedangkan satu kursi lainnya diduduki oleh Dean yang sedang menyilangkan kakinya menatap satu persatu orang yang menjejali ruangan itu.
“Jadi bagaimana? Bisa berdamai Bapak-Bapak? Hanya masalah sepele saja,” kata Duty Manager.
“Saya harus visum!” kata Rey tiba-tiba. “Saya dikeroyok! Luka saya lebih parah,” tambahnya.
“Kalo lo dikeroyok, lo gak bisa ngomong sekarang. Pasti udah koma!” sergah Dean dari kursinya.
Rey sudah kembali maju selangkah mau menerjang Dean. “Lo dari tadi ikut-ikutan aja! Lo juga harus dilaporkan!”
“Hei! Jadi lo gebukin temen gue, gue diem aja? Meski dia salah, gak mungkin gue diem aja. Apalagi di sini lo yang kampungan! Insecure lo? Gak pede karena liat saingan lo ternyata lebih cakep?” sergah Dean pada Rey. “Gue bela lo, Ton ...” tambah Dean memandang Toni.
Toni dan Langit terkekeh-kekeh. Rio yang tadinya cemberut, sekarang malah ikut tertawa.
“Saya mau ke kantor polisi aja,” kata Rey. “Bull shiiit damai-damai di sini. Kita panjangin sekalian kasusnya,” ujar Rey lagi.
“Udah deh, Rey. Cukup! Jangan kayak anak kecil,” tegur Wulan pada Rey di hadapan semua orang.
“Gue gak pernah dipukul sampe kayak gini—”
“Biar pernah. Apalah arti hidup tanpa pengalaman,” sambar Dean.
“Lo emang bacot!” Rey maju ke hadapan Dean namun tubuhnya di tahan dua pegawainya.
Rio menggelengkan kepalanya berkali-kali sambil meletakkan telunjuk di bibir ke arah Dean. Langit terkekeh-kekeh dan Toni mengangguk-angguk dengan mengacungkan ibu jarinya ke arah Dean. Mereka seperti sedang mengenang masa-masa di ruang BK.
Sedang panas-panasnya, datang dua orang pria berpakaian rapi.
“Pak Rey, kita ke kantor polisi aja. Selesaikan di sana.” Seorang pria berdiri di depan pintu menunggu Rey keluar ruangan itu.
“Ini pengacara gue udah dateng. Panggil kuasa hukum lo, kita selesaikan di kantor polisi.” Rey menunjuk wajah Toni dan Dean bergantian.
“Gue kuasa hukum. Jadi gue panggil siapa dong?" Dean berdiri mendekati Toni.
"Panggil nyokap lo udah paling bener," sahut Langit terkikik.
“Keren banget lo, De .... Makin sayang gue ama lo!” ujar Toni terkekeh-kekeh. “Telfon Ryan gih! Biar bantu-bantu urusan cepat selesai.”
“Oke—oke. Wait!” Dean mengambil ponselnya dan mencari nomor sekretarisnya.
“Lagi di mana, Yan?” tanya Dean.
“Ini tengah malem, Pak ... Ya pasti di rumah-lah!” sungut Ryan di seberang telepon.
“Yan, entar lagi gue kirim alamat, lo dateng segera ke situ. Gak usah banyak nanya, dateng aja. Gue kasi penjelasan singkat aja.” Dean segera menutup teleponnya dan pergi berjalan ke arah mobil Toni diikuti dua orang satpam.
“Udah, De?” tanya Langit. “Ryan gak nanya macem-macem? Lagian dia kok gak ikut sih?” tanya Langit.
“Novi lagi hamil besar. Kasian kalo lakinya jauh-jauh. Ini udah tengah malem, ke sini sebentar aja. Biar dia bawa stempel, dan segala macem untuk menjamin Toni malem ini. Gaya bener itu cowoknya Wulan. Untung tadi gue sempet ngasi tendangan. Puas gue!” Dean mencibir dengan sombongnya.
“Lo udah bilang ke Ryan untuk gak ngomong ke bini lo?” tanya Rio tiba-tiba.
“Ha?” Dean terdiam sesaat. Ia memang melupakan detil yang itu. "Ryan pasti taulah mau buat apa. Gak mungkin dia ngomong ke bini gue," kata Dean dengan nada tak yakin. Dahinya mengernyit sedikit ragu.
“Permisi—permisi, saya duduk di belakang aja gak apa-apa.” Musdalifah tiba dengan tas sandang dan langsung masuk ke mobil.
Empat pria masih berada di luar mobil, dan Musdalifah yang sudah naik, menjulurkan kepalanya ke luar jendela dan memukul pelan body mobil untuk menyadarkan empat orang laki-laki.
“Pak—Pak! Ayo berangkat! Resor berikutnya denger-denger gratis.” Ia sudah kesal dengan empat orang laki-laki yang mengganggu istirahat malamnya.
Dean menoleh kesal pada Musdalifah yang kembali membuatnya terkejut dengan menepuk body mobil.
“Ton! T&T Express ada cabang di Papua gak?” tanya Dean melirik Musdalifah.
Musdalifah langsung diam berpura-pura tak mendengar perkataan Dean. Ia langsung melenyapkan dirinya di kegelapan jok paling belakang.
“Kenapa?” tanya Toni.
“Satuin si Mus ama Tasya di sana,” jawab Dean. "Gue jamin aman tenteram idup lo!"
To Be Continued
Like-nya jangan kelewatan ya ... :*
Makasi sayang-sayangnya enjusss..
Satu part lagi sedang disusun.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
dyul
hahaha.... jargon hah.....
si pakde lupa Ryan kan tukang ngadu🤣🤣
2025-01-13
0
dyul
nah... ini nih kelakuan anak mama Amalina sm Pak Hartono😂
2025-01-13
0
dyul
hahaha..... sekarang di gelandang keamanan, bukan bk lagi😛
2025-01-13
0