“Mas memang nggak ngomong apa-apa, tapi dari cara Mas natap saya dari tadi, pasti Mas berpikiran seperti itu. Saya ini punya kemampuan khusus.” Intonasi suara Asih semakin meninggi.
Langit langsung membuka pintu kamar dan Rio menepuk-nepuk pundak Dean berusaha menenangkan.
“Dih, makin aneh deh. Udah ah Ton, gue mo balik. Gue tau lo juga sebenernya ke sini karena nurutin mami lo. Itu makanya lo dikatain bimbang. Ya emang lo plin-plan. Gue ke mobil,” ucap Dean mengibaskan bagian depan jasnya dan keluar dari kamar itu.
“De!” panggil Langit yang ikut keluar menjajari langkah Dean. “Lo gak takut di dukuni? Tuh cewe dukun lho.” Langit tertawa sambil menggantung lengannya di pundak Dean.
“Gak. Gue lebih takut didiemin bini gue. Anak gue sebentar lagi empat. Masa depan anak-anak gue berada di tangan dia. Inget Lang, saham Winarsih banyak di Grup Cahaya Mas. Gue sekarang cuma modal tampang doang.” Dean terus berjalan menuju ke arah mobil. Langit terkekeh-kekeh mendengar curahan hati sahabatnya.
Di belakang Dean dan Langit, Toni dan Rio buru-buru menyusul. Mereka khawatir Dean yang sudah hilang kesabarannya bakal meninggalkan mereka semua di hutan itu. Mengingat temperamen Dean, itu bukan hal yang mustahil.
Dean langsung duduk di belakang kemudi. Setelah menyalakan mesin, ia langsung menyalakan lampu dan menurunkan sun visor untuk mengecek tampilan. Mulutnya masih mengerucut karena rasa kesalnya.
“Kita langsung balik ya, gue gelisah karena bini gue gak ada nelfon.” Dean langsung melajukan mobil dan mencari sedikit lahan kosong untuk memutar.
"Dicariin sebel, gak dicariin was-was" ujar Langit.
"Lo curhat?" sindir Dean
“Lo telfon dong,” sahut Rio.
“Entar aja kalo udah di jalan raya. Biar ada efek suara kendaraan lain. Di sini terlalu sepi. Bisa-bisa malah dikira gue lagi di semak-semak. Semua gara-gara si bule sinting!” maki Dean.
Toni yang sejak tadi diam, malah tertawa terbahak-bahak mendengar makian Dean padanya. “Buset De, lo udah kayak emak-emak berantem belain anaknya. Tadi gue mau ngakak, tapi gak enak. Asli mulut lo emang gak ada duanya. Padahal dari sebelum masuk, mulut lo udah diingetin.” Toni kembali tertawa.
“Tolong cerita ini jangan sampai keluar. Pengacara tersohor adu mulut ama dukun,” tambah Langit ikut tertawa. "Gue udah khawatir dia gelut ama Bu Asih."
“Ketawa lo bedua. Kalo gak karena si bule sinting, najis gue ke dukun. Mana tu cewek pake sarung. Itu dukun apa tukang urut.” Dean mendengus. Ketiga laki-laki lainnya semakin terbahak-bahak.
"Mending lo lamar aja Ton, ketimbang dia jadi dukun." Langit masih terkekeh-kekeh menepuk pundak Toni.
“Lo tadi dibekali apa Ton?” tanya Rio tiba-tiba.
“Gak ada kok,” sahut Toni berbohong sambil menyembunyikan sebuah plastik kresek hitam di kantong jok yang diduduki Rio.
“Ton, gue boleh ngomong sesuatu gak?” tanya Rio dengan raut serius. Dean dan Langit yang mengerti dengan hal yang akan dikatakan Rio, ikut diam mendengarkan. Range Rover terbaru Dean melaju menembus jalan kasar dengan sekeliling yang masih gelap gulita.
“Boleh. Gue sebenernya udah tau apa yang mau lo omongi. Tapi lo juga pasti tau jawaban gue apa.” Toni setengah menunduk menatap ponsel yang sejak tadi diputar-putarnya.
“Kita semua gak benci nyokap lo. Terutama gue. Gue cuma mau lo bahagia. Lo gak perlu buka aura atau apalah. Lo cuma perlu buka pikiran dan hati lo. Gak semuanya apa yang mami lo minta, lo harus turuti. Gue tau lo gak percaya ama yang gitu-gitu. Lo cuma khawatir cewe tadi bakal ngelapor kalo lo gak jadi dateng. Lo juga males, gue tau. Kita temenan udah lama. Kita semua cuma pengen lo bahagia. Hidup normal, pulang ke rumah ketemu anak istri. Ngobrol dan sharing segala hal. Itu aja. Lo perlu pasangan hidup Ton …. Liat Dean …” ujar Rio memegang bahu Dean yang duduk di sebelahnya.
Merasa bangga dirinya dijadikan contoh panutan oleh Rio yang paling waras di antara mereka, Dean membenarkan letak dasinya dengan jumawa.
“Lo tau kan gimana Dean sebelum nikah. Semua-semua perempuan pengen dirasa,” ucap Rio.
“Eh anjirrr … gak gitu juga kalo ngasi contoh,” umpat Dean langsung mencampakkan tangan Rio dari bahunya.
“Maksudnya tuh, setelah nikah hidup kita jadi lebih teratur dan gak kesepian. Lo liat gimana dulu Dean perjuangkan istrinya. Dan sekarang lo liat gimana Winarsih di rumah. Dean udah rasa-rasa menantu, bukan anak kandung lagi.”
Mendengar hal itu, Dean mengangguk-angguk setuju. Teringat akan Bu Amalia yang lebih percaya Winarsih ketimbang dirinya yang merupakan anak kandung. Maklum, track record-nya di masa lalu kurang baik. Dean meringis tiap mendengar ibunya bertanya ke mana saja ia seharian, tapi melalui Winarsih.
“Lo harusnya gak semudah itu ngelepas Wulan …” ucap Rio. Rio sedih melihat keadaan Toni. Ia tahu sahabatnya itu kesepian. Sering mencari mereka demi ngobrol sejam dua jam menumpahkan isi hatinya. Rio menilai, semenjak Toni bercerai dengan Wulan, pria itu seakan kehilangan passion-nya soal hidup berumah tangga.
“Udah hampir 5 tahun Yo … Wulan juga mungkin udah bahagia sekarang,” gumam Toni sendu. Dahinya mengernyit dan bibirnya menarik senyum kecut.
“Cari yang lain … itu pacar lo ada. Nikahin dong, jangan ditiduri mulu.” Langit yang masih memangku snack-nya dengan penuh kasih sayang ikut menimpali.
“Bantu gue …” kata Toni. “Nyokap kesepian. Cuma gue temennya. Sejak papi meninggal karena kecelakaan, mami setiap hari nyalahin dirinya. Lo semua 'kan tau … gue udah sering cerita.”
“Entar gue pikirin caranya gimana. Pokoknya lo janji, ini terakhir kali lo ngikutin cara mami lo ke tempat begituan. Gimana?” Rio menoleh ke belakang.
Toni mengangguk pasrah. Dalam benaknya kembali terbayang bagaimana enam bulan pernikahannya bersama Wulan. Masa pacaran mereka lebih panjang ketimbang usia pernikahan. Tiga tahun berpacaran, namun kandas saat tinggal serumah. Toni menarik napas dalam-dalam melemparkan pandangannya ke luar jendela.
Mobil yang dikendarai Dean mulai memasuki jalan utama. Meski belum jalan protokol yang ramai, dalam hati, mereka semua lega karena telah berhasil keluar dari hutan.
Seperti ingin memberi waktu pada Toni untuk berpikir, ketiga orang pria lainnya diam dalam sisa perjalanan mereka.
“Ehem, jadi … by the way, lo nggak ada niat pengen buka aura De?” tanya Langit mencondongkan tubuhnya ke depan dan memeluk Dean dari belakang joknya. Langit ingin mencairkan suasana hening di dalam mobil. Ia tahu jawaban Dean pasti akan luar biasa.
“Apa? Buka aura? Mending gue buka celana. Lebih jelas enaknya …. Ini semuanya gue anter ke lobby Beer Garden ya, dari sana lo semua silakan mandiri. Gue mo balik,” ujar Dean.
“Gitu banget sih Pak Dean ..." rayu Langit mengusap-usap dada Dean.
"Sana lo! Najis!" Dean mencampakkan tangan Langit dari dadanya. "Sekarang gue yang mau nanya ama elo Lang," kata Dean melirik sekilas ke arah spion. Pandangan mereka bertemu.
"Apa?" tanya Langit dengan wajah santai.
"Lo dari tadi ngelus-ngelus snack, tapi gak dimakan. Udah kayak nimang-nimang bayi. Gue curiga asal snack itu. Siapa yang ngasi?" Dean kembali melirik kaca spion untuk melihat reaksi Langit.
To Be Continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
dyul
Dasar ya.... yg di pikirin buka celana aja😂😂😂
2025-01-12
0
dyul
Pakde jeli banget dah, si langit ngelus2 snack udah kayak ngelus perempuan, emank yak udah apa gaya masing2 kl lg engsel🤣🤣🤣
2025-01-12
1
ℑ𝔟𝔲𝔫𝔶𝔞 𝔞𝔫𝔞𝔨-𝔞𝔫𝔞💞
Pak Dean udah curiga dari tadi, 🤣
2024-10-25
0