Hari pertama di acara outing gabungan perusahaan ekspedisi, pukul 07.00 pagi, restoran sudah ramai. Seluruh kursi dan meja sudah terisi penuh oleh karyawan yang mengejar jadwal berkumpul di lapangan. Dean berdiri dengan wajah ditekuk menatap pintu restoran yang tadi sudah didekatinya.
“Kita entar aja, tunggu sepi.” Rio baru tiba di sebelah Dean dengan ponsel di telinganya. Ia kembali berjalan mengitari bagian depan restoran sambil berbicara di telepon.
“Sudah sarapan, Pak?” tanya Musdalifah yang tiba-tiba sudah berada di belakang Dean.
Dean sudah mulai terbiasa dan tak terlalu terkejut dengan kehadiran sekretaris Toni yang ajaib itu. Musdalifah terlihat sangat segar dan energic dengan seragam outing berupa training.
“Belum, Mbak Ifa … kita nanti aja, tunggu sepi. Pegawai yang lain sedang ngejar jadwal pagi.” Rio menggantikan Dean untuk menjawab pertanyaan Musdalifah. “Ooh, itu—sekretaris Toni.” Rio menjawab pertanyaan Jenni yang bertanya soal perkataannya barusan.
“Seragam outing-nya nggak dipakai, Pak?” tanya Musdalifah lagi pada Dean.
Mata Dean yang memang sudah sipit sejak lahir, terlihat semakin menyipit menatap Musdalifah.
“Oh, nggak apa-apa Pak, cuma tanya aja. Permisi Pak,” kata Musdalifah langsung bergegas pergi.
Rio sudah selesai menelepon dan merangkul bahu Dean sambil tersenyum-senyum.
“Anti banget De, sama si Mus …” ucap Rio.
“Bukan anti. Tapi sebel aja,” jawab Dean dengan wajah datar. Ia memang bukan anti dengan sekretaris Toni. Tapi Musdalifah memang sering datang dan berbicara di waktu yang salah.
“Ayo, makan. Udah sepi tuh!” Langit yang baru datang langsung melangkah menuju restoran melewati dua sahabatnya.
“Toni ke mana lagi?” Dean celingukan. “Ngajak ke sini, tapi dia ngilang terus.” Dean masih mencari-cari sahabatnya.
“Itu Toni,” kata Rio menunjuk Toni yang kembali terlibat pembicaraan serius dengan Tasya.
“Heran deh, padahal kan, udah mantan. Kenapa ribut terus?” Dean memang sedikit heran dengan kehadiran Tasya yang dianggapnya tiba-tiba di sana.
“Kayaknya emang ribut beneran. Apa selama ini masih jalan? Setau lo gimana?” Rio balik bertanya.
“Setau gue, Toni lagi gak ada pacar.” Dean kemudian masuk ke restoran untuk memulai sarapan paginya.
Tempat itu ramai. Banyak orang lalu-lalang. Dan Dean sedang bersama teman-temannya. Tapi ia merasa ada yang kurang. Keluarganya. Istri dan anak-anaknya yang ramai itu. Winarsih tipe perempuan yang tak akan mengganggunya untuk hal-hal sepele. Ia hanya ditelepon untuk ditanya soal makan. Dan itu malah membuatnya uring-uringan.
Dibebaskan berada di luar, malah membuat Dean merasa kurang berharga. Ia menoleh ponselnya berkali-kali. Berharap Winarsih mengiriminya foto Widi, Dita atau Dirja yang sedang melakukan hal lucu. Sering-sering menelepon istrinya, ia juga takut malah mengganggu.
Wajahnya masih cemberut saat keluar dari restoran. Baru satu malam, namun ia sudah tak betah. Sedang asyik tenggelam dalam pikiran, matanya menatap sudut halaman dan melihat Toni sudah berpindah posisi mengobrol. Terlihat pembicaraan serius juga, tapi kali ini lawan bicaranya adalah Wulan.
“Luar biasa …” gumam Dean.
“Sangat luar biasa,” sambut Rio.
“Gue lebih suka kalo Toni balikan ama Wulan.” Langit yang baru keluar dari restoran beratap ijuk juga menatap objek pandangan yang sama.
“Tapi kayaknya gak mungkin. Wulan udah moved on,” jawab Dean.
“Masih mungkin. Pasti Wulan masih ada rasa. Toni aja kurang usaha,” kata Langit.
“Ah, kalo udah mantan kayaknya berat untuk balikan.” Dean menguatkan pendapatnya.
“Tapi ini mantan istri, De. Beda dengan mantan pacar. Beda kayak lo ama Ara atau lo ama Disty,” kata Rio yang mendukung pendapat Langit. Pandangan mereka bertiga masih menatap Toni yang semakin serius berbicara.
“Gak yakin gue,” kata Dean keras kepala.
“Coba bayangin, lo cerai ama bini lo. Trus lo mau gak balikan ama dia? Perasaan lo gimana?” tanya Langit.
“Dih, perumpamaan lo serem amat. Beda tipe. Kalo gue yang jadi Toni, gue gak akan sempet cerai ama Wulan. Gak akan semudah itu ngelepasin orang yang udah jadi temen berbagi segala-galanya, Lang …. Untuk kasus Toni, walau dia temen kita, kita tetap salahin Toni. Tapi untuk kasus ama cewe-cewe lain, Toni udah dewasa. Itu tergantung anunya dia.”
“Toni dateng,” kata Rio memberi kode agar Dean dan Langit berhenti berdebat.
“Kenapa?” tanya Rio.
Wajah Toni terlihat pias. “Lo semua kemarin malem, ada liat Wulan ama cowonya ya?” tanya Toni. Ketiga orang pria yang sedang ditanya mengangguk serentak.
“Wulan mau nikah lagi, guys …” sambung Toni. "Mau tunangan bulan depan."
“Terus kenapa? Lo kira setelah cerai ama lo, Wulan bakal mengasingkan diri ke gunung bertapa dan memutuskan kehidupan duniawinya? Lo juga gak spektakuler banget …” cerca Dean yang masih terbawa kekesalan berdebat dengan Langit barusan.
“Kok lo nyolot anjing …” sergah Toni.
“Lo kecewa dia mau nikah lagi? Yah … usaha lo untuk dapetin dia lagi apa Toni? Selama ini lo ke mana aja? Sekarang lo baru ribut-ribut,” kesal Dean sambil memandang punggung Wulan yang pergi menjauh. Entah kenapa, ia iba dengan wanita itu.
Toni terdiam.
“Itu ribut ama si Tasya kenapa?” tanya Langit penasaran. “Dari kemarin lho Ton … setidaknya kasi kita clue siapa cewe yang minta handuk.” Langit tak sanggup menahan tawanya. Dean dan Rio ikut tertawa terbahak-bahak.
“Gak usah deh, kalo itu …” sahut Toni. “Gak yang gimana-gimana banget. TTM doang,” katanya lagi.
“TTM? Temen tapi mendesah?” tanya Dean ikut terkekeh.
“Ke lapangan aja yuk, kita bisa ikut games yang melatih kekompakan, menjalin kerja sama dan menumbuhkan kepercayaan satu sama lain. Cocok untuk kita,” kata Toni.
“Enggak—enggak, gak perlu. Menumbuhkan kepercayaan? Gak ada latihan yang bisa menumbuhkan rasa percaya gue ke lo semua. Gue percaya ama bini gue aja … cuma dia yang bisa gue percaya.” Dean mengibaskan tangannya menghalau ucapan Toni.
Pagi ke siang mereka berempat menjadi penonton berbagai games yang diselenggarakan acara outing.
Seperti khas acara-acara di manapun. Dari pagi menjelang siang, semua peserta dijamin tertib dan berlomba memenangkan tiap games. Namun sesudah makan siang, para peserta menyusut sedikit demi sedikit. Dan begitu menjelang sore, peserta kembali ramai untuk acara lucky draw.
Dean, Langit dan Rio duduk berjam-jam mengomentari tiap orang sambil sesekali mengomentari Toni yang sedang ikut games namun matanya tak lepas menatap Wulan.
“Yang pertama itu, memang sulit dilupakan.” Dean menatap Toni dan Wulan bergantian.
“Wulan kayaknya juga udah deket banget ama pacarnya. Gimana perasaannya ke Toni ya?” Langit yang tadi begitu ngotot dengan pendapatnya, kini ikut ragu melihat Wulan yang bersikap acuh tak acuh.
“Nah, berdebat lagi lo bedua. Pusing gue,” ketus Rio.
“Dua-duanya masih ada rasa,” kata Dean. “Liat tuh …” ucap Dean menunjuk Toni yang sedang membuka air mineral dan menyerahkannya pada Wulan yang sedang terengah-engah setelah ikut games.
Toni hanya memutar tutup botol air mineral dan berjalan melewati Wulan untuk menyerahkannya. Tanpa perlu bertanya atau bereaksi berlebihan, Wulan mengambil botol itu dari tangan Toni.
“Ini yang gue suka dari Wulan,” kata Dean. “Dari dulu, Wulan nggak pernah tergesa-gesa. Beda ama si bule sinting.”
Kejadian sederhana namun manis itu, diamati oleh tiga pasang mata pria, sahabat Toni. Juga sepasang mata laki-laki, kekasih Wulan. Dan sepasang mata wanita yang meminta handuk pada Toni.
“Air mineralnya, Pak …” kata Musdalifah tiba-tiba. Rio dan Langit menoleh pada Dean yang tak menoleh pada Musdalifah di sebelahnya.
“De …” tegur Rio. Dean kemudian menoleh.
“Udah kayak dagang di gerbong aja ya Mus … by the way, makasih …” kata Dean mengambil sebotol air.
Musdalifah memberi air mineral pada dua pria lainnya. Di antara hiruk pikuk peserta outing yang sedang berteriak-teriak kesenangan mendapat hadiah lucky draw, Siska dan Devy muncul di dekat mereka.
“Lang, entar malem ngobrol yuk …” ajak Siska santai.
Langit sedikit tergagap menoleh pada Rio dan Dean bergantian. Ia tak menyangka bahwa Siska sesantai dan selugas itu mengajaknya keluar.
“Ha?” Langit hanya sedikit terperangah.
“Jam delapan malem, deket danau ya …” kata Siska kemudian melenggang pergi.
Langit hanya mengangguk, sedangkan Rio masih memuaskan matanya memandang Devy yang ikut pergi.
"Jangan berantem-berantem ya kalo ketemuannya deket danau," ujar Dean.
"Kenapa emangnya?" tanya Rio.
"Pikir aja sendiri ..." sahut Dean dengan wajah malas.
Kemudian ....
“Pak! Cemilan,” kata Musdalifah kembali berdiri di sebelah Dean memegang tiga kotak berisi kue-kue.
“Iya Mus … makasih ya …” kata Dean menghela napas panjang menatap Musdalifah yang tersenyum simpul padanya.
To Be Continued
Bantu like-nya ya ... :*
Maafkan njuss yang belakang sedikit sibuk kejar tayang. Nanti kalau sudah lebih luang, njuss balesin komen-komennya.
Yang penting, njuss usahakan selalu up setiap hari.
Sehat-sehat semuanya.
Next up, sesaat lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
dyul
mus percuma loe naksir pakde, die udeh cinta manti sama mbak winar, mending loe nyelem aje😂😂😂
2025-01-12
0
Emy Chumii
si Mus, ini udah kayak hantu aja ya 😂😂😂
2024-12-08
0
dyul
pakde gitu..... pendapat nye bener
2025-01-12
0